Bab 2

William hanya menatap ibunya tanpa emosi. Bukan karena tidak peduli—tapi karena sudah terlalu terbiasa menghadapi dramanya sejak kecil.

Kali ini, dia memilih tidak membalas. Tanpa sepatah kata, pria itu bangkit dari kursinya dan menggenggam tangan Hania.

Hania terkejut. "Eh, kamu mau ke mana? Kita belum—"

“Ayo,” potong William datar, suaranya tak bisa dibantah.

Tanpa menunggu persetujuan siapa pun di meja, ia menarik Hania keluar dari ruang makan, meninggalkan Weni dan Bu Ragna yang masih menyala-nyala dengan emosi.

Weni mengetukkan sendok ke meja. “Bener-bener keterlaluan, Kak William tuh!”

“Diamlah, Weni,” potong Bu Ragna datar, matanya tajam mengikuti kepergian anak sulungnya.

"Ibu punya rencana lain agar Will menceraikan Hania secepat mungkin lalu menikahkan Will dengan gadis terhormat yang sudah ibu tentukan!"

"Apa bisa semudah itu Bu? Kak Zahra sudah merasa dipermalukan?"

"Zahra tidak peduli itu, kita perlu melakukan pernikahan ini agar perusahaan ayahmu bisa lebih berkembang. Kamu paham sekarang?"

___

Restoran Pinggir Kota – Pagi Hari

Sebuah restoran semi-outdoor dengan aroma kopi dan croissant yang menguar lembut.

Hania duduk dengan wajah ditekuk, masih memakai baju rumah yang dibalut jaket milik William. Di depannya, William sudah sibuk menyendok sarapan ke mulut seolah tidak ada yang terjadi.

"Ini tempat sarapanmu? Serius?" tanya Hania tak percaya, mengerutkan kening melihat suasana yang santai dan jauh dari kesan megah layaknya keluarga konglomerat.

“Kenapa? Tempat ini tenang. Nggak ada Ibu, nggak ada Weni. Dan yang paling penting,” William menatapnya sebentar, lalu mengangkat cangkir kopinya, “...ada roti keju favoritku.”

Hania menghela napas. "Kamu benar-benar aneh, Pak."

William hanya mengangkat bahu. “Aku cuma suka hal yang sederhana. Nggak suka basa-basi. Termasuk soal menikah.”

Hania mencibir. “Sederhana katanya, tapi nikahin aku pakai kontrak. Satu tahun? Kalau itu bukan manipulasi, aku nggak tahu lagi namanya apa.”

William tersenyum. Senyum itu lagi. Datar tapi dalam. Menyebalkan tapi penuh rahasia.

“Karena kamu juga nggak cinta sama aku. Kalau kamu cinta, kamu nggak akan keberatan kontraknya seumur hidup.”

Hania terdiam. Entah kenapa, kalimat itu menghujam sedikit lebih dalam dari yang ia harapkan. Ia memalingkan wajah, menatap taman kecil di pinggir restoran. Seolah lebih mudah berbicara pada bunga daripada pada pria di depannya.

“Lalu kenapa kamu bersikeras nikahin aku, Will?” tanyanya pelan. “Kalau kamu tahu aku benci kamu, kenapa kamu tetap paksakan semua ini?”

William meletakkan cangkirnya, menatapnya dalam.

“Karena hanya kamu yang berani melawanku. Semua orang takut, tunduk, atau... menjilat. Tapi kamu? Bahkan setelah aku jadi suamimu, kamu masih berani memakiku. Keren sih," ucapnya cuek.

"Dasar aneh! Padahal sangat jelas kalau bapak pengen aku menjaga sikap saat berada di meja makan. Coba lihat, siapa yang kurang ajar sekarang?"

"Aku harus sarapan, jangan berisik. Setelah ini temani aku bertemu dengan klien."

"Ogah!"

"Kamu harus menemaniku meski kamu tidak suka."

Nada suaranya tajam. Tak ada lagi kesan malas seperti saat sarapan tadi. Hania langsung menangkap perubahan aura itu.

“Aku bilang ogah, kan?! Kamu pikir aku ini apa? Boneka yang bisa kamu bawa ke mana aja sesukamu?”

William masih berdiri, mendekat lebih dekat, hingga hanya beberapa inci jaraknya dari wajah Hania. Tangannya bertumpu di meja, membentuk bayangan di wajah gadis itu.

“Kalau kamu tidak ikut,” katanya pelan, hampir seperti bisikan, “Aku bisa saja mengatur jadwal ulang operasi tahap dua ibumu. Mungkin minggu depan. Mungkin bulan depan. Siapa tahu ada ruang ICU yang penuh. Atau… mungkin aku tarik donasi yayasan yang menanggung biaya operasinya.”

Mata Hania membelalak. Napasnya tercekat.

“Kamu…” suaranya bergetar, jemarinya mengepal di pangkuan. “Kamu nggak punya hati!”

William hanya menatap balik, tenang.

“Aku memang tidak punya hati untuk orang yang menolak jadi bagian dari hidupku dengan baik-baik. Kamu bisa tetap benci aku, silakan. Tapi selama kita dalam pernikahan kontrak ini, kamu harus ikut main sesuai aturanku. Jangan bikin aku ulangi ancaman yang sama, Han. Ini bukan lelucon.”

Tubuh Hania menegang. Ia ingin membantah, ingin berdiri dan pergi. Tapi kata-kata William soal ibunya seperti belenggu tak kasat mata yang menariknya kembali ke dalam penjara takdirnya.

Dengan berat hati, ia bangkit dari kursinya.

“Baik. Aku ikut. Tapi satu hal, Pak William...”

Ia menatap pria itu tajam.

“Semakin kamu paksa aku dengan cara kotor begini, semakin aku tidak akan pernah melihatmu sebagai suami. Bahkan manusia pun bukan.”

William hanya tersenyum tipis. Lagi-lagi, senyum itu.

“Aku tidak butuh cintamu hari ini, Han. Tapi ingat, waktu satu tahun cukup panjang untuk segalanya berubah. Termasuk cara kamu memandangku.”

Tanpa menjawab, Hania meraih tas kecil miliknya dan keluar dari restoran lebih dulu. Langkahnya cepat, penuh emosi yang ditahan. William menyusul, dengan wajah datar seolah tidak baru saja memaksa istrinya dengan cara paling licik yang pernah ada.

___

Mobil William – Dalam Perjalanan

Di dalam mobil yang melaju mulus, tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir keduanya. Hanya suara AC dan dentingan jam digital yang terdengar.

Hania bersandar di jendela, memejamkan mata. Tapi bukan untuk tidur, melainkan untuk menahan air mata. Matanya basah, tapi tidak jatuh. Ia tidak ingin William melihatnya rapuh.

William, yang duduk di kursi kemudi, sempat melirik ke arah Hania. Hanya sebentar. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi dalam dadanya, ada sesuatu yang bergerak. Entah apa itu.

Namun sayangnya, egonya masih lebih besar dari rasa yang belum ia mengerti.

___

Hotel Mewah di Tengah Kota – Pagi Hari

Mobil William berhenti tepat di depan sebuah hotel bintang lima dengan arsitektur modern dan elegan. Para porter menyambut dengan sigap saat William menyerahkan kunci mobil pada valet. Hania turun dengan langkah berat, masih memakai baju sederhana berbalut jaket William—tampilan yang jelas kontras dengan kemewahan di sekitarnya.

Matanya menyapu lobi hotel yang luas dan dipenuhi dengan orang-orang berpenampilan glamor. Ia merasa asing. Seperti orang yang salah tempat.

“Jalan, Han,” ucap William singkat, tanpa menoleh.

Hania menghela napas dan mengikuti. Mereka masuk ke dalam lift kaca yang langsung mengarah ke lantai 35—ruang eksekutif meeting.

Di dalam lift, Hania berdiri di pojok, menjaga jarak. William di sisi lain, menatap ke luar jendela. Tidak ada percakapan. Tidak ada sapaan. Yang ada hanya ketegangan tak kasat mata.

___

Lantai 35 – Ruang Pertemuan VIP

Pintu ruang pertemuan terbuka otomatis. Di dalam, aroma kopi mahal bercampur dengan bau kulit dari sofa-sofa mewah. Meja bundar besar sudah tertata rapi, lengkap dengan projector dan dokumen di atasnya. Di salah satu sisi ruangan, seorang pria berjas abu-abu berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku celana.

Begitu William masuk, pria itu menoleh dan tersenyum lebar.

“William, lama nggak ketemu! You’re always on time, huh?” ucapnya sambil melangkah maju untuk berjabat tangan.

William menyambut dengan formal. “Andra. Sama seperti biasanya, ya—selalu lebih awal.”

Hania yang baru masuk belakangan, sempat terhenti begitu melihat wajah pria itu.

Deg.

“Andra...?” gumamnya lirih.

Pria itu langsung menoleh padanya, dan matanya membesar.

“Hania... Astaga. Kamu?”

Tatapan keduanya terkunci dalam diam. Sejenak ruangan menjadi sunyi, seolah waktu berhenti berdetak.

William memperhatikan reaksi itu dengan alis sedikit mengernyit. “Kalian saling kenal?”

Andra terkekeh pelan, masih menatap Hania. “Bisa dibilang... ya. Kami pernah dekat. Dulu, di kampus.”

“‘Dekat’?” ulang William pelan. Tapi nada suaranya berubah.

Hania langsung menegakkan tubuh. “Kami cuma teman satu kelompok tugas. Itu aja.”

Andra mengangguk, meski senyum samar masih tersisa di wajahnya. “Ya, mungkin kamu lupa, Han. Tapi aku masih ingat siapa yang suka ninggalin file tugas di loker perpustakaan.”

William berjalan ke arah meja, menarik kursinya. Matanya tak lepas dari Andra.

“Silakan duduk. Kita mulai pembahasan.”

Hania mengangguk pelan dan duduk di samping William. Tapi aura di ruangan berubah. William menjadi lebih diam dari biasanya. Sorot matanya tajam, dan sikapnya mendadak jauh lebih dingin, terutama setiap kali Andra melempar senyum ke arah Hania.

Pertemuan Bisnis Dimulai...

Andra mempresentasikan proyek kolaborasi properti digital yang melibatkan pihak luar negeri. Tapi setiap beberapa menit, matanya masih sering mencuri pandang ke arah Hania.

“Maaf, Han... maksudku, Bu Hania... kamu sekarang kerja di perusahaan Will?”

Hania tersenyum tipis. “Sekarang aku... istrinya.”

Andra terdiam. Satu alisnya terangkat.

“Istri?” Dia menatap William sejenak. “Wah. Aku nggak tahu kalian...”

“Baru saja,” potong William cepat. Suaranya berat dan kaku. “Dan dia tidak bekerja di perusahaanku lagi. Sekarang, dia hanya mendampingi sebagai istri. Paham, kan?”

Andra mengangguk, meski sorot matanya tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut. Ia tersenyum miris. “Ya, paham. Selamat, Han. Meski agak sulit dipercaya, kamu menikah dengan... William.”

Hania menunduk, tidak ingin memperpanjang topik.

Namun, William memotong suasana canggung itu dengan satu kalimat dingin:

“Kalau kamu sudah selesai dengan presentasinya, kamu bisa kirim detail kontrak ke legal kami. Hania dan aku harus pergi.”

Andra mengangguk sopan. Tapi sebelum mereka pergi, ia menahan langkah Hania.

“Hania... boleh kita bicara berdua nanti? Hanya sebentar.”

William menatap Andra tajam. Sangat tajam. Tapi Hania sudah menjawab lebih dulu.

“Maaf, aku rasa tidak perlu.”

“Baiklah.” Andra mengangguk kecewa.

“Semoga kamu bahagia, Han.”

William meraih tangan Hania dan menariknya pergi, tanpa sepatah kata pun. Tapi genggamannya lebih kuat dari biasanya. Dan Hania bisa merasakan, ada sesuatu yang berubah di dalam diri suaminya.

__

Di Dalam Lift – Menuju Parkiran

Hania diam. Dia bodo amat meski harus tak bersuara selama beberapa menit di dalam lift.

Sampai dimana suara William terdengar cukup menyebalkan.

“Dia mantan kamu?”

***

Bersambung ...

Terpopuler

Comments

Eva Karmita

Eva Karmita

lanjut thoooorr 🔥💪🥰

2025-08-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!