Terjebak tidak bisa pulang sehabis mengaji di rumah Ulya. Ana tidak berani pulang karena jalannya dipenuhi lelaki seperti preman yang siap menerka mangsanya. Namun, Ana harus segera pulang karena ada sesuatu yang harus diselesaikan.
Dengan penuh keberanian, Ana berjalan mendekati sekumpulan lelaki preman yang memenuhi jalan. Dari kejauhan saja, Ana bisa mendengar siulan-siulan menggoda. Membuat Ana merasa sangat takut.
Semua segerombolan lelaki itu memusatkan perhatian pada Ana yang tengah berjalan sendirian. Namun, salah satu diantara mereka memilih diam sambil bermain handphone. Dia adalah Alvan, Alvanza Utama Raja. Seseorang yang pantas disebut sebagai ketua geng motor yang mereka namai BLASTER ketika di luar lingkungan masyarakat. Sedangkan didalam lingkungan, patokan mereka sebagai PERJAMASY alias perjaka masyarakat.
"Aduh!" Ana mengaduh kesakitan karena dirinya yang terlalu menunduk dan tidak sadar kalau ia menabrak tiang hingga dirinya jatuh ketanah.
Semua tertawa, lebih tepatnya menertawakan Ana. "Mangkanya neng, kalau jalan jangan terlalu nunduk. Kalau udah gini, nggak bahaya tah?"
Berbeda dengan Alvan, lelaki itu menatap Ana cemas. Meskipun ia tidak tahu siapa perempuan itu, ia tahu betul rasanya kejedot tiang itu seperti apa. Insting hatinya meminta Alvan untuk segera menolong perempuan terbalut hijab itu.
"Mau kemana lo?" Tanya lelaki disebelah Alvan saat melihat ketuanya itu beranjak dari duduknya.
"Bukan urusan lo!" Balas Alvan ketus
Alvan berjalan menghampiri Ana yang masih terduduk di atas tanah. "Butuh bantuan?" Alvan mengulurkan tangannya, berharap perempuan terbalut hijab itu menerima uluran tangannya
Sedangkan Ana dibuat gemetar akan pertanyaan yang dilontarkan Alvan untuknya. Ana menggeleng tanda ia tak mau. Ana segera berdiri. "Permisi." Gumamnya pelan, segera melangkah pergi dari hadapan Alvan.
"Mau gue antar?" Tanya Alvan menawari
Ana diam di tempat. Sedikit menoleh kearah samping. "Tidak, terimakasih." Jawabnya lembut yang setelah itu melanjutkan jalannya menuju rumah yang tak jauh dari masjid.
Sedangkan Alvan, entah kenapa lelaki itu tertarik untuk mengikuti Ana sampai rumah. Begitu ia mengetahui rumah Ana, ia tersenyum.
"Oh, ternyata dia anaknya pak Ahmad. Tapi, kok gue nggak pernah lihat dia, ya." Gumamnya merasa tertarik untuk mengetahui siapa perempuan tersebut.
🍃🍃🍃
Alvan segera menambah kecepatan lajunya menjadi di atas rata-rata. Sedangkan sosok tak dikenal di belakangnya juga menambah kecepatan. Alvan yakini kalau Alvan akan bonyok sesampainya di markas.
Bugh!
Seseorang tak dikenal itu menendang motor Alvan hingga Alvan jatuh tersungkur mencium aspal. Damn! umpatnya dalam hati. Begitu dirinya bangkit, dirinya sudah dikelilingi banyak motor.
"Alvan.. Alvan, senggol dikit aja udah tumbang. Lemah lo!"
Alvan mengepalkan tangan kuat-kuat, giginya bergemelatuk. Ia paling benci jika dirinya disebut lemah, meskipun kenyataannya ia juga tidak kuat. Dihampirinya lelaki yang menyebut Alvan lemah, satu tonjokan melayang pada wajahnya.
"Daripada lo, pengecut! Sukanya main keroyokan."
Sama-sama tidak terima, keduanya akhirnya berkelahi. Dirasa musuh Alvan sudah sempoyongan, anak buahnya pun turun tangan dan ikut ngeroyok Alvan. Sebisa mungkin Alvan melawan delapan orang didepannya sendirian.
Alvan jatuh tersungkur dengan menerima pukulan yang bertubi-tubi. Alvan sudah tak mampu lagi melawan, selebihnya Alvan hanya bisa pasrah.
"Tolong! Tolong! Ada begal, tolong!" Mendengar teriakan cewek yang begitu nyaring dan mengundang warga, kesembilan cowok tak dikenal itu langsung bubar meninggalkan jalanan yang cukup sepi.
Ulya Hazima. Perempuan yang baru saja pulang dari kampus itu berlari menghampiri Alvan yang sudah tak berdaya. Begitu banyak luka lebam di wajahnya dan darah yang mengalir di pelipisnya.
"Alvan, mereka siapa?" Tanya Ulya khawatir
"Gue nggak tau." Jawab Alvan dengan keadaan setengah sadar
Warga demi warga mulai berdatangan untuk membantu. Melihat luka di wajah Alvan, semua merinding dan membayangkan rasa sakit yang di rasakan Alvan.
"Langsung di bawa ke masjid aja, pak. Soalnya teman-temannya ada di sana." Ujar Ulya yang langsung di angguki para warga.
🍃🍃🍃
"Astaga, Lo kenapa jadi bonyok gini?" Tanya Arden, salah satu sahabat Alvan
"Berisik lo! Badan gue remuk semua." Jawab Alvan dengan menyamankan posisi tidurnya
Ulya datang dengan membawa baskom berisi air hangat untuk mengompres luka lebam di wajah Alvan. Arden dan Kenzie langsung mengambil alih baskom yang ada di tangan Ulya. Mengompres lebam yang ada di wajah Alvan.
"Pelan-pelan bangsat!" Sarkasnya
"Alvan." Tegur Ulya memperingati Alvan untuk tidak berbicara kasar. Sedangkan Alvan hanya melirik sekilas, merasa tak acuh akan teguran Ulya.
Ulya berniat untuk kembali ke rumah, namun, niat itu langsung hilang setelah melihat Ana lewat di depan masjid.
"ANA!!" Teriak Ulya dengan melambaikan tangan tinggi-tinggi. Sedangkan yang disebelah Ulya, seketika budek setelah mendengar teriakan Ulya yang membuat telinganya langsung berbunyi.
Ulya berlari menghampiri Ana. Merasa senang ketika sahabatnya pulang dari pesantren.
"Mau langsung mengaji?" Tanya Ulya
Ana tersenyum. "Lebih tepatnya baru selesai mengaji." Balasnya terlihat sangat ramah.
"Yaudah, mampir dulu ke masjid yuk. Disana juga ada anak-anak perjamasy." Ajak Ulya dengan menggandeng tangan Ana.
Mengingat kejadian semalam yang membuat Ana merasa sangat malu, Ana langsung menolak ajakan Ulya dan lebih memilih pulang. "Maaf, Ulya. Aku nggak bisa. Soalnya dirumah mau ada bimbingan dari pengasuh pesantren." Tolaknya lembut dan sebisa mungkin untuk membuat Ulya tidak sakit hati dengan penolakannya.
Berbeda dengan Alvan yang sedari tadi mengamati keberadaan Ulya dan Ana di pinggir jalan. Alvan tersenyum lantaran senang karena akhirnya mengetahui nama perempuan yang Alvan ingin tahu identitasnya.
Melihat Alvan tersenyum dengan pandangan mengarah pada dua perempuan di depan pintu gerbang, Arden bergerak menyenggol lengan Alvan.
"Kenapa lo senyum-senyum sendiri? Suka lo sama Ulya? Perlu gue bilang ke Abah Imam? Atau... lo suka sama temennya Ulya?" Tanya Arden dengan pertanyaan bertubi-tubi
"Dia anaknya pak Ahmad." Jawab Alvan yang jelas melenceng dari pertanyaan Arden.
"Sotoy lo! Pak Ahmad cuma punya anak satu. Namanya Arsyila." Sahut Kenzie dengan menepuk lengan Alvan. Alhasil mendapat tatapan maut dari Alvan.
"Lo yang sotoy!"
"Udah-udah. Daripada kepoin anak orang, mending kita bahas keroyokan tadi. Barusan gue lihat CCTV jalan disana, ternyata itu sekelompok gengnya Erik." Sahut Noval saat baru datang langsung nimbrung. Salah satu anggota yang paling pintar melacak keberadaan orang hanya dengan jari.
Alvan menggebrak meja yang ada didepannya. Geng Nairles adalah musuh bebuyutan Blaster. Alvan udah banyak mengalah untuk saudara bawaan ayahnya. Mulai dari Nairles yang selama bertahun-tahun Alvan dirikan, dengan terpaksa dan rela nya Alvan berikan pada Erik yang selalu menjatuhkan harapannya. Hingga pacarnya pun Erik rebut.
Geng Blaster adalah geng yang Alvan dirikan bulan lalu. Masih baru dan begitu sedikit anggota. Anggota dulunya telah dimanipulasi Erik, akhirnya sekarang hanya ada sebelas orang bertahan.
"Minta pak Ahmad untuk atur jadwal latihannya. Minggu ini harus lebih padat. Minta pak Anto juga buat ngelatih. Persiapkan minggu ini, kita balas Erik." Ujar Alvan memberi tahu.
"Yaudah, gue langsung kerumah pak Ahmad setelah ini. Biar sekalian Kenzie kerumahnya pak Anto." Balas Arden yang akan beranjak pergi namun, langsung dihentikan Alvan.
Alvan pikir untuk saatnya memastikan perempuan bernama Ana itu anaknya pak Ahmad atau bukan. "Biar gue yang kerumahnya pak Ahmad. Lo langsung ke rumahnya pak Anto aja."
🍃🍃🍃
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Ada apa nak Alvan kemari malam-malam?" Tanya Ahmad
"Maaf, pak. Cuma mau waktu lebih untuk latihan." Jawab Alvan dengan melirik ke setiap sudut rumah Ahmad. Lebih tepatnya mencari keberadaan Ana.
Ahmad mengangguk, kemudian menoleh ke arah atas. "Na, buatkan kopi untuk Abah sama tamu Abah." Tuturnya sedikit lantang
"Iya, Bah." Balas Ana dari atas
Ana segera keluar dari kamar, turun ke bawah dan berjalan menuju dapur. Membuatkan dua kopi untuk Abah dan juga tamunya. Sedangkan Alvan, Alvan terkikik begitu mendengar kata 'tamu abah'. Sudah seperti tamu penting saja, padahal aslinya cuma mampir dan memastikan sesuatu.
Selang beberapa menit, Ana datang dengan membawa nampan berisikan dua gelas kopi dan satu piring makanan ringan. Alvan terus menatap Ana tanpa kedip. Sedangkan Ana, perempuan satu ini tidak pernah menatap lelaki manapun selain guru dan keluarganya. Dan hal itu membuat Alvan kagum akan perempuan yang begitu menjaga pandangannya.
Setelah kepergian Ana, membuat Alvan gagal fokus. Yang awalnya mau ambil camilan di piring malah masuk pada kopi yang masih panas.
"Sss! Panas." Keluh Alvan meniup jarinya
"Nak Alvan... nak Alvan." Balas Ahmad menggelengkan kepala penuh keheranan mendapati sikap Alvan
"Itu siapa, pak? Perasaan anak pak Ahmad masih kecil." Tanya Alvan menanti jawaban Ahmad.
"Itu putri pertama saya. Selama sepuluh tahun di pesantren dan baru kali ini pulang. Awalnya nggak mau pulang, tapi dipaksa ibunya supaya mau pulang. Baru pertama kali lihat ya?"
Sepuluh tahun di pesantren dan baru kali ini pulang ke rumah? Senyaman itukah pesantren sampai Ana nggak mau pulang kalau nggak dipaksa? Batin Alvan membayangkan seperti apa itu pesantren.
"Emang di pesantren itu ngapain aja, pak?" Tanya Alvan mulai kepo soal pesantren
"Mengaji."
"Sepuluh tahun cuma mengaji?"
"Iya. Tapi, sekarang masih mau mengabdi. Dulu, saya pindah ke sini waktu Ana kelas satu dan hanya punya teman nak Ulya, kamu nggak menemui karena kamu masuk sekolah lain dan jarak beberapa bulan Ana langsung Abah masukkan pesantren. Masuk pesantren udah dari kelas dua madrasah ibtidaiyah dan baru kemarin lulus madrasah Aliyah. Katanya nggak mau kuliah, maunya ngabdi disana saja." Balas Ahmad menceritakan
"Lah, terus kapan nikahnya?"
"Masih lama nak Alvan. Kenapa nanya langsung begitu?"
"Saya kan mau lamar putri pak Ahmad." Ceplos Alvan tanpa berpikir panjang
"Punya modal apa kamu nikahi putri saya? Perbaiki akhlak mu, lebih banyakin ilmumu. Karena, sudah ada banyak lelaki yang lebih sepertimu yang sudah datang melamar putri saya." Balas Ahmad
Sudah banyak yang melamar? Wahh, nggak bisa dibiarin! Pokoknya gue harus bisa. Batin Alvan.
Ana dan Ulya tengah makan di cafe yang tak jauh dari rumah. Mengobrol ria sembari menonton film di laptop yang Ulya bawa dari rumah.
"Sepuluh tahun di pesantren kamu dekat sama siapa aja, Na?" Tanya Ulya memulai percakapan
"Nggak ada. Di pesantren mana diperbolehkan dekat sama yang bukan muhrim, Ulya. Aku dekat ya cuma sama teman-teman perempuan." Jawab Ana jujur
"Masa sih? Hm, semalam aku lihat Alvan ke rumahmu. Dia ngapain?" Tanya Ulya sedikit kepo
"Siapa Alvan? Aku nggak tahu."
Ulya mengeluarkan ponsel dari tas, membuka galeri dan menunjukkan sebuah foto pada Ana. Terdapat sebelas cowok dengan posisi berbaris. "Lihat na, ini anak perjamasy. Keren kan? Udah ganteng-ganteng, jago beladiri, pelindungnya warga pula. Aduuh, apalagi yang ketuanya, damage nya itu lhoo." Ucapnya seolah juga sedang membayangkan.
"Istighfar, Ulya. Nggak boleh berlebihan, sekarang hapus foto itu." Tegur Ana. Ana nggak mau sahabat satu-satunya ini terjerumus zina karena persoalan cinta.
Sedangkan Ulya merasa kesal dengan Ana yang selalu menegurnya dalam persoalan suka atau bahkan cinta. Ulya langsung meninggalkan cafe dan membiarkan Ana sendirian di cafe.
Ana hanya menggeleng keheranan melihat tingkah laku sahabatnya yang paling tidak suka jika dikritik atau sekedar diperingatkan. Namun, hal itu tidak membuat Ana untuk ikut kesal dan membenci. Karena menurutnya, persahabatan tidak harus yang sefrekuensi. Harus ada yang menengahi, mengalah dan mendewasai.
Ana segera mengemas laptop dan barang-barang lainnya yang sengaja Ulya tinggal. Baru juga menutup laptop, tangan seseorang lebih dulu menyentuh laptop dan ikut mengemas barang yang ada di atas meja.
"Sendirian aja, gue bantuin ya?" Tanya Alvan dengan lembut dan ramahnya.
"Tidak perlu, saya bisa sendiri." Balas Ana dengan mengambil alih barang-barang yang ada di tangan Alvan.
Alvan pun membiarkan Ana mengemas barangnya, setelahnya akan Alvan ajak ngobrol berdua. Berbeda dengan Ana yang sama sekali tak mau menoleh atau bahkan menatap Alvan.
"Gue Alvan, siapa tahu mau kenalan." Ujar Alvan dengan mengulurkan tangannya, berharap Ana bakal mau berjabat tangan dengannya.
Namun, semua tak sesuai harapan Alvan. Ana pergi meninggalkan cafe. Tak mau menyerah begitu saja, Alvan berniat untuk mengikuti kemana perginya Ana. Alvan mengernyitkan dahi kebingungan begitu melihat Ana sedang berbicara di telepon dengan senyum keramahan. Siapa yang sedang berbicara dengan Ana? laki-laki atau perempuan? Mengobrol dengannya saja tidak pernah tapi, dengan senang dan ramahnya malah berbicara lewat telepon. Apa perlu Alvan telepon supaya bisa bicara?
"Ana." Panggil Alvan saat Ana akan masuk ke dalam supermarket
Ana berhenti, menoleh ke arah samping tanpa ada niat untuk membalikkan tubuh menghadap Alvan.
"Gue boleh minta nomor lo?" Tanya Alvan meminta izin supaya bisa mendapatkan nomor Ana
Dengan senang hati Ana mengeluarkan kartu nama dari dalam tasnya. Diletakkannya kartu nama itu di atas meja depan supermarket. setelahnya ia masuk ke dalam supermarket.
Sedangkan Alvan langsung ambil kartu nama yang Ana letakkan di atas meja. Tanpa babibu langsung mengetik nomornya dan juga menyimpannya.
🍃🍃🍃
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Alvan langsung menjauhkan ponselnya. Merasa kalau balasan salam darinya bukanlah suara Ana. Meskipun Alvan tidak pernah mengobrol dengan Ana, Alvan sudah tentu hafal nada bicara Ana.
"Ini bukan Ana ya?"
"Ini nak Alvan ya?"
Sadar akan siapa yang diteleponnya, Alvan langsung berubah menjadi se ramah mungkin.
"Hehe, maaf Bu. Alvan kira tadi ini nomornya Ana."
Panggilan terputus, yang seharusnya ia menghubungi Ana malah menghubungi ibunya Ana. Sepintar itu Ana menggunakan akalnya untuk tidak memberikan nomor teleponnya pada sembarangan orang.
Alvan dengan setia menunggu Ana keluar dari supermarket. Begitu Ana keluar, Ana langsung masuk ke dalam taxi. Buru-buru Alvan berlari menghampiri Ana.
"Ana, sekarang lo mau kemana?" Tanya Alvan
"Pulang." Jawab Ana yang langsung masuk ke dalam mobil taxi
Baru juga duduk, Ana langsung mendapat notif dari ibunya. Begitu dibacanya, Ana hanya tersenyum. "Oh, jadi dia yang namanya Alvan." Ucapnya
Berbeda dengan Alvan, lelaki itu juga langsung memesan taksi untuk mengikuti kemana perginya Ana. Entah kenapa alvan sangat ingin mengetahui apa yang dilakukan Ana. Kepoin Ana bagi Alvan adalah kegiatan yang lumayan seru. Menurut Alvan, setiap apa yang dilakukan Ana sulit untuk ditebak. Berasa jadi petualangan.
🍃🍃🍃
Kalau nggak karena masalah Erik, Alvan nggak akan melewatkan petualangannya untuk terus kepoin Ana.
"Ke mana aja lo? Gue berkali-kali telepon tapi nggak lo angkat. Lihat tuh! Anggota lo sekarat!" Ucapan Arden membuat Alvan spontan menoleh ke arah anggotanya yang kini sudah babak belur. Udah dipastikan kalau Erik dan anak buahnya yang ngeroyok anggotanya.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Alvan langsung memakai helm full facenya. Naik ke atas motor dan melajukan motornya menuju markas Nairles.
"Alvan bego!" Maki Arden yang setelah itu ikut menyusul Alvan, diikuti juga anggota yang lain.
Masuk ke dalam markas Nairles, Alvan menendang benda yang menghalangi jalannya. Amarah besarnya membuat Alvan ingin membunuh Erik, saudara tirinya yang nggak tahu diri.
Di hadapannya ada Erik dan mantannya yang tengah berciuman mesra. Membuat Alvan meludah karena merasa jijik dengan pemandangan buruk di depannya.
"Sayang, ada Alvan." Ujar cewek itu memberi tahu Erik.
"Biarin, sayang." Balas Erik kembali melumat bibir pacarnya di depan Alvan.
Alvan langsung menarik kerah baju Erik. Menonjoknya sekali namun membuat Erik langsung jatuh tersungkur. Sedangkan cewek bernama Lola yang berstatus mantan Alvan itu berjalan mendekati Alvan hendak menyosor tapi, dengan gerakan cepat Alvan langsung menghindar.
"Bahkan lo lebih murahan!"
"Alvan, mantan aku yang tampan ini belum pernah merasakan ciuman manis dari Lola." Ujar Lola kembali mendekati Alvan dan hendak menciumnya
Hal itu refleks membuat Alvan langsung menampar wajah Lola. "Gue nggak pernah punya pacar yang menjijikkan dan murahan kayak lo!"
Kembali pada Erik, Alvan kembali menonjok Erik hingga bertubi-tubi. Tak menyisakan celah untuk Erik membalas tonjokkan Alvan.
"ALVAN STOP!" Teriak Arden menghentikan tindakan Alvan yang hampir membuat anak orang mati di tempat.
"Kalau sampai Erik masuk rumah sakit atau bahkan mati, lo yang bakal ngerasain sakit lebih dari sakitnya Erik yang mencoba lo bunuh. Ingat keluarga lo Al! keluarga lo baik itu tergantung kelakuan lo!!" Sahut Kenzie mencoba menyadarkan Alvan
"Arrgghhh!!" Alvan mengusap wajahnya gusar. Merasa benci pada keadaan yang tak mau mengalah. Akhirnya Alvan memilih untuk pergi saja.
Melaju di atas rata-rata adalah pelampiasan moodnya. Merasa tak acuh akan teriakan orang di jalan. Namun, paras cantik Ana membuat keadaan Alvan membaik, secepat kilat Alvan menghampiri Ana yang tengah menyiram tanaman di halaman rumahnya.
"Ana." Panggil Alvan dengan menaik turunkan alisnya.
Ana tetap fokus pada aktivitas menyiram tanaman, merasa tak acuh akan kehadiran Alvan didepannya. Sedangkan Alvan beralih mengamati setiap gerak-gerik Ana saat menyiram bunga.
"Terlalu mahal banget ya?" Tanya Alvan
Masih tak ada balasan dari Ana. Bukannya merasa jengkel karena tak ada balasan, Alvan justru sabar dan memilih berpikir untuk gimana caranya supaya bisa mengobrol dengan Ana.
"Apa perlu dibeli dulu sama ak-" ucapan Alvan terpotong karena tiba-tiba Ana mengguyur Alvan dengan selang.
"Eh-eh. Maksud gue itu apa perlu gue nikahin dulu supaya lo mau ngobrol sama gue?" Tanya Alvan tanpa pikir panjang
Kenapa sih laki-laki suka ngomongin nikah kalau udah di ujung percakapan? Batin Ana sedikit kesal.
Alvan mulai berpikir untuk kesekian kalinya. "Abaikan aja ucapan tadi. Hm, lo sering banget telponan sama cowok ya?" Tanyanya berharap dibalas
"Tidak." Jawab Ana singkat, meski singkat tapi sudah membuat Alvan semangat empat lima
Alvan nampak berpikir. Pikirannya mulai random, yang penting punya topik pembicaraan. "Hm, galeri lo ada foto laki-laki nggak?" Tanya Alvan mulai random
"Ada."
Alvan terkejut. "sedikit atau banyak?"
"Banyak."
Alvan semakin terkejut. "Banyak karena apa? Suka?"
"Kagum."
Kagum? Wahh, nggak bisa dibiarin! Pokoknya cuma Alvan nantinya yang harus bersinggah di hati Ana.
Alvan mendapatkan tamparan keras dari Yono, ayah tirinya. Karena membuat Erik masuk rumah sakit akibat tinjuan brutal darinya. Sebenarnya Alvan tidak ingin melakukan itu pada Erik tetapi, dengan Erik yang selalu membuatnya emosi, akhirnya terpaksa melakukan itu.
"Bisakah kau tidak perlulah sedikit saja?!" Bentak Yono, ayah tiri Alvan dengan memukul kepala Alvan.
Herlin, ibunda Alvan datang menghampiri putranya dan segera membawanya keluar dari rumah, Herlin tidak sanggup lagi melihat putra kesayangannya dipukul Yono.
"Lebih baik kamu pulang ke apartemen saja, Al." Ujar Herlin meminta pada putranya
"Alvan nggak akan pernah biarin bunda ada di tangan lelaki bajinga* itu." Balas Alvan
"Nggak, sayang. Jangan pikirin bunda yang kotor ini, bahkan bunda lebih kotor karena bunda sudah berhubungan dengan lelaki yang sama sekali belum nikahi bunda." Ujar Herlin menangis dipelukan putranya
"Alvan janji sama bunda, Alvan akan lepaskan bunda dari Yono." Ujar Alvan tak mau menyebut Yono sebagai ayahnya
"Belajarlah agama lebih dalam ke orang tuanya nak Ulya. Cuma kamu satu-satunya anak yang bisa selamatkan bunda di akhirat nanti. Jadi lelaki yang Sholeh, jangan sampai masa depanmu seperti ayahmu yang seenaknya menjual istri pada lelaki bejat seperti Yono. Utamakan kebahagiaan keluargamu bukan kekayaanmu. Bunda sudah telat untuk bertobat, maka dari itu bunda hanya bisa mengharapkan kamu."
Alvan menghapus air mata bundanya yang terus mengalir. Merasa tak tega ketika melihat bundanya yang terus menyebut dirinya hina.
"Nggak, bunda. Kata Abah imam, nggak ada kata telat untuk orang yang mau bertobat. Ingat bunda, Allah itu maha pengampun. Jika bunda merasa teraniaya, ingatlah Allah. Allah selalu mendengar doa bunda." Balas Alvan kembali memeluk erat bundanya.
"Bunda bangga punya kamu. Kalaupun kamu nanti nikah sama nak Ulya, bunda udah tentu restuin hubungan kamu. Bunda akan senang jika kamu menikah dengan nak Ulya."
Alvan tersenyum getir menatap bundanya. Melihat bundanya senyum setulus ini, membuat Alvan tak tega jika harus mengatakan bahwa Alvan tak menyukai Ulya. Lebih tepatnya suka atau bahkan sudah jatuh cinta pada Ana di pandangan pertama.
"Maaf bunda, tetapi Alvan lebih suka pada Ana putrinya pak Ahmad." Balas Alvan memilih jujur.
Herlin terlihat sedikit kecewa tetapi tetap tersenyum. "Iya kah? Kamu menyukai anak kecil?"
Alvan tertawa mendengarnya. "Bukan Arsyila, bun. Namanya Ana, Alvan saja baru kenal kemarin. Karena katanya sepuluh tahun Ana di pesantren dan baru kali ini pulang ke rumah."
"Bunda percaya sama kamu. Siapapun pilihan kamu, bunda percaya bahwa pilihan kamu tidaklah salah."
"Masalahnya, suara Ana itu mahal banget, Ana juga nggak pernah lihat ketampanan Alvan. Harus ada perjuangan supaya bisa mengobrol meskipun cuma semenit." Keluhnya, Herlin merespon dengan senyum.
"Bahkan itu yang lebih berkualitas, perempuan pilihanmu itu sedang menjaga pandangannya. Itu artinya, perempuan bernama Ana itu tidak pernah tatap pandang pada lelaki yang ecek-ecek. Dia yang lebih memprioritaskan agamanya daripada seorang lelaki. Maksimalkan perjuanganmu, karena perempuan seperti dia susah untuk didapatkan."
Berjuang maksimal?!
🍃🍃🍃
Suasana pagi yang cerah memang enaknya beraktivitas di taman. Ana memilih untuk menyiram tanaman yang sudah lama sekali tak Ana siram. Adapun yang menyiramnya pasti Abah atau kalau tidak ibunya. Namun kali ini, Ana mau menanam bibit bunga baru setelah itu baru menyiramnya.
"Assalamualaikum, Ana cantik."
"Waalaikumsalam." Balas Ana yang masih fokus pada tanah dan potnya
Alvan masuk ke dalam pekarangan rumah Ana. Turun dari motor dan langsung berjalan menghampiri Ana yang masih sibuk menanam. Mengobrol dari luar itu tidak enak makanya Alvan masuk ke dalam.
"Lo pernah sama yang namanya pacaran nggak?" Tanya Alvan karena rasa keponya sudah melanda.
"Tidak."
"Hm, Karena lo nggak pernah pacaran, gimana kalau lo jadi pacar gue?" Tanya Alvan penuh harap kalau Ana bakal menerimanya.
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
Abah Ahmad yang dari tadi mendengar obrolan Alvan dengan putrinya merasa tidak sabar akan jawaban putrinya. Sudah dipastikan kalau Ahmad akan mendukung jawaban putrinya.
"Tahu kan hukumnya pacaran itu apa?" Tanya Ana tanpa menatap, setelahnya Ana langsung melenggang pergi untuk mencuci tangannya.
Abah Ahmad tersenyum, dihampirinya Alvan yang kini masih diam mematung. "Haram nak Alvan." Ujarnya dengan menepuk pundak Alvan
"Pak Ahmad izinkan saya memiliki putri pak Ahmad." Ujar Alvan meminta izin
"Jawabannya ada pada sholat sepertiga malammu. Sholatlah istikharah, minta petunjuk. Jika benar putri saya ada dalam mimpimu, datanglah kemari dengan orang tuamu." Balas Ahmad yang setelah itu kembali masuk ke dalam rumah
Sepertiga malam? Sholat istikharah? Jangankan sepertiga malam, sholat Subuh saja kadang Alvan lakukan jam enam pagi.
Berbeda dengan Ana yang kini akan menyiram hasil tanamannya. Mendengar kata istikharah, membuat Ana tersenyum. "Istikharah? Apa bisa mengharap Gus Abizar ya?" Gumamnya yang samar-samar didengar Alvan.
Lantas Alvan langsung mendekat. "Lo bilang apa tadi, na?"tanyanya nampak ingin tahu yang diucapkan Ana tadi.
"Tidak ada."
"Hm, gimana kalau kita pacarannya untuk saling menyemangati dan saling mendukung? Biar gue nanti makin semangat perjuangin lo." Ujar Alvan nampak sangat ingin berpacaran.
Ana membalikan tubuh menghadap Alvan. Tetapi, pandangan Ana hanya pada bahu Alvan. "Imam Syafi'i pernah berkata, segala sesuatu yang halal dan haram jika dicampur menjadi satu, hasilnya akan tetap menjadi haram." Ujarnya
"Maksudnya?" Tanya Alvan kebingungan
"Menjadi penyemangat untuk orang lain itu boleh, karena sebagai sesama manusia harus saling semangat menyemangati, dukung mendukung dan saling tolong menolong. Tapi, pacaran itulah yang menjadi haram." Jawab Ana menjelaskan
Alvan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal bersama dengan cengengesannya. Merasa sangat malu karena tidak tahu dalil-dalil seperti itu.
"Yaudah, langsung gas nikah yuk?!"
🍃🍃🍃
Ulya merasa sangat berlebihan pada Ana. Selama satu hari Ana tidak datang ke rumahnya untuk mengaji. Akhirnya Ulya memilih untuk rumah Ana, ia akan langsung meminta maaf pada Ana. Ini juga karena dirinya yang terlalu kekanak-kanakan dalam hal kecil yang mampu diperbaiki.
Namun, rasanya ulya ingin pulang lagi setelah melihat alvan dan Ana yang mengobrol berdua di taman saling berhadapan, tetapi hatinya ingin menghampiri Ana.
"Oke, Ulya. Hilangin rasa kekanak-kanakannya." Ujar Ulya pada diri sendiri
Berjalan menghampiri Ana, Ana langsung mundur beberapa langkah seolah membuat jarak antaranya dengan Alvan. Sedangkan Ulya langsung berdiri di tengah.
"Ana semalam nggak ngaji, ya?" Tanya Ulya
"Maaf, ya. Semalam Ana ketiduran." Balas Ana tak enak hati
Ana segera membereskan selang dan juga alat-alat lainnya, setelahnya mempersilahkan Ulya untuk masuk ke dalam rumah.
Ana langsung ajak Ulya untuk masuk ke dalam kamarnya, sedangkan Alvan berada di ruang tamu bersama Abah Ahmad. Di dalam kamar, Ana langsung duduk berhadapan dengan ulya.
"Maaf yang kemarin, ya. Bukan berarti kalau aku larang-larang kamu untuk mengagumi siapapun. Tetapi, aku nggak mau sahabat satu-satunya ini terjerumus zina karena persoalan cinta." Ujar Ana
"Makasih atas perhatiannya, na. Aku bersyukur punya sahabat yang sedewasa kamu." Balas Ulya dengan senyum manisnya. "Btw, tadi kamu ngomongin apa sama Alvan?" Tanyanya
Ana bingung untuk membalas, ia tidak ingin menceritakan yang sebenarnya apalagi dengan Ulya yang sepertinya sangat menyukai Alvan, Ana tidak mau membuat Ulya sakit hati.
"Alvan tanya tentang hukumnya pacaran itu apa. Tetapi setelah aku kasih tahu kalau pacar itu haram, dia langsung punya niat untuk langsung menikah." Balas Ana menjelaskan
Tercetak dengan jelas jika Ulya terlihat kecewa dan cemburu. Namun, berusaha ditahannya. Tetapi Ana dapat dengan mudah menyimpulkan ekspresi ulya.
"Alvan mau nikahi kamu ya, na?" Tanya Ulya
"Nggak. Aku kira dia nanya gitu karena mau seriusin kamu." Jawab Ana membuat ulya tersenyum
"Tap-"
"Kayaknya jalan-jalan keluar lebih seru deh. Tunggu apalagi, gass yuk."
"Gass lah!"
🍃🍃🍃
"Saya sudah berusaha untuk bangun pagi, tapi paginya jam lima." Ujar Alvan
"Usahakan lagi sampai kamu bisa bangun di sepertiga malam. Setelah kamu benar-benar mantap dan yakin, datanglah ke sini bersama kedua orang tuamu."
"Jadi, saya bakal diterima jadi menantu pak Ahmad setelah saya datang ke sini bersama orang tua saya?" Tanya Alvan terlihat semangat.
"Saya bisa menerima tetapi, putri saya juga berhak menolak."
Alvan diam. Memikirkan sesuatu tentang orang yang tua yang akan ikut melamar Ana. Namun, semuanya tidaklah mungkin untuk Alvan membawa kedua orang tuanya. Secara, ayahnya sudah pergi entah ke mana. Sedangkan bundanya seperti orang pingitan yang tidak diperbolehkan keluar dari rumah.
"Kenapa nak Alvan?" Tanya Ahmad ketika melihat Alvan yang bengong
"Pak Ahmad tahu sendiri kan orang tua saya sekarang keadaannya gimana?" Tanya Alvan balik
Ahmad mengangguk, paham akan apa yang dipertanyakan Alvan. "Setidak-" ucapnya terpotong karena Ana memanggilnya
"Bah, Ana pamit mau keluar, ya." Ujar anak dengan mencium punggung tangan Abah Ahmad. Disusul juga Ulya yang ikut mencium punggung tangan Abah Ahmad.
"Mau kemana?" Tanya Abah Ahmad
"Mau temenin Ulya nonton."
"Hati-hati, pulangnya jangan kesorean."
Biasanya orang tua kasih izin jangan pulang larut malam tetapi, Abah Ahmad memberi batas sampai sore. Masya Allah calon istrinya Alvan. Batin Alvan terkikik.
Melihat Ana dan Ulya sudah keluar dari rumah, Alvan bergegas pamit karena mau mengikuti ke mana perginya Ana.
Alvan segera menaiki motornya dan mengikuti mobil taksi di depannya. Tanpa disadari jika ada seseorang yang memperhatikan gerak-gerik Alvan.
"Oh, jadi sekarang dia lagi suka sama cewek alim. Sepertinya cewek itu cantik, secara semua mantan-mantan Alvan sangatlah cantik-cantik." Ujar seseorang itu dari balik helm full face nya
🍃🍃🍃
Seluruh anak Blaster diperintah Alvan untuk datang ke bioskop, lebih mengejutkannya lagi karena Alvan mau ajak seluruh anggotanya nonton film horor sesuai yang akan dilihat Ana dan Ulya.
"Kerasukan apa lo ajak kita semua nonton?" Tanya Kenzie merasa tak menyangka melihat ketuanya ajak semua anggotanya nonton, secara Alvan sendiri tidak suka nonton film.
"Berisik lo semua!"
Alvan berjalan mendahului untuk masuk dan duduk di kursi sesuai nomor tiketnya. Jaraknya dengan Ana tak lumayan jauh, hanya berjarak dua barisan dari Alvan dan teman-teman.
Film pun diputar. melihat tayangan awal saja Alvan bergedik ngeri apalagi nonton sampai habis. Sedangkan Alvan melihat Ana nampak biasa dan menikmati alurnya.
Baru beberapa menit nonton satu bioskop menjerit. Demi menjaga image-nya, Alvan memilih untuk tidak berteriak seperti yang lain. Namun, diam-diam Alvan mengamati Ana yang tidak mengeluarkan suara sama sekali. Ana terlihat tenang dan tidak takut.
"Eh, lu nggak takut apa, na?" Tanya Ulya yang suaranya dapat didengar Alvan. Akhirnya Alvan mendengar obrolan Ana dan Ulya.
"Takut kenapa?" Tanya Ana balik.
"Hantunya kan seram, na."
"Itu hanya pemain yang di make up ditambah suara lagu seram. Kalau asli hantu itu lebih seram dari itu." Jawab Ana menjelaskan.
"Lebih seram?" Ana mengangguk.
"Emang kamu pernah lihat hantu?" Tanyanya
"Sering. Lebih seram dan lumuran-"
DOR!!
DOR!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!