Malam itu, gubuk tua di tengah ladang terasa dingin dan sunyi. Shanum meringkuk di sudut, tubuhnya pegal dan perih akibat tamparan Niar. Air mata sudah mengering, menyisakan bekas perih di pipinya. Kedua pria suruhan Niar, yang berjaga, tertidur pulas di dekat pintu, dengkuran mereka memenuhi ruangan. Ini adalah kesempatannya.
Dengan hati-hati, Shanum mulai menggerakkan pergelangan tangannya, mencoba melonggarkan ikatan tali yang mengikatnya. Kulitnya melepuh, namun ia tak peduli. Sedikit demi sedikit, tali itu mengendur. Dengan kelihaian dan kelincahan yang tak disangka, ia berhasil menarik salah satu tangannya bebas. Lalu, dengan cepat, ia melepaskan ikatan di tangan yang lain. Napasnya tertahan, takut suara sekecil apa pun akan membangunkan para penculiknya.
Setelah terbebas, Shanum bangkit perlahan, kakinya terasa kaku. Ia melangkah berjinjit, menghindari setiap ranting kering atau benda apa pun yang bisa menimbulkan suara. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya seperti genderang. Saat tiba di ambang pintu, ia melirik ke arah kedua pria yang masih terlelap. Ia harus bergerak cepat.
Ia membuka pintu gubuk itu sepelan mungkin, berhati-hati agar engsel yang berkarat tidak berderit. Udara malam yang dingin langsung menyapanya, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan. Shanum mengintip keluar. Di kejauhan, hanya ada kegelapan pekat ladang jagung. Tidak ada lampu, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Namun, ia tidak boleh menyerah.
Ia mulai lari, sekuat tenaga, menembus kegelapan ladang jagung. Setiap langkah terasa berat, namun tekadnya untuk kembali pada Wira dan Mariska memberinya kekuatan. Dedaunan jagung yang kering menggesek tubuhnya, sesekali duri-duri kecil menusuk kulitnya, tapi ia terus berlari tanpa henti. Ia tidak tahu ke mana arahnya, hanya mengikuti naluri untuk menjauh dari gubuk terkutuk itu.
Setelah berlari cukup jauh, Shanum mulai merasakan kelelahan yang luar biasa. Paru-parunya terasa terbakar, kakinya keram. Namun, di kejauhan, ia melihat seberkas cahaya remang-remang. Harapan kembali menyala dalam dirinya. Itu pasti rumah penduduk!
Dengan sisa-sisa tenaga, ia terus berlari menuju cahaya itu. Cahaya itu semakin terang, dan ia bisa melihat siluet beberapa bangunan sederhana. Rasa lega yang luar biasa membanjirinya. Ia tidak sendirian.
Tepat ketika ia mencapai pagar sebuah rumah yang lampunya menyala, kakinya goyah dan ia tersandung. Ia terjatuh di depan pintu, terengah-engah, tubuhnya gemetar. Ia mencoba mengetuk pintu, namun tenaganya sudah habis. Hanya desah napas dan isakan kecil yang keluar dari bibirnya. Ia berdoa, semoga penghuni rumah itu mendengar kehadirannya dan mau menolongnya.
****
Pagi menyingsing di ladang jagung. Sinar matahari mulai menembus celah-celah daun, namun suasana di gubuk tua itu jauh dari kata damai. Niar tiba di sana, diantar oleh sopirnya, dengan wajah penuh keyakinan bahwa Shanum masih terkurung di dalam. Namun, begitu ia melangkah mendekat, firasat tidak enak mulai merayapi hatinya. Pintu gubuk yang sedikit terbuka menarik perhatiannya.
Dengan langkah terburu-buru, Niar masuk ke dalam. Pemandangan yang dilihatnya membuat darahnya mendidih. Gubuk itu kosong! Shanum tidak ada. Ikatan tali tergeletak begitu saja di lantai, dan jendela kecil di belakang gubuk sedikit terbuka, menunjukkan jejak pelarian.
"SHANUM! SHANUM TIDAK ADA!" raung Niar, suaranya menggelegar di dalam gubuk reyot itu. Kemarahannya langsung membara, membakar habis kesabarannya. Matanya memicing tajam melihat kedua pria suruhannya yang baru terbangun dari tidurnya, terlihat bingung dan ketakutan.
"Kalian! Apa yang terjadi?! Kenapa dia tidak ada?!" Niar melangkah mendekat, matanya menyala-nyala seperti api neraka. Tanpa ragu, tangannya terangkat tinggi dan menggeplak kepala salah satu pria itu dengan keras. Suara tamparan itu nyaring, membuat kepala pria itu terhuyung.
"Dasar bodoh! Kalian ini bagaimana menjaganya?! Aku suruh kalian mengawasinya, bukan tidur!" maki Niar, napasnya memburu. Wajahnya merah padam, menunjukkan betapa besar amarah yang ia rasakan.
Pria kedua mencoba menjelaskan, "Maaf, Nyonya... Kami... kami tidak menyadarinya..."
Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, tamparan kedua mendarat telak di kepala pria yang lain. Niar menamparnya begitu kuat hingga pria itu terjatuh ke lantai. "Tidak menyadari?!" teriak Niar, emosinya meluap tak terkendali. "Kalian ini memang tidak berguna! Sampah! Aku bayar kalian mahal untuk apa?!"
Niar menendang-nendang udara di dekat mereka, melampiaskan kekesalannya. "Bodoh! Pecundang! Kalian tahu apa yang akan terjadi jika Wira tahu ini?! Ini semua gara-gara kalian!" Ia terus memaki, melontarkan kata-kata kasar tanpa henti. "Kalian memang tidak becus! Bagaimana bisa seorang wanita lemah seperti itu lolos dari pengawasan dua pria besar seperti kalian?! Kalian ini memang parasit! Hanya bisa makan gaji buta!"
Kedua pria itu hanya bisa menunduk, tidak berani membantah atau mengangkat kepala. Aura kemarahan Niar terlalu mencekam, membuat mereka gemetar ketakutan.
Niar menarik napas dalam-dalam, mencoba sedikit menenangkan diri, meskipun emosinya masih membara. "Cari dia! Cari dia sampai ketemu!" perintahnya dengan suara dingin yang menusuk tulang. "Jangan sampai dia kembali ke Jakarta! Aku tidak peduli bagaimana caranya, temukan dia dan bawa kembali kemari! Kalau tidak, kalian tahu akibatnya!"
Niar berbalik, melangkah keluar dari gubuk itu dengan wajah penuh dendam. Rencananya telah kacau balau, dan Shanum berhasil lolos. Ini adalah tamparan besar bagi harga dirinya, dan ia bersumpah akan menemukan Shanum, tak peduli berapa pun harga yang harus dibayar.
****
Shanum mengerjap, kepalanya terasa pening. Perlahan, ia membuka mata. Pandangannya menangkap langit-langit kayu yang asing. Ia berada di sebuah kamar asing, sederhana namun bersih. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan sebuah jendela kecil memperlihatkan pemandangan pepohonan rindang. Bukan gubuk tua itu, bukan pula rumah mewahnya di Jakarta.
Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya masih terasa lemas. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Seorang pria muda masuk, membawa nampan berisi segelas air dan semangkuk bubur. Pria itu memiliki wajah ramah, dengan senyum tipis di bibirnya.
"Sudah bangun, Bu?" sapa pria itu lembut. "Syukurlah. Semalam Bapak dan Ibu di sini menemukan Ibu pingsan di depan rumah. Kami khawatir."
Shanum menatapnya dengan bingung. "Saya... saya di mana?"
Pria itu meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur. "Ibu ada di rumah kami, di desa ini. Nama saya Rivat. Jangan khawatir, Ibu aman di sini."
Mendengar kata 'aman', tangis Shanum yang tertahan langsung pecah. Semua ketakutan, rasa sakit, dan keputusasaan yang ia alami selama dua hari terakhir membanjirinya. Air mata mengalir deras di pipinya.
"Saya... saya diculik," ucap Shanum terbata-bata, sambil berderai air mata. "Saya diculik oleh orang suruhan mertua saya. Dia... dia ingin saya bercerai dengan suami saya."
Rivat menatap Shanum dengan prihatin. Ia menarik kursi dan duduk di samping Shanum. "Pelan-pelan, Bu. Ceritakan semuanya. Saya akan mendengarkan."
****
Shanum, dengan suara tersendat-sendat dan air mata yang tak henti mengalir, mulai menceritakan semuanya. Ia menceritakan bagaimana Niar selalu membencinya, menghinanya sebagai wanita miskin tak tahu diri. Ia menceritakan bagaimana Niar menginginkan cucu laki-laki dan tidak pernah bersikap baik pada Mariska. Ia menceritakan insiden Niar yang melempar barang dan memaksanya bercerai, lalu mendorongnya, menarik rambutnya, dan memaki-makinya.
"Dan kemarin... ketika suami saya pergi ke kantor, dia menyuruh orang untuk menculik saya," isak Shanum. "Saya dibawa ke gubuk tua itu, di tengah ladang. Dia mengancam akan membunuh saya jika saya tidak mau bercerai. Lalu saya mencoba lari, tapi mereka menangkap saya. Dan dia... dia menampar saya berkali-kali..."
"Saya tidak tahu harus bagaimana, Mas Rivat," Shanum melanjutkan, suaranya lemah. "Saya hanya ingin kembali ke suami dan anak saya. Saya tidak ingin bercerai."
Rivat meraih tangan Shanum, menggenggamnya perlahan. "Jangan khawatir, Bu. Ibu sudah aman sekarang. Kami akan membantu Ibu." Ia menatap Shanum dengan tatapan menenangkan. "Tapi untuk sekarang, Ibu harus istirahat dulu. Makan bubur ini, lalu minum obat. Setelah itu, kita akan pikirkan langkah selanjutnya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments