BAB 4. LOWONGAN KERJA.

Dengan segenap keberanian, Kania mengangkat wajahnya. Keringat dingin mengalir, membasahi sekujur tubuhnya. Ketakutan semakin mencengkeram saat tatapannya bertemu dengan wajah Tuan Bram, pria tampan, namun menyimpan kengerian yang sulit dijelaskan.

Aura mematikan terpancar jelas dari mata pria yang diperkirakan berusia empat puluhan keatas.

TUAN BRAM.

Perkenalkan dirimu,” ucap Sekretaris Bams dengan suara tenang namun tegas. Pria yang berdiri tegak di sisi kanan Tuan Bram, mengenakan setelan jas hitam yang terpotong rapi.

Kania memperkenalkan diri dengan suara lirih, menyebutkan usia serta keahliannya. Namun, raut Tuan Bram tetap dingin tak terbaca. Sesekali, ia hanya melirik jam di pergelangan tangan, seakan waktu jauh lebih penting daripada kata-kata gadis itu.

“Tuan Bram mencari istri… bukan anak angkat,” ucap Bams, suaranya berat dan dingin.

Perkataan itu menusuk harga diri Kania. Apa dia pikir Kania masih anak kecil yang tak mengerti apa-apa? Menarik napas dalam-dalam, Kania menegakkan bahu. Tatapannya tajam. Dengan suara mantap yang nyaris tak bergetar, Kania membalas.

"Ya, usiaku memang muda. Tapi jangan pernah meremehkan aku. Aku mampu menjadi ibu rumah tangga. Memasak, mengurus rumah, mengasuh anak. Kalau anda ragu, biar aku buktikan sekarang juga."

Yulia menambahkan dengan nada penuh percaya diri. kalau Kania terampil dalam banyak hal kecuali urusan ranjang. Perempuan itu benar-benar pandai berbohong demi mencapai tujuannya.

Senyum liciknya mengembang, sementara matanya sengaja melirik sekilas ke arah Tuan Bram, seolah menantang untuk menebak maksudnya.

Raut wajah Tuan Bram tetap dingin dan datar, tak sedikit pun merespon perkataan Yuli. Tuan Bram malah berdiri dan melangkah pergi.

Dengan tatapan tajam penuh arti, Yulia memberi isyarat halus pada Kania untuk mengejar tuan Bram.

Yulia takut jika sampai ini terlewatkan, mimpi dan uang yang nyaris tergenggam akan hilang.

Kania berlari kecil menghadang Tuan Bram. Tubuh mungilnya hanya setinggi dada pria berperawakan tinggi besar itu. Berjinjit, lalu mencium bibir Tuan Bram.

Kania tak lagi memikirkan harga dirinya sebagai perempuan baik-baik. Satu tujuannya, bersama Tuan Bram, ia bisa membalas dendam pada keluarga Herman, keluarga yang telah menghancurkan masa depannya.

Dunia terasa terhenti. Mata tertuju pada mereka berdua.

Kania sadar, menyentuh Tuan Bram sama saja dengan menyerahkan nyawa. Pria itu mencengkeram keras dagu kania hingga wajah putihnya memucat menahan sakit. Air mata menggenang di sudut matanya.

"Murahan… enyah dari hadapanku!"

Tuan Abraham menatap mata Kania tajam, lalu mendorongnya tanpa belas kasihan. Tubuh Kania terhuyung dan tersungkur ke lantai, telapak tangannya memerah menahan sakit. Nafasnya terengah, sebelum Kania mengangkat wajah, langkah tuan Bram sudah menjauh.

"Aku bersumpah suatu saat nanti aku akan membuat Anda bertekuk lutut di hadapanku tuan Bram!" teriak Kania. Suaranya menggema, namun perlahan memudar saat Tuan Bram, rombongannya hilang di pelupuk mata.

Yulia menendang kaki Kania dengan kedua mata melotot sebelum pergi mengejar rombongan tuan Bram, ambisi perempuan itu sangat kuat untuk mendapatkan tuan Bram.

Dari arah pintu, Melli berlari kecil menghampiri, bertanya berkali-kali sambil membantu Kania berdiri.

Kania membalas senyum, mengisyaratkan kalau dirinya baik-baik saja.

Keduanya pun meninggalkan tempat itu dan pulang.

Hari demi hari berlalu. Sudah genap seminggu Kania menumpang di rumah Melli. Setiap pagi, ia menatap layar ponselnya harap-harap cemas membuka media sosial, mencari lowongan kerja, bahkan menyempatkan diri bertanya pada orang-orang sekitar. Melli pun tak tinggal diam, ikut membantu mencarikan jalan keluar. Namun, seberapa keras mereka berusaha, hasilnya terap sama, nihil.

Untuk sementara, Melli menanggung seluruh kebutuhan Kania. Melli paham betul derita sahabatnya, sebab dulu ia pun pernah berada di posisi yang sama. Hidup di kota metropolitan tanpa sepeser pun uang bagaikan dilempar ke tengah hutan rimba. Hanya yang kuat dan cerdik yang mampu bertahan, sementara yang lemah akan segera tersingkir.

Pagi itu, seperti biasa, Kania membereskan rumah. Menyapu, memasak, mencuci semua ia lakukan sebagai bentuk terima kasih pada Melli.

Terdengar suara motor dari luar, Kania yakin itu Melli yang datang. Melli masuk, menarik tangan Kania dan membawanya ke ruang tamu dengan wajah riang.

Sepertinya dia membawa kabar baik buat Kania.

"Kata bibi, di tempat dia bekerja ada lowongan. Kalau kamu mau, besok kita pergi menemuinya." Melli begitu antusias dia yakin Kania pasti gembira mendengar kabar baik darinya.

Benar saja Kania hampir saja melompat saking girangnya. Akhirnya doanya terkabul, besok ia akan mulai pekerjaan di tempat barunya.

Melli menyuruh Kania bersiap-siap, rencananya ia akan membawa Kania ke mall sekaligus memperlihatkan tempat kerjanya, berharap suatu saat Kania datang jika merindukan atau meminta bantuan.

Motor melaju ke pusat perbelanjaan tempat Melli bekerja selama ini sebagai cleaning service. Setelah memarkir di area khusus karyawan, keduanya melangkah masuk. Suasana mall tengah ramai, pengunjung hilir-mudik, terpikat oleh deretan promo yang menghiasi etalase toko dan menggoda siapa pun yang lewat.

Melli menceritakan semua suka dukanya, selama bekerja di mall itu, dari awal bekerja serabutan hingga jadi pegawai tetap di sana.

Merasa haus, Melli mengajak Kania masuk ke sebuah kedai minuman dingin.

"Mau pesan apa?" tanya Melli.

"Terserah kamu saja. Air putih pun tak apa." balas Kania canggung, dalam benaknya dia sudah membebani Melli terlalu banyak, baik tenaga maupun materi.

Melli menggeleng, berdiri lalu pergi. Selepas kepergian melli, Kania menunduk, jemarinya lincah menari di layar ponsel, berusaha membongkar siapa sebenarnya tuan Bram. Namun, hasil pencariannya hampa seolah pria itu bukan hanya sulit dilacak, tapi benar-benar menghapus setiap jejak keberadaannya dari dunia.

Apakah Tuan Bram sengaja mengubur rapat identitasnya, menghapus setiap jejak seakan ia tak pernah ada? Tapi… untuk tujuan apa? Pertanyaan Itu berputar di kepala dan benak Kania.

Tak lama, Melli kembali dengan dua gelas jus alpukat dan kentang goreng. Kania buru-buru menyimpan ponselnya. Mereka makan sambil berbincang santai, sesekali tertawa, seakan beban hidup hilang untuk sementara waktu.

Usai membayar, mereka naik ke lantai tiga, tempat berbagai pakaian bermerk dan lokal dipajang. Melli ingin membelikan Kania baju sebagai kenang-kenangan.

Hampir satu jam mencari, belum juga ada yang cocok. Hingga akhirnya Melli melihat sebuah overall di lemari kaca bertuliskan diskon 50%.

"Ini cocok untukmu. Kita ambil ini."

Namun sebelum sempat mengambil, terdengar suara sinis di belakang mereka.

"Jangan mimpi. Orang miskin seperti kalian mana mungkin bisa beli baju semahal itu."

Langkah kaki perlahan mendekat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!