Cinta Ditolak

Aku tidak bisa melakukan apa pun. Sudahlah aku memang tidak berbakat dalam hal ini. Teman-teman menghampiriku. Rasanya kesal, ketika gagal mengatakannya. Mungkinkah malam ini bisa tidur dengan nyenyak? Rey datang memegang pundakku.

“Tenang Val, serahkan saja pada kami. Kami yang akan memberi tahu Dera bahwa kamu menyukainya,” kata Rey tersenyum lebar.

“Eh … apa? Yang benar saja? A … aku belum siap,” kataku.

Keesokan harinya, Rey, Dillo, Reza serta aku pergi menghampiri rumah Dera. Rey menyuruh kami untuk berhenti di belokan dekat rumah Dera. Lalu menyuruh kami bersembunyi dan menunggu Rey berbicara dengan Dera untuk mengatakan bahwa aku menyukainya. Jantungku makin berdetak kencang. Makin kencang ketika Rey sudah sangat dekat dengan rumah Dera, hanya beberapa meter dari perbatasan antara depan rumah Dera dengan jalan. Rey memanggil nama Dera berulang kali.

Tidak lama keluarlah manusia yang ditunggu-tunggu dari tadi. Dera keluar dari rumah dan menghampiri Rey. Mereka berbicara cukup lama. Tiba-tiba Dera langsung berlari masuk ke rumahnya sambil menundukkan kepala. Rey pun kembali ke arah kami. Dia terlihat kecewa, tapi tetap memberi sedikit senyum kepada kami.

“Val, sepertinya bukan saatnya,” kata Rey dengan suara yang pelan.

“Maksudmu?”

“Iya, dia tidak ingin membicarakan itu katanya. Sepertinya besok kita harus kembali lagi ke sini. Besok kamu yang akan maju langsung menyatakan perasaan di depan rumahnya!”

Aku kaget mendengar pernyataan Rey. Mencoba menghela napas, menenangkan diri. Apa Dera tidak menyukaiku? Aku tidak bisa begini, aku harus positif. Rey bilang besok aku harus kembali ke sini untuk menyatakan perasaan. Harus mempersiapkan diri. Sesampainya di rumah, aku mulai berperang dengan penampilanku di cermin. Sesempurna mungkin harus menjaga penampilan untuk besok. Berlatih mengungkapkan perasaan di cermin. Memegang bunga dan mencoba memberikannya. Seperti orang gila, aku berbicara sendiri.

Aku tidur malam ini dengan selimut perasaan resah dan tegang. Mataku tidak bisa terpejam. Aku merengek dalam hati, ingin tidur sekarang juga. Aku harus bangun pagi besok. Harus cepat mengungkapkan ini. Aku harus, segera mengungkapkannya.

Keesokan harinya, aku bergegas menuju rumah Dera. Sekarang sudah jam 8 pagi, setelah selesai mandi, aku menyempatkan diri memetik bunga liar yang ada di rerumputan. Saat di perjalanan, aku langsung bertemu Rey, Dillo, dan Reza yang bermaksud untuk mengantarku sekaligus menenangkan pikiran yang sedang tidak fokus karena perasaan bodoh ini. Tidak lama kami sampai di rumah Dera. Rey memanggil Dera agar keluar dari rumahnya. Aku pun bersiap di samping Rey dengan bunga yang aku sembunyikan di belakang.

Dera pun keluar dari rumahnya, seperti biasa penampilannya sama seperti saat bermain. Dia kembali mengenakan baju oblong dan rok panjang. Itu sudah jadi ciri khasnya. Awalnya dia tersenyum saat melihat kami. Baiklah, sekarang aku mulai gugup. Aku beranikan diri mengatakannya.

“Ra, a … aku sebenarnya su … suka sama kamu,” kataku gagap.

“Oh begitukah?” jawab Dera.

“I … iya.”

“Hmm, aku tidak suka sama kamu,” jawabnya. “Untuk apa kamu suka denganku? Sudah cukup ‘kan jadi teman?” lanjutnya.

Aku diam dan rasanya ingin segera meninggalkan tempat ini. Meninggalkan dunia ini kalau bisa. Pergi ke planet lain yang dipenuhi alien.

Rey, Dillo, dan Reza diam di belakangku. Apa mungkin mereka putus asa? Aku merasa tidak enak dengan mereka yang susah payah membantu sampai di sini. Aku pun langsung memberikan bunga yang kupetik dari rumah kepada Dera. Tidak kusangka, sungguh menyakitkan. Bunga itu dijatuhkan ke aspal dan diinjak olehnya.

Setelah itu, Dera tanpa mengeluarkan kata sedikit pun langsung masuk ke rumahnya. Ini adalah pertama kalinya aku mengalami sakit yang amat sakit. Ini berbeda, ini bukan seperti saat aku diurut karena uratku tergeser atau apa pun yang menyebabkan fisikku sakit. Ini kuanggap penolakan yang indah. Tapi peduli apa? Tujuanku adalah untuk menyatakan perasaan, itu saja.

Keesokan harinya, Dera tidak datang untuk bermain di lapangan. Menurut kabar, dia tidak ingin bertemu denganku. Takdir yang mengerikan, aku mengungkapkan semuanya pada manusia yang seharusnya jadi temanku. Aku tidak mau kehilangan dia. Kurasa Dera terlampau kecewa karena aku punya perasaan aneh untuknya.

Sudah lebih dari seminggu Dera tidak pernah tampak bermain dengan kami di taman. Teman-teman menanyakan keadaannya dan setelah mendengar aku menyatakan perasaan padanya, mereka menyalahkanku. Baiklah, aku salah. Aku trauma mengungkapkan perasaan suka pada teman sendiri.

Saat ini hanya aku dan Rey. Dillo dan Reza kembali sibuk dengan urusan mereka karena liburan sudah berakhir. Aku dan Rey menatap lapangan tempat biasa kami bermain, tidak bergeming dari tempat selama hampir setengah jam. Tidak ada yang menghiasi lapangan ini lagi. Ini adalah kesalahanku. Aku terus merenung dan merasakan penyesalan yang amat dalam. Seharusnya aku membiarkan Dera tetap menjadi temanku. Biarlah aku tersiksa memendam perasaan ini sendirian. Itu lebih baik daripada dia menjauh dariku.

“Val, sepertinya kita harus meminta maaf kepada Dera sekarang juga,” kata Rey.

“Apa mungkin?”

“Kenapa tidak? Kita sudah lancang kepadanya, ‘kan?”

“Maksudku apa mungkin dia mau memaafkan kita?” tanyaku.

“Bodoh! Mana ada maaf yang dengan mudah langsung diterima!” kata Rey dengan tegasnya.

Aku pun mengangguk, menyetujui usulan Rey untuk meminta maaf kepada Dera. Kami segera memacu sepeda menuju rumah Dera. Setibanya di sana, ternyata Dera tidak ada. Kata bibinya, dia pergi entah ke mana. Aku heran, aku melihat wajah bibinya seperti ada sesuatu yang disembunyikan atau hanya perasaanku saja? Kami memutuskan untuk menunggu Dera di depan rumahnya walaupun berulang kali bibinya Dera menyarankan kami untuk pulang dengan alasan Dera akan pulang malam tapi itu tidak memudarkan niat kami untuk meminta maaf dan tetap menunggu di depan rumahnya.

Malam pun tiba, tepat jam 7, kami menunggu di depan rumah Dera. Lebih dari empat jam kami di sini, belum juga ada perkembangan yang berarti. Tiba-tiba sebuah mobil parkir di depan rumahnya. Keluarlah dari mobil itu, seorang pria memakai kemeja putih berlengan panjang, celana panjang, seakan-akan seperti seorang bos yang dengan lembutnya bertanya kepada kami.

“Kalian temannya Dera ya? Kenapa main di luar? Deranya mana?” tanya pria itu dengan tersenyum.

“I … iya, Om siapa ya?” tanya Rey.

“Om, ayahnya Dera. Oh ya, pertanyaan tadi belum dijawab, kenapa kalian di luar?”

“Tadi bibinya Dera bilang Deranya sedang pergi. Jadi, kami memutuskan untuk menunggunya, Om,” jawabku.

“Oh, memang ada perlu apa kalian dengan Dera. Apa kalian tidak dicari orang tua kalian di rumah karena sekarang ‘kan sudah malam?”

“Kami mau minta maaf sama Dera, Om, karena kami mungkin telah melukai perasaannya,” kata Rey.

“Apa benar Deranya tidak a ….”

Tiba-tiba Dera keluar dari rumahnya, dengan ekspresi wajah yang sangat kesal. Dia menyuruh ayahnya masuk ke rumah. Tanpa berkata apa pun, Dera kembali masuk ke rumahnya. Aku dan Rey makin bingung tidak menentu. Tadi bibinya bilang Dera pergi. Jika Dera pergi kenapa tadi dia keluar dari rumah? Sudah kuduga dari raut wajah bibinya yang seperti menyimpan rahasia.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Terpopuler

Comments

Osmond Silalahi

Osmond Silalahi

Dera ky nya unmood

2025-08-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!