"Wa, emang kamu melihat hantu ya? Perasaan kamu pulang dulu deh, saya gak lihat apa-apa tuh?" tanya Bima ternyata ikutan konfirmasi pada Hawa. Sampai dibelain memanggil Hawa begini. Dipikir ada kerjaan urgent yang perlu tenaga Hawa eh malah pertanyaan konyol yang membuat Hawa menahan tawa.
"Emang di mana kamu melihat hantu?" perasaan Bima sebelum pulang, tak mendengar jeritan orang ketakutan. Ditambah lampu kantor juga menyala terang, urusan ke kamar mandi juga di pojok kantor tersedia kamar mandi, Hawa juga sholat dengan tenang kemarin. Lah, ini Bima sempat mendengar dua guru yang berjalan di depannya tadi, bicara soal Hawa bertemu hantu sehingga pembinaan diminta selesai.
Bima sejak dulu memang penakut bila berurusan dengan hal yang berbau horor, setelah mendengar ini pantang dirinya untuk lembur sampai malam. Mending dokumen dibawa pulang saja.
"Ehm, di mana ya Pak?" sedangkan Hawa sejak tadi ditanya tak kunjung menjawab, malah menutup bibir seperti menahan tawa. Mendadak Bima curiga.
"Tunggu, di kantor kemarin cuma kita berdua kan sampai malam?" sepertinya Bima sedang menyusun puzzle hantu yang dimaksud Hawa. Terlebih gadis itu mengangguk saja. "Apa yang kamu maksud saya hantunya?"
Percayalah, untuk kali ini Hawa tak bisa menahan tawa. Ia spontan ngakak seperti tertawa bersama Amelia. Tak jaga image di depan atasan. Puas rasanya mengerjai Bima, sehingga dia tersadar bahwa hantu yang dimaksud Hawa itu adalah Bima sendiri.
Jelas kesal, tapi Bima baru tahu ternyata mata Hawa saat tertawa cantik juga, membentuk eye smile begitu. "Ehem!" Bima tak mau terus terjerumus mengagumi gadis itu. Semua orang boleh tertarik sama Hawa tapi tidak untuk dirinya. Sampai kapan pun menganggap Hawa hanya gadis sok caper butuh validasi terutama pada pria.
"Ck, sialan kamu!"
"Maaf ya, Pak. Tapi beneran kok saya gak bakal cerita soal hantu itu. Hantu sama saya mah sudah jadi sohib!"
"Kamu bikin ritual buat jadi sohib merek?"
"Ya enggaklah, karena keseringan saya lembur mereka jadi menganggap saya sohib. Udah ah, saya balik kerja kalau gak ada bahasan lain."
Bukannya tak sopan, kalau berdua begini aneh saja Hawa harus hormat sama musuh bebuyutannya. Biarlah keduanya profesional saat di depan umum saja.
"Bentar, Wa. Emang mereka sering lembur? Aturan lembur dari papa bagaimana?" tanya Bima, kali ini serius dan tidak melibatkan perkara saat SMA dulu.
"Jam operasional memang jam 4 sore, Pak. Hanya saja yang sering lembur itu saya."
"Kenapa kamu sering lembur? Ada tambahan uang bila overtime begitu?" ini wawancara urusan kerja atau sekedar kepo saja. Bukannya Pak Mahesa cerita soal ritme kerja kepada Bima tentang penggajian dan jam kerja. Apa mungkin Pak Mahesa sengaja tidak terbuka pada Bima, sehingga Bima diminta menggali sendiri tentang yayasan yang ia handle.
"Bapak belum pernah dikasih tahu atau dijelaskan dengan Pak Mahesa?"
"Ck, kalau lagi berdua gak usah seformal itu kali, Wa. Berasa aku lebih tua aja dipanggil bapak!"
Hawa berdecak sebal, kalau Bima panggil wa we wo wi sih gak masalah, sedangkan Hawa kalau keceplosan panggil Bima, Bim doang bisa geger padepokan. Dikira tak sopan dengan pemilik yayasan. "Terus kamu mau dipanggil apa? Bima? Dih ogah lidahku muter nanti, keseleo panggil Bim doang, bisa dihujat seluruh yayasan."
"Ya udah terserah kamu, sekarang ceritakan ritme kerja di sini apalagi yang overtime begitu!"
Semenjak dia menjadi bagian tim pengembangan di sini, kebiasaan lembur serasa seperti turun temurun. Apalagi bagian tim pengembangan prestasi siswa. Sering sekali lembur baik yang jenjang SD, SMP, maupun SMA, hanya saja yang sangat sering adalah SMA dengan jenis lomba yang lebih beragam.
Aturan siswa saat mengikuti lomba tentu ada pembinaan khusus. Misal kalau lomba berjenjang seperti OSN, FLS2N, O2SN, maka jadwal pembinaan akan dilaksanakan setiap hari pada jam pelajaran ke 1 sampai jam ke 4. Jadi siswa yang sudah dipersiapkan untuk jenis lomba berjenjang itu memang keluar kelas utama menuju kelas pembinaan.
Sedangkan untuk lomba non berjenjang seperti lomba poster, puisi, dan sebagainya akan dibina sesuai kelonggaran bapak ibu pembina. "Maksudnya kelonggaran bapak ibu pembina?"
"Untuk menentukan pembina lomba itu berdasarkan pilihan saya, kemudian saya ACC kepada Pak Mahesa dan Kepala Sekolah, setelah itu saya mengajukan surat tugas pembina kepada kepala tata usaha. Nah setelah itu pembina janjia dengan siswa yang akan mengikuti lomba berdasarkan jam kosong pembina tersebut."
"Selama ini seperti itu?" Hawa mengangguk.
"Sistem yang salah!" sahut Bima tegas, dia yang pernah mengenyam Magister Manajemen Pendidikan jelas menyalahkan sistem yang berjalan di yayasan sang papa. Harusnya semua terpusat oleh tim, kalau yang berjenjang saja ada pembinaan khusus dan rutin, maka yang non berjuang juga harus ada pembinaan rutin yang terjadwal juga. Hal itu menunjukkan adanya sekolah ramah anak, bisa memfasilitasi bakat semua. Baik yang menggunakan otak kiri, maupun otak kanan.
"Tapi sulit, Pak. Kita berbenturan dengan jadwal pelajaran juga, wakil kepala kurikulum jelas mengutak atik jadwal sedangkan jadwal sudah di launching sejak awal tahun ajaran baru."
"Ya mungkin satu semester ini berjalan sesuai jadwal saja. Sistem ramah anak dan ramah guru serta tim baru dilaksanakan semester depan saja. Lagian kamu gak capek lembur hampir setiap hari?"
Hawa memicingkan mata, agak aneh dengan pernyataan akhir Bima, ini perhatian atau bagaimana?
"Kenapa?"
"Jangan bilang kamu mulai naksir aku, perhatian banget!"
Giliran Bima yang melongo dengan tebakan absurd Hawa, apa-apaan naksir. "Kepala kamu boleh aku tonyor gak, buat bersihin otak kotor kamu."
Hawa kembali tertawa ngakak, puas saja berhasil membuat Bima ngamuk, ya 1 sama kan sekarang. Enak saja kemarin menuduh Hawa cari muka, kena getahnya kan sekarang. Hawa keluar ruangan Bima masih dengan tawa ngakak. Beberapa orang langsung penasaran kenapa Hawa keluar dengan tawa.
"Kamu diapain?" tanya Pak Zul, bagian tim sarana prasarana, langsung menuju meja kerja Hawa.
"Menurut Pak Zul saya diapain?" balas Hawa masih dengan tawa renyah, semakin membuat orang di area kantor penasaran. Karena testimoni setelah pertemuan kemarin, mereka menganggap Pak Bima itu dingin, dan susah diajak bercanda, kaku juga dan yang paling membuat mereka kurang sreg adalah wajah angkuh tanpa ekspresi.
"Reuni ala anak muda lah, Pak. Masa' Pak Zul gak tahu, mereka kan bestie saat SMA!" Amelia sok tahu, sengaja membuat para senior tambah penasaran.
"Dih sok tahu, deh Bu Amelia ini!" balas Hawa, kemudian gadis baik hati ini memberi bocoran terkait program sekolah ramah anak, guru, dan tim yayasan yang akan dilaksanakan semester depan.
"Terus yang membuat kamu tertawa apa?" tanya Bu Diyah, senior Hawa di tim pengembangan bagian dana pengembangan. Hawa kincep.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments