NovelToon NovelToon

Hamil Anak Sang Pewaris

jebakan

Pagi itu, London berdandan seperti biasa. Musim panas menyinarinya dengan kehangatan yang lembut, membuat kota itu tampak memesona. Di tengah hiruk pikuk, Laura Clarke, seorang wanita berusia dua puluh empat tahun, bergegas menyusuri trotoar yang ramai menuju halte bus.

Kabar baik datang menghampirinya: tawaran pekerjaan paruh waktu di salah satu hotel bintang lima ternama di kota itu. Hotel itu sedang bersiap mengadakan pesta mewah yang akan dihadiri oleh para elite London.

Kesempatan emas! Dengan langkah penuh semangat, Laura bergegas menuju hotel itu. Bukan hanya sekadar pekerjaan, ini adalah harapan. Uang tambahan itu akan sangat berarti untuk membayar utang yang ditinggalkan ayahnya sebelum meninggal.

Aroma kopi dari kedai di seberang jalan dan suara lalu lalang kendaraan bercampur menjadi simfoni kota yang khas. Laura menarik napas dalam-dalam, merasakan semangat baru membara dalam dirinya. Hari ini, seperti biasa ia akan bekerja keras.

*

Sesampainya di hotel megah itu, Laura langsung diantar menuju bagian belakang, sebuah labirin lorong yang hanya diketahui oleh para staf. Di sana, di sebuah ruangan kecil yang pengap dengan aroma sabun dan disinfektan, kepala pelayan—seorang wanita berwajah tegas dengan rambut disanggul ketat—sudah menunggunya. Sorot matanya yang tajam menelisik Laura dari ujung kepala hingga kaki, seolah menilai kelayakannya.

"Laura, ganti pakaianmu dengan seragam ini," ucap kepala pelayan itu dengan suara tanpa emosi, menyerahkan setelan seragam pelayan berwarna abu-abu. "Kau akan mengikuti Janet saat bekerja. Dia yang akan memberikan tugasmu hari ini."

"Baik," jawab Laura, berusaha menyembunyikan kegugupan yang mencengkeram hatinya. Ia menggenggam seragam itu erat-erat, merasakan kain kasar di telapak tangannya. Janet, seorang wanita muda dengan senyum ramah dan mata yang berbinar, menyambutnya dengan anggukan. Laura mengikuti Janet menyusuri lorong-lorong hotel, jantungnya berdebar-debar seiring langkahnya. Ia berusaha mencerna setiap detail: suara gemerincing peralatan makan dari restoran, aroma parfum mahal dari lobi, dan tatapan penasaran dari beberapa staf yang berpapasan dengan mereka.

Saat Janet mulai memberikan instruksi, Laura berusaha fokus dan melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. Ia mengepel lantai hingga mengkilap, membersihkan kamar mandi hingga setiap sudutnya berkilau, dan menata tempat tidur dengan rapi.

*

Selama hari itu, Laura bekerja tanpa kendala berarti. Meskipun tubuhnya terasa remuk redam, semangatnya tak surut sedikit pun.

Hingga malam tiba, gemerlap pesta masih berlangsung di hotel mewah itu. Denting gelas, alunan musik, dan tawa riang menggema di setiap sudut. Jam kerja Laura akhirnya usai. Dengan wajah lelah namun puas, ia berjalan menuju ruang ganti untuk bersiap pulang.

Saat menyusuri lorong hotel yang mulai sepi, tiba-tiba Janet memanggilnya. "Laura!"

"Ya?" jawab Laura, menoleh ke arah Janet yang tampak tergesa-gesa.

"Maafkan aku," ucap Janet dengan nada menyesal. "Aku tahu ini sudah jam pulangmu, tapi bisakah kau mengantar makanan ke kamar 1145? Semua orang sedang sibuk, dan aku juga harus mengurus sesuatu. Tamu itu akan membayarmu jika kau mengantarkan makanan ini ke kamarnya."

Laura terdiam sejenak. Sebenarnya ia ingin segera beristirahat, tetapi tawaran uang tambahan itu cukup menggiurkan. "Baiklah," jawabnya akhirnya.

"Hanya mengantarkannya saja," lanjut Janet. "Setelah itu, kau langsung keluar, tak perlu menunggu sampai tamu menghabiskan makanannya."

"Aku mengerti," jawab Laura.

Laura bergegas menuju dapur hotel yang ramai. Aroma masakan yang menggugah selera menyeruak di udara, bercampur dengan suara dentingan peralatan masak dan obrolan para koki. Di tengah kesibukan itu, seorang koki pria berwajah serius menghampirinya.

"Kau yang akan mengantar makanan ini?" ucap koki itu tanpa basa-basi, menunjuk ke arah troli makanan yang sudah tertata rapi.

"Iya," jawab Laura singkat.

"Sampai di depan pintu kamar, akan ada pria yang menunggu. Kau akan diberikan uang sebelum masuk ke dalam kamar tamu tersebut," lanjut koki itu, lalu berbalik melanjutkan pekerjaannya.

Laura sedikit terkejut mendengar perkataan koki itu. Biasanya, tamu akan memberikan tip setelah makanan diantarkan. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Mungkin ini adalah kebijakan khusus dari hotel untuk tamu-tamu tertentu.

Dengan sedikit ragu, Laura mendorong troli makanan itu menuju kamar 1145. Lorong-lorong hotel tampak semakin sunyi dan remang-remang. Suara roda troli yang berderit memecah kesunyian malam. Jantung Laura berdegup sedikit lebih kencang, namun ia berusaha menenangkan diri.

Tak ada kecurigaan sama sekali di benaknya. Ia hanya berpikir bahwa ini adalah pekerjaan biasa yang sering dilakukan oleh para pelayan di hotel tersebut. Ia membayangkan uang tip yang akan ia terima, dan senyumnya mengembang.

*

Saat lift berdenting menandakan tiba di lantai kamar 1145, Laura melangkah keluar dan langsung mendapati seorang pria bertubuh besar, tampak seperti pengawal, berdiri tegak di depan pintu kamar yang ia cari. Pria itu berwajah garang dan sorot matanya tajam, membuat Laura sedikit gugup. Namun, ia berusaha bersikap tenang dan mendekati pria itu dengan senyum profesional.

"Ini bayaranmu. Segera pergi setelah mengantar makanan tersebut," ucap pengawal itu dengan suara berat, menyerahkan beberapa lembar uang kertas tanpa menatap Laura.

Laura hanya mengangguk, menerima uang itu dengan tangan sedikit gemetar. Setelah itu, ia memberanikan diri mengetuk pintu kamar. Tak lama kemudian, terdengar suara pria dari dalam yang menyuruhnya masuk.

"Ceklek..."

Laura membuka pintu dan perlahan melangkah masuk ke dalam kamar mewah itu. Sebagai seorang pelayan, ia sudah sering membersihkan kamar-kamar di hotel ini. Namun, kamar yang sekarang ia masuki terasa berbeda dari yang lain.

Lampu penerangan di kamar itu sangat minim, menciptakan suasana yang remang-remang dan gelap. Seketika, bulu kuduk Laura meremang. Ia merasakan hawa dingin yang aneh menyelimuti tubuhnya.

Laura merasa tidak nyaman. Ia ingin segera menyelesaikan tugasnya dan keluar dari kamar ini secepat mungkin.

Sesosok pria muncul dari balik bayangan, wajahnya nyaris tak terlihat jelas karena minimnya cahaya di kamar itu. Namun, aroma parfum mahal yang menenangkan menguar di udara, menandakan kehadirannya yang semakin mendekat.

Saat pria itu semakin dekat, Laura dapat melihat sepasang mata cokelat yang tajam menatapnya dengan dingin. Mata itu seolah menelanjanginya, membuatnya merasa sangat kecil dan tidak berdaya. Laura menelan ludahnya, merasa terintimidasi oleh tatapan mata pria itu. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.

"Apa yang kau lihat?" ucap pria itu dengan suara dingin yang menusuk.

Laura tersentak kaget, tersadar dari lamunannya. "Maaf, saya akan keluar sekarang," ucapnya gugup, berbalik hendak meninggalkan kamar itu secepat mungkin.

"Tunggu," perintah pria itu dengan nada tegas. "Jangan keluar sebelum aku menyuruhmu."

Langkah Laura terhenti. Ia membeku di tempatnya, tidak berani bergerak sedikit pun. Dengan ragu, ia berbalik dan berdiri di tempatnya dengan kepala tertunduk, menunggu perintah selanjutnya dari pria misterius itu.

*

Pria itu duduk dengan anggun di kursi, lalu mulai menyantap makanan yang dibawa oleh Laura. Ia mengambil beberapa suap dengan tenang, seolah tidak ada seorang pun di ruangan itu selain dirinya. Laura hanya bisa berdiri terpaku, menundukkan kepala dan menunggu pria itu selesai makan.

Namun, tiba-tiba pria itu berhenti mengunyah. Wajahnya berubah menjadi merah padam, dan matanya memancarkan kemarahan yang membara. Ada rasa aneh yang tidak seharusnya ada di dalam makanan itu. Sesuatu yang tidak beres.

Dengan gerakan cepat, pria itu berdiri dan berjalan mendekati Laura. Ia mencengkeram leher Laura dengan kasar, membuat gadis itu terkejut dan ketakutan. Laura berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman pria itu terlalu kuat.

"Apa yang kau masukkan ke dalam makananku? Siapa yang menyuruhmu?" ucap pria itu dengan suara menggelegar, wajahnya dipenuhi emosi. Tangannya semakin kuat mencengkeram leher Laura, membuatnya sulit bernapas. Laura meronta-ronta, mencoba mengatakan sesuatu, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Ia merasa seperti sedang dicekik oleh monster yang mengerikan.

Air mata mulai mengalir di pipi Laura. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia hanya seorang pelayan yang mengantarkan makanan. Ia tidak tahu apa-apa tentang rasa aneh di dalam makanan itu. Ia hanya korban dari situasi yang mengerikan ini. Ia takut, bingung, dan putus asa. Ia merasa hidupnya akan segera berakhir di tangan pria yang marah ini.

bertanggung jawab

"Apa yang kau masukkan ke dalam makananku? Siapa yang menyuruhmu?" ucap pria itu dengan suara menggelegar, wajahnya dipenuhi emosi.

""L-lepas... Lepaskan..." ucap Laura dengan suara tercekat, merasa hampir kehilangan napas. Tenggorokannya terasa seperti terbakar, dan pandangannya mulai kabur.

Pria itu, seolah tersadar dari amarahnya, dengan segera melepaskan cengkeraman tangannya di leher pelayan wanita tersebut.

Laura terbatuk dengan keras setelah pria itu melepaskan cekikannya. Udara terasa begitu berharga saat memasuki paru-parunya yang terasa sakit.

Khukk... khukk...

Laura terduduk lemas ke lantai, tubuhnya gemetar hebat. Air mata terus mengalir di pipinya, membasahi seragam pelayannya. Ia memegangi lehernya yang memerah, merasakan denyutan nyeri yang tak tertahankan.

Sedangkan pria itu tampak menahan sesuatu di dalam tubuhnya. Ekspresi wajahnya berubah-ubah antara marah, bingung, dan frustrasi. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.

"A-aku hanya disuruh mengantar makanan," ucap Laura gugup dan terbata-bata membela dirinya. Suaranya serak dan nyaris tak terdengar.

"Siapa yang menyuruhmu?" ucap pria itu, berjongkok di depan Laura yang menangis menahan sakit di tenggorokannya. Matanya menatap Laura dengan tajam, seolah berusaha mencari kebohongan di balik tatapannya.

"Pelayan yang bernama Janet, dan pria di depan kamar memberiku uang sebagai tips," jawab Laura dengan jujur, berusaha meyakinkan pria itu bahwa ia tidak bersalah.

"Shit!" umpat pria itu dengan geraman tertahan. Ia mengacak rambutnya frustrasi. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu depan kamar yang berusaha dibuka dari luar. Seseorang mencoba masuk, dan pria itu tahu bahwa ia harus bertindak cepat.

Dengan gerakan cepat dan sigap, pria itu menggeser meja panjang yang terbuat dari kayu mahoni, menghalangi pintu masuk kamar.

Meja itu berat dan besar, namun pria itu berhasil mendorongnya hingga menutupi hampir seluruh lebar pintu. Ia berharap meja itu cukup kuat untuk menahan siapa pun yang mencoba masuk dari luar.

BRAK... BRAK...

Suara dorongan pintu dari luar terdengar semakin keras dan panik. Seseorang berusaha dengan sekuat tenaga untuk membuka pintu, namun meja itu berhasil menahan mereka. Pintu berderit dan bergetar hebat, namun tidak bergeming sedikit pun.

Setelah memastikan pintu sudah tertahan dengan meja, pria itu meraih ponselnya dari saku celana.

Jari-jarinya dengan cepat memencet nomor seseorang, lalu menempelkan ponsel itu ke telinganya.

Ia menunggu dengan cemas, berharap orang yang ia hubungi segera mengangkat teleponnya.

"Angkat, angkat..." gumamnya pelan, matanya terus mengawasi pintu yang masih didorong dengan keras dari luar. Ia tahu bahwa waktu semakin menipis, dan ia harus segera mencari solusi sebelum orang-orang itu berhasil masuk ke dalam kamar.

*

Laura masih terduduk di lantai, tubuhnya gemetar hebat. Air mata terus mengalir di pipinya, meninggalkan jejak basah di seragam pelayannya.

Ia masih merasakan sakit di lehernya, bekas cengkeraman pria itu. Ia sama sekali tidak tahu apa yang tercampur dalam makanan itu, atau mengapa pria itu begitu marah.

Ketakutan mencengkeram hatinya. Ia baru saja mengalami kejadian yang mengerikan.

Pria itu hampir saja membunuhnya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pekerjaannya sebagai pelayan hotel bisa membawanya ke situasi yang begitu berbahaya.

Laura hanya bisa diam, wajahnya dipenuhi kebingungan. Ia menatap pria itu dengan tatapan kosong.

Ia melihat pria itu sibuk berbicara dengan seseorang di telepon, suaranya terdengar tegang dan khawatir.

Ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan, namun ia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang sangat serius sedang terjadi.

Ia merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tidak berujung. Ia ingin segera bangun dan kembali ke kehidupannya yang normal.

Namun, ia tahu bahwa ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan yang harus ia hadapi. Ia harus mencari cara untuk keluar dari situasi ini dengan selamat.

*

Setelah pria itu mengakhiri percakapannya di telepon, ekspresi wajahnya tampak berubah drastis. Ia terlihat berkeringat deras, dan matanya mulai memancarkan kegelisahan yang mendalam. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menghela napas panjang.

Mata keduanya pun bertemu. Tatapan pria itu kini tidak lagi dipenuhi amarah. Ia menatap Laura dengan intens, seolah sedang mencari jawaban di dalam matanya.

Kemudian, pria itu kembali mendekati Laura. Langkahnya mantap, namun raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang berperang dengan dirinya sendiri.

"Kemarilah, kau harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah kau lakukan," ucap pria itu dengan suara berat, menarik tangan Laura menuju ke dalam kamar. Cengkeramannya kuat, namun tidak menyakitkan seperti sebelumnya.

"Tuan... maafkan aku. Aku bersumpah, aku tak tahu apa pun yang terjadi. Aku hanya pekerja paruh waktu yang disuruh mengantarkan makanan ke sini," ucap Laura memohon, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. Air mata kembali membasahi pipinya.

Pria itu tidak mempedulikan ucapan Laura. Ia terus menyeret Laura ke dalam kamar, menuju ke arah tempat tidur yang besar dan mewah.

Laura meronta-ronta, namun tenaganya tidak sebanding dengan kekuatan pria itu. Ia merasa seperti domba yang digiring menuju jurang kematian. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya, namun ia tahu bahwa ia berada dalam bahaya besar.

BRAK...

Pintu kamar itu langsung ditutup dengan keras, menggema di seluruh ruangan. Pria itu segera mengunci pintu, memastikan tidak ada yang bisa masuk atau keluar.

Ia menyeret wanita itu dengan kasar, lalu menghempaskannya ke ranjang king size empuk di hotel tersebut. Tubuh Laura terpental dan mendarat dengan tidak nyaman di atas kasur.

BUGH...

"Tuan, aku minta maaf. Aku mohon. Tolong lepaskan aku. Aku bersumpah aku tak tahu apa pun yang terjadi saat ini," mohon Laura dengan suara bergetar, air mata membanjiri wajahnya. Ia berusaha bangkit, namun pria itu menahannya dengan tatapan tajam.

"Aku tak peduli. Diamlah jika kau tak ingin terluka," ucap pria itu dengan dingin, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa kasihan.

Pria itu lalu mulai membuka kemeja putihnya, kancing demi kancing terlepas hingga memperlihatkan dadanya yang bidang.

Ia mendekati Laura dengan tatapan sayu, namun penuh dengan hasrat yang membara. Laura menyadari jika sesuatu yang tercampur ke dalam makanan pria itu merupakan obat perangsang.

Hal itu membuat air mata Laura semakin deras mengalir. Ia takut, namun tak bisa berbuat apa pun. Ia merasa seperti mangsa yang tak berdaya di hadapan predator yang lapar.

Ia tak berani melawan karena takut dengan pria yang ada di depannya saat ini. Jika ia berani melawan, pria itu bisa saja langsung membunuhnya. Ia tahu bahwa pria itu bukan orang sembarangan. Ada aura kekuasaan dan bahaya yang terpancar dari dirinya.

Seseorang ingin menjebaknya. Seseorang telah merencanakan semua ini dengan matang. Namun, naasnya, Laura malah terjebak dalam situasi yang mengerikan ini. Ia menjadi korban dari permainan kotor yang ia sendiri tidak mengerti.

"Aku akan melakukannya dengan cepat, sebelum orang-orang di luar sana berhasil masuk," ucap pria itu dengan nada mendesak, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Laura.

Sentuhan bibirnya di bibir Laura terasa kuat dan menuntut. Laura mencoba membalas, namun pikirannya terlalu kacau untuk bisa fokus.

Hmph... Umph... Ugh... Cup... Haa... Desahan kecil lolos dari bibir Laura, bercampur dengan napas pria itu.

Tubuh Laura bergetar hebat saat pria itu mulai menyentuh tubuhnya dengan lembut. Rasa takut menjalar di setiap inci kulitnya, membuatnya semakin tegang dan tidak berdaya.

Ia tahu bahwa ia harus menyerahkan dirinya pada pria yang sama sekali tidak ia kenal, dalam situasi yang sangat tidak diinginkan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun ia hanya bisa berharap bahwa semua ini akan segera berakhir.

pasrah

"Aah..." desah pelan pria itu, bibirnya beralih ke bahu Laura, memberikan kecupan-kecupan lembut.

"Hmph..." Laura hanya bisa menutup matanya rapat-rapat, air mata masih terus mengalir di sudut matanya, membasahi pipinya. Ia mencoba untuk tidak merasakan apa pun, untuk mengosongkan pikirannya.

Laura hanya bisa pasrah pada sentuhan pria itu yang semakin berani menjelajahi tubuhnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, selain menunggu semua ini berakhir.

"Aah..." Laura tersentak kaget saat pria itu menyentuh bagian tubuhnya yang paling sensitif. Sentuhan itu membuatnya merasakan sensasi aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Kau masih perawan?" ucap pria itu pelan, suaranya sedikit serak. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Laura dengan tatapan yang sulit diartikan. Laura bisa merasakan napas pria itu yang hangat menerpa wajahnya.

Laura hanya mengangguk pelan, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Pikirannya kosong, dan tubuhnya terasa lemas.

Antara rasa takut dan sensasi aneh yang ditimbulkan oleh sentuhan pria itu, Laura hanya bisa pasrah pada apa pun yang akan terjadi selanjutnya.

"Shit," umpat pria itu lirih, merasa bersalah.

Namun, pengaruh obat yang ada di dalam tubuhnya mulai tidak terkendali. Ia berusaha menahan diri, namun hasratnya semakin membara. Dengan ragu, ia kembali menyentuh bagian tubuh Laura yang tadi sempat membuatnya mengeluarkan desahan yang begitu menggoda di telinganya.

"Aah..." desah Laura tanpa sadar, merasakan sentuhan lembut yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sensasi itu membuatnya sedikit melupakan rasa takutnya.

*

Setelah memastikan bahwa Laura sudah siap, pria itu dengan hati-hati mencoba menyatukan diri dengannya.

"Aah... sakit," ucap Laura lirih, merasakan sedikit nyeri saat pertama kali bersentuhan.

"Bertahanlah," bisik pria itu lembut, berusaha menenangkan Laura. Dengan perlahan, ia mulai bergerak, memberikan sentuhan-sentuhan lembut yang membuat Laura merasa nyaman.

Pria itu merasakan kehangatan dan kelembutan Laura, membuatnya semakin bergairah. Ia terus bergerak dengan lembut, memberikan yang terbaik untuk Laura.

Desahan-desahan kecil mulai terdengar dari bibir Laura, membuat pria itu semakin bersemangat. Ia mempercepat gerakannya, memberikan sentuhan-sentuhan yang membuat Laura semakin terbuai.

Hingga akhirnya, keduanya mencapai puncak kenikmatan bersamaan.

"Aah..." desah keduanya bersamaan, merasakan kebahagiaan yang tak terhingga.

*

Keheningan tiba-tiba menyelimuti kamar itu. Suara-suara gaduh dari luar yang tadinya menggebu-gebu, kini lenyap tanpa jejak. Orang-orang yang tadi berusaha mendobrak pintu, seolah ditelan bumi.

Pria itu terbaring di samping Laura, napasnya masih memburu, tubuhnya dibasahi keringat. Ia merasa lelah sekaligus lega.

Laura perlahan bangkit dari ranjang. Tubuhnya terasa remuk, setiap ototnya seolah menjerit kesakitan. Ini adalah pengalaman pertamanya, sebuah pengalaman yang seharusnya indah, namun ternodai oleh paksaan dan ketakutan. Selama ini, hidupnya hanya diisi dengan kerja keras untuk melunasi hutang ayahnya.

Dengan langkah lemah, Laura mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai. Setiap helai kain yang ia kenakan terasa berat, seolah mengingatkannya pada kejadian yang baru saja menimpanya.

Pria itu bangkit dengan gerakan santai. Ia meraih jas mahalnya yang tergantung di samping tempat tidur, mengambil sebatang rokok, lalu menyalakannya. Asap putih mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma tembakau yang kuat.

Setelah mengenakan pakaiannya, pria itu duduk di sofa, menikmati rokoknya dalam diam. Ia tampak tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Siapa namamu?" tanyanya, memecah keheningan.

Laura yang sudah berpakaian lengkap, hanya duduk terdiam di tepi ranjang. Perasaannya hancur berkeping-keping. Ia tidak menjawab pertanyaan pria itu, hanya air mata yang mengalir deras di pipinya.

Melihat Laura tidak merespon, pria itu mematikan rokoknya. Ia bangkit dari sofa dan berjalan mendekati Laura, berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam.

"Apa kau tahu siapa aku?" tanya pria itu, suaranya terdengar dingin dan menusuk.

Laura masih terisak, air matanya terus mengalir tanpa henti. Ia menggelengkan kepalanya perlahan, tanda bahwa ia sama sekali tidak tahu siapa pria yang berdiri di hadapannya saat ini. Baginya, pria ini hanyalah orang asing yang telah merenggut kehormatannya.

Dalam benaknya, Laura hanyalah korban yang dimanfaatkan dalam masalah yang lebih besar. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengapa ia harus mengalami semua ini. Ia hanya seorang gadis biasa yang berusaha mencari uang untuk hidupnya, namun kini ia terjerat dalam pusaran masalah yang mengerikan.

*

Dering telepon memecah kesunyian, pria itu meraihnya. Tanpa sapa, hanya sebuah jawaban singkat, "Baik," lalu panggilan itu terputus. Raut wajahnya tak terbaca.

Langkah pria itu membawanya keluar kamar, Laura menguntit di belakangnya. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk menyeruak. 'Aku harus pergi dari sini,' pikirnya, mencari celah untuk melarikan diri.

Pria itu menyeret meja panjang yang tadi menghalangi pintu dari luar. Suara gesekan meja beradu dengan lantai berdecit memekakkan telinga Laura, menambah ketegangan.

*

Saat pintu terbuka, Laura menyongsong kesempatan itu. Ia berlari sekuat tenaga, namun lengannya ditarik kasar. Tubuhnya tersentak, impian kebebasannya hancur.

"Kau mau ke mana? Kita belum selesai," bisik pria itu, suaranya dingin dan menusuk.

Di ambang pintu, pemandangan mengerikan tersaji. Beberapa pria berjas berdiri tegap, wajah mereka tanpa ekspresi. Di kaki mereka, tergeletak orang-orang yang tak sadarkan diri, saksi bisu kekejaman yang baru saja terjadi.

Salah seorang pria berjas tampak bingung melihat Laura yang meronta dalam cengkeraman pria itu. "Tuan, apa Anda baik-baik saja?" tanyanya, nada suaranya bercampur khawatir dan hormat.

"Kau membawa yang kuminta?" jawab pria itu, tanpa menghiraukan pertanyaan sebelumnya. Matanya tajam, menelisik setiap detail.

"Sudah saya siapkan," jawab pria berjas itu, menyerahkan sebuah kantong kecil.

*

Pria itu menyeret Laura kembali ke dalam kamar, cengkeramannya semakin kuat. Laura meronta, sekuat tenaga berusaha melepaskan diri. "Biarkan aku pergi, Tuan," mohonnya, air mata mulai membasahi pipinya.

Tanpa ampun, pria itu menghempaskan tubuh Laura ke sofa. Benturan itu membuatnya meringis kesakitan, namun hatinya lebih sakit lagi.

"Minum ini. Aku tidak ingin ada masalah lain," ucap pria itu dingin, melempar sebuah kantong kecil ke arah Laura. Kantong itu jatuh di pangkuannya, terasa berat dan dingin.

Dengan tangan gemetar, Laura membuka kantong itu. Matanya membelalak, dadanya sesak. Pil kontrasepsi. Obat pencegah kehamilan. Air matanya semakin deras mengalir.

"Apa yang kau tunggu? Minum sekarang!" perintah pria itu, suaranya tanpa emosi.

Laura tersentak. Tanpa membantah, dengan tangan bergetar, ia menelan pil itu di hadapan pria itu. Air mata terus mengalir, bercampur dengan rasa pahit di lidahnya. Harga dirinya hancur berkeping-keping.

*

Seorang pria berjas masuk, membawakan sebuah tablet dan menyerahkannya kepada pria di kamar. Pria itu, yang ternyata bernama Kody, membaca sesuatu di layar dengan wajah serius. Setelahnya, tatapannya yang dingin dan menusuk menghujam Laura.

"Laura Clarke," ucap Kody, suaranya datar tanpa nada.

Laura tersentak. Bagaimana bisa pria ini tahu namanya? Wajahnya pucat pasi, ia menatap Kody yang kini terlihat jelas di bawah cahaya lampu kamar yang terang. Ada sesuatu yang menakutkan dalam sorot matanya.

"Kali ini, aku akan membiarkanmu hidup. Jangan pernah menampakkan batang hidungmu di hadapanku lagi. Jika itu terjadi, aku tidak akan segan-segan menghabisimu. Aku tidak peduli kau terlibat atau tidak dengan orang yang membayarmu itu. Yang jelas, jangan sampai kita bertemu lagi," ucap Kody penuh penekanan. Setiap kata yang diucapkannya bagai pisau yang mengiris hati Laura.

Air mata Laura kembali jatuh. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit berdiri dan berlari keluar dari kamar itu. Ketakutan mencengkeramnya, ia takut Kody akan berubah pikiran dan membunuhnya.

"Tuan Kody, Anda yakin akan membiarkan wanita itu begitu saja?" tanya pria berjas, yang ternyata adalah asisten Kody.

"Tugaskan seseorang untuk selalu mengawasi wanita itu. Jika ada laporan mencurigakan, atau dengan siapa dia bertemu, segera laporkan hal itu padaku," perintah Kody Cappo, tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu yang baru saja dilewati Laura. Ada sesuatu yang belum selesai, dan Kody tahu itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!