tamu yang membawa luka lama

Malam itu, setelah sambungan telepon dengan Bu Santi berakhir, Laila terduduk lama di pojok tempat tidur. Ia merasa sedikit lega, seperti baru saja melepaskan batu besar yang selama ini menekan dadanya. Tapi setelah itu, muncul rasa bersalah—apakah yang ia lakukan ini benar? Mengadukan suaminya sendiri? Tidakkah itu termasuk membuka aib rumah tangga?

Namun di sisi lain, ada suara kecil dalam dirinya yang terus berbisik: “Kamu juga manusia, kamu juga berhak bahagia. Kamu juga punya batas.”

Laila tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Ia baru tertidur menjelang subuh, itupun dengan mata masih basah.

Pagi datang terlalu cepat. Belum sempat mata terbuka sempurna, suara nada dering ponsel Arfan membuat tubuh Laila menggeliat lemas. Arfan, yang masih setengah sadar, mengangkat telepon dengan suara serak.

“Iya, Bu? …Oh… Besok? Serius? …Ya, ya, nggak apa-apa. Ya udah, kami tunggu, Bu…”

Arfan menutup telepon dengan cepat dan langsung berseru, “Sayang, Ibu dan Bapak mau nginep seminggu di sini. Katanya lagi pengin lihat kita langsung.”

Laila membalikkan badan dengan pelan, berusaha menyembunyikan kekejutannya. “Seminggu, Mas?”

“Iya. Ibu bilang kangen, katanya juga pengin lihat kabar kamu. Ya, biasa lah, mereka juga nanya soal anak…” Arfan menguap lebar.

Laila tercekat.

Bukan karena ia tidak suka pada mertuanya, tetapi karena setiap kali kedua orang tua Arfan datang, selalu ada satu topik yang tak pernah absen: keturunan.

Sudah tiga tahun usia pernikahannya, dan belum sekali pun ia berhasil hamil. Setiap bulan, saat haid datang, perasaan bersalahnya pun ikut menumpuk. Dan lebih parahnya lagi, tekanan dari orang lain seperti menyiram garam ke luka terbuka.

“Aku mau tidur lagi ya…” gumam Arfan. “Tadi malam capek…”

Capek? batin Laila, pahit. Yang capek sebenarnya siapa?

Keesokan harinya, rumah Laila penuh dengan aroma masakan. Sejak pagi, Laila sudah bangun untuk menyiapkan hidangan kesukaan mertua. Ia tahu, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menjaga citranya sebagai menantu baik.

Tepat pukul sembilan pagi, sebuah mobil sedan tua berhenti di depan rumah.

“Assalamu’alaikum!” seru suara berat Pak Harun, ayah Arfan.

“Wa’alaikumussalam,” Laila menjawab sambil membuka pagar. Senyum dipaksakan.

Dari balik pintu mobil, muncul Bu Yani, ibu Arfan, dengan wajah bersinar dan langkah bersemangat. Tapi begitu matanya menatap perut Laila yang masih rata, wajah itu langsung berubah sedikit.

“Wah, Laila makin cantik. Tapi… masih belum isi juga ya?” tanyanya tanpa basa-basi.

Laila menunduk, tersenyum tipis. “Belum, Bu. Masih belum rezeki.”

Bu Yani langsung mendecak. “Kamu tuh harus rajin minum jamu. Atau coba rukiah. Jangan banyak pikiran. Jangan-jangan karena kamu kurang fokus ngurus rumah tangga.”

Laila ingin sekali menjawab bahwa tubuhnya bukan mesin. Tapi ia hanya bisa menahan napas dan menarik bibirnya untuk tersenyum lagi.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti neraka kecil bagi Laila.

Pagi-pagi, Bu Yani sudah menyindir. Siang hari, membandingkan dengan menantu tetangga yang baru menikah dua bulan tapi langsung positif hamil. Malam hari, Arfan malah makin menjadi-jadi karena merasa bangga orang tuanya ada di rumah.

Dan anehnya, di depan orang tuanya, Arfan selalu berperan menjadi suami idaman. Memanggil Laila dengan sebutan sayang, pura-pura menyentuh lembut tangannya, sesekali memuji masakannya.

Padahal, Laila tahu, semua itu hanya topeng.

Setiap malam, setelah pintu kamar ditutup, Laila kembali menjadi sasaran hasrat Arfan yang tak pernah kenyang.

“Mas, besok Ibu mau ikut aku ke pasar. Aku harus tidur duluan, ya?” ujar Laila suatu malam sambil menutup tirai jendela.

Arfan hanya menatapnya, lalu menepuk kasur. “Duduk sini dulu. Peluk aku.”

Laila mendekat, walau hatinya bergetar. Saat duduk di samping Arfan, tangan suaminya langsung menyusup ke balik punggungnya.

Laila menunduk. “Mas, jangan dulu ya malam ini…”

Arfan mengerutkan dahi. “Kenapa? Kamu haid lagi?”

“Enggak, tapi aku capek…”

Arfan mendesah. “Kamu tuh ya, selalu aja ada alasan. Makanya nggak hamil-hamil. Kamu dingin banget.”

Ucapan itu menyayat hati Laila lebih dalam dari tamparan.

Arfan langsung berbalik tidur tanpa berkata apa-apa lagi.

Laila menatap langit-langit kamar yang gelap. Air matanya mengalir lagi. Ia merasa makin tersudut. Dianggap tak subur. Disalahkan atas hal yang tak pernah ia minta. Bahkan tidak diberi ruang untuk bernapas.

Keesokan harinya, saat Bu Yani sedang membantu menyapu halaman, ia kembali membuka obrolan yang menyakitkan.

“Kamu tahu gak, Lai, dulu Ibu juga lama gak hamil. Tapi Ibu rajin minta air doa dari ustaz. Gak pernah nolak kalau Bapak minta. Kamu tuh mungkin kebanyakan nolak Arfan. Suami tuh harus dilayani kapan pun dia mau, itu juga ibadah.”

Laila menggigit bibir. Tangan yang memegang sapu mulai bergetar. Ingin rasanya ia menjawab bahwa ia bukan robot. Bahwa tubuhnya bukan milik siapa pun selain dirinya. Tapi bibirnya terlalu takut.

“Insya Allah, Bu. Laila usahakan,” jawabnya pelan.

Malam itu, Laila kembali menghubungi Bu Santi melalui chat WhatsApp. Ia mengetik dengan tangan gemetar.

“Bu, saya semakin tertekan. Orang tua suami saya datang, dan mereka menyalahkan saya karena belum punya anak. Padahal saya sudah ikhlas. Tapi mereka menuduh saya dingin, dan suami saya ikut menganggap saya penyebab semua ini.”

Beberapa menit kemudian, balasan masuk.

“Bu Laila, saya tahu ini berat. Tapi Ibu sudah bertahan sejauh ini, dan itu luar biasa. Tapi kalau Ibu terus menyimpan semuanya sendiri, luka ini akan makin dalam. Bolehkah saya bantu Ibu menjadwalkan sesi lanjutan minggu depan? Atau jika Ibu siap, kami juga bisa arahkan ke psikolog klinis untuk bantu Ibu bicara langsung dengan suami dengan cara yang sehat.”

Laila menangis.

“Saya takut, Bu. Tapi saya juga sudah lelah.”

“Rasa takut itu wajar. Tapi lelah Ibu juga valid. Dan kami di sini untuk menemani, kapan pun Ibu butuh.”

Malam itu, Laila tak tidur lagi. Ia memeluk dirinya sendiri. Tapi untuk pertama kalinya, ia memeluk dengan lebih erat. Seolah memberi kekuatan. Meski perlahan, ia tahu: dirinya pantas untuk didengar, dicintai, dan dipahami.

Bukan hanya sebagai istri. Tapi sebagai manusia.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!