MENGEJAR CINTA CEO TUA
Dari arah pintu, terdengar ketukan pelan yang memecah keheningan ruangan. Perlahan, daun pintu itu terbuka.
Di depan meja rias, Kania Saraswati, putri tunggal dari pasangan Herman dan almarhumah Saraswati duduk anggun mengenakan gaun pengantin merah marun yang berkilau di bawah cahaya lampu. Usianya baru 17 tahun, tetapi kecantikannya terpancar jelas. Rambutnya disanggul rapi dengan hiasan kecil di atas kepala.
Wajahnya berseri, senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Jemari halusnya sesekali membelai pipinya sendiri, seolah memastikan kebahagiaan ini bukan sekadar mimpi. Hari ini adalah hari pernikahannya, hari dimana ia bersatu dengan pujaan hatinya, Raymond pria tampan yang selama ini mengisi hari-harinya.
Langkah kaki bergema, kian mendekat. Dari pantulan cermin, seorang pria paruh baya berhenti di sisinya. Pandangannya tertuju pada gadis itu, mata teduh, namun menyimpan semburat iba yang tak bisa disembunyikan.
Gadis itu tersenyum manis dan berkata pada pria paruh baya itu kalau sebentar lagi dia akan turun.
Pria itu menunduk kaku, bibirnya bergetar setalah mengatakan kalau rombongan sudah pergi dan gadis itu dilarang kesana.
Kata-kata itu seperti cambuk yang menghantam dada Kania. Sejenak napasnya tercekat. Jemarinya menggenggam rok bergetar halus, matanya berbinar antara terkejut dan tak percaya.
Mana mungkin pesta itu berlangsung tanpa kehadirannya sebagai mempelai wanita? dan menyangka kalau itu hanya lelucon dari pria paruh baya itu.
"Aku… hanya menyampaikan perintah tuan," ucap pria paruh baya itu pelan, namun cukup tajam menusuk hati. Matanya tak berani menatap, seolah tahu bahwa kata-kata itu akan meruntuhkan harapan gadis itu.
Tanpa sepatah kata pun, Kania melesat menuruni anak tangga, langkahnya terburu-buru, nyaris terpeleset. Teriakan Ferdy tak ia peduli. Hatinya digelayuti tanya, dadanya sesak oleh ketakutan yang tak bernama. Dia harus sampai ke hotel. Harus memastikan sendiri. Mengapa ia ditinggalkan begitu saja.
Sebuah taxi melintas, tanpa pikir panjang, Kania menghentikan dengan tangan gemetar. Deru mesin membawa Kania menembus jalanan padatnya ibukota. Beberapa menit kemudian, taxi berhenti tepat di depan pintu utama hotel, gerbang menuju jawaban, atau justru awal dari luka yang lebih dalam.
Mobil mewah berjejer di halaman. Dari dalam hotel, mengalun musik merdu, irama yang menandai sebuah pesta megah tengah berlangsung.
Dengan langkah gontai, Kania melangkah masuk, menembus kerumunan tamu yang tertawa dan berbicara riang, seolah dunia mereka sempurna. Tak ada yang menyadari hatinya yang porak-poranda.
Makeup yang tadi sempurna kini mulai luntur, tersapu air mata yang jatuh tanpa henti, meninggalkan jejak pahit di pipinya.
Kania menegakkan bahu, berusaha menepis tatapan penuh bisik-bisik yang mengiringinya.
Belum sempat menginjakkan kaki di pelaminan, tangan kekar menarik lengannya. Tatapannya menusuk, bibirnya bergetar menahan amarah seolah berkata agar gadis itu segera pulang.
Kania menghempas tangan Herman dan melanjutkan langkahnya ke pelaminan.
Di atas pelaminan terlihat Tamara, adik tiri yang selama ini pura-pura manis, sedang bersanding anggun. Di sisinya berdiri Raymond, lelaki yang pernah berjanji sehidup semati pada Kania, lelaki yang seharusnya menjadi calon suaminya hari ini.
Herman melangkah cepat, hendak mengejar. Namun, Elizabeth, sekaligus ibu tiri Kania, sigap menghadang, jemarinya mencengkeram lengan pria itu. Pandangan tajam Elizabeth menjadi peringatan yang tak terucap.
Herman terhenti, napasnya berat, apalagi menyadari puluhan pasang mata tamu sedang menatap mereka lekat. Mau tak mau, ia menelan amarahnya bulat-bulat.
Kania menapaki anak tangga. Kakinya gemetar, nyaris tak sanggup menopang tubuh. Setiap langkah terasa berat, seperti menyeret beban hidupnya.
Butir-butir air mata jatuh membasahi gaun merah marun yang membalut tubuhnya, meninggalkan noda kecil di kain mahal itu.
Dengan dada berdegup kencang, Kania terus maju. Hanya beberapa langkah lagi dan ia akan berdiri tepat di hadapan kedua mempelai.
Deru nafas Tamara saling mengejar, nyaris tertelan oleh degup jantungnya sendiri.
Wajahnya pucat pasi, kedua matanya berkaca-kaca.
"Inikan yang kamu inginkan sejak awal? Merampas semua yang kumiliki."
Kania menatap tajam Tamara, tatapan yang cukup membuat udara di sekitarnya membeku. Jemarinya mengepal, namun tubuhnya tetap tegak, berusaha menjaga wibawa di tengah tatapan ratusan pasang mata memandang.
Tanpa sepatah kata, tanpa senyum basa-basi, Kania melangkah pasti menuju Raymond, sosok yang dulu ia yakini akan menjadi jembatan keluar dari neraka keluarga Herman.
Raymond hanya bisa menunduk, jemari tangannya bergetar. Ia tak sanggup menatap mata Kania yang menyala seperti bara yang siap melahap pengkhianat di depannya.
Kania mengangkat wajah Raymond dengan ujung jarinya, nyaris seperti perintah yang terbungkus luka.
Perlahan, Raymond mengangkat wajahnya. Tatapannya redup.
"Maaf... suaranya pecah, "...ini bukan keinginanku. Ayah dan Ibu lebih memilih Tamara."
Bibir Raymond bergetar lalu kembali menunduk, kaku bak patung.
Tangan Kania mengepal hatinya gejolak.
"Jadi selama ini… kamu anggap hubungan kita hanya permainan?
Apa bedanya kamu dengan robot" Kania tersenyum miris.
Plak.......
Tamparan keras mendarat di pipi Kania. Yunita, ibu Raymond, menunjuk tajam ke arah pintu dengan nada dingin.
Sejak awal, Yunita dan Rudy memang menolak keras hubungan Raymond dengan Kania. Mereka tahu Kania adalah putri Herman, saingan bisnis yang selama ini menjadi batu sandungan dalam usaha mereka.
Ketegangan itu mulai membaik ketika Elizabeth hadir di keluarga Herman. Menjalin kembali hubungan yang sempat retak dan membuka babak baru di keluarga mereka.
Menjodohkan Raymond dengan Tamara walau mereka tahu akan melukai hati Kania.
Sebelum pergi Kania berjanji akan kembali suatu hari nanti untuk membalas perbuatan mereka.
Kania melangkah anggun menuruni tangga, setiap langkahnya menggetarkan ruang, menuju pintu keluar dengan tatapan penuh makna.
Setelah kepergian Kania, pesta berlanjut tanpa jeda. Satu per satu tamu berdatangan, mengucapkan selamat untuk kedua mempelai.
Kania melangkah tanpa arah, tatapannya kosong. Setiap langkahnya goyah, beberapa kali hampir jatuh tersandung kerikil tajam.
Hampir satu jam berjalan, hingga akhirnya Kania memutuskan untuk kembali ke rumah.
Melihat kedatangan Kania, satpam berlari kecil membuka pintu gerbang. Kania melangkah masuk, namun tiba-tiba berhenti di tempat.
Kedua matanya terbelalak melihat pakaiannya berserakan di lantai tepat di depan pintu.
Kania berlari kecil, dengan tangan gemetar mengumpulkan satu per satu baju yang berserakan dan memasukkannya ke dalam tas.
Kania yakin ada orang yang sengaja melakukan itu.
Langkah kaki bergema di dalam rumah, sepatu hitam menghentak perlahan di atas tumpukan pakaian Kania.
Kania mengangkat kepala dengan perlahan. Di depannya, Leni, adik Elizabet berdiri dengan senyum tipis.
Kania mencengkeram keras baju yang diinjak Leni, menariknya hingga perempuan itu jatuh ke lantai.
Leni meringis kesakitan, memegangi pinggangnya yang terasa sakit.
Jeritan Leni memecah keheningan, membuat beberapa pelayan yang sedang lewat berlari mendekat untuk menolongnya berdiri.
Kania tersenyum puas, tatapannya tajam menantang perempuan berkepala dua itu.
Tanpa pikir panjang, Leni melayangkan tamparan ke arah Kania. Namun, Kania sigap menangkap tangan itu sebelum sempat mendarat di pipinya.
Mata para pelayan melebar, tak percaya melihat gadis Yang selama ini mereka anggap pendiam dan lemah kini memperlihatkan sisi keras dan berani.
Kania memutar tangan Leni dengan kasar, lalu mendorongnya. Sekali lagi, Leni terjatuh dan menjerit kesakitan.
Tubuh Leni terasa remuk, tak berdaya setelah dua kali terjatuh ke lantai.
Dari arah pintu gerbang, sebuah mobil mewah melaju pelan memasuki halaman rumah. Tak lain tak bukan, itu mobil Herman, Mereka datang setelah seorang pelayan menghubungi mereka.
Pintu mobil terbuka, satu per satu dari mereka keluar dari dalam mobil, Herman turun dengan raut wajah memerah, diikuti Elizabeth, Raymond dan Tamara yang sengaja bergelayut manja di lengan Raymond, mencoba menebar kecemburuan pada Kania yang sedang memperhatikan.
Herman melangkah cepat mendekati mereka.
Seorang pelayan buru-buru menjelaskan, tapi Leni mencegah.
Leni berdiri di samping Herman, memegangi pinggulnya yang masih sakit, dengan kepura-puraan, menceritakan kebohongan kepada Herman.
Mirisnya, tanpa berusaha mencari kebenaran, Herman langsung murka. Dengan kasar, Herman menampar wajah Kania, kemudian merampas tas dan kopernya, lalu membantingnya ke lantai dengan keras.
“Mulai hari ini, kamu bukan lagi anakku. Pergilah, dan jangan pernah kembali. Bagiku, kamu sudah mati.”
Bagai disambar petir, tubuh Kania bergetar hebat mundur ke belakang dan hampir jatuh. Ia tak menyangka Herman bisa sekejam itu padanya. Sosok yang dulu memanjakannya dengan penuh kasih sayang, kini berubah menjadi asing dan dingin sejak kehadiran Elizabet dalam keluarga mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments