Setelah selesai makan, aku dan Deco langsung kembali ke kelas. Sesampainya di kelas, tiba-tiba saja terjadi kegaduhan. Aku mendengar orang-orang di sekitar berteriak, “Terima! Terima!”
Aku yang penasaran mencoba mengintip. Ternyata ada seorang murid laki-laki yang menyatakan perasaannya. Entah kenapa aku terpikir Dera lagi, aku langsung berpaling dari kerumunan orang-orang itu. Duduk di panggung yang ada tepat di depan kelas, sambil menunggu kerumunan itu berakhir. Deco tertawa sendiri di sampingku setelah melihat proses pernyataan cinta itu.
“Co, kenapa ketawa?” tanyaku.
“Hahahaha! Itu Val, kocak, orang yang menyatakan perasaan di dalam kelas. Entah kenapa ekspresi wajahnya membuatku ingin tertawa. Hahahahaha!”
Aku sekilas berpikir, saat aku menyatakan perasaan kepada Dera, apakah Rey, Dillo, dan Reza juga tertawa di belakangku? Pikiranku mulai melenceng lagi. Aku harus sadar kembali. Jangan berpikir negatif, jangan berpikir negatif, aku terus berkata dalam hati seperti itu. Tidak mungkin mereka sengaja menjebak dan tertawa di belakangku. Aku melihat sendiri ekspresi Rey, Dillo, dan Reza saat itu. Mereka sangat serius, seperti murid yang sedang mengerjakan soal ujian.
Teriakan keras makin menerjang di kelasku. Mereka berteriak seakan-akan ada sesuatu yang amat heboh. Aku mencoba bertanya pada salah satu murid yang menjadi penonton atraksi pernyataan cinta ini. Murid itu bilang dengan girangnya, “Anak itu berhasil diterima!”
Apa sampai segitunya? Aku tidak tahu sampai segitu girangnya, padahal yang menyatakan perasaan hanya satu orang tapi hebohnya sampai ke luar kelas begini. Sang siswa yang baru saja menjalani hubungan dengan siswi itu keluar dari kelas layaknya pengantin baru. Seperti pasangan yang sedang merayakan pernikahan. Mereka berdua diiringi oleh teman-temannya yang tadi sempat membuat gaduh di kelas. Sepertinya mereka akan mengadakan makan gratis. Biarlah, aku tidak terlalu tertarik.
Setelah menunggu di kelas sambil membicarakan Power Ranger bersama Deco. Tidak terasa waktu istirahat berakhir. Semua murid berlarian masuk ke kelas. Tidak lama guru pun datang.
Mata pelajaran kali ini adalah … ma ... matematika.
Aku benci pelajaran ini, aku benci, aku benci bertemu makhluk yang bernama matematika. Guru baru saja datang tapi seketika suasana kelas berubah menjadi seperti kuburan. Apa ini? Padahal kami baru bertemu dengan guru ini. Guru dengan tampang amat judes itu, langsung memberikan kami soal matematika sebanyak dua puluh soal dalam waktu dua puluh menit. Kata guru itu, soal itu sebagai tanda persahabatan.
Persahabatan apanya? Aku cukup trauma dengan matematika. Waktu di kelas 6 SD, aku pernah disuruh mengerjakan soal pembagian, karena tidak bisa mengerjakan, aku diam di depan papan tulis mengerikan dengan guru duduk di sebelahku dan memantau seperti serigala yang sedang mengincar mangsanya. Guru itu menyuruhku keluar dan mengerjakan soal tersebut di kelas 5, ditonton adik kelas yang rasanya begitu memalukan. Itulah yang membuatku benci dengan matematika sampai detik ini, ditambah trauma juga dengan guru galak.
Soal pertama adalah soal pemangkatan, aku hampir mati dibuatnya. Soal kedua adalah pecahan. Aku mencoret buku latihan. Tidak mengerti, pikiranku kosong. Tidak lama guru itu bilang, “Waktu habis!”
Seakan-akan nyawa terbang melayang ke langit-langit kelas. Aku tidak mau melihat apa yang telah aku kerjakan. Aku baru menyelesaikan tiga soal, itu juga belum tentu benar. Betapa bodohnya aku ini.
Kertas dikumpulkan, guru matematika itu pun melihat sekilas pekerjaan kami. Guru itu melirik ke arahku. Sambil menggelengkan kepala. Apa guru itu kecewa denganku? Mungkin saja, tapi itulah yang bisa aku kerjakan.
Guru itu menyebut nama Deco sebagai murid yang nilainya paling bagus dalam pengerjaan soal matematika tadi. Aku kaget, padahal dia sama saja penampilannya, tidak terlihat pintar, tapi dia bisa. Apa yang membuatnya begitu pintar matematika? Sepertinya Deco mulai dilirik oleh murid-murid perempuan di kelas. Sungguh beruntung dia. Aku bertanya pada Deco, apa yang membuatnya pintar dalam matematika. Deco menjawab sambil tertawa, dia bilang, “Aku sudah menyukai angka dari umur dua tahun.” Dia sudah bisa menghitung kancing bajunya sendiri saat berumur dua tahun. Apa itu benar? Aku tidak tahu tapi aku salut dengan kepintarannya.
Beberapa hari berlalu, aku sudah memiliki teman meski tidak banyak dan berharap bisa selamanya. Jika bisa aku ingin memiliki lebih banyak teman lagi. Pulang sekolah jam 2, masih ada kesempatan untuk bermain bersama teman-teman di rumah seperti biasa. Rey dan Dera, dua teman yang aku harap menjadi teman selamanya, tapi saat aku bermain sekitar jam 4. Aku melihat rumah Rey sangat ramai, ada mobil truk yang mengangkut perabotan-perabotan dari rumahnya. Sebenarnya ada apa ini? Aku coba mendekat, Rey keluar dari rumah. Dia berjalan ke arahku dan tiba-tiba mengucapkan salam perpisahan.
“Val, aku ingin pamit. Aku akan pindah rumah mulai hari ini,” kata Rey.
“Eh, ke … kenapa?” tanyaku.
“Aku ‘kan baru pindah sekolah, tenang saja kalau mau mampir ke rumahku masih bisa kok. Ini alamat rumah yang baru. Masih di sekitar Tangerang,” jawab Rey.
Tidak lama truk pengangkut barang membawa Rey dan keluarga beserta perabotan-perabotan rumahnya. Rey berteriak dari dalam mobil yang sudah makin menjauh dari tempatku berdiri. Dia melambaikan tangan, menyuruhku menghampirinya. Truk yang dinaikinya berhenti. Aku menghampiri, dia berbisik padaku.
“Val, maaf aku tidak bisa membuat Dera menjadi milikmu. Aku memang payah,” bisik Rey sambil tertawa.
“Kamu tidak perlu pikirkan itu!” jawabku sambil tertawa.
Rey pun tersenyum. Bersamaan dengan itu, truk yang dinaikinya kembali melaju. Detik terakhir aku melihatnya di sini. Rey, terima kasih telah menjadi temanku di sini. Kita akan bertemu kembali. Hari ini aku izinkan kita tidak bermain bersama. Aku pun kembali ke rumah karena Rey sudah tidak ada di sini. Dera pun entah kenapa sudah jarang terlihat lagi.
Suatu hari di sekolah, Deco terlihat bingung sambil melihat poster bergambar hati berwarna merah bertuliskan, “Hati ini milikmu.” Wajah Deco memerah, dia memalingkan pandangan ke arah kerumunan murid perempuan yang sedang berdiri di depan kelas. Aku mencoba menanyakan apa yang terjadi dengannya. Tumben sekali, dia seperti ini.
“Co, kenapa kamu?”
“I … ini, entahlah Val. Pikiranku terganggu sepertinya.”
“Terganggu kenapa?”
“Kamu lihat kerumunan murid perempuan di sana?” Deco menunjuk ke arah kerumunan perempuan di depan kelas.
“Iya ada apa memangnya?” tanyaku.
“Kamu juga lihat poster bergambar hati ini kan? Menurut kebanyakan orang, itu adalah lambang cinta, benarkah? Aku membutuhkan arti dari gambar itu dengan perasaanku saat ini. Saat aku melihat seseorang di tengah kerumunan murid perempuan di sana, aku menemukan jawabannya. Jawabannya tidak bisa dituliskan dengan rumus. Dialah jawabannya,” ucap Deco dengan kata-kata yang terdengar agak aneh.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Osmond Silalahi
padahal rame matematika
2025-08-06
0