Di kediaman keluarga Ling, Ling Xi diliputi kepanikan. Juan Li sang kekasih tiba-tiba datang berkunjung tanpa diundang. Padahal Ling Xi sedang ingin bermalas-malasan. Tanpa menunda, A Mei sang pelayan setianya segera membantunya mandi berendam di air kelopak bunga dan wewangian. Meski A Mei kurang setuju dengan hubungan mereka, ia tetap melayani Ling Xi dengan loyal sebab itu sudah menjadi tugasnya.
Kini Ling Xi tampil cantik dan harum. Sebelum menemui Juan Li, ia ingin menunjukkan lukisannya terlebih dahulu pada sang ayah yang kebetulan sedang berada di rumah. "Ayah, lihatlah, ini lukisan kota yang kubuat. Kalau Ayah ingin, akan kujelaskan detailnya," ujar Ling Xi.
Sang ayah menatap sekilas. Senyum miring tersungging di bibirnya melihat lukisan yang tampak seperti buatan amatir. Ia mengambil lukisan itu, membuat senyum Ling Xi merekah. Namun senyum itu seketika sirna saat sang ayah meletakkan lukisan itu begitu saja dan kembali sibuk, seakan-akan apa yang dibuat Ling Xi tidaklah penting.
"Ayah sepertinya sibuk," gumam Ling Xi.
"Ayah tidak ada waktu untuk melihat-lihat karyamu yang begini-begini saja," balas ayahnya. "Xi'er, di usiamu sekarang, jangan hanya bermain. Ini salah Ayah juga karena terlalu memanjakanmu saat kecil, hingga kau tidak bisa berpikir maju seperti sekarang."
Sebenarnya sang ayah adalah sosok yang baik, hanya saja ia jengah dengan Ling Xi yang tidak memiliki kemajuan membanggakan. Terlebih ada Xiu Ying, putri sambungnya yang selalu menjadi kebanggaan. Tanpa sadar sang ayah lebih menaruh perhatian pada Xiu Ying.
Saat Ling Xi hendak kembali berbicara, ibu tirinya menahan dengan lembut. "Xi'er, ayahmu hanya sedang banyak pekerjaan. Jika sudah senggang, Ibu akan bicara pelan-pelan padanya agar ia mau melihat karyamu. Bagi Ibu, ini sungguh mengagumkan."
"Mengagumkan?" tanya Ling Xi.
"Iya, sungguh mengagumkan," jawab sang ibu tiri lembut.
Sang ayah berdecak. "Jangan berlebihan. Apanya yang mengagumkan? Seharusnya kau didik Ling Xi agar bisa maju seperti Xiu Ying. Pujianmu hanya akan membuatnya besar kepala dan semakin malas."
Ibu tirinya berusaha menenangkan suaminya, namun sang ayah bergegas pergi meninggalkan Ling Xi dan istrinya tersebut.
"Aku permisi, mau menemui Jian Li di taman belakang." Ling Xi ikut berpamitan pada ibu tirinya setelah ayahnya pergi. Ibu tirinya mengangguk seraya tersenyum amat manis.
Setelah punggung Ling Xi hilang di balik pembatas, pelayan setia sang nyonya langsung bersuara, "Nyonya Luo, anda sungguh mengagumkan."
Luo menyahut, "Kau mengerti rupanya apa yang mengagumkan." Senyum miring terlukis di bibirnya saat ia menyerahkan gulungan lukisan milik Ling Xi pada pelayannya.
"Nyonya, lukisan ini mau diapakan?"
"Buang saja. Kau dengar sendiri tadi, suamiku tidak sudi melihatnya." Luo menepuk-nepuk telapak tangannya, seakan-akan baru saja memegang debu kotoran. Sandiwara menjadi ibu tiri yang penuh pengertian betapa mengagumkan.
Sementara pelayan pribadi Luo memegang lukisan Ling Xi tak jauh berbeda dengan sang majikan. Seperti sedang memegang kotoraan,
...****...
"Jian Li!" seru Ling Xi ketika langkahnya menginjak paviliun bambu di taman belakang.
Jian Li menoleh, menyambut sekenanya. "Ling Xi, duduklah di sini. Kudengar kau akan membawa kecapi?"
"Maaf sudah menunggu lama, kau datang tidak mengabarkan terlebih dahulu padaku." kata Ling Xi duduk di samping Jian Li.
"Tidak apa-apa." Jian Li kembali menatap ke arah Xiu Ying yang tengah memetik guqin di sisi kolam teratai. Melodi yang mengalir dari jemarinya sungguh merdu, bagai air terjun yang mengalir menuruni tebing. Orang yang melihatnya pasti terpukau.
Ling Xi melihat pandangan mata Jian Li begitu penuh kekaguman terhadap Xiu Ying. "Kak Xiu Ying memang hebat, bisa ini itu. Dan ia juga sangat cantik." Seru Ling Xi.
"Iya, sangat cantik...Tidak," potong Jian Li segera. "Ia memang hebat dan juga cantik. Aku datang ke sini karena ada yang mau aku sampaikan padamu. Untuk beberapa saat ke depan, aku akan sibuk. Ada kepentingan di keluargaku."
Belum sempat Ling Xi membalas, Xiu Ying yang telah selesai dengan musiknya bangkit dan berjalan menghampiri mereka.
"Adik-adikku, bagaimana jika kita bermain bersama?" tawar Xiu Ying dengan senyum cerah. "Kakak akan menari. Ling Xi, kau bisa memainkan kecapi yang kau bawa. Sedangkan Jian Li, kau menjadi penonton setia kami."
"Tapi Kak, aku hanya bisa memainkan lagu rakyat yang sederhana. Itu tidak sebanding dengan tarian Kakak yang elegan."
"Tidak masalah, aku akan mengikutimu."
Kekaguman Jian Li kian membesar melihat bagaimana Xiu Ying begitu mendukung Ling Xi, alih-alih meremehkan musik yang berbeda. Ling Xi mulai memetik dawai kecapinya. Alunan lagu rakyat yang sederhana namun penuh makna memenuhi taman.
Xiu Ying mulai menari. Gerakan-gerakannya mengalir lincah dan bersemangat mengikuti irama kecapi Ling Xi. Ia tidak lagi menari tarian istana yang anggun, tapi tarian bebas yang energik.
Pandangan Jian Li kembali terpaku pada Xiu Ying. Ling Xi melirik Jian Li, yang matanya tidak berkedip sedikit pun. Jari-jemari Ling Xi tetap memetik dawai, tapi alunan yang keluar kini sedikit sumbang karena suasana hatinya panas.
Jian Li tidak melihatku, ia hanya melihat Kak Xiu Ying. Gumam Ling Xi dalam hati.
Seandainya saja saat ini ia yang menari dan Xiu Ying yang memainkan musik, Ling Xi yakin seratus persen Jian Li tetap akan memandang Xiu Ying. Ling Xi terngiang-ngiang kembali perkataan A Mei padanya.
Jika perkataan A Mei benar, lalu mengapa Jian Li malah memilihku menjadi kekasihnya? Ini tidak bisa dibiarkan.
"Ling Xi, kenapa berhenti?" tanya Xiu Ying karena Ling Xi tiba-tiba berhenti memainkan kecapi.
Ling Xi tidak menjawab. Ia hanya menunduk sembari memegangi kepalanya. Lalu...
Bruk!
Ling Xi ambruk. Tubuhnya tergeletak lemas, sepertinya pingsan tak sadarkan diri. Xiu Ying dan Jian Li segera menghampirinya. Wajah Xiu Ying dipenuhi cemas, lalu ia meminta Jian Li untuk membopong Ling Xi ke kamarnya.
Saat Jian Li membopong tubuh Ling Xi, Xiu Ying mengikuti di belakang. Matanya menangkap sekilas kelopak mata Ling Xi yang terbuka, mengintip wajah Jian Li. Senyum tipis terukir di bibir Xiu Ying. Oh, ternyata dia hanya pura-pura, batinnya. Ia pun bersiap untuk memainkan perannya dalam sandiwara ini.
Ketika sampai di kamar, tubuh Ling Xi dibaringkan diatas tempat tidur. Jian Li mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk pipi Ling Xi perlahan. "Ling Xi, bangunlah. Apa yang terjadi?" Suara Jian Li terdengar penuh kekhawatiran.
Melihat itu, Xiu Ying langsung berujar ke pelayan pribadi Ling Xi.
"A Mei, tolong panggilkan tabib keluarga."
Ling Xi langsung menegang.
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Dewi Payang
Wah selamat untuk karya barunya kak, 1 vote buat karyanya... akhirnya bisa baca fantasi timur karya temen sendiri, cemangat✊🏻✊🏻✊🏻✊🏻
2025-08-03
1
Biduri 🎖️
Ini pujian tulus atau ada maksud tersembunyi? Biar Ling Xi jadi tak melebihi bakat putri kandungnya 🤔
2025-08-03
1
〈⎳ FT. Zira
yuhuuuuu.... aku mampir kak Zenun/Kiss//Kiss//Kiss//Kiss/keren nih ka Zenun .. sekarang main fantasi timur👏👏👏👏
2025-08-02
1