“Makasih ya, pak,” ujar Rindu agak berteriak turun dari ojek online. Setengah berlari menuju pintu masuk cafe.
Tiga puluh menit lagi dia harus tampil. Semoga saja cukup waktu untuk bersiap. Seharusnya tidak akan seperti ini, datang terlalu mepet dengan penampilan belum rapi. Ada drama di rumah sebelum ia berangkat. Motornya dipakai Maman -- sepupu. Alasannya hanya sebentar, mau beli pulsa.
Memasuki cafe, tujuannya langsung ke toilet. Merapikan rambut dan sedikit bersolek. Rindu Anjani, gadis berusia dua puluh tiga tahun itu bekerja apapun yang dia bisa. Menyanyi di cafe atau acara pesta. Kadang freelance menjadi SPG suatu produk. Selama halal, tentu saja akan dijalani.
Sejak masih di SMP, dia tinggal bersama keluarga Pakdenya. Ayah Rindu entah kemana, sedangkan Ibunya sudah tiada. Tentu saja Rindu sadar diri sudah menumpang dan dibesarkan oleh kerabat dari ibunya.Sebagian penghasilan dia serahkan pada bude Sari, meski Pakde Yanto melarangnya.
“Anggap saja uang sewa dan uang makan, ini pun kurang karena kami mengasuh kamu tanpa pamrih.” Kalimat itu sering disampaikan oleh Bude Sari.
Padahal Rindu bukan gadis malas. Sejak tinggal di pondok milik pakdenya, ia tidak pernah berpangku tangan. Pekerjaan rumah, sebagian besar dia yang lakukan. Kecuali memasak.
Bukan tidak ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, tapi bisa kerja apa dengan ijazah SMA. Kuliah baru sampai semester empat dan sudah cuti sampai sekarang belum dilanjutkan.
“Loh, kok nggak ada.” Rindu mengacak tasnya mencari parfum dan deodorant, sepertinya lupa dibawa. Mana mungkin tidak menggunakan dua produk itu. Meskipun sudah mandi, tapi perjalanan dari rumah ke tempat ini menggunakan motor tentu saja menimbulkan aroma lain. Bau apek, knalpot dan entahlah.
“Ck, gimana kalau ada customer minta lagu. Kalau ada cowok ganteng apalagi keturunan sultan, bisa ilfill dah. Gagal dong jadi menantu pengusaha,” keluh Rindu.
Sudah berganti kaos dengan blouse peplum dengan bawahan celana model pensil dan wedges. Masih ada waktu untuk ke minimarket membeli produk tadi. Melewati meja kasir, Rindu berpapasan dengan rekan duetnya.
“Mau ke mana lo, bentar lagi mulai.”
“Bentar doang, tenang aja bang. Aman kok.”
Gedung minimarket bersebelahan dengan Cafe, hanya terjeda area parkir yang agak luas. Beruntung tidak ramai di antrian kasir. Mendapatkan deodoran dan parfum merk lain karena darurat.
Keluar dari minimarket, pandangan Rindu tertuju pada kemasan parfum. Membaca komposisi, meski tidak paham. Tidak menyadari langkahnya, ia menabrak seseorang.
“Jalan yang bener dong,” cetus Rindu, padahal dia sejak tadi menunduk.
“Lah, coba. Dia yang nabrak, dia yang galak.”
Rindu menatap pria di hadapannya. Kalau nilai maksimal dari ketampanan adalah sepuluh, Rindu menilai pria itu seribu. Namun, gengsi di atas segalanya, raut wajahnya langsung berubah ketus.
“Makanya kalau jalan pakai mata.”
“Busyet, teori dari mana neng. Dari jaman firaun sampai sekarang, jalan itu pakai kaki karena mata dipakai untuk melihat. Situ AI ya?”
Rindu hanya mencibir lalu bergegas kembali ke cafe. Sedangkan pria tadi hanya menggeleng mendapati gadis itu pergi.
“Cantik, tapi galak.” Ponsel pria itu berdering. “Halo.”
“Di mana lo, bilang udah dekat belum nyampe juga.”
“Apa sih Bay, nggak sabar banget. Udah kangen ya. Gue di sebelah café, beli rokok dulu.” Terdengar percakapan di ujung sana.
“Mada, gue nitip ya.”
“Nitip apa?” tanya Mada sambil mendorong pintu mini market.
Sudah kegiatan rutin ketiga sahabat itu untuk bertemu. Bersahabat sejak mereka SMA, sudah seperti trio kwek-kwek. Mada, Bayu dan Erlan (Siapa yang ingat, Bayu dan Erlan ada di judul mana). Bayu nasibnya lebih baik, sudah menikah bahkan sudah punya bayi.
“Nitip salam buat mbak kasir,” seru Erlan lalu terbahak di ujung sana.
Mada langsung ke kasir menyebutkan merek rokok masih dalam panggilan.
“Mbak, teman saya salam nih. Namanya Erlan, orangnya lumayan ganteng, tapi lebih ganteng saya. Diterima nggak salamnya?”
Gadis yang berjaga di kasir hanya tersenyum sambil memindai produk yang dibeli mada.
“Ada lagi mas?”
“Ada lagi nggak?” tanya Mada pada Erlan.
“Bener-bener si Mada. Cepetan kemari, Bayu nggak bisa lama-lama.” Panggilan pun berakhir.
“Yah, ditutup mbak. Ngambek dia. Mbak sih, nggak mau terima salam dari teman saya.”
“Maunya salam dari mas aja,” ujar gadis itu lalu terkekeh.
“Saya nggak punya salam mbak, dipake mama saya masak sayur asem.” Mada mengeluarkan satu lembar uang warna merah. “Kembaliannya ambil aja, buat beli es teh.”
“Makasih ya mas.” Mada tersenyum kemudian berlalu.
Sampai di café ia berdecak mendapati Bayu dan Erlan mengambil meja di dalam ruangan.
“Lo berdua dengar gue tadi beli rokok ‘kan?” tanya Mada setelah menghempaskan tubuhnya di kursi.
Erlan menggeleng dan Bayu mengedikan bahu.
“Otak gue udah ngebul, seharian ini rapat mulu. Pengen ngerokok makanya beli ginian. Malah pilih meja di sini. Emang nggak ada akhlak lo berdua.”
“Lo yang nggak ada akhlak. Ngapain ngirim link video aneh-aneh, mana gue klik pas bareng istri.”
Mada terbahak dengan keluhan Bayu. “Bagus dong, biar bisa sekalian praktek. Gue dapat dari Erlan, langsung gue kirim ke lo.”
“Gue boleh dapat dari grup, tapi lo klik juga ‘kan?” tanya Erlan sambil menepuk lengan Mada.
“Nggaklah, zina mata itu. Memang gue jomblo, tapi nggak putus asa sampai nonton film begituan. Udah pesen belum?” tanya Mada.
“Udah beres, kita sudah pesan dari tadi. Nah, tuh datang,” sahut Erlan.
Pelayan meletakan makanan dan minuman di atas meja. Terdengar suara wanita dan petikan gitar.
“Sore gaes, selamat datang di blue cafe. Mengawali sore ini, satu lagu untuk kalian.”
“Nah, ini nih. Dari tadi ditungguin baru mulai. Gila, cantik banget sih,” tutur Erlan bahkan sambil berdecak kagum.
Mada menyesap americano ice sambil menoleh ke belakang. Kebetulan posisinya membelakangi stage. Mulutnya langsung menyemburkan es kopi yang masih berada di dalam mulut, saat melihat gadis di atas stage sedang berdendang.
“Mada, lo malu-maluin aja,” keluh Bayu karena ulah Mada menjadi perhatian dari meja di sekitar.
Sejak tadi mereka bertiga memang menjadi perhatian, karena pesonanya. Namun, kali ini menjadi perhatian karena semburan naga dari mulut Mada.
“Busyet, dia bisa nyanyi. Kirain Cuma bisa ngomel gak jelas.”
\=\=\=\=\=
Hai ketemu lagi dengan karya dtyas, ikuti terus sampai tamat ya dan jangan lupa tinggalkan jejak
... 🥰🥰
Entah mimpi apa semalam. Rindu merasa beruntung dan sial dalam rentang waktu yang tidak lama. Beruntung karena melihat pangeran tampan. Katakanlah ia lebay, tapi pria yang tadi ia sentak memang tampan. Jika dibuat animasi, mungkin mulut Rindu mengeluarkan air liur karena terlena dengan penampilan pria itu. Sialnya karena kesan pertama mereka tidak begitu baik.
Keberuntungan lainnya ada permintaan lagu dari salah satu meja dengan uang saweran beberapa lembar uang berwarna merah dan sialnya lagi pria yang tampan bak pangeran dari negeri Yunani berada di meja itu.
Tidak selesai disitu, saat break Rindu dan rekannya yang memainkan alat musik serta teman duet menghampiri salah satu meja.
“Ini Erlan temen SD gue, pengen kenalan sama lo. Nge fans katanya.”
Erlan dengan semangat empat lima langsung mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
“Nah yang itu Bayu.”
Bayu hanya mengangguk sambil tersenyum lalu kembali fokus dengan ponsel.
“Nah yang ini biasanya suka jadi donatur kalau trio tampan ini kumpul. Bos Mada.”
“Rindu,” ucap Rindu kembali mengulurkan tangan pada Mada.
“Iya, saya juga Rindu kamu,” sahut Mada sambil menjabat tangan Rindu.
“Hm, mulai,” cetus Bayu.
“Konyol. Udah alamat bakal ditikung,” keluh Erlan.
Rindu mengernyitkan dahi. Entah apa maksud Mada, bercanda atau mengejek.
“Bercanda kali. Aku Mada dan kali ini kamu tidak salah. Salaman ya pake tangan bukan pake mata,” tutur Mada lalu tergelak saat Rindu mencibir dan menarik tangannya.
Pandangan Mada dan Erlan masih tertuju pada Rindu yang pamit dari meja mereka.
“Saingan lo berdua?” tanya Bayu.
“Saingan sama Mada, angkat tangan. Nyerah gue.” Erlan benar-benar mengangkat kedua tangannya.
“Lo lanjut aja, pepet terus. Gue bukan penganut cinta pada pandangan pertama, buat lo aja.”
“Jangan munafik,” ujar Bayu. “Kayaknya dia tipe lo banget. Kelihatan dari pandangan lo tadi.”
“Sorry ya, mundur teratur lah gue. Apalagi orangnya kayak gitu.”
“Kayak gitu gimana, emang pernah ketemu?” Erlan penasaran juga. Saat perkenalan baik Mada dan Rindu tidak menunjukan mereka saling mengenal.
“Barusan aja sebelum gue datang dan gue simpulkan dia bukan jodoh gue,” ujar Mada.
“Sombong banget, udah mendahului takdir pake ngomong bukan jodoh dia.”
“Ya iyalah, dia galak cuy, mirip mama. Udah kenyang gue diocehin mama, eh dapat jodoh sebelas dua belas. Kalau selain di sini gue masih ketemu dia lagi, mungkin ada unsur takdir. Barulah gue lirik-lirik.”
“Taunya lo nikah sama dia, mampuss dah,” ujar Bayu dan diaminkan oleh Erlan.
“Parah lo berdua.” Mada menggelengkan kepalanya.
“Gita udah punya pacar belum, kayaknya jomblo ya. Abangnya aja masih jomblo.” Erlan bertanya sekaligus mengejek.
Gita adalah adik bungsu Mada. Erlan memang sering menanyakan gadis itu, bahkan kalau berkunjung ke rumah, sering menggoda Gita.
“Nggak ada ya. Gue ogah lo jadi ipar.”
“Yaelah, gue nggak malu-malu in kok. Gimana, boleh nggak?” tanya Erlan lagi dan dijawab Mada dengan menggeleng. Bayu pun berdiri sambil mengantongi ponselnya.
“Eh, mau kemana, masih sore kali. Gue belum selesai ngerayu Mada.”
“Sorry ya, di rumah ada mainan baru. Anak gue,” seru Bayu.
“Makanya kalau ngumpul jangan bawa popok,” ejek Mada ikut berdiri.
“Lo mau cabut juga?” tanya Erlan.
“Iya lah.” Ponsel Mada berdering dan ia tunjukan layar ponsel dengan nama pemanggil Ibu Ratu pada Erlan dan Bayu.
“Halo, sayang,” sapa Mada. Bayu beranjak menuju kasir sedangkan Erlan mencibir.
“Iya ini mau pulang kok. Mau titip apa, sayangku?” tanya Mada, berjalan meninggalkan mejanya menuju pintu keluar diikuti oleh erlan.
Ternyata ada seseorang yang juga hendak keluar, memperhatikan Mada dan mendengar ucapan pria itu.
“Aku duluan ya, Rindu. Suara kamu bagus banget,” tutur Erlan lirih dan Rindu hanya membalas dengan anggukan dan tersenyum. Pandangannya kembali tertuju pada Mada yang sudah melewati pintu.
“Udah punya pasangan, nyebutnya juga sayang,” gumam Rindu. Dari penampilan Mada dan kedua rekannya terlihat mereka dari kalangan menengah ke atas. Profesi dan pekerjaannya pasti menjanjikan, tidak mungkin belum ada pasangan. Walaupun belum, mana mungkin orang dari kalangannya bisa membuat tertarik.
“Mana mungkin makhluk itu ngelirik lo yang cuma ngamen di cafe," batin Rindu.
***
“Ck, dibilang jangan telat.” Sarah berdecak saat Mada mencium pipinya.
“Kenapa sih, sayang. Lagi PMS ya.”
“Mama gabut kak, makanya semua dihubungi biar cepat pulang. Video call sama kak Moza aja berapa kali,” tutur Gita sambil menikmati cemilan sedangkan pandangan tertuju pada latar tv menayangkan drama korea.
“Papa kemana?”
“Kenapa?” Arya bersama Gilang ikut bergabung di ruang keluarga. Ayah dan anak itu baru saja keluar dari ruang kerja Arya, membicarakan masalah perusahaan.
Jika Gilang duduk di samping Gita, ikut menikmati cemilan gadis itu. Arya mengusir Mada agar pindah dari samping Sarah.
“Dih, posesif,” ejek Mada pindah pada sofa tunggal.
“Sudah lengkap, kamu mau bicara apa,” seru Arya sambil merangkul istrinya.
“Oh, emang sengaja dikumpulkan, Moza mau datang juga?” tanya bersandar pada sofa.
“Ya nggak lah, Moza sudah punya keluarga. Biar dia fokus dengan suami dan anaknya. Mama mau bicara dengan kalian,” tutur Sarah. “Minggu depan pernikahan Gilang, pokoknya mama mau kita semua kumpul.”
“Iya, sayang, tenang aja.” Arya menenangkan Sarah. Sebelum Gilang memantapkan pilihan untuk menikah, Sarah selalu risau dan agak cerewet pada putra sulungnya. Sudah akan menikah pun masih terlihat risau.
“Belum bisa tenang Mas, Mada gimana?”
“Aku kenapa?” tanya Mada heran.
“Umur kamu berapa Mada, sampai sekarang belum pernah kamu bawa perempuan ke rumah. Apa mau Mama carikan aja, calon istri untuk kamu.”
“Loh, anaknya Pak Mardi yang rumahnya di ujung bukannya sering kemari, katanya pacar Mada. Teman kuliahnya Mada yang sering bawa cake, dia bilang ceweknya Mada,” tutur Arya.
“Itu mereka aja yang ngaku-ngaku. Lagian mama nggak cocok sama mereka.” Arya lagi-lagi menghela nafasnya.
“Ya ampun Mah, nggak gitu juga. Tenang ajalah, tahu-tahu aku nikah.”
“Hah, maksudnya gimana? Mama nggak mau kamu nikah aneh-aneh apalagi karena digrebek warga.”
Arya menghela nafas sambil mengusap wajahnya. Gilang terkekeh sedangkan Gita masih fokus dengan layar TV.
“Jangan minta aku cepat nikah ya mah, aku maunya sama yang kayak gitu,” tunjuk Gita pada aktor drama korea.
“Kamu jangan dulu, masih kecil,” seru Sarah lagi.
“Masih kecil apaan, dia udah dua tiga mah. Dulu Moza nikah belum genap dua dua.”
“Kasusnya beda, Gita belum siap untuk menikah."
Mada berdecak pelan. Selama ini ia memang tidak serius untuk mencari kekasih apalagi pendamping hidup. Alasannya karena Gilang, sang kakak belum juga menikah. Bukan karena tidak laku, banyak perempuan mendekat bahkan yang terang-terangan sampai datang ke rumah pun ada.
“Nanti di nikahan Kak Gilang pasti banyak tamu undangan juga kerabat, mana tahu hati Kak Mada kepincut salah satu perempuan yang hadir.”
“Nah, bener itu,” seru Gilang menimpali.
“Ya sudah, kita makan dulu. Ngobrolnya masih bisa nanti."
Mada pun menghela lega saat sang papa menginterupsi, bisa-bisa topik diskusi mereka masih berputar disitu saja. Gilang terkekeh lalu menepuk bahu Mada.
“Warisan dari gue, kemarin-kemarin yang mama bahas sama gue ya begitu. Cewek, jodoh, nikah dan sekarang estafet gue serahkan sama lo.”
“Dih. Sorry ye, jodoh gue udah ada Cuma belum sadar aja. Masih jadi pacar cowok lain.”
“Kak Mada mah ngaco, masa ngarep sama pacar orang.”
“Kamu baru tahu Mada itu ngaco. Dari dulu,” ejek Gilang merangkul Gita menuju meja makan.
“Hai jodohku, di mana kamu berada,” gumam Mada.
Hampir jam sembilan malam dan Rindu baru selesai perform di blue cafe. Kembali mengganti blus dengan kaos lengkap dengan jaket. Duduk di salah satu kursi meja cafe yang ada di bagian depan. Fokus dengan ponsel dan tidak menemukan chat atau panggilan dari sepupunya. Bisa-bisanya tidak merasa bersalah sudah membawa motor dan menyusahkan ia untuk berangkat kerja.
“Hah.” Menghela pelan sambil menatap ke jalan raya di depan, lagi-lagi harus menggunakan ojek online. Padahal perjalanannya akan lebih murah kalau membawa motor sendiri.
“Belum pulang?” tanya rekan Rindu.
“Nunggu jemputan.”
“Oh, dijemput siapa? Pacar?”
“Tukang ojek,” sahut Rindu lalu terkekeh.
“Makanya jangan jomblo, biar ada yang antar jemput,” ejek Rizal rekan Rindu mengisi acara di cafe tersebut.
“Dih, emang fungsi pacar apaan? Kok mirip sama tukang ojek.”
“Mirip-mirip lah. Gue duluan ya. Jangan kelamaan nongkrong disitu, nanti ditawar sama sugar daddy.”
“Ih, rese,” pekik Rindu dan Rizal hanya melambaikan tangan.
Fokus kembali pada ponsel melihat sudah sampai mana ojek yang dia pesan. Berbarengan dengan pesan masuk. Wajah Rindu tersenyum mendapatkan tugas baru minggu ini. Mengisi acara pesta di sebuah hotel.
“Lumayan,” gumam Rindu. Terdengar bunyi klakson, ia pun menoleh.
“Mbak Rindu?” tanya pengendara motor dengan helm dan jaket berwarna hijau.
“Iya, pak.” Gegas ia Rindu menghampiri, menerima helm dan naik ke atas motor. “Jangan ngebut ya pak, takut jatuh. Saya belum nikah.”
“Siap, mbak.”
Tiba di rumah, kediaman Pakde Yanto tampak sepi. Pagar sudah tertutup rapat begitu pula dengan pintu depan. Biasanya jam segini, pakde masih berada di beranda menikmati rokok dan segelas kopi.
“Makasih ya pak,” ucap Rindu setelah menyerahkan helm lalu membuka pintu pagar dan kembali menutup rapat.
Tidak melihat motornya, membuat ia berdecak kesal. Benar-benar minta dihajar sepupunya itu. Mengucap salam sambil mengetuk pintu, tidak lama pintu terbuka. Bude Sari berdiri di sana, menarik tangannya untuk segera masuk kembali menutup pintu.
“Kenapa --”
“Sudah, jangan banyak tanya,” sela Bude. “Sebelum tidur jangan lupa beresin dapur, cucian piring masih numpuk.”
Rindu hanya menghela pelan dan menjawab iya.
“Maman kemana, motorku nggak ada di depan.“
“Masih sama Maman, nginep di rumah temannya,” sahut Buda. Sepertinya hendak kembali ke kamar.
“Tapi besok aku mau pake.”
“Besok pagi dia pulang, berisik aja kamu. Aku yang minta dia jangan pulang, tadi sore ada debt collector nagih hutang.”
“Hutang yang mana lagi?”
“Udahlah, nggak usah banyak tanya. Jangan berisik, pakdemu kurang sehat.”
Bukan pertama kali, keluarga itu harus berurusan dengan debt collector, rentenir atau pinjaman bank. Jualan Yanto belakangan ini sepi, sedangkan modal semakin tipis. Gaya hidup Sari kadang berlebihan, tidak melihat isi kantong. Maman, anak mereka satu-satunya menganggur tidak jelas dan setiap hari minta uang. Dimodali buka usaha bengkel dan buka warung, hanya menyisakan hutang untuk modal usaha. Nyatanya tidak menghasilkan dan tutup begitu saja.
***
“Iya, bentar.” Rindu beranjak malas dari bantal dan selimutnya. Merasa masih ngantuk dan lelah, tapi sudah dibangunkan dengan ketukan pintu. Membuka pintu lalu menguap. “Apa lagi bude, ini masih pagi.”
“Pagi, matamu. Lihat keluar, udah terang gini. Itu cucian harusnya udah beres dijemur, kamu malah asyik tidur.”
Tidak ingin mendengar ocehan, Rindu gegas ke belakang. Menatap keranjang pakaian kotor yang sudah penuh, belum lagi pakaian kotor di kamarnya. Sedang berkutat dengan cucian, bude Sari membuat teh panas sepertinya untuk pakde.
“Maman sudah pulang, bude?”
“Belum.”
“Jam berapa, aku mau pake motornya.”
“Kamu telpon lah, gitu aja pake nanya,” cetus Sari lalu meninggalkan dapur.
“Astaga, sabar Rindu, sabar. Semua akan indah pada waktunya, meski nggak tahu kapan indah itu datang,” gumam Rindu melanjutkan urusannya dengan cucian kotor.
Hampir pukul sepuluh, Rindu baru saja mandi. Rambutnya pun masih terlilit handuk kecil. Ia memeriksa berkas yang akan dibawa untuk melamar kerja. Ada pameran property dan Rindu akan melamar menjadi SPG. Meski hanya satu minggu, tapi honornya lumayan.
Berpakaian putih hitam lengkap dengan heels rambut dicepol rapi. Beruntung saat ia hendak berangkat, sepupunya pulang. Setidaknya uang aman tidak harus keluar untuk bayar ojek.
“Ya ampun, Maman,” pekik Rindu saat melihat level isi bahan bakar yang sudah mengedip. “Lo pake kemana aja sampe habis bensin.”
“Tinggal isi lagi, gitu aja kok repot.”
“Ya repot lah, gue yang bayar lo yang habisin.” Gegas Rindu memakai jaket dan helm lalu menaiki motor melihat Bude Sari datang, bisa-bisa diceramahi lagi karena hitung-hitungan hanya karena masalah bensin.
Lebih dari satu jam, akhirnya hampir sampai tujuan. Motor Rindu memasuki area gedung perusahaan property. Setelah memarkirkan motornya, Rindu sempat menuju toilet untuk memastikan lagi penampilannya masih rapi dan wangi.
Bertanya pada resepsionis dan diarahkan ke lantai tempat seleksi SPG untuk pameran. Di dalam lift ada beberapa orang, sudah pasti karyawan perusahaan itu.
“Pak Arya mau pesta lagi, anak sulungnya nikah.”
“Bukan Mas Mada, ‘kan?”
“Mas Mada, Bapak.”
“Lebih enak panggil Mas aja. Ganteng banget sih Mas Mada, agak mirip Ibu Sarah ya. dia udah punya calon belum ya, pengen daftar deh.”
“Yeay, aku juga mau.”
“Kalian ini ngehalu aja.”
Rindu hanya mendengarkan para wanita itu berbincang. Ia teringat pria bernama Mada yang ia kenal di cafe, kemarin sore.
‘Nama Mada pasaran juga ya,’ batin Rindu.
Lift terhenti di lantai tujuannya.
“Permisi,” ucap Rindu saat pintu terbuka.
Ruangan tempat seleksi ternyata sudah agak ramai. Lebih dari dua puluh orang berpakaian putih hitam menunggu di dalam ruangan. Di depan ada tiga meja petugas seleksi. Rindu menyerahkan map berisi portofolio pekerjaannya selama ini. Sudah sering menjadi SPG selain menyanyi di cafe dan acara pesta.
“Ini diisi dulu,” titah petugas. “Kalau sudah tumpuk di sebelah sini. dan tunggu di sana.”
Rindu meletakan formulir yang sudah diisi serta map yang dia bawa, meletakan di tempat yang sudah disiapkan lalu duduk di kursi bergabung dengan peserta lain. Agak ragu dia lolos atau tidak, melihat peserta lain begitu cantik bahkan dengan full make up. Sebagian malah menggunakan rok yang cukup pendek.
“Bimantara property,” ucap Rindu membaca spanduk yang terpasang di depan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!