telepon pertama itu

Dingin malam merambat pelan dari celah-celah jendela kamar. Langit di luar pekat, tanpa bintang. Laila duduk bersandar di ujung ranjang, memeluk lututnya sendiri. Lampu kamar telah dipadamkan oleh Arfan sejak satu jam lalu. Ia sudah terlelap, mendengkur seperti biasanya setelah “puas” dengan paksaan yang membuat Laila merasa seperti benda mati.

Matanya tak bisa terpejam. Rasanya seperti ada batu besar menindih dadanya. Lelah. Muak. Tapi juga bingung. Dan takut. Perasaan-perasaan itu bercampur, menyiksa dalam diam.

Dari bawah bantal, ia meraih ponselnya dengan hati-hati. Ditatapnya layar gelap yang segera menyala. Jantungnya berdetak kencang. Tangannya menggulir ke pesan tersimpan siang tadi.

“Konseling Keluarga & Pernikahan. Konsultasi Gratis & Rahasia. WA/Telepon: 08xxxxxx.”

Ia tatap nomor itu lama, sangat lama.

"Kalau aku bicara, apa mereka akan percaya? Apa mereka akan menghakimi? Apa aku salah kalau merasa lelah di ranjang? Apa aku istri yang buruk karena tak bisa selalu menuruti suami?" pikirnya dalam hati.

Ia menelan ludah. Lalu perlahan, menekan tombol “Call.”

Sambungan berdengung. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

Hatinya sudah ingin memutus.

Tapi di detik keempat, terdengar suara lembut di seberang sana.

“Selamat malam. Terima kasih sudah menghubungi Konseling Keluarga. Dengan Ibu siapa saya berbicara?”

Laila terdiam.

Hening sesaat.

“Halo? Apakah saya bicara dengan Ibu?” Suara perempuan di ujung telepon terdengar ramah dan sabar.

Laila menelan air liurnya. “I-ibu saja panggil saya Laila.”

“Baik, Bu Laila. Saya Santi, konselor Anda malam ini. Terima kasih karena sudah cukup berani untuk menelepon. Tidak semua orang punya keberanian itu, jadi saya ingin Ibu tahu, saya mendengarkan, dan Ibu tidak sendiri.”

Suara itu begitu tenang, seperti pelukan bagi hati Laila yang selama ini berteriak dalam diam.

Tapi tetap saja, bibir Laila terasa kelu. Ia bahkan tak tahu harus mulai dari mana.

“Saya... saya enggak tahu ini salah atau enggak,” suara Laila gemetar, “tapi saya capek... saya... saya ngerasa ada yang salah dengan rumah tangga saya.”

“Saya di sini untuk mendengarkan, Bu. Tak apa-apa jika Ibu butuh waktu. Tidak ada yang salah dengan perasaan Ibu.”

Laila menghela napas. "Suami saya... dia baik di luar. Di mata orang. Tapi di rumah... dia berbeda. Terutama kalau malam tiba."

"Apakah Ibu mau menceritakan lebih spesifik tentang apa yang terjadi?" tanya Bu Santi, pelan.

Laila menarik napas panjang. Dadanya berdegup seperti genderang.

“Masalahnya di ranjang, Bu…” suara Laila mulai pelan. Malu. Tapi juga lega karena akhirnya bisa mengatakannya.

“Suami saya... terlalu sering minta. Hampir setiap hari. Kadang dua, tiga kali. Bahkan saat saya sedang tidak sehat. Atau... saat saya sedang haid.”

Terdengar ketikan pelan dari seberang, mungkin Bu Santi mencatat.

“Apakah Ibu merasa terpaksa saat melakukannya?”

Laila menunduk. “Iya. Hampir selalu. Saya nggak pernah menolak terang-terangan. Tapi kadang saya nangis, saya bilang capek. Tapi dia tetap maksa. Bukan dengan kasar... tapi dengan cara yang bikin saya nggak bisa menolak. Kalau saya diam, dia marah. Kalau saya ngomong, dia nuduh saya istri durhaka.”

Suara Santi terdengar lembut dan terukur. “Bu Laila, apa yang Ibu alami disebut sebagai tekanan seksual dalam pernikahan. Hanya karena suami dan istri sah secara agama dan hukum, bukan berarti istri tidak punya hak atas tubuhnya. Setiap hubungan suami istri harus didasarkan pada kerelaan, bukan paksaan, meskipun dibalut dengan rayuan atau tuntutan.”

Laila menahan tangis. Tangannya gemetar menggenggam ponsel.

“Saya pikir, selama saya menuruti semua keinginannya, rumah tangga saya akan baik-baik saja, Bu. Tapi... saya merasa seperti barang. Bukan istri. Saya... saya gak tahu lagi cara bahagiain diri saya sendiri.”

“Apa Ibu pernah merasa trauma atau takut setiap malam? Takut menjelang tidur?”

Laila mengangguk meski tahu Santi tak bisa melihat. “Iya. Saya bahkan sering pura-pura tidur lebih dulu. Tapi dia tetap bangunkan saya.”

“Apakah suami Ibu pernah mendengarkan saat Ibu menolak?”

“Pernah... tapi hanya kalau saya bohong bilang sedang haid. Itu pun kadang dia paksa dengan cara lain, asal dia puas. Dan saya... saya terlalu takut untuk benar-benar nolak.”

Terdengar jeda.

“Kata suami saya, itu kewajiban saya sebagai istri,” tambah Laila lirih.

“Memang benar, dalam pernikahan ada hak dan kewajiban. Tapi tidak satu pun ajaran agama atau norma yang membenarkan pemaksaan dalam hubungan suami istri. Bahkan dalam Islam, suami dilarang menyetubuhi istri saat haid, dan wajib memperhatikan kondisi fisik dan psikologis istri. Apa yang Ibu alami bukan lagi soal kewajiban, tapi bentuk dari tekanan dan pelecehan dalam rumah tangga.”

Laila tak kuasa menahan isak.

“Kenapa, Bu? Kenapa suami saya nggak bisa cukup? Apa saya yang kurang cantik? Kurang pandai? Kurang menggairahkan?”

“Tidak, Bu. Ini bukan tentang Ibu. Apa yang terjadi lebih banyak berasal dari gangguan pada suami Ibu, mungkin hiperseksual, atau gangguan kendali impuls. Tapi Ibu tidak boleh memikul semua beban itu sendirian.”

“Lalu saya harus gimana, Bu?” suara Laila nyaris putus.

“Langkah pertama sudah Ibu lakukan: mencari pertolongan. Setelah ini, kita akan atur sesi lanjutan. Jika Ibu mau, kita bisa bertemu langsung, atau melakukan sesi online yang lebih aman. Kami akan bantu Ibu memahami batas sehat dalam pernikahan, dan merancang strategi komunikasi atau perlindungan jika dibutuhkan.”

Laila mengangguk, air matanya terus mengalir.

“Bu Laila,” lanjut Bu Santi, “Ibu berharga. Ibu berhak bahagia. Dan Ibu berhak berkata ‘tidak’. Suara Ibu penting.”

Itulah kalimat yang membuat Laila benar-benar menangis keras malam itu. Setelah bertahun-tahun hidup dalam diam, ada yang akhirnya mendengarkan. Benar-benar mendengarkan, tanpa menghakimi.

Malam itu, setelah telepon ditutup, Laila tak langsung tidur. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa sedikit lebih ringan. Masih takut, masih lelah, tapi tidak lagi merasa sendirian.

Ia menatap wajah Arfan yang sedang tidur di sampingnya. Masih dengan wajah yang sama, tubuh yang sama. Tapi entah kenapa, malam itu, Laila merasa sudah tak sama.

Ia tahu, perjalanannya belum selesai. Tapi ia juga tahu, ia sudah memulai langkah pertama.

Dan langkah itu akan membawanya ke arah yang lebih baik.

Terpopuler

Comments

Mepica_Elano

Mepica_Elano

Emosinya terasa begitu dalam dan nyata. 😢❤️

2025-07-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!