BAB 2. RENCANA MELLI

Herman kembali mendorong Kania sampai dia jatuh menimpa tas dan kopernya.

Amarah Herman sudah sangat besar.

Elizabeth, perempuan paruh baya, segera mengusap lengan Herman sambil tersenyum sinis ke Leni, berharap amarah Herman berhenti.

Dia memang pintar memanfaatkan situasi supaya terlihat baik di mata Herman, terutama soal Kania.

Kania menatap mereka bergantian, lalu bangkit dan mengambil tas serta kopernya.

“Dengan mengusirku dari rumah ini, kalian kira kalian menang dan aku kalah?” Suaranya menggema penuh emosi, mata tajam menatap mereka satu persatu. “Ini belum berakhir. Aku akan kembali, dan saat itu, kalian yang akan menyesal.”

Kania terus tersenyum, senyuman itu tak sekadar hiasan wajah di baliknya tersimpan tekad dan rencana yang dalam.

Para pelayan bertukar pandang, penuh tanda tanya. Apakah benar Kania akan kembali dengan maksud membalas dendam? Mustahil, pikir mereka. Bagaimana mungkin seorang remaja kecil seperti Kania mampu melawan kekuatan besar keluarga Herman?

Dengan langkah tertatih namun penuh keberanian, Kania mengangkat tas dan kopernya meninggalkan halaman rumah yang selama ini menjadi saksi bisu kisah pilunya.

Air matanya tak kunjung berhenti membasahi pipi. Sulit percaya kalau Herman tega mengusirnya begitu saja.

Di balik pagar, kedua mata Kania berkaca-kaca menatap rumah megah itu, tempat di mana kenangan manis bersama Herman dan Saraswati, ibunya.

Namun semua itu hancur berkeping-keping sejak Saraswati meninggal dunia. Herman yang dulu penuh kasih kini mulai berubah tak kalah mengenal Elizabeth, sekretaris barunya, yang membawa perubahan suram dalam hidup Kania.

Kania melangkah tanpa tujuan, hanya kartu ATM-nya yang menjadi harapan satu-satunya untuk bisa bertahan hidup.

Kania berhenti di depan mesin ATM. Beberapa orang terlihat mengantri, sesekali melirik gadis itu dengan rasa penasaran.

Gaun pengantin dan riasan mencolok yang masih melekat pada wajahnya membuatnya jadi pusat perhatian.

Bisikan-bisikan terdengar, tatapan mata mencuri-curi padanya.

Setelah antre cukup lama, akhirnya giliran Kania tiba.

Kania memasukkan kartu ke dalam mesin, mengetik PIN, lalu menunggu.

“KARTU TERBLOKIR.”

Mata Kania membelalak, tak percaya melihat layar mesin ATM yang menampilkan saldo nol. Uang yang selama ini ia kumpulkan dengan susah payah, kini lenyap tanpa jejak.

Tubuhnya menggigil, seolah tulang-tulangnya remuk berkeping-keping. Harapan hilang berganti dengan ketakutan dalam hati.

Kania tahu, ini semua ulah Herman yang sengaja memblokir ATMnya.

Kania terpaku, berdiri mematung di depan mesin ATM. Lama ia diam, menelan getir yang mencekik dadanya. Perlahan, ia mengangkat tas dan kopernya, melangkah pergi dengan langkah berat, meninggalkan mesin yang telah merampas mimpinya.

Hidupnya benar-benar hancur. Bertahan di kota metropolitan tanpa uang sama halnya mati perlahan.

Pilihan terakhirnya cuma dua: jadi gelandangan atau pengemis di jalanan yang kejam.

Langkahnya melemah, tubuhnya hampir roboh, tapi dia terus berjalan tanpa tujuan.

Kursi panjang di halte terdekat menjadi tempat singgahnya sementara.

Kania mengeluarkan ponsel, berharap ada keluarga yang bisa menolong tapi semua kontak tak aktif. Herman benar-benar ingin membuat Kania menderita.

Kania menarik napas panjang, berharap ada yang bisa memberinya tumpangan beberapa hari ke depan.

Dalam keputusasaan, wajah Kania tiba-tiba berubah.

Secepat kilat, ia membuka ponsel dan menghubungi seseorang.

Percakapan penuh drama pun terjadi. Beberapa kali mendapat penolakan, tapi Kania tak menyerah, terus membujuk hingga apa yang diharapkan terdengar di ujung sana.

Senyum sumringah terpancar di bibir Kania.

Jari-jemarinya lincah menari dan membuka aplikasi, kemudian dengan cepat mengirimkan posisi keberadaannya.

Beban berat yang selama ini menekan pundaknya perlahan mengendur, tergantikan oleh setitik harapan yang mulai menyala.

Malam ini, setidaknya, Kania tahu ia tak harus tidur di pinggir jalan, tak harus ditemani oleh dinginnya trotoar dan suara binatang malam yang menakutkan.

Sepeda motor melaju kencang dan berhenti di depan Kania

Teman masa lalunya menarik paksa tas Kania, meletakkannya di bagian depan motor.

Kania sama sekali tak marah. Ia sudah tahu kelakuan kasar teman lamanya itu.

Motor melaju cepat ke pusat kota, masuk ke gang sempit, lalu berhenti di sebuah rumah sederhana.

“Ondel-ondel pengantin, cepat masuk!” omel gadis seusia Kania, membantu mengangkat tasnya.

Seperti tadi, Kania tersenyum. Ia tahu, sebenarnya Melli baik, meski kadang omongannya tak pernah disaring.

Melli menatap tajam gadis itu seolah ingin penjelasan.

Kania menceritakan semuanya, lagi-lagi air matanya mengalir deras.

Melli mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan betapa berat beban yang harus dipikul Kania.

Melli mengambil tisu di atas meja dan melemparkannya ke arah Kania.

“Jangan cengeng! Masih banyak orang di dunia ini yang lebih menderita darimu. Cepat hapus air matamu, mandi, makan, lalu tidur. Ingat, rumah ini bukan panti jompo. Kerjakan semuanya sendiri, paham?”

Melli berdiri dan berjalan menuju kamar.

Setelah Melli pergi, Kania ikut berdiri, menyusuri lorong kecil menuju dapur.

Pintu kamar terbuka. Tampak Melli sedang berbaring sambil main ponsel.

Melihat kedatangan Kania, Melli bangun dan duduk lalu menanyakan rencana Kania kedepannya.

Kania menggeleng pelan.

“Untuk sementara kamu boleh tinggal di sini. Mungkin tak semewah rumahmu, tapi yakinlah, kamu aman di sini.”

Kania berterima kasih banyak dan berjanji tidak akan merepotkan Melli.

Melli tersenyum, menggenggam erat tangan Kania.

Keduanya berbaring sambil bermain ponsel, melihat berita viral terkini.

Di berbagai aplikasi, berita pernikahan Raymond dan Tamara masih jadi trending topik.

Para pemburu berita membesar-besarkan fakta yang tak sesuai kenyataan.

Melli diam-diam memperhatikan Kania, rasa prihatin muncul di hatinya. Melli tahu Kania tengah bergulat dengan hati dan pikirannya.

“Ting...”

Notifikasi pesan masuk dari ponsel Melli. Melihat nama ibu, Melli membanting ponsel di atas kasur.

“Dasar germo.”

Beberapa saat berlalu, lalu Melli mengambil kembali ponselnya.

Seperti biasa, ia menghapus semua pesan dari ibunya.

Melli menatap langit-langit kamar, air matanya mengalir tanpa suara.

Ia tak percaya ibu sendiri tega berbuat keji padanya.

Melli memalingkan pandang ke arah Kania yang asyik bermain ponsel.

Tiba-tiba bibir Melli tersenyum, sepertinya ia mendapat ide untuk Kania. Dengan semangat, Melli bangkit dan duduk di samping Kania.

“Aku ada kerjaan bagus untukmu.”

Kania terkejut dan ikut duduk.

tatapannya serius, berharap segera mendapat pekerjaan dan tak lagi merepotkan Melli.

“Apa aku sedang bercanda?”

Melli mencondongkan kepala. Kania spontan menggeleng.

“Besok kamu dandan yang cantik, kenakan pakaian terbaikmu. Sekarang kita tidur. Esok adalah hari baru untukmu.”

Melli memadamkan lampu, berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut.

Kania melakukan hal yang sama, berharap ucapan Melli benar terjadi.

Dengan pekerjaan barunya, Kania bisa hidup layak sekaligus membuktikan kepada keluarga Herman bahwa tanpa mereka, dia bisa bertahan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!