Vania Celesstine sedang memandangi pantulan dirinya di cermin. Sepasang mata bulat menyala, hidung yang lancip, serta bibir mungil menghiasi wajah kecilnya. Duduk dengan pasrah ketika Okta memainkan rambutnya.
"Bisa gak model yang lain?" Rayu Vania memelas.
"Enggak."
"Jelek ini, masa gue harus keluar rumah kaya gini? protes Vania lagi.
"Lo kan udah kalah main game tadi, ini hukuman!" serunya tak terima protes. Vania diam tak ingin beradu mulut lagi, sudah pasti dia akan kalah. Main game saja kalah!
"Tuh, cantik dan imut." Pujinya sembari mengangkat mahakaryanya. Okta mengepang rambut Vania dengan begitu rapi menjadi dua bagian.
"Kaya bocah SD."
"Cocok lah. Lo kan pendek." Candanya di sambut pukulan pelan di lengannya.
"Gue enggak mau keluar. Malu!"
"Yakin nih?"
"Padahal hari ini kafe Sunny launching menu dessert baru. Yakin nih gak mau?" tanya Okta sekali lagi. Dia tahu pasti apa kelemahan Vania. Pecinta makanan penutup, semua hal yang manis tak mungkin bisa dia tolak.
Vania memejam seolah menimbang, tetapi tak butuh waktu lama ia pun tersenyum dan berdiri dengan penuh semangat.
"Ayo, Ta. Tunggu apa lagi? Nanti keburu habis!" seru Vania.
Melihat itu Okta hanya menggeleng pelan dan menyusul Vania yang sudah keluar dari kamar. Vania pun berpamitan pada Sekar—mama Vania.
"Ma, Vania keluar dulu ya." Pamitnya.
"Iya, hati-hati naik motornya." balas Sekar tanpa menoleh, matanya sedang sibuk membaca koran pagi.
"Iya Ma."
"Ayah, Vania main dulu." Vania menyentuh bingkai foto keluarga yang di pajang. Mengusap lembut wajah pria yang sudah lama meninggalkannya. Ayahnya sudah berpulang semenjak ia berusia 7 tahun karena kecelakaan. Mamanya juga tidak ada niatan menikah lagi, dekat dengan pria lain saja tidak pernah. Mungkin sifat Sekar juga menurun pada Vania, yang hatinya masih terukir nama Jalu.
***
Vania melepas helmnya, merapikan poni dan beberapa helai anak rambut yang berantakan. Sedangkan Okta, masih sibuk memarkirkan motor matiknya dengan rapi.
Sebuah bangunan kecil di dekat taman kota, bernuansa musim semi menjadi tujuan utama mereka hari ini. Harum kopi menyapa indra penciuman Vania. Meski bukan penikmat kopi, deretan kue yang tertata rapi membuat Vania tak sabar ingin mencicipi.
Tiba-tiba ponsel Okta berdering.
"Van, gue angkat telpon dulu bentar ya. Lo masuk dan pesan duluan. Gue nitip ice americano."
Vania mengangguk dan masuk tanpa peduli urusan Okta. Yang terpenting buatnya hari ini adalah Brownies—Dessert favoritnya. Perpaduan antara manis dan pahit, seperti kenangannya bersama Jalu.
Ia mendengus pelan. Lagi-lagi, bayangan Jalu menyelinap. Entah sudah berapa kali sejak pertemuan terakhirnya itu, Vania terus memikirkan Jalu walau sejenak.
"Kak, pesen ice blend choco dengan ekstra whip creamnya satu, kue brownies satu. Sama menu dessert yang baru satu ya."
"Baik, kak. Ada tambahan yang lain?" tanya pegawai kafe itu dengan ramah.
"Oh iya, ice americanonya satu." Hampir saja Vania lupa pesanan Okta, bisa kena omel dia nanti.
Setelah memesan, Vania duduk di meja kosong. Suara musik akustik mengisi ruangan, menciptakan susana kafe yang menenangkan. Saat tengah menikmati hidangannya, suara ketukan di meja mengejutkannya.
Seorang pria tampan, dengan rahang tegas dan mata yang cukup tajam, tapi tetap terlihat ramah. Hidungnya mancung—standar cowok good-looking pada umumnya. Dia berdiri dengan memegang minuman di tangannya. Senyumnya manis, cukup untuk membuat beberapa wanita di kafe itu terpesona. Sayangnya, pesonanya tak berlaku untuk Vania.
"Sorry nih ganggu, boleh duduk di sini gak?" tanya pria itu masih dengan senyum manisnya.
Vania melirik sekitar, mencari alasan kenapa pria tampan itu ingin duduk bersamanya. Pantas saja, semua meja di kafe itu sudah penuh. Satu-satunya yang kosong hanya meja tempatnya sekarang, dengan tiga kursi tersisa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu fokus melanjutkan kegiatannya yang tertunda: menikmati hidangan manis favoritnya.
Pria itu duduk tanpa memutus pandangannya dari Vania, memperhatikannya dengan lekat seolah mencari sesuatu di wajahnya.
"Saya mau makan kue, tolong jangan ganggu." Pinta Vania.
"Sorry nih gue mau tanya. Lo lagi cosplay jadi Wendy di film Wednesday ya?"
Ada saja pertanyaan aneh macam itu, padahal Vania hanya mengepang dua rambutnya sudah dikira cosplay.
"Enggak." Jawabnya singkat, ia malas menanggapi. Mood-nya buat santai dan menikmati makanannya langsung ambyar. Apalagi, sahabatnya itu tak kunjung muncul, hingga es di minumannya mulai mencair.
Ketika Vania hendak menghubungi Okta, terdengar suara pintu kafe terbuka. Okta masuk bersama pria asing. Tapi yang menarik, pria asing itu justru terlihat terkejut melihat pria tampan yang duduk di samping Vania.
"Rayhan, kok lo bisa di sini?" tanya pria itu.
"Gue lagi nunggu si Ali, mau ngerjain tugas bareng." Jawab Rayhan santai.
"Sejak kapan lo deket sama Rayhan, Van?" Kini giliran Okta yang bertanya. Entah kenapa, situasinya seperti Vania yang ketahuan selingkuh.
"Enggak kenal, cuma numpang duduk aja." Balas Vania malas.
"Lagian yang harusnya tanya tuh gue. Siapa cowok di samping lo sekarang?" imbuhnya meminta penjelasan.
Spontan Okta tersenyum lebar sebari bergelayut manja di lengan pria itu.
"Kenalin, ini Pandu pacar gue." Ujarnya dengan tersipu malu.
"Sejak kapan? Kok gak bilang-bilang?" seru Vania terkejut.
"Sudah seminggu dan hari ini rencananya mau ngenalin Pandu ke elo. Sorry ya, gue baru cerita sekarang." Balas Okta mencoba menjelaskan.
"Oke, gue maafin sekarang. Tapi lo harus jelasin semuanya pas pulang."
Vania masih tercengang dengan kabar mendadak dari Okta. Ia juga merasa kikuk berada di antara orang-orang asing, dan kini menjadi pusat perhatian. Rayhan menatapnya terang-terangan, tanpa usaha menyembunyikan ketertarikan. Sementara itu, Okta justru meninggalkan dia seorang diri untuk memesan minuman lagi. Dan bagi Vania, momen itu terasa sangat lama!
"Udah kali, Ray. Ngeliatinnya gitu banget, bisa bolong tuh muka." Tegur Pandu.
Namun, Rayhan tak mengindahkan perkataan Pandu. Ia tak henti memandang, sembari menopang dagunya, mengamati Vania yang sibuk dengan kuenya.
"Lo mahasiswi dari Univ Merdeka?" tanya Rayhan pada Vania.
"Iya."
"Lo gak kenal gue?"
Vania mengernyit, merasa aneh dengan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
"Rayhan?"
"Sekarang lo inget?" terlihat mata Rayhan berbinar, ia mendadak girang.
"Apa sih? Kan tadi udah dikenalin sama Pandu dan Okta." Ujar Vania heran.
Sementara itu, Pandu hanya mengusap wajahnya, malu dengan tingkah konyol sahabatnya. Wajah Rayhan memang tampan, dan hal itu juga yang bikin dia kelewat percaya diri.
"Masa gak kenal? Seisi kampus kenal gue, minimal tau siapa itu Rayhan." Ungkap Rayhan masih tak menyerah.
"Udah, Ray. Gue yang malu ini." Lerai Pandu mencoba menghentikan sahabatnya yang berharga diri tinggi.
"Gak bisa, gue penasaran!" Timpal Rayhan.
"Anak presiden?" tanya Vania sembari menyeruput ice blendnya hingga tak tersisa.
Tawa Pandu pun pecah, takjub dengan pertanyaan Vania yang sukses membuat Rayhan melongo.
"Kalau bukan terus siapa? Yang namanya Rayhan bukan lo doang." Sambungnya.
Tak lama, Okta datang dengan membawa dua minuman. Heran melihat Pandu yang tertawa sampai tersengal. Sementara Vania sudah menghabiskan semua hidangannya. Rayhan menepuk-nepuk dadanya, seolah bersiap dengan sesuatu yang penting.
"Perkenalkan, gue Malik Rayhan Aryasetya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Mezaa
semangat terus ya, cerita ini lumayan menarik loh
2025-08-09
1
Kuroi tenshi
Nyesel kalo gak baca.
2025-08-05
1