Drama Pagi Hari

Sore harinya, Wira pulang ke rumah. Baru saja ia melangkah masuk, suasana hambar langsung menyergapnya. Biasanya, Shanum akan menyambutnya dengan senyum ceria, namun sore ini, keheninganlah yang menjawab salamnya. Ia menemukan Shanum duduk di sofa ruang keluarga, membelakanginya, bahunya sedikit bergetar. Sebuah buku tergeletak di pangkuannya, namun matanya tidak fokus pada halaman.

"Sayang, aku pulang," sapa Wira lembut, mendekati Shanum. Ia menyentuh bahu istrinya, merasakan ketegangan yang jelas.

Shanum tersentak, lalu menoleh. Matanya sembap, dan bekas air mata tampak jelas di pipinya. Senyum tipis yang ia coba paksakan terlihat getir. "Oh, Mas. Sudah pulang?"

Wira berlutut di hadapan Shanum, menangkup wajah istrinya dengan kedua tangannya. Hatinya mencelos melihat kesedihan di mata wanita yang sangat dicintainya. "Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyanya cemas. "Apakah ada sesuatu yang terjadi?"

Shanum menggeleng pelan, menghindari tatapan mata Wira. "Tidak ada apa-apa, Mas. Aku hanya... hanya sedikit lelah." Suaranya terdengar serak.

Wira tahu Shanum tidak jujur. Ia mengenal istrinya dengan baik, setiap perubahan kecil dalam ekspresi Shanum tidak luput dari perhatiannya. Dan kesedihan ini, ia sangat yakin, bukan disebabkan oleh kelelahan biasa. Pikirannya langsung melayang pada satu sosok.

"Jangan bohong padaku, Shanum," ucap Wira tegas namun lembut. "Aku tahu ada yang mengganggumu. Apakah Mama datang kemari?"

Shanum terdiam, pandangannya beralih ke jendela, menatap kosong ke arah taman. Keheningan Shanum adalah jawaban yang paling jelas bagi Wira. Ia menarik napas dalam-dalam, kemarahan mulai merayapi hatinya. Setiap kali Niar datang, selalu ada jejak kesedihan yang ditinggalkan pada Shanum.

"Apa yang Mama katakan kali ini?" desak Wira, suaranya kini lebih berat. Ia tahu betul bagaimana lidah ibunya bisa setajam belati, terutama jika menyangkut Shanum. "Apakah dia... apakah dia menghinamu lagi?"

Shanum tetap membisu, namun air mata kembali mengalir di pipinya. Wira bangkit, duduk di samping Shanum, lalu merangkulnya erat. Ia mengusap punggung Shanum perlahan, berusaha menenangkan istrinya.

"Aku minta maaf, Shanum," bisik Wira. "Aku tahu ini pasti ulah Mama. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi agar Mama bisa menerimamu."

Shanum bersandar di bahu Wira, membiarkan air matanya membasahi kemeja suaminya. Meskipun Shanum tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang apa yang terjadi, Wira tahu persis apa yang telah diucapkan ibunya. Luka itu, ia merasakannya, tak hanya pada Shanum, tapi juga sedikit mengikis kebahagiaan rumah tangganya. Wira mengepalkan tangannya. Ia harus melakukan sesuatu.

****

Di kediaman keluarga Wiguna yang megah, suasana sore itu terasa tegang. Niar duduk di sofa ruang keluarga, masih dengan setelan elegannya, namun ekspresinya masam. Ia tak henti-hentinya berceloteh pada suaminya, Helmi, yang duduk tenang membaca koran, sesekali melirik istrinya dengan jengah.

"Aku tidak habis pikir, Helmi," Niar memulai lagi, suaranya meninggi. "Wira itu bisa-bisanya terperdaya oleh wanita seperti Shanum. Dia itu tidak selevel dengan kita! Wanita miskin, tidak punya pendidikan tinggi, hanya tahu menghabiskan uang anak kita!"

Helmi menurunkan korannya, menghela napas panjang. "Niar, cukup. Kamu ini keterlaluan. Shanum itu menantu kita, dan dia istri Wira."

"Menantu apa? Dia itu aib bagi keluarga kita!" Niar mendengus. "Aku sudah bilang berkali-kali pada Wira, carilah wanita yang sepadan, yang bisa mengangkat nama keluarga. Bukan wanita yang bahkan tak lulus kuliah!" Niar menekankan setiap kata, seolah ingin setiap celaan itu tertanam kuat. "Lihat saja Aura Sumargo. Cantik, cerdas, lulusan Harvard! Keluarga mereka juga setara dengan kita. Kenapa Wira tidak memilih Aura saja?"

"Niar, perjodohan itu bukan zamannya lagi," kata Helmi mencoba menenangkan. "Wira mencintai Shanum. Dan Shanum itu wanita baik-baik. Dia mengurus rumah, mengurus Mariska. Apa lagi yang kurang?"

"Baik-baik?" Niar tertawa sinis. "Wanita baik-baik tidak akan menjerat anak orang kaya! Dia itu hanya mengincar harta kita, Helmi! Dan soal Mariska, aku sudah bilang, aku ingin cucu laki-laki! Penerus nama keluarga Wiguna, bukan cucu perempuan yang nanti hanya akan jadi tanggungan orang lain!"

Mendengar perdebatan orang tuanya, Sheila, adik Wira, muncul dari tangga. Sheila adalah wanita karier yang mengikuti jejak ibunya, cenderung sinis dan memandang tinggi status sosial. Ia berhenti di ambang pintu ruang keluarga, menyilangkan tangannya.

"Mama benar, Papa," ucap Sheila dingin, mendukung Niar. "Apa yang Mama katakan itu memang kenyataan. Shanum itu tidak ada apa-apanya dibanding kita. Dia cuma beruntung bisa menikah dengan Mas Wira."

Helmi menatap putrinya dengan tak percaya. "Sheila! Jangan ikut-ikutan. Kamu ini adik ipar Shanum."

"Justru karena itu, Pa," balas Sheila, menatap ayahnya dengan sorot mata tajam. "Aku melihatnya dengan jelas. Shanum itu tidak punya ambisi. Dia hanya nyaman berada di zona nyamannya, di bawah bayang-bayang Mas Wira. Lihatlah teman-temanku, mereka semua wanita sukses, punya karier, berpendidikan tinggi. Shanum? Dia bahkan tidak sebanding dengan mereka."

"Dia hanya tahu bagaimana menghabiskan uang Wira," sambung Niar, merasa mendapat dukungan. "Tidak ada kontribusi nyata bagi keluarga ini selain menjadi beban."

Helmi hanya bisa menggelengkan kepala, merasa kalah suara. Suasana di rumah itu dipenuhi nada-nada sumbang, merusak harmoni yang seharusnya ada. Niar dan Sheila terus melontarkan kritik pedas, semakin menguatkan stigma bahwa Shanum adalah beban, bukan anggota keluarga yang dicintai.

****

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketenangan rumah mewah di Jakarta Barat kembali terusik. Belum juga Shanum selesai menyiapkan sarapan, suara bel pintu yang ditekan berkali-kali dengan tidak sabar sudah memekakkan telinga. Shanum tahu siapa pelakunya. Dengan jantung berdebar, ia membuka pintu dan mendapati Niar berdiri di ambang pintu, matanya memancarkan kemarahan yang membara.

Niar tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia melenggang masuk dengan wajah merah padam, langsung menuju ruang tamu. Tanpa peringatan, tangannya meraih vas bunga kristal yang terletak di meja konsol dan melemparkannya ke lantai. Suara pecahan kaca yang nyaring memecah kesunyian, membuat Shanum tersentak kaget. Belum puas, Niar mengambil gelas air minum di meja kopi dan melemparkannya juga, menambah kekacauan di lantai marmer.

"Mama, apa-apaan ini?" seru Shanum, terkejut dan ketakutan.

Niar berbalik, tatapan matanya menusuk tajam. "Aku sudah muak denganmu, Shanum! Muak!" teriaknya, suaranya melengking. "Kau harus bercerai dengan Wira! Sekarang juga!"

Shanum terperangah. "Apa maksud Mama? Aku tidak akan bercerai!"

Mendengar penolakan itu, Niar semakin murka. Wajahnya memerah padam, urat-urat di lehernya menonjol. "Berani sekali kau menolakku, wanita tidak tahu diri! Kau pikir kau siapa? Kau tidak pantas untuk anakku!" Tanpa berpikir panjang, Niar melangkah maju dengan cepat, mendorong Shanum dengan kuat hingga wanita itu terhuyung dan jatuh tersungkur ke lantai.

Rasa sakit menjalar di punggung Shanum, namun belum sempat ia bangkit, Niar sudah bergerak lebih brutal. Tangannya yang dipenuhi amarah menarik rambut Shanum dengan kasar, membuat kepala Shanum mendongak dan rasa perih menjalari kulit kepalanya.

"Lepaskan aku, Ma! Sakit!" riak Shanum, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Niar yang kuat.

Namun Niar tak peduli. Ia terus menarik rambut Shanum, sementara mulutnya tak henti-hentinya melontarkan kata-kata hinaan. "Dasar wanita jalang! Penggoda! Kau pikir kau bisa merebut Wira dariku? Kau itu tidak lebih dari sampah! Wanita miskin yang hanya mengincar harta! Tidak tahu malu!" Setiap kata terasa seperti tamparan keras di wajah Shanum. "Seharusnya kau tidak pernah lahir! Kau hanya pembawa sial!"

Terpopuler

Comments

Hatus

Hatus

Shanum yang sabar ya.. terkadang mendapat suami baik ada aja ujiannya, apalagi jika ujian itu dari mertua 🥹

2025-07-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!