Dibawa Pergi

Suara pecahan kaca dan teriakan Niar yang melengking sampai ke lantai atas, tempat Wira baru saja keluar dari kamarnya setelah mandi. Jantungnya mencelos mendengar kekacauan itu. Tanpa berpikir panjang, ia bergegas menuruni tangga, firasat buruk menyelimutinya.

Saat tiba di ruang tamu, pemandangan di depannya membuat darah Wira mendidih. Lantai berserakan pecahan kaca dari vas dan gelas yang hancur. Dan yang paling menyakitkan, ia melihat Shanum meringkuk di lantai, rambutnya ditarik dengan brutal oleh Niar, sementara wajahnya dipenuhi air mata dan ketakutan.

"Mama! Apa yang Mama lakukan?!" raung Wira, suaranya menggelegar memenuhi ruangan, penuh amarah yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Ia melangkah cepat, tangannya langsung memegang lengan Niar, berusaha melepaskan cengkeraman sang ibu dari rambut Shanum.

Niar tersentak kaget dengan kehadiran Wira yang tiba-tiba. Cengkeramannya mengendur sesaat, memberi kesempatan bagi Shanum untuk merangkak menjauh, terisak-isak.

"Wira! Jangan ikut campur!" teriak Niar, mencoba menarik tangannya dari genggaman Wira. Matanya menyala-nyala karena amarah dan rasa malu karena aksinya tertangkap basah. "Wanita ini pantas mendapatkannya! Dia tidak mau mendengarkan!"

Wira mengabaikan Niar. Ia segera berlutut di samping Shanum, meraih tubuh istrinya dan mendekapnya erat. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" tanyanya lembut, suaranya bergetar menahan emosi. Ia membelai kepala Shanum, mencoba menenangkan wanita itu yang masih terisak.

"Pergi kau dari sini, Shanum!" Niar kembali bersuara, kali ini lebih menggelegar, mencoba merebut perhatian Wira kembali. "Aku bilang kau harus bercerai dengan Wira! Wira harus menceraikanmu! Kau tidak pantas untuk anakku! Dia pantas mendapatkan yang lebih baik, bukan wanita tak berguna sepertimu!"

Wira mendongak, menatap ibunya dengan sorot mata tajam yang belum pernah Niar lihat sebelumnya. Ada kekecewaan mendalam di sana. "Cukup, Ma! Cukup!" bentaknya, berdiri di depan Shanum, melindunginya seakan Shanum adalah harta paling berharga yang harus ia jaga. "Aku tidak akan pernah menceraikan Shanum! Dia istriku, Mama!"

"Dia tidak selevel dengan kita, Wira!" Niar tak gentar, justru semakin keras. "Dia tidak punya apa-apa! Dia hanya akan menjadi beban dalam hidupmu!"

"Dia adalah istriku, Mama!" Wira mengulangi, suaranya tegas dan penuh penekanan. "Dia adalah ibu dari anakku! Jangan pernah lagi Mama menyentuhnya atau menghinanya seperti ini! Aku tidak akan membiarkannya!"

****

Keesokan harinya, setelah insiden yang menggegerkan itu, Wira pergi ke kantor dengan perasaan campur aduk. Ia sudah memastikan Shanum aman dan berjanji akan mencari cara untuk mengatasi sikap ibunya. Namun, Wira tak pernah menyangka bahwa kemarahan Niar akan membawanya ke tindakan yang jauh lebih brutal.

Begitu mobil Wira melaju keluar dari gerbang, Niar, yang ternyata sudah mengintai dari kejauhan, segera mengambil ponselnya. Wajahnya menunjukkan tekad bulat, tanpa sedikit pun keraguan.

"Lakukan sekarang!" perintah Niar dengan suara rendah namun tajam ke sambungan telepon. "Wanita itu harus segera disingkirkan dari hidup anakku. Pastikan dia menghilang dan tidak akan pernah kembali."

Di dalam rumah, Shanum masih berusaha menenangkan diri dari insiden kemarin. Ia mencoba membersihkan sisa-sisa pecahan kaca di ruang tamu, setiap suara gesekan membuatnya teringat kembali pada amarah Niar. Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Shanum ragu untuk membuka, namun suara ketukan yang keras dan berulang membuatnya memutuskan untuk melihat.

Saat pintu terbuka, Shanum dihadapkan pada dua pria bertubuh besar yang mengenakan pakaian serba hitam. Ekspresi mereka datar dan mengancam. Shanum refleks mundur, ketakutan langsung mencengkeramnya.

"Maaf, mencari siapa ya?" tanya Shanum, suaranya sedikit bergetar.

Salah satu pria itu melangkah maju, sorot matanya dingin. "Anda Shanum, istri Bapak Wira?"

Sebelum Shanum sempat menjawab, pria lain bergerak cepat. Ia membekap mulut Shanum dengan kain berbau menyengat. Seketika, pandangan Shanum mulai kabur, tubuhnya lemas. Ia sempat mencoba meronta, namun tenaga kedua pria itu terlalu kuat. Dalam hitungan detik, Shanum merasa kesadarannya memudar, dan kegelapan menelannya.

Shanum dibawa paksa keluar dari rumahnya sendiri, digendong tanpa perlawanan, dan dimasukkan ke dalam sebuah van hitam yang sudah menunggu di depan gerbang. Pintu van langsung ditutup rapat, dan kendaraan itu melaju kencang, meninggalkan rumah mewah itu dalam kesunyian.

Di dalam van, Shanum terbangun dengan kepala pusing. Matanya mengerjap, berusaha mengenali sekeliling. Ia terikat di kursi belakang, tangannya terikat ke belakang dan mulutnya dibekap kain. Van terus melaju, jalanan yang dilalui terasa asing. Pemandangan di luar jendela menunjukkan perkebunan dan area pedesaan yang luas, jauh dari hiruk pikuk Jakarta.

Rasa panik melandanya. Ia mencoba berteriak, namun hanya suara teredam yang keluar. Air mata mengalir membasahi pipinya. Ia menyadari sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Ia telah diculik, dan ia tahu siapa dalangnya. Niar benar-benar melakukannya. Shanum hanya bisa berdoa agar Wira segera menyadari kehilangannya dan mencarinya, sebelum semuanya terlambat. Ia dibawa semakin jauh dari Jakarta, ke tempat yang tidak ia kenal, ke dalam ketidakpastian yang mengerikan.

****

Van hitam itu akhirnya berhenti dengan hentakan kasar, membuat kepala Shanum membentur dinding kendaraan. Pintu belakang terbuka, dan udara panas pedesaan langsung menerpa wajahnya. Kedua pria bertubuh besar itu tanpa basa-basi menarik paksa Shanum keluar dari van, tidak peduli dengan ringisan kesakitan yang keluar dari bibirnya yang masih dibekap.

Shanum sempat terhuyung, pandangannya masih kabur. Perlahan, ia bisa melihat sekeliling. Ia berada di tengah hamparan ladang jagung yang luas, di bawah terik matahari yang menyengat. Di depannya berdiri sebuah gubuk tua yang reyot, berdinding kayu lapuk dan beratap seng berkarat. Suasana di sana sangat sepi, jauh dari peradaban, hanya ada suara angin yang berdesir melalui daun jagung.

Dan di ambang pintu gubuk itu, berdiri Niar. Wanita paruh baya itu mengenakan kacamata hitam, namun senyum menyeringai yang terpeta di wajahnya sudah cukup menunjukkan kepuasan dan kejahatan. Ia tampak menikmati pemandangan Shanum yang tak berdaya.

"Akhirnya sampai juga, Nyonya Shanum," sapa Niar, suaranya terdengar dingin dan mengejek. "Selamat datang di 'tempat peristirahatan' barumu."

Kedua pria itu menyeret Shanum mendekati Niar. Begitu Shanum cukup dekat, Niar dengan gerakan cepat menarik paksa rambut Shanum, membuat kepala Shanum mendongak dan rasa sakit menjalari kulit kepalanya. Cengkeraman Niar begitu kuat, memaksa Shanum menatap langsung ke matanya yang kini terlihat penuh dendam. Bekap kain di mulut Shanum sudah dilepaskan.

"Ini kesempatan terakhirmu, Shanum," desis Niar, wajahnya mendekat ke telinga Shanum. Napasnya terasa panas. "Kau harus bercerai dengan putraku. Sekarang juga. Tidak ada pilihan lain."

Shanum memejamkan mata menahan perih. "Aku tidak akan pernah menceraikan Wira, Ma," ucapnya lirih, mencoba melawan rasa takut yang membanjirinya.

Senyuman Niar menghilang, digantikan oleh raut kemarahan yang mengerikan. Cengkeraman di rambut Shanum semakin kuat. "Berani sekali kau menolakku?! Setelah semua yang sudah kau perbuat pada anakku?!" Niar mengguncang kepala Shanum dengan kasar. "Kau itu tidak tahu diri! Wanita rendahan sepertimu tidak pantas mendampingi Wira! Dia pantas mendapatkan yang lebih baik, seperti Aura!"

Niar menatap Shanum dengan jijik. "Dengar baik-baik, Shanum. Kalau kau tidak setuju bercerai, kau tidak akan pernah melihat Wira atau anakmu lagi. Kau akan tinggal di sini, sendirian, sampai kau membusuk!" Ancaman itu terasa nyata, dingin dan menusuk. "Ini adalah akhir dari permainanmu, wanita miskin tak tahu diri!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!