Hania menyandarkan diri ke dinding balkon, ekspresinya mencampur antara sebal, ragu, dan... tertantang.
“Gala dinner? Pakai dress panjang dan heels tiga belas senti itu?” tanyanya sinis. “Maaf ya, saya bukan Barbie.”
William tak menjawab langsung. Ia berdiri dari sofa, menatap Hania lurus-lurus, matanya tajam tapi tenang.
“Aku tahu kamu bukan Barbie,” katanya sambil meletakkan kemeja yang tadi dilepas ke sandaran sofa.
“Kamu bisa lebih dari itu. Kalau mau.”
Hania menatapnya lama, seperti mencoba menerka maksud di balik kalimat itu.
“Apaan sih maksud kamu ngomong gitu?”
William mengangkat bahu, lalu berjalan pelan ke arah kulkas dan mengambil sebotol air.
“Cuma bilang apa yang aku lihat. Kamu pintar. Keras kepala. Keras kepala banget malah. Tapi kamu juga... berani.”
“Berani?” Hania mengangkat alis. “Berani ikut kontrak gila kamu maksudnya?”
William meneguk air tanpa menjawab. Lalu dengan nada ringan, ia berkata, “Besok malam. Jam tujuh. Gaun udah dikirim ke kamar. Ukurannya harusnya pas. Tapi kalau sempit... ya, diet dadakan mungkin bisa nolong.”
“Will!” Hania melempar bantal kecil ke arahnya. Tapi William menangkis dengan mudah, tertawa kecil.
“Aku serius. Aku butuh kamu di sana. Bukan sebagai figuran. Tapi partner.”
“Aku bukan partner kamu.”
“Kamu istriku.”
Hening. Lagi.
Dan kali ini, tidak ada nada bercanda di antara mereka.
William menatap Hania tanpa berkedip, dan Hania... menunduk sebentar, seperti kalah untuk sepersekian detik dari tatapan itu.
“Kalau aku datang... aku nggak akan diem-diem aja kayak boneka di sebelah kamu,” gumamnya akhirnya.
William menyeringai. “Justru itu yang aku harapkan.”
Hania menatapnya heran. “Serius?”
“Kalau semua orang diem, dunia bakal ngebosenin banget.”
William mendekat, berdiri hanya beberapa langkah dari Hania yang masih bersandar di kusen pintu balkon.
“Dan kamu, Han... kamu nggak pernah ngebosenin.”
Hania membuang muka. “Kamu cuma ngomong gitu biar aku setuju ikut.”
William tertawa pendek. “Nggak. Aku ngomong gitu karena itu fakta.”
Mata mereka bertemu lagi. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Hania tidak buru-buru mengalihkan pandangan.
Lalu, tiba-tiba...
KRUK
Suara perut Hania terdengar pelan tapi cukup jelas di tengah keheningan itu.
Hania langsung menunduk malu.
“Ya ampun. Memalukan.”
William malah tertawa keras. “Gala dinner besok. Tapi perutnya udah konser dari sekarang.”
“Jangan rese!” Hania memukul lengannya ringan.
William berjalan ke dapur, membuka lemari atas.
“Aku beli frozen dumpling. Mau?”
“Frozen?” Hania melotot. “Ya ampun, kamu kaya raya tapi makan frozen food?”
“Bisa kaya karena hemat,” jawab William santai. “Tapi kalau kamu pengen makanan beneran... ya duduk, aku masakin.”
Hania menyipitkan mata, skeptis.
“Kamu bisa masak?”
William hanya menatapnya sekilas.
“Tunggu lima belas menit.”
Hania tetap berdiri di balkon dengan ekspresi skeptis—sampai bau harum tumisan mulai menyebar ke seluruh ruangan.
Di area dapur ....
Dua mangkuk mie goreng buatan tangan sendiri—dengan potongan dumpling di atasnya—tersaji di meja makan kecil.
Hania duduk, memegang sumpit dengan tatapan curiga.
“Kalau aku keracunan makanan, aku tuntut kamu.”
William menyesap tehnya, santai. “Kontrak nikah kita udah termasuk klausul tidak menuntut soal makanan.”
Hania mencicipi satu suapan. Matanya langsung membesar.
“...Kamu serius masak sendiri?”
“Dari kecil. Mama sering kerja malam.”
Hania terdiam. Tangannya berhenti mengaduk.
William melirik ke arahnya.
“Han?”
Hania menelan makanannya pelan. “Kamu kayaknya tahu banyak tentang aku. Tapi aku bahkan nggak tahu kamu bisa masak.”
“Aku juga nggak tahu kamu suka teh melati, sampai liat kamu bolak-balik nyeduh itu tiap sore.”
Hening lagi. Tapi kali ini... nyaman.
Mereka makan dalam diam beberapa menit. Lalu Hania berdehem.
“Gaunnya... warnanya apa?”
William menyendok mie lagi sebelum menjawab.
“Emerald green.”
Hania mengerutkan dahi. “Kenapa nggak merah, biar kayak cewek-cewek drama?”
William menatapnya serius.
“Karena merah bikin kamu kelihatan marah. Hijau bikin kamu kelihatan... tenang.”
Hania mendesah panjang, mencoba menahan senyum kecil yang nyaris lolos.
“Dasar pria aneh,” gumamnya.
___
Piring sudah kosong. Cangkir teh juga tinggal ampas. Hanya suara jam dinding dan desahan angin malam dari balkon yang menemani keheningan mereka.
Hania menyandarkan punggung ke sandaran kursi, mengusap perutnya yang kenyang.
“Gawat,” gumamnya pelan.
William menoleh, menaikkan alis. “Kenapa?”
“Ini enak banget. Kalau tiap malam kamu masakin gini, berat badanku bisa naik lima kilo dalam seminggu.”
William tersenyum kecil, lalu berdiri sambil mulai merapikan piring.
“Kalau naik lima kilo, tinggal beli gaun baru.”
Hania memutar bola mata. “Terserah kamu deh.”
Mereka mulai membereskan meja bersama. Gerakan mereka tidak sinkron, tapi ada semacam irama diam-diam yang mengalir.
Seperti dua orang yang mulai belajar bagaimana menjadi satu ruangan bersama... tanpa saling mengganggu.
Setelah piring ditumpuk dan wastafel dinyalakan, Hania bersandar di meja dapur, memeluk diri karena hawa mulai dingin.
“Will,” gumamnya tiba-tiba. Suaranya pelan, agak ragu.
William menoleh sambil menyabuni piring.
“Ya?”
“Aku beneran harus datang ya... ke gala itu?”
William diam sebentar. Ia membilas piring terakhir sebelum menjawab, tanpa menoleh.
“Kenapa nanya gitu?”
Hania menatap lantai, lalu ke arah jendela, lalu kembali menatap William.
“Karena... ya kamu tahu. Aku cuma... karyawan kamu. Sekarang tiba-tiba menjadi istri kamu. semua orang di gala itu pasti kolega penting, orang-orang kaya yang... ya, kamu ngerti lah.”
William mematikan keran, mengeringkan tangan, lalu bersandar di samping wastafel.
Matanya menatap Hania penuh perhatian, bukan penilaian.
“Aku nggak peduli kamu dulunya karyyawan, Han. Di mata mereka... kamu istriku. Titik.”
“Tapi kamu nggak takut... dipertanyakan? Diomongin?”
William mengangkat satu alis. “Kamu pikir selama ini aku hidup berdasarkan omongan orang?”
Hania mendengus, tapi pelan. “Kamu tahu maksudku.”
William berjalan mendekat, menatapnya lurus.
“Kalau ada yang nanya, aku tinggal jawab: aku menikah dengan perempuan yang... bikin hidupku jadi lebih waras.”
Hania mengerutkan dahi. “W-waras?”
“Ya. Kamu ribut, keras kepala, blak-blakan, tapi... kamu nyata. Nggak kayak topeng-topeng yang biasa nongol di acara gala itu.”
Mata Hania melembut. Tapi ia cepat-cepat menyembunyikannya dengan cengiran tipis.
“Wah... barusan kalimat paling romantis dari kamu sejak kontrak dimulai.”
William tersenyum miring. “Aku belajar dari dramamu.”
“Cih, dasar.”
Mereka saling menatap beberapa detik, lalu tanpa aba-aba, keduanya tampak menyembunyikan rasa salting dengan menguap bersamaan.
“Kayaknya efek mie goreng kamu,” gumam Hania sambil mengusap mata. Hania mencoba untuk melakukan apapun sehingga tidak keliatan kalau dirinya gugup.
William mengangguk pelan. “Kenyang bikin ngantuk.” William pun melakukan hal yang sama. Namun, Will tidak mau terus berada di situasi yang canggung ini.
Ia berjalan ke arah sofa, mengambil sisa kemejanya yang tadi ditaruh di sandaran, lalu menuju kamar. Hania masih berdiri di dapur, tampak bimbang.
Tapi kemudian, langkah William terhenti di ambang pintu.
Ia menoleh, nada suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.
“Han.”
Hania menoleh. “Hm?”
“Pakai gaunnya besok. Aku bakal nunggu kamu di bawah, jam tujuh.”
“Kalau aku nggak muncul?”
William mengangkat bahu.
“Aku paksa muncul."
Lalu ia masuk ke kamar, pintu tertutup pelan.
"Astaga, orang ini." Hania tersenyum. Dia merasa kalau hatinya sudah baik-baik saja. Cuma masih ada yang mengganjal.
Haruskah aku pergi bersama Will?
---
Di Kamar Hania ....
Hania berbaring, menatap langit-langit kamar dengan mata terbuka lebar. Piyama dusty pink-nya kini terlihat sedikit kusut, tapi tetap nyaman.
Di sampingnya, sisi kiri ranjang kosong. Rapi.
Dia mendesah panjang.
“Oke. Dia nggak malu bawa aku. Tapi kenapa aku yang malah ngerasa malu?”
Tangannya meraih ponsel, membuka galeri, lalu menatap fotonya dan William di foto pernikahan itu lagi—yang sama seperti di bingkai besar di ruang tamu.
Lama ia menatap.
“Pasangan raja dan ratu, huh?”
Lalu ia membuka pesan teks baru. Jemarinya mengetik cepat.
To: Will
> Kalau aku datang besok, kamu traktir aku pancake. Deal?
Belum lima detik, balasan masuk.
From: Will
> Tiga pancake, asal kamu nggak kabur di tengah acara.
Hania tersenyum kecil.
Ia mematikan ponsel, meletakkannya di meja samping, lalu menutup mata.
Mungkin... gala dinner itu tidak akan seburuk itu.
___
Di dalam kamar William ...
Will masih duduk di pinggiran ranjang. Will tersenyum." Hehe, akhirnya dia mau ikut .... Hm, pasti dia cantik banget deh pakai warna hijau," ucapnya seketika.
Eh ya ampun, apa aku baru aja memuji Han? Ada apa denganku?
***
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Eva Karmita
Tom and Jerry ini namanya lanjut thoooorr 🔥💪🥰
2025-08-14
1