BAB 3. TUAN BRAM

Waktu terus bergulir, berganti jam, menit, lalu detik tanpa henti. Kicauan burung bersahutan dengan kokok ayam jantan, menandakan pagi telah datang, membawa harapan sekaligus bayang-bayang takdir yang belum terungkap.

Di sudut kamar yang remang, Kania duduk termenung di tepi pembaringan. Kedua tangannya terlipat erat di depan dada, matanya tertunduk dalam doa yang tak terdengar, hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Melli, yang baru bangun, diam memperhatikan. Sesekali ia mendengar isak tangis yang tertahan dari bibir Kania, membuat hatinya ikut tersayat merasakan apa yang di rasakan Kania saat ini.

Kania mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, seakan membuang sisa air mata dan kesedihan. Ritual pagi itu selesai.

"Kamu percaya ada Tuhan?" suara Melli tiba-tiba menggelegar, membuat Kania tersentak.

Kania tidak lansung menjawab, ia menata tempat tidur terlebih dulu lalu duduk di samping Melli, matanya menatap lurus ke depan.

"Setelah semua yang terjadi padamu... apakah Tuhanmu pernah datang menolong?"

Melli bertanya lagi dengan suara serak, matanya penuh tanya dan harap dapat jawaban dari Kania.

Kania menarik napas, lalu berkata bahwa Tuhan tidak selalu datang dengan keajaiban yang terlihat jelas. Mungkin, Dia mengutus orang seperti Melli yang kini menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk menolong.

Melli tersenyum, ada kegembiraan tersendiri dalam hatinya mendengar jawaban Kania.

Kania tertawa kecil melihatnya, lalu bangkit dan berjalan meninggalkan Melli yang sudah jadi malaikat kecil yang di utus Tuhan untuknya.

Tak lama kemudian, Kania kembali. Melli mempersilakan Kania duduk di depan meja rias. Hari ini adalah hari yang telah mereka rencanakan. Hari dimana mereka akan menemui ibu Melli.

Melli datang membawa sebuah kotak hitam dan sebuah gaun cantik yang diambil dari koper Kania.

Melli membuka kotak itu. Di dalamnya tersusun rapi alat-alat make up lengkap dengan bedak, lipstik dan semacamnya.

Dengan cekatan, tangan Melli mulai merias wajah Kania. Meski berprilaku seperti tomboy, keahlian merias Melli tidak bisa di pandang sebelah mata. Tangannya lincah mengoleskan bedak, menyapukan lipstik, dan menata alis dengan presisi.

Sesekali Melli mengomel, kesal ketika riasannya tak sempurna.

Melli tanpa putus asa terus mengulang dan mengulang hingga hasil yang di harapkan tercapai.

Wajah Kania berubah drastis. Dari gadis polos menjadi wanita anggun penuh pesona, seolah menyimpan rahasia besar di balik tatapan matanya yang dalam.

Mereka bergegas keluar rumah, mengunci pintu, dan melaju dengan sepeda motor menuju hotel bintang lima. Hotel dimana ibu Melli sudah menunggu mereka di sana.

Berpacu dengan waktu hingga

tiba juga di hotel, mereka memasuki lobi mewah. Di balik gemerlap cahaya kristal, Yuli, ibu Melli, menunggu. Sosok yang selama ini dikenal sebagai biro jodoh berpengalaman, namun dengan reputasi suram, memperkenalkan gadis belia pada pria-pria hidung belang dengan bayaran fantastic.

Mata Yuli menatap Kania dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ada kekaguman tersirat di balik tatapan perempuan paruh baya itu.

Yuli memberi kode pada Melli untuk mengikutinya.

Sebelum beranjak, Melli memberi isyarat pada Kania agar tetap di tempat. Yuli menarik lengan Melli, menuntunnya ke lorong yang sepi.

"Aku suruh kamu datang sendiri, kenapa bawa teman?" suara Yuli mengandung amarah yang terpendam.

Rencana Yuli dari awal memperkenalkan Melli dengan seorang pria konglomerat, tuan Bram, sosok yang dingin dan sangat sulit ditemui. Namun, rencana itu hancur karena kehadiran Kania.

"Kalau kamu mau silah perkenalkan Kania dengan pria itu. Dapat uangnya lalu pergi." kata Melli dengan nada santai.

Yuli menggeleng, menatap tajam.

“Ini bukan soal uang, Melli,” Yuli berhenti sejenak menahan emosinya.

“Ini tentang masa depanmu. Kalau kamu menikah dengan Tuan Bram, hidupmu dan hidup ibu tidak akan terlunta-lunta seperti sekarang. Ibu sudah lama merencanakan ini, agar kamu bisa jadi istri pria konglomerat. Dan sekaranglah saatnya.”

Mendengar kabar tuan Bram akan datang ke kota itu, Yuli tak ingin melewatkan kesempatan tapi justru Melli merusak dengan membawa orang lain.

"Kenapa bukan Anda saja yang menikah dengannya, mungkin dengan cara itu Anda bisa mendapatkan apa yang selama ini Anda cari dan tidak lagi mengorbankan Aku dalam ambisi Anda."

Melli menarik tangan Kania untuk meninggalkan tempat itu. Belum juga melangkah, sekelompok pria berjas masuk. Di depan mereka berdiri tuan Bram, pria paruh baya berambut putih dengan wibawa mengerikan. Tatapannya tajam seperti elang yang siap memangsa mangsanya

Semua mata tertuju padanya. Pria yang selama ini ditakuti, dan sangat jarang munculnya di depan umum.

"Dia harus jadi suamiku," bisik Kania, suaranya hampir tak terdengar.

Melli mencubit lengannya

"Jangan gila! Dia kejam, tak ada satu pun wanita yang berani mendekatinya. Ayo Pergi dari sini sebelum semuanya terlambat"

Yuli menghadang mereka dan menarik lengan Kania dengan paksa. Ia tidak rela membiarkan mereka pergi begitu saja tanpa mendapat sepeser pun dari jerih payahnya selama ini.

Terjadi tarik menarik antara Yuli dan Melli memperebutkan Kania. Kania meronta, menghempaskan tangan keduanya. Dengan sagat yakin Kania memutuskan untuk ikuti Yuli menemui tuan Bram.

Yuli tersenyum sinis pada Melli, menggenggam erat tangan Kania lalu membawanya pergi. Sepeninggalan mereka, Melli terdiam di sofa, menyesali segalanya. Ia tahu, sekali terjerat dengan tuan Bram, sulit untuk keluar. Neraka atau mati mental, itulah pilihan yang menanti.

Pintu ruangan terbuka. Seorang pengawal mempersilakan Yuli dan Kania masuk.

Di dalam, tuan Bram duduk di kursi berukir naga, wajahnya dingin membara seperti api neraka.

Seorang pria bertubuh besar berdiri di sampingnya, menjaga dengan tatapan tajam.

Tubuh Kania gemetar, seolah tak sanggup berdiri di hadapan pria itu.

Namun tekadnya sudah bulat. Jadi istri tuan Bram adalah jalan satu-satunya untuk membalas dendam pada Herman, Elizabeth, dan keluarga yang telah menghancurkan hidupnya.

Tuan Bram menyuruh mereka duduk dengan suara berat namun tetap berwibawa.

Dengan rasa takut, keduanya duduk.

Yuli mengangkat kepala, namun tak berani menatap mata tuan Bram.

Menjelaskan pada tuan Bram kalau perempuan yang ia bawa masih gadis dan belum pernah di jamah.

Tuan Bram memandang Kania yang menunduk ketakutan. Keringat membasahi pakaiannya.

"Angkat wajahmu," perintahnya.

Suaranya tajam, menembus keheningan, membuat tubuh Kania semakin gemetar karena takut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!