Dalam cengkeraman Niar yang mencengkeram rambutnya, Shanum merasakan gelombang keputusasaan yang melanda. Namun, di tengah keputusasaan itu, percikan keberanian tiba-tiba menyala. Ia tidak bisa menyerah begitu saja. Tidak, demi Wira dan Mariska, ia harus berjuang.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Shanum tiba-tiba mendorong Niar dengan dramatis sekuat tenaga. Dorongan itu tak terduga, membuat Niar kehilangan keseimbangan dan terhuyung mundur beberapa langkah, cengkeramannya pada rambut Shanum terlepas.
"Kau tidak akan bisa memisahkanku dari keluargaku!" seru Shanum, suaranya dipenuhi tekad yang membara, meski tubuhnya gemetar ketakutan.
Tanpa membuang waktu, Shanum langsung membalikkan badan dan melarikan diri! Ia berlari sekencang-kencangnya melintasi ladang jagung, napasnya memburu, paru-parunya terasa nyeri. Duri-duri jagung menggores kulitnya, namun ia tak peduli. Satu-satunya yang ada dalam pikirannya adalah menjauh dari gubuk terkutuk itu dan dari Niar.
"Tangkap dia! Jangan sampai lolos!" teriak Niar dengan suara menggelegar, kemarahannya meledak melihat perlawanan Shanum. Wajahnya merah padam, menunjukkan betapa marahnya ia melihat Shanum berani melawannya.
Kedua pria suruhan Niar, yang sedari tadi berdiri mengawasi, langsung mengejar Shanum. Mereka memiliki tubuh yang lebih besar dan kecepatan yang lebih unggul. Shanum berusaha sekuat tenaga, namun ia tidak sebanding. Hanya dalam beberapa saat, ia merasakan tangan-tangan besar mencengkeram lengannya.
"Lepaskan aku!" Shanum meronta, mencoba melepaskan diri dari pegangan kuat mereka. Namun, usahanya sia-sia. Kedua pria itu menyeretnya kembali menuju gubuk, kembali ke hadapan Niar yang kini berdiri dengan napas terengah-engah, matanya memancarkan api kemarahan.
"Berani sekali kau mencoba melarikan diri, hah?!" Niar berteriak, wajahnya dipenuhi amarah yang membabi buta. Ia menghampiri Shanum yang tak berdaya dalam cengkeraman para pria suruhannya.
Dengan mata menyalang, Niar mengangkat tangannya. Sebuah tamparan keras mendarat telak di pipi Shanum, membuat kepala Shanum terhempas ke samping. Suara tamparan itu begitu nyaring, memecah kesunyian ladang. Pipi Shanum langsung terasa panas dan perih.
"Kau pikir kau bisa melawan aku?!" Niar kembali menampar Shanum tanpa ampun di pipi yang lain, meninggalkan bekas merah yang kentara. Air mata Shanum mengalir deras, bukan hanya karena rasa sakit fisik, tetapi juga karena kekejaman yang tak terhingga ini.
"Kau akan tahu siapa yang berkuasa di sini, Shanum! Kau akan menyesal telah melawan aku! Aku akan memastikan kau tidak akan pernah melihat Wira atau anakmu lagi!" ancam Niar, suaranya penuh kemenangan dan kepuasan yang menyeramkan. Ia menatap Shanum dengan mata penuh kebencian, seolah Shanum adalah sumber segala masalahnya.
****
Wira melangkah masuk ke rumah, kelelahan setelah hari yang panjang di kantor. Ia berharap disambut senyum Shanum dan celotehan riang Mariska. Namun, keheninganlah yang pertama menyambutnya, sebuah keheningan yang terasa ganjil, tak seperti biasanya.
"Shanum? Mariska?" panggil Wira, nadanya sedikit heran. Ia melirik ke dapur, kosong. Ruang keluarga, juga kosong. Firasat buruk mulai merayapi benaknya.
Tiba-tiba, dari arah kamar Mariska di lantai atas, terdengar suara isak tangis yang pilu. Wira segera berlari menaiki tangga. Ia menemukan Mariska duduk meringkuk di sudut kamarnya, memeluk boneka beruang lusuh, bahunya bergetar karena tangisan.
"Mariska, sayang? Kenapa menangis?" Wira berlutut di hadapan putrinya, hatinya mencelos melihat air mata di pipi kecil itu. Ia mencoba memeluknya, tapi Mariska meronta pelan.
"Mama... Mama tidak ada, Papa!" isak Mariska, suaranya tersendat-sendat. "Mama tidak ada! Riska cari di mana-mana, tapi Mama tidak ada!"
Wira membeku. "Mama tidak ada? Bagaimana bisa?" Ia mencoba menenangkan Mariska, tapi pikirannya kacau. "Sejak kapan Mama tidak ada, sayang?"
"Sejak tadi siang... Riska pulang sekolah, Mama sudah tidak ada..." jawab Mariska, tangisnya semakin menjadi. "Riska takut, Papa... Mama kemana?"
Suasana menjadi gaduh oleh isak tangis Mariska yang semakin keras dan kepanikan Wira yang memuncak. Wira segera mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Shanum. Satu panggilan, dua panggilan, tidak ada jawaban. Hanya nada sambung yang terus berdering kosong, menambah kegelisahan Wira.
"Jangan menangis, sayang," ucap Wira, berusaha terdengar tenang meski hatinya bergemuruh. Ia menggendong Mariska, memeluknya erat. "Papa akan cari Mama. Mama pasti baik-baik saja."
Pikiran Wira melayang pada kejadian kemarin, pada amarah Niar yang membabi buta. Mungkinkah? Tidak, tidak mungkin. Ibunya tidak akan sejauh itu, kan? Tapi bayangan Shanum yang meringkuk ketakutan dan ancaman Niar untuk menceraikannya tiba-tiba memenuhi benaknya.
"Di mana Mama, Papa?" tanya Mariska lagi, suaranya parau karena menangis. Ia menatap Wira dengan mata berkaca-kaca, penuh kepolosan dan ketakutan seorang anak yang kehilangan ibunya.
Ia membawa Mariska ke ruang keluarga, mendudukkannya di sofa. Lalu ia mulai memeriksa setiap sudut rumah. Pintu belakang, jendela, tidak ada tanda-tanda kerusakan atau paksaan. Namun, kekosongan Shanum terasa nyata dan menyesakkan. Meja makan masih rapi, tapi tidak ada sisa-sisa sarapan yang biasa disiapkan Shanum untuknya dan Mariska.
Wira tak tahu harus menjawab apa. Ia tahu ada sesuatu yang sangat salah. Ini bukan sekadar Shanum pergi sebentar. Ini terasa seperti sebuah paksaan. Rumah yang selalu hangat itu kini terasa dingin dan hampa tanpa kehadiran Shanum. Kekhawatiran mencekik lehernya. Ia harus segera mencari tahu apa yang terjadi.
****
Tanpa membuang waktu, Wira segera menggendong Mariska dan menitipkannya pada tetangga yang dikenalnya baik, menjelaskan dengan singkat bahwa ada keadaan darurat keluarga. Pikirannya kalut. Ia harus segera menemui Niar. Dengan langkah terburu-buru, Wira melajukan mobilnya menuju rumah keluarganya yang berada tak jauh dari sana.
Setibanya di rumah mewah orang tuanya, Wira langsung masuk tanpa mengetuk. Ia menemukan Niar dan Sheila sedang berbincang santai di ruang tamu, seolah tidak terjadi apa-apa. Melihat kedatangan Wira dengan wajah yang jelas menunjukkan kemarahan, senyum Niar sedikit memudar.
"Mama! Di mana Shanum?" seru Wira, suaranya dipenuhi amarah yang tertahan. Matanya menatap tajam Niar.
Niar mengangkat sebelah alisnya, berusaha terlihat tenang. "Shanum? Memangnya ada apa? Mama tidak tahu. Mungkin dia pergi jalan-jalan." Nada suaranya terdengar terlalu santai, sebuah kepura-puraan yang kentara.
"Jangan berbohong, Ma! Aku tahu Mama pasti tahu!" Wira mendekat, tangannya mengepal. "Dia hilang! Mariska menangis mencarinya! Apa yang Mama lakukan padanya?!"
"Sembarangan! Mama tidak tahu apa-apa. Kenapa juga Mama harus tahu urusan istrimu itu?!"
Tiba-tiba, Sheila ikut campur, menatap Wira dengan tatapan mencemooh. "Mas ini kenapa, sih? Dari tadi datang-datang langsung marah-marah. Mungkin Shanum memang bosan dengan hidupnya dan kabur sendiri. Siapa juga yang mau bertahan dengan Mas yang sekarang terlihat seperti orang gila ini?"
Wira menatap adiknya, amarahnya semakin memuncak. "Jaga bicaramu, Sheila! Ini bukan lelucon! Shanum hilang!"
"Halah, hilang saja langsung heboh," cibir Sheila. "Mama itu benar. Shanum itu memang tidak pantas untuk Mas. Mas itu sudah tak waras mau mempertahankan wanita miskin sepertinya. Dia itu cuma benalu, tahu tidak? Hanya bisa menguras harta keluarga kita!" Hinaan Sheila makin brutal, kata-katanya menusuk langsung ke ulu hati Wira. "Dia itu wanita rendahan! Bahkan dia tidak punya malu! Hanya karena kecantikan murahan, Mas bisa terbuai. Padahal dia tidak punya otak, tidak punya pendidikan, tidak punya harga diri!"
"Diam, Sheila!" raung Wira, tidak sanggup lagi menahan amarahnya. "Kau tidak tahu apa-apa! Shanum jauh lebih baik dari kalian semua!"
Niar bangkit berdiri, menatap Wira dengan tatapan mengejek. "Kau lihat sendiri, Wira. Adikmu saja tahu, Shanum itu tidak sepadan denganmu. Dia hanya akan jadi beban. Buang saja dia dari hidupmu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments