William melepas jasnya dan melemparkannya santai ke sandaran sofa.
Ia melirik sekilas ke arah bingkai besar yang dimaksud Hania—potret mereka berdua dalam balutan busana pengantin, berdiri tegak seperti pasangan raja dan ratu.
Elegan.
Megah.
Tapi jelas-jelas... terlalu dramatis untuk ukuran pernikahan kontrak.
“Will,” ulang Hania, masih berdiri di depan bingkai itu sambil memelototi wajahnya sendiri. “Kenapa fotonya yang ini sih? Yang mukaku ketarik kaya lagi nyium lemon?”
William berjalan santai ke dapur, membuka kulkas, dan mengambil dua botol air mineral dingin.
Ia melempar salah satunya ke arah Hania—yang otomatis menangkap tanpa mengalihkan pandangan dari bingkai.
“Karena itu satu-satunya foto yang kamu nggak kabur dari aku,” jawab William santai sambil meneguk air.
Hania mendengus. “Masalahnya, ekspresiku kayak lagi menyesal seumur hidup.”
“Tepat. Sangat representatif.”
William melempar senyuman puas lalu duduk di sofa, menyalakan TV layar datar super tipis yang hampir tak terlihat di dinding. Volume dikecilkan. Sementara itu, Hania masih berdiri di depan foto, lalu memutar tubuhnya menghadap William dengan ekspresi tak percaya.
“Kamu tahu nggak? Orang lain pasang foto bunga. Atau lukisan abstrak. Kamu malah cetak besar-besar wajah kita kayak... kayak poster film drama Korea gagal produksi.”
William mengangkat bahu. “Poster gagal, tapi tetap dicetak dalam ukuran mahal. Jadi tetap estetis.”
“Estetis apanya?! Ini... ini... nyebelin!”
“Terserah,” jawab William ringan, bersandar santai di sofa. “Aku nggak pasang itu buat kamu suka. Jadi... ya sah-sah aja kalau aku pasang foto istri di rumah.”
“Aku bukan istrimu. Maksudku—secara... perasaan.”
William melirik Hania, matanya tajam tapi tidak marah.
“Kontrak, Han. Bukan berarti peranku cuma dekorasi. Kalau aku bersikap seolah kamu milikku, itu karena kamu memang secara hukum milikku sekarang. Kamu yang setuju waktu tandatangan.”
Hania menggigit bibir, merasa argumennya sedikit goyah.
“Tapi tetap saja, kamu nggak harus... nunjukin ke semua orang seolah kita ini... real.”
William berdiri perlahan, berjalan mendekat. Ia berhenti tepat di depan bingkai itu, memandangi fotonya sendiri dengan tatapan kosong.
“Aku nggak nunjukin ke semua orang, Han,” katanya pelan.
“Aku pasang di sini. Di tempat yang cuma bisa dimasukin sama aku dan kamu. Jadi, kalau kamu ngerasa ini buat pamer... mungkin kamu yang terlalu peduli soal apa kata orang.”
Hening.
Lama.
Lalu William berbalik, meninggalkan Hania sendirian di depan bingkai foto.
Ia berjalan ke kamar utama, mengambil handuk, dan melempar satu tas belanja kecil ke sofa.
“By the way, pesanan yang kamu tanya tadi... itu,” katanya tanpa menoleh.
Hania menoleh ke arah tas kecil bermerek netral itu, lalu membukanya pelan. Isinya... sebuah piyama satin hangat, berwarna dusty pink, dengan bordir kecil di saku dada:
“Mrs. W”
Alis Hania terangkat. Bibirnya membentuk garis tipis. Entah antara ingin tertawa atau memaki.
“Mrs. W, huh?” gumamnya pelan.
Dari dalam kamar mandi, suara air menyala dan suara William terdengar samar.
“Kalau nggak suka, buang aja."
Hania menghela napas panjang. Lalu, pelan-pelan, senyum kecil muncul di sudut bibirnya.
“Dasar pria aneh,” bisiknya.
Tapi kali ini, nadanya tidak seketus biasanya.
___
Waktu berlalu cepat. Jam digital di sudut dinding apartemen kini menunjukkan pukul 12.00 siang.
William berjalan keluar kamar, kini sudah rapi dalam setelan kerja berwarna abu gelap.
Dasi telah terpasang sempurna, rambut disisir ke belakang, dan ekspresinya... dingin tapi fokus—ciri khasnya saat hendak kembali menghadapi dunia bisnis yang keras.
“Aku ke kantor dulu,” katanya singkat.
Hania mengangguk malas. “Pergi aja sana. Lama-lama di sini cuma bikin mata sepet aja."
William menoleh sekilas, senyumnya sekilas tapi ada.
Sebelum benar-benar menyentuh handle pintu, ia sempat berhenti. “Aku balik malam.”
Hania melirik dengan satu alis terangkat.
“Ngapain? Apartemen ini bukan hotel transit. Kamu punya rumah sendiri, ingat?”
William memutar tubuh, menghadap Hania penuh.
“Apartemen ini udah jadi rumah juga."
“Tapi kamu bilang apartemen ini jadi rumahku kan? Kamu harusnya tinggal di rumah itu bersama ibumu!"
“Aku tahu.”
"Terus?"
"Kalau terus nanti nabrak. Dahlah, aku kerja dulu bye."
Hania mendelik. “Ngeles pake jokes receh... dasar pria sialan.”
William hanya melambaikan tangan santai, lalu benar-benar membuka pintu dan melangkah keluar.
Sebelum pintu tertutup, ia sempat menoleh sebentar, tatapannya datar tapi nadanya ringan.
“Oh iya. Jangan ngacak-ngacak lemari di kamar. Bagian kiri isiku. Kanan buat kamu.”
BRAK.
Pintu menutup rapat.
Sunyi kembali mengisi apartemen megah itu, menyisakan Hania yang berdiri di tengah ruang tamu dengan tatapan penuh dendam.
Dia mendesah keras, memutar tubuh, dan menjatuhkan diri ke sofa empuk.
“Ngapain juga tuh orang balik malam? Nggak ada yang nyuruh juga. Aku juga nggak peduli,” gerutunya.
Matanya melirik ke arah tas kecil berisi piyama satin dusty pink yang tadi ia tinggalkan di meja.
Tangannya terulur, meraih kembali pakaian itu.
Jari-jarinya menyentuh bordiran kecil bertuliskan “Mrs. W” di saku dada.
Lalu ia mendesis pelan, “Hhh... norak banget sumpah.”
Namun alih-alih melemparnya ke keranjang cucian, Hania justru memeluk piyama itu sebentar, seperti sedang berpikir.
Sore hari, pukul 17.32
Di dalam kamar tidur, Hania sedang menatap lemari terbuka lebar.
Ia masih mengenakan kaus oversized dan celana pendek, rambutnya digulung asal di atas kepala, wajah tanpa makeup. Tapi ekspresi wajahnya serius, seolah sedang menimbang keputusan besar dalam hidupnya.
“Aku tidur di sini?” gumamnya sambil menatap ranjang king size yang tampak terlalu empuk dan... terlalu besar untuk satu orang.
“Tapi kalau aku tidur di sofa, nanti aku sakit punggung.”
Ia duduk di pinggiran ranjang, mengamati sisi kanan dan kiri ranjang yang kini tampak seperti dua wilayah tak bertuan.
“Dia bilang kiri buat dia, kanan buat aku.”
Hening.
Lalu ia mengangguk kecil.
“Ya udah. Selama dia nggak bawa-bawa bau pria itu ke area aku, masih aman.”
Setelah berdiri dan berjalan ke lemari, Hania membuka sisi kanan yang sudah diisi dengan beberapa pakaian kasual baru, sepatu, bahkan ada sekotak kecil skincare yang terlihat baru dibuka.
Dia memicingkan mata. “Ini pasti ulah asisten pribadi dia. Ngatur semua seakan aku beneran tinggal di sini.”
Tapi diam-diam, hatinya mencatat perhatian itu. Betapa semuanya sudah disiapkan. Betapa tak ada satu pun hal yang terasa... setengah hati.
Malam hari, pukul 21.07
Langit gelap. Kota mulai sepi.
Hania duduk di balkon, kaki disilangkan di atas kursi malas, dengan piyama dusty pink itu kini sudah dipakainya. Ia terlihat nyaman, sekaligus... gelisah.
Cangkir tehnya sudah kosong, dan ponselnya beberapa kali dilirik, walau tidak ada notifikasi baru.
“Harusnya aku nggak peduli dia balik apa nggak,” gumamnya, mencoba menghibur diri.
Tapi jantungnya berdetak sedikit lebih kencang ketika terdengar bunyi beep dari arah pintu depan.
PINTU TERBUKA.
William masuk, melepas jas, dan tanpa berkata apa pun, meletakkan laptop di atas meja kerja kecil di sudut ruangan. Ia masih mengenakan kemeja tapi dasinya sudah ditarik lepas dan digantungkan di satu tangan.
Begitu melihat Hania berdiri di ambang balkon, ia langsung bicara.
“Sorry. Macet di tol.”
Hania membalikkan badan, menyilangkan tangan.
“Aku kira kamu tidur di rumah.”
William mendekat. “Aku bilang balik malam, kan?”
“Aku pikir itu cuma gaya sok-sok perhatian doang.”
William hanya menyeringai. Ia menatap Hania dari kepala sampai kaki, lalu matanya berhenti di bordiran kecil di piyama Hania.
“Dipakai juga akhirnya,” komentarnya ringan.
Hania buru-buru menyilangkan lengan, menutupi tulisan Mrs. W itu. “Kebetulan aja lagi dingin.”
William mendekat, duduk di pinggiran sofa.
“Besok malam ada gala dinner di Grand Arcadia,” katanya datar. “Aku butuh pendamping.”
Hania langsung mengernyit. “Pendamping? Aku? No. Big. No. Gue nggak doyan pesta topeng penuh manusia palsu.”
“Kamu nggak perlu doyan,” jawab William sambil membuka kancing kemejanya satu-satu. “Kamu cuma perlu hadir. Kita pasangan suami istri, ingat?”
***
bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments