Beberapa hari setelah malam itu, Sahila mulai merasakan perubahan kecil—aneh, tapi nyata.
Gaji bulanannya naik sedikit, padahal ia tak pernah mengeluh atau meminta. Seragam kerjanya yang mulai lusuh, tiba-tiba diganti oleh pihak manajemen dengan yang baru. Bahkan, meja tempatnya biasa bekerja kini berada lebih dekat ke area VIP.
Namun Sahila tidak banyak bertanya. Ia hanya menganggap semuanya sebagai kebetulan. Lagipula, dalam hidupnya yang keras, keberuntungan jarang datang. Jadi saat hal-hal baik muncul, ia hanya menerima—tanpa berharap terlalu banyak.
Di balik layar, bukan kebetulan yang bekerja.
Jayendra telah mulai mengatur semuanya.
Lewat tangan-tangan orang kepercayaannya, ia memastikan Sahila tetap berada dalam jangkauan pandangnya. Ia tidak ingin langsung mendekat. Ia tahu, gadis seperti Sahila tidak bisa ditaklukkan dengan uang atau rayuan murah.
Dia adalah tipe yang butuh ditundukkan perlahan. Dikuasai diam-diam. Seperti bunga liar yang harus dipetik dengan sabar.
Jayendra Mahesa
Lanjutkan pengawasan. Tapi jangan biarkan dia tahu.
Perintah Jayendra dingin dari balik mobil mewahnya yang berhenti di seberang Velaris Club.
Jayendra Mahesa
Kalau ada yang menyentuhnya… aku ingin tahu lebih dulu dari siapa pun.
.
Malam-malam berikutnya, Sahila mulai merasa... diamati.
Ia tak tahu dari mana perasaan itu berasal, tapi setiap kali ia berjalan melewati lorong menuju dapur, atau berdiri sendirian mencuci gelas, bulu kuduknya berdiri.
Ia menepis rasa tak nyaman itu. Mungkin hanya lelah. Atau paranoid karena terlalu banyak cerita buruk tentang klub malam.
Namun yang tak ia tahu—di layar monitor kecil dalam ruangan pengawasan, Jayendra sering menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menonton rekaman CCTV yang menampilkan dirinya.
Ia melihat cara Sahila menepuk debu dari roknya yang kusam.
Cara ia menyeka keringat dari pelipisnya.
Cara ia tersenyum lelah sambil merapikan rambut sebelum keluar ke ruangan utama.
Ia tidak hanya mengamati. Ia mempelajari.
Dan malam ini, Jayendra memutuskan: waktunya bergerak.
Comments