Hiruk pikuk kantin kampus menelan suara dunia, bau gorengan bercampur dengan kopi sachet mengambang di udara. Di sudut kantin, Vania duduk sendiri. Memilih menenggelamkan diri dalam irama dari earphone. Pelarian kecil dari kerumunan yang selalu membuatnya sesak.
“Lelet bener si Okta, beneran ada kelas gak sih?” gumamnya, menyesap es coklat yang sudah tinggal ampas. Keinginan untuk pergi ia tahan sedari tadi, demi kedatangan sahabatnya—yang tidak pernah tepat waktu.
Beberapa menit kemudian, Okta muncul sambil menenteng nampan berisikan semangkok bakso dan mie ayam. Senyum tanpa dosanya seakan menjadi stempel “maaf” permanen.
“Lama ya?” tanya Okta, melihat mimik Vania yang sudah masam.
“Nggak usah nyogok pake makanan, nggak mempan.” Balas Vania, sembari melepas earphone.
“Enak aja, ini punya gue. Laper ini, nggak sarapan tadi.” Sanggah Okta, mulai menyerbu baksonya.
“Lo beneran ada kelas kan? gue nunggu hampir satu jam.” Ujar Vania memulai protesnya.
“Iya, tadi lama karena mendadak jadi acara fan meeting dalam kelas, gara-gara si Rayhan sama Ali yang masuk kelas gue.” Jawabnya sambil mengunyah.
“Kenapa?”
“Lo tau kan Rayhan vokalis band Delta dari kampus kita?”
“nggak.” Jawab Vania datar.
Okta berhenti mengunyah, menatapnya tak percaya.
“Wahhh parah, padahal lo denger lagu mereka tiap hari.”
“Telen dulu, Ta. Keselek lo nanti.” Sahut Vania.
Okta menelan susah payah.
“Lo beneran gak tau? Padahal lo juga suka tiap lagu mereka diputer di speaker kelas. Semua orang di kampus juga tau, makanya tadi pada ngerubutin Rayhan kek semut.”
“Oh, baru tau gue.” Ujar Vania, mencoba mengorek es batu dari gelas dengan sedotan.
Tiba-tiba Brak!– Okta menggebrak meja. Seisi kantin menoleh ke arah mereka. Bahkan es batu yang hendak Vania kunyah jatuh terpental.
“Gue baru ingat! Gue nyari lo soalnya ada berita penting!” seru Okta dengan heboh tanpa memperdulikan pandangan orang.
“Kalem, Ta. Orang ngeliatin semua, tuh. Apa, sih?” Vania mulai risih.
Okta sedikit mencondongkan tubuhnya dan berbisik pelan pada Vania.
“Rayhan follow IG lo.”
“Gue kan gak punya IG.” Sahut Vania heran.
Deg
Bagai disambar petir, Okta baru mengingat sesuatu yang selama ini tak pernah ia ungkap. Entah ia pikun, atau memang inilah saatnya ia berterus terang. Meski ia tahu, kemungkinan besar hubungan mereka akan berubah canggung.
“Kenapa, Ta?” Vania melihat wajah Okta berubah serius.
Hening, Okta memejamkan matanya, mendadak napasnya memberat. Seakan menyiapkan nyali, sendok ia letakan, tangannya mengepal di atas paha, tubuhnya kaku.
“Sebenernya ... ada yang mau gue akuin.” Okta menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya dari pandangan Vania yang kebingungan.
“Sebenernya ... Lo tau kan gue sering fotoin lo? Karena sayang fotonya numpuk di galeri, gue ... akhirnya bikin akun IG pake nama dan foto lo. Hingga Rayhan follow dan gue excited mau ngasih tau lo. ” Ucap Okta yang tiba-tiba membuat pengakuan dosa.
Vania terdiam, hanya tatapannya yang menusuk.
“Gue tau gue salah, Gue minta maaf yah. Nggak seharusnya gue ngelakuin itu tanpa izin lo. Gue bener-bener minta maaf. Kalau lo mau, gue hapus akunnya sekarang.” Ucap Okta penuh sesal, matanya masih memejam, tidak berani menatap wajah kecewa Vania.
Hening, Vania menghembuskan napas beratnya.
“Jujur gue kecewa, tapi lo udah berani ngaku, kali ini gue maafin. Enggak buat kedua kali.” Ujar Vania, bibirnya melengkung tipis–lebih ke irisan senyum daripada maaf penuh.
Okta mendongak, matanya berkaca-kaca. Ia mendekati Vania dan memeluknya erat. Vania terdiam, sesekali menepuk pelan punggung Okta.
Di luar, kantin tetap riuh. Namun di meja itu, ada keheningan yang tak bisa dibeli.
Namun, keheningan itu tak berlangsung lama. Tiga pemuda tampan datang, duduk di kursi yang tersisa. Membuat suasana kantin yang sedari tadi ramai kian menjadi.
“Pelukan mulu kek Teletubbies.” Ledek Ali, bibirnya melengkung nakal, membuat Okta melirik tajam.
Sedangkan Vania terdiam, memandang meja makannya mendadak penuh.
“Pandu, kenapa ngajak mereka ke sini, sih? Biasanya juga kalian nggak pernah ke kantin.” Protes Okta, terganggu dengan kehadiran anggota band Delta. Terlebih, sejak tadi mereka membicarakan Rahyan—topik yang justru membuatnya merasa bersalah pada Vania.
Dan benar saja, Vania hanya terdiam, jelas tak nyaman. Sementara itu, Rayhan menatapnya dengan lekat.
“Emang kantin ini punya bapak lo? Suka-suka kita lah.” Balas Ali, sambil meraih mie ayam milik Okta yang belum sempat terjamah.
Sebelum Okta mengatakan sumpah serapahnya, Pandu buru-buru menenangkan kekasihnya.
“Gue beliin mie ayam yang baru ya, yang ini udah melar.” Ucapnya sembari berdiri dari duduknya. Okta mengangguk setuju.
“Lo beruntung hari ini.” Kata Okta pada Ali dengan nada kesal.
“Gue titip es jeruk.” Ujar Ali, tak menanggapi kekesalan Okta.
Sementara meja itu riuh oleh perdebatan mie ayam, Vania dan Rayhan justru terperangkap dalam diam, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
Rayhan menatap gelas Vania, memperhatian es batu yang sedari tadi diputar-putar—digoyang tanpa sadar oleh Vania.
“Semalem gue follow IG lo, Van.” Kata Rayhan akhirnya, mencoba menarik perhatian Vania.
“Brrfft!” air minum muncrat dari bibir Okta, disemburkan seperti pistol air yang tak sengaja di tembakkan. Membasahi wajah Ali yang tepat di hadapannya.
Rayhan tertawa renyah melihat Ali yang mulai uring-uringan akibat ulah Okta. Pandangannya beralih pada Vania yang masih setia dengan diamnya, namun bibir gadis itu melengkung membentuk senyuman tipis. Mungkin karena melihat tingkah teman mereka yang tak pernah lepas dari kegaduhan.
“Lo tau kalau gue follow, kan?” tanya Rayhan sekali lagi.
“Iya, tau.” Jawab Vania singkat.
Senyum Rayhan melebar, “Lo masih ada kelas nggak? Kalau nggak ada, mau gue anterin pulang? Kali ini gue bawa mobil bukan sepeda lagi.”
“Nggak perlu, gue bisa pulang sendiri.” Tolak Vania.
“Tapi lo nggak bawa kendaraan kan? Sama gue aja.”
“Makasih, gue biasa naik KRL.”
“Kalau naik kereta sumpek, mending pake mobil aja.”
“Pake mobil macet.”
Rayhan membisu, kehabisan kata-kata. Ali justru terbahak, menikmati momen langka Rayhan—si paling percaya diri mendapatkan penolakan telak.
“Okta, gue pulang dulu ya.” Pamit Vania pelan, sebenarnya ia mencari jalan keluar dari suasana yang menyesakkan. Apalagi, dengan tatapan yang terus memburunya sejak tadi.
“Hah? O-oke, hati-hati ya.”
Tanpa aba-aba, Rayhan menahan lengan Vania, menghentikan langkahnya.
“Gue anterin ya?” ucapnya sekali lagi, entah sudah terulang berapa kali.
“Apa sih? Lepas! Kenapa juga lo kekeuh banget mau anterin gue?” Vania menatapnya kesal.
“Karena gue suka sama lo!” seru Rayhan dengan lantang.
Suasana kantin terhenti seketika. Riuh tawa dan denting sendok menguap lenyap, diganti dengan keheningan yang menekan. Bahkan Ali membeku, mie yang tergantung di mulutnya pun jatuh tanpa sempat ia kunyah. Dari segala arah, mata-mata menoleh, gumaman tak percaya mulai berbisik di udara yang berubah berat.
Vania membisu, matanya membelalak, tak percaya pada apa yang barusan ia dengar. Atau mungkin, kemarin Rayhan terkena sengatan listrik dari senternya yang membuatnya jadi gila.
“Lo waras?” tanya Vania setengah tak percaya.
“Nggak, gue tergila-gila karena lo. Dan Lo harus tanggung jawab.”
Teriakan histeris bercampur kecewa menggema di Kantin yang menjadi saksi pengakuan gila dari Rayhan—primadona Kampus. Sedangkan Vania, masih terpaku tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Siang itu, perasaannya seolah Roller Coester, campur aduk hingga membuatnya kalut.
“Jadi, lo harus jadi pacar gue.” Ungkap Rayhan tiba-tiba.
Vania benar-benar dibuat tak bisa berkata-kata, sepertinya Rayhan benar-benar sudah tidak waras. Bagaimana mungkin ia tiba-tiba menyukainya, padahal hanya dua kali mereka bertemu. Bahkan, terakhir kali Vania menodongnya dengan senter listrik.
Ali yang melihat fenomena langka itu bergumam pelan.
“Seniat itu lo pengen liat gue joget velocity, Ray?”
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Jemiiima__
ini udh depan org² loh vania, asli gakan diterima?
2025-09-03
0