Sungguh dirinya terkejut mendengar perkataan tajam nan kurang ajar yang dilontarkan remaja laki-laki mengenakan kemeja putih dan celana biru selutut. “Apa?!”
“Anto jaga ucapanmu! Macam tak disekolahkan saja kau ini!” Gadis bercelana berwarna pudar terdapat bercak putih seperti terkena pemutih baju itu menyentak lengan remaja tadi. “Minta maaf kau!”
Yang dipanggil Anto – mendengus, tapi dia menurut. Sepertinya sangat menghormati sosok si gadis. “Maaf!”
Astuti hanya bisa menghela napas panjang, netranya berkaca-kaca menatap sang putra yang menghentakkan kaki masuk ke dalam dapur.
“Maaf ya bu Bidan. Saya tinggal ke belakang dulu.” Dia mengangguk, memberikan sapu lidi kepada gadis remaja.
Laila cuma membalas dengan senyum tipis, jelas dia masih tersinggung dan terkejut. Suasana pun menjadi canggung.
“Bu Bidan, maafkan adikku ya. Mulutnya minta ditabok! Capek sudah aku dan Mamak menasehatinya, tapi tak jua kapok-kapok dia nya.” Ia menunduk dalam.
“Iya. Kau kakaknya si Anto?” kala mendapatkan anggukan pelan, kembali ia bertanya. “Berarti anak sulung bu Astuti dan juga pak Sopyan?”
“Iya Bu Bidan.” Tangan terdapat banyak bekas goresan luka itu terulur. “Namaku Mia.”
Laila menyambut baik uluran tangan itu. “Aku Laila. Panggil Kakak saja, jangan bu Bidan.”
Mia tersenyum tulus, menatap dengan manik sendu. “Kakak seperti Kak Juleha – tak sombong, tak pula gila hormat.”
‘Sepertinya gadis ini sangat dekat dengan bidan Juleha? Apa ku mulai dengan mendekati dan mengorek informasi darinya, ya?’
“Kau berteman baik ya dengan Bidan Juleha?” tanya Laila sembari melepaskan jabat tangan.
Gesture Mia seketika terlihat gelisah, wajahnya berubah siaga. “Tidak juga, Kak. Kami cuma sekedar saling sapa kalau pas bersisian.”
“Oh … senang berkenalan denganmu, Mia. Semoga kita bisa menjadi teman. Kalau boleh aku tahu – umurmu berapa?” Netranya melirik kaki gadis yang tak mengenakan sandal. Banyak bekas kudis, dan ada luka masih baru mengeluarkan darah belum kering.
Merasa diperhatikan, Mia menurunkan celana panjang yang digulung hingga lutut. “Jalan 16 tahun Kak.”
Laila tak lagi ingin menelisik lebih jauh fisik gadis yang sepertinya pemalu dan enggan akrab itu. Laila dapat merasakan ada sesuatu tersembunyi dibalik pakaian serba panjang dan longgar.
“Mia, kalau mau ke pasar naik apa ya?”
“Pasar?” Keningnya mengernyit. “Jalan maksud Kakak?”
“Bukan! Tempat para penjual alat dapur, warung sembako, dan kain, maksudku.”
“Oh – Pajak. Kalau disini kami menyebutnya pajak Kak. Jauh dari sini, sepertinya pun Kakak sudah terlambat bila ingin kesana. Sebab, kendaraan umum biasanya sudah berangkat pagi-pagi sekali.” Mia garuk-garuk punggung, ia merasa tidak nyaman.
“Namun, jika Kakak hendak berbelanja kebutuhan dapur – pergi saja ke warung kelontong Juragan Pramudya, disana lumayan lengkap Kak.”
“Di mana itu?” Tangan Laila sudah gatal ingin menaikkan baju kaos si Mia.
“Samping kantor kelurahan, depan Puskesmas Kak.”
“Kemarin sebelum kesini saya mendatangi kantor kelurahan, tapi kok tak melihatnya ya? Apa mungkin karena efek lapar, mata pun jadi buram.” Laila tertawa hambar, yang disambut senyum seadanya.
“Telor lagi telor lagi! Dasar istri tak berguna kau Asti! Bisanya cuma ngabisin duit!
Pyar!
Tubuh Laila terhenyak – dia kenal suara lantang tidak merdu itu. 'Aku tak menyangka kalau orang yang kemarin sangat ramah menyapa, ternyata bermulut jahat.'
“Sudah untung ada telor, Pak! Daripada makan batu. Bapak cuma pandai mengeluh, tapi tak pernah memberi uang belanja! Telor inipun dari duit Kak Mia. Dia bekerja tak kenal lelah demi dapur rumah bak neraka ini tetap mengepul!”
PLak!
“Sudah pandai kau membantah ya! Mau jadi anak durhaka, hah?!” Sopyan menampar pipi kanan putra bungsunya. Matanya melotot tajam.
Anto tidak terima. Dia sudah muak diperlakukan semena-mena. “Yang durhaka bukan aku, tapi Bapak! Tak memberi nafkah, enggan membiayai pendidikan kami sampai Kak Mia putus sekolah. Selalu mencaci maki Mamak, menuntut untuk dihormati padahal aslinya bejat. Senangnya nongkrong di warung kopi sambil tebar pesona menggunakan pakaian dinas. Kalau aku jadi Bapak, lebih memilih pakai rok daripada celana! Biar jelas betul pemalas nya!”
Sopyan meradang, dia menyambar gelas kaca hendak dilemparkan ke kepala Anto. “Kurang ajar kau!”
“Cukup, Bang!” Astuti menghadang, menghalangi dengan merentangkan kedua tangan. “Apa belum puas kau menyakitiku, sehingga melampiaskan jua ke darah dagingmu sendiri?”
“Dasar penyakitan! Awas kau!” Dia menarik tangan istrinya, tetapi mendengar jeritan diluar rumah membuatnya urung.
“Kak Ida! Bang Santo!” Mia memanggil sepasang suami istri yang mengendarai motor dimodifikasi memiliki gerobak. Sengaja berteriak untuk menghentikan pertengkaran kedua orang tuanya, makanan sehari-hari bagi keluarga berantakan mereka.
Laju motor pun berbelok memasuki halaman rumah pak RW.
“Ada apa, Mia?” tanya Ida, dia duduk di atas gerobak besi dilapisi papan halus.
“Bu Ida,” Laila mencoba menenangkan jantungnya yang bergemuruh, suara pertengkaran tadi sungguh menyayat hati.
Ida pun balas menyapa. “Semalam apa bu Bidan tak mendengar sesuatu dibelakang rumah?”
Laila menggeleng, mengatur ekspresi senatural mungkin. “Tidak, Bu. Memangnya ada apa?”
“Tak ada. Kemungkinan cuma Musang mengincar hewan ternak,” kali ini Santo yang menjawab tanpa menatap.
“Ini Kak Ida. Kak Laila mau ke warung kelontong Juragan. Kalau boleh, berilah dia tumpangan agar tak tersesat,” ucap Mia.
Ida langsung menyahut. “Ayo naik, Bu. Kebetulan hari ini saya yang menjaga warung.”
“Terima kasih, Bu Ida. Saya ambil dompet dulu!” Laila langsung berlari ke rumah, dia tidak melihat tatapan penuh arti antara Ida, dan juga Mia.
Setelah memastikan rumah aman, terkunci rapat. Laila naik dan duduk bersama Ida di atas gerobak.
.
.
Motor melaju dengan kecepatan sedang, tak bisa balapan dikarenakan medan jalan berbatu, berbukit.
Sepanjang jalan menuju warung sembako – Laila mencoba mengakrabkan diri, bertanya di zona aman kepada Ida. Sekali-kali netranya melirik Santo, menatap sedikit lama pada bekas luka yang jelas diakibatkan benda tajam, seperti luka bacok lumayan dalam sehingga menimbulkan keloid.
“Nah itu rumahnya pak lurah Karsa!” Ida menunjuk bangunan rumah panggung besar, terlihat mewah dengan halaman luas tidak berpagar.
“Sepertinya Beliau orang kaya ya, Kak?” dia memutuskan memanggil kakak, sebab Ida lebih tua satu tahun, dan dirinya memaksa agar dipanggil nama saja.
“Benar sekali, Laila. Lurah Karsa memiliki puluhan hektar kebun karet, dan juga percetakan batu bata. Mia bekerja di sana, mencetak batu bata.” Kembali di menunjuk bangunan yang cuma ditutupi terpal biru, tak jauh dari situ terlihat api membakar susunan tanah lempung.
Tiba-tiba jantung Laila berdebar tidak menentu, matanya memandang lekat pada bangunan yang hanya terlihat atap seng nya saja.
Jimat besi yang ia kenakan terasa seperti bongkahan es batu. Rasa dingin merambat hingga ke ulu hati, sekelebat bayangan merasuki pikiran – mencoba menguasai hingga sepersekian detik Laila kesulitan bernapas.
“Itu hunian siapa, Kak?”
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
🍒⃞⃟🦅Amara☆⃝𝗧ꋬꋊ
hayoo hunian siapa dan ada apa dengan itu, mengapa jimat bereaksi demikian, ada sesuatu yang membuat bulu muda berdiri ini.
2025-08-13
3
nara 🇮🇩 🇹🇼
kayaknya para korban yg minta tolong itu tumbalnya pak lurah 🤣🤣🤣
2025-08-13
1
isya🌀
Penuh teka teki ini mia dan ida. Smg saja mia tidak ada sangkut pautnya dgn orang2 korban paku dikepala. Kasian, baca ttg fisiknya mia saja serasa melihat langsung kak😢
2025-08-13
0