Malam ini, rembulan menggantung cantik di langit, membalut bumi dengan cahaya lembut. Membuat segala luka tersamarkan. Vania harap, lara yang pernah tertoreh di hatinya pun ikut tersamarkan. Meski dua tahun ia mencoba menyembuhkannya, nyatanya tak semudah yang terucap.
Vania menghirup dalam-dalam udara malam ini. Dari balkon tempatnya berdiri, ia mengamati sekeliling rumah, melihat beberapa orang yang sedang joging. Rasanya, ia ingin ikut berjalan menikmati udara malam, sekalian membeli beberapa camilan di luar.
“Ma, Vania mau ke minimarket depan yah.” Pamitnya meminta izin.
“Iya bentar, mama rapihin alat masak dulu. Kamu tunggu di depan aja.” Ucap Sekar yang masih sibuk mengeluarkan perabotan dapur dari dalam kardus besar.
“Vania mau jalan kaki aja, sekalian lihat-lihat sekitar.”
“Udah malem ini, nggak takut kamu?” tanya Sekar.
“Masih jam delapan, Ma. Banyak orang joging juga di luar. Mama lanjutin aja beberesnya.” Ujar Vania mencoba menenangkan.
“Tapi kalau ada apa-apa, telpon mama ya.”
“Iya, Ma.”
Vania melangkah keluar, lalu menoleh ke belakang, menatap rumah barunya. Rumah yang dibeli Sekar dengan menabung bertahun-tahun dari kerja kerasnya sebagai Chef. Menggantikan rumah lamanya yang penuh kenangan dengan sang Ayah.
Sekar ingin pulang dengan suasana baru, tanpa rindu yang sendu. Baginya, kenangan cukup untuk dikenang bukan diratapi. Karena hidup adalah tentang hari ini dan esok.
Vania tersenyum kecil, “Mama saja butuh bertahun-tahun untuk merelakan Ayah. Gue berapa lama yah?” gumamnya pelan.
***
Kini, di hadapannya terhampar pilihan paling sulit di dunia. Mata bulatnya sibuk menyusuri setiap minuman yang terpajang. Menyeleksi mana yang berhasil menarik perhatiannya. Sebenarnya, kalau mengikuti kata hati, Vania ingin membeli setiap rasa dan jenisnya.
Ketika pikirannya sibuk memilah susu, terdengar suara berat yang mengejutkannya.
“Vania, hai. Lagi belanja juga?” sapa pria berpostur tinggi yang kini berdiri di hadapannya.
Vania mengernyitkan dahi, mencoba mengingat apakah ia mengenal sosok pria yang bertubuh tinggi dan tegap itu. Lehernya sampai terasa kaku karena mendongak ke atas.
“Siapa?” tanya Vania tak menemukan nama yang terlintas. Matanya menatap curiga pada Pria yang kini menutup mulutnya dengan dramatis.
“Gue Rayhan. Masa lo lupa lagi?” Rayhan lagi-lagi di buat speechless dengan Vania, yang selalu tidak mengenalinya. Padahal ia saja bisa langsung mengenali Vania dengan sekali kedip.
Vania terdiam sejenak, lalu detik berikutnya ia baru menyadari siapa Pria itu, memang benar dia adalah Rayhan. Pria dengan kepercayaan diri yang tinggi, bagaimana bisa Vania melupakan tingkah Rayhan kala itu?
“Oh, hai.” Sapanya singkat, lalu pandangannya mengarah pada keranjang belanjaan Rayhan yang penuh dengan produk kewanitaan.
Melihat arah pandang Vania, Rayhan buru-buru menyembunyikan keranjang di belakangnya. Malu kini menyelimutinya, ini semua karena ulah si kembar.
“Ini punya kakak gue, bukan punya gue. Gue Cuma disuruh.” Kilahnya dengan cepat.
“Iya gue paham.” Balas Vania, datar tanpa ekspresi. Seolah ia tak peduli dengan urusan Rayhan. Lalu Vania memutuskan mengambil susu coklat rasa almond sebanyak 5 kotak, dan pergi meninggalkan Rayhan.
Setelah melakukan pembayaran, Vania keluar dan di ikuti Rayhan di belakangnya.
“Lo ternyata tinggal di sekitar sini juga?” tanya Rayhan basa-basi.
Vania menatap tajam Rayhan, merasa tidak nyaman dengannya yang terus membuka obrolan. Ia selalu memiliki perasaan was-was jika berdekatan dengan orang asing. Sungguh, sekarang ia rasanya ingin kabur!
“Iya, baru pindah kemarin.” Jawab Vania.
“Serius? Di blok mana?”
“Lo gak bawa kendaraan, kan? Mau gue anterin?”
“Pake sepeda gak masalah, kan? Soalnya gue Cuma bawa sepeda.” tanya Rayhan mengebu-gebu sembari menunju sepedanya.
Akan tetapi, nasib memang tidak berpihak padanya. Nyatanya sepeda yang ia bawa justru tanpa boncengan. Vania masih diam menatap ekspresi Rayhan yang berubah masam, padahal ia juga tidak tertarik pulang bersamanya.
Vania pun berjalan meninggalkan Rayhan yang masih termenung menatap sepedanya.
“Tunggu, Van. Gue temenin ya?” Rayhan buru-buru menghampiri Vania yang berjalan jauh dengan menaiki sepedanya.
“Gue bisa pulang sendiri.” Jawab Vania sedikit ketus.
“Nggak baik tau, cewek cantik keluar malem sendiri. Nanti ada orang mencurigakan gimana?”
Vania berhenti melangkah, diikuti Rayhan yang berhenti mengayuh pedal. Tangan Vania merogoh sesuatu di saku jaket. Lalu mengeluarkan benda silinder sepanjang genggaman, sekilas tampak seperti senter biasa. Dan ia mengarahkannya pada Rayhan.
“Senter? Oke lah buat nerangin jalan.”
Crack! Crack!
Di ujung senter, tepatnya di lingkar logam, dua elektroda perak memercikkan listrik, dengan kilatan biru yang menyala. Rayhan terpelonjak saat mengetahui bahwa itu bukan senter biasa. Jantungnya seolah ikut meloncat, tertegun melihat Vania yang tega mengarahkan listrik padanya.
“Menurut gue, orang mencurigakan itu elo.” Ujar Vania sinis.
“Gue cuma mau nganterin lo, nggak ada maksud apa-apa.” Jawab Rayhan tak terima. Walaupun, dia memang ada maksud tersembunyi mendekati Vania karena taruhan. Tapi tentu saja ia simpan rapat-rapat.
“Gue bisa jaga diri.” Tolak Vania, ia kembali melangkah menghidar dari pandangan Rayhan.
“Tapi–”
“Pergi! Gue bisa sendiri.” sela Vania sedikit memekik, seraya menyorotkan senter kejut ke arah wajah Rayhan.
Rayhan terpaku sejenak, lalu melangkah mundur dengan berat.
“Oke, fine! Gue pergi.” Sahut Rayhan, sembari menaiki sepedanya dan melaju pergi meninggalkan Vania yang masih berdiri tegak.
“Sampai jumpa di kampus!” serunya dengan melampaikan tangan dan menghilang di kegelapan malam.
Vania mengamati sosok Rayhan yang menjauh dan akhirnya perlahan menghilang dari pandangannya. Baru kemudian ia bisa bernapas lega. Matanya menoleh ke senter kejut di genggamannya—hadiah dari Okta, yang ternyata lebih berguna dari yang ia kira.
“Ampuh juga nih.” Gumamnya pelan, setengah tersenyum.
***
“Ini pesanan anda nyonya.” Ucap Rayhan, memberi sekantong plastik berisi pembalut pada Elma.
“Thanks.”
“It’s ok.” Jawabnya dengan bibir yang melengkung ke atas.
“Kenapa dia? Kesambet?” tanya Elsa yang keluar dari dapur, melihat Rayhan tengah senyum-senyum sendiri.
“Biasanya kalau disuruh, pulang-pulang ngedumel. Ini malah cengar-cengir.” Lanjutnya.
“Kesemsem mpok Siti mungkin.” Jawab Elma ngaco.
“Yang janda itu?” tanya Elsa syok.
“Wahhh, gosip besar nih.” Sambungnya lagi.
Sedangkan Rayhan, menghiraukan celotehan kedua kakaknya. Pikirannya mendadak penuh dengan Vania, ia pun terkekeh mengingat tingkah Vania yang menurutnya lucu. Bukannya merasa kesal karena diusir, Rayhan justru merasa tertarik pada Vania.
Baru kali ia diminta menjauh, biasanya para gadis yang habis-habisan meminta perhatiannya. Satu kali kedipan saja, bisa membuat mereka terpesona dan mengejar-ngejar dia. Tapi, seorang Vania, menolak ajakannya dan bahkan menodongnya dengan senter kejut. Sekali lagi, Rayhan tertawa saat mengingatnya.
Rayhan merebahkan tubuhnya di atas kasur, merogoh ponsel dalam sakunya dan mengetik sesuatu di sana.
“Vania, Vania, Vania.” Ucapnya bak merapal mantra.
Ujung jemarinya bergerak cepat, menggulir layar tanpa henti. Rayhan menelusuri satu demi satu akun, matanya tak lepas dari layar. Sampai sebuah foto profil menghentikan gerakannya—Vania, dengan jepit rambut berbentuk beruang, tengah tersenyum kecil di perpustakaan.
“Cantik.” Ucap Rayhan tanpa sadar.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Mezaa
iya, trimakasih untuk updatenya..
semangat terus berkarya dan jangan lupa update ya, cerita mu menarik untuk di baca.
aku menantikan kisah mereka berdua selanjutnya
2025-08-10
1
Jemiiima__
mupon vania mupooon
2025-09-03
0
Zivy Vierra
lanjut thorrr
2025-08-27
0