Telor Orak-arik atau Garam Padat?

Lampu kamar redup, hanya cahaya dari layar laptop yang menyinari wajah Aluna. Rambutnya diikat asal ke atas, mengenakan tank top putih tipis dan hot pants satin. 

Ia duduk di kursi meja kecil, punggungnya tegak, pandangan fokus ke layar. Film Korea yang ia tonton menampilkan sepasang kekasih di sebuah motel—adegan mulai memanas.

Meja itu menghadap jendela apartemen, gordennya belum ditutup, memperlihatkan pemandangan malam kota dengan lampu-lampu gedung menjulang.

Pintu kamar berdecit. Alaric masuk tanpa banyak suara.

Aluna tak menoleh. Tapi sudut bibirnya terangkat sinis.

“Kupikir Tuan CEO menginap di apartemen sebelah. Apa kamar Renzo udah penuh?”

Alaric tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu… dan menguncinya. “Apa kamu selalu sambut suamimu dengan sindiran?”

Aluna diam.

Alaric berjalan mendekat perlahan, matanya menatap layar laptop. Adegan di film makin panas—si perempuan mendorong kekasihnya ke ranjang motel sempit.

“Ternyata kamu lebih tertarik nonton film dewasa daripada menyambut suami,” gumam Alaric pelan.

Aluna mendengus. “Ini riset karakter. Filmku adaptasi drama Korea.”

Tiba-tiba, dua tangan Alaric bertumpu di sandaran kursi, menjebak Aluna dari belakang. Wajahnya menunduk perlahan ke samping wajah Aluna, nyaris menyentuh pipinya.

Aluna menegang. Suara dari laptop masih terus memutar desahan aktor-aktris di layar, menggema di kamar sunyi itu.

“Kamu bisa bilang riset…” bisik Alaric, “tapi ekspresimu dari tadi bukan ekspresi profesional.”

Aluna menelan ludah. Tapi ia tak mau kalah.

“Lucu. Aku nggak nyangka kamu pulang malam ini. Biasanya kalau gatal, kamu cari Renzo.”

Alaric tersenyum tipis—dingin, tapi penuh tekanan misterius. Ia menatap layar laptop, lalu berbisik di dekat telinga Aluna.

“Kalau aku memang gatal... kenapa kamu belum pernah jadi obatnya?”

Aluna tak bergerak. Tapi kulit lehernya meremang.

Dan layar laptop terus memutar adegan panas… yang kini tak seintim bayangan yang berdiri tepat di belakangnya.

Suara dari laptop masih bergema—lirih dan berat. Aluna menatap layar kosong itu, tubuhnya tetap diam… sampai ia akhirnya berbalik cepat di kursinya.

Sekarang, wajahnya tepat di depan Alaric. Napas mereka nyaris bersentuhan.

Tank top tipis Aluna sedikit melorot dari satu bahu, tapi matanya tak kalah tajam dari tajamnya rahang Alaric yang mengeras. Pandangannya menusuk, bukan pasrah… tapi penuh tantangan.

“Kalau kamu memang ‘gatal’...” bisik Aluna, suaranya serak dan rendah. “Kenapa nggak buktikan kalau aku bisa jadi obatnya? Atau kamu memang nggak sanggup melupakan rasa yang kamu dapat dari Renzo?”

Sekejap. Hening.

Alaric tak bereaksi. Tapi sorot matanya berubah. Lebih gelap. Lebih dalam. Napasnya terhenti sepersekian detik.

Aluna berdiri perlahan. Jarak di antara mereka tak lebih dari satu napas.

“Aku bukan pelarian. Aku bukan alat buat warisanmu saja. Tapi kalau kamu cuma berani bicara soal gatal... dan lari ke orang lain—”

Aluna menunduk sedikit, mendekat ke bibir Alaric, namun tak menyentuh.

“—maka kamu lebih payah dari yang kuduga.”

Alaric masih diam. Tapi matanya mengunci milik Aluna. Tangannya naik, perlahan—lalu berhenti di sisi leher gadis itu, ibu jarinya menyentuh garis rahang Aluna yang tegang.

“Kamu pikir kamu bisa gantiin Renzo?” Suaranya rendah, nyaris seperti gumaman dosa.

“Aku nggak mau jadi pengganti…” Aluna mencengkeram kerah baju Alaric. “Aku mau jadi satu-satunya.”

Detik itu, api yang mereka tahan pecah dalam tatapan. Tapi sebelum jarak mereka runtuh…

Smartphone Alaric bergetar keras di meja.

Renzo Calling 

Aluna langsung menatap layar itu lalu menatap Alaric.

Dan di antara tensi yang belum pecah dan bibir yang belum bersatu, Alaric hanya bisa menarik napas dalam. Perlahan.

“Angkat,” bisik Aluna. “Atau buktikan sekarang juga.”

Smartphone terus bergetar di atas meja. Nama Renzo terpampang terang dalam keheningan yang begitu padat.

Aluna menatapnya dingin, nyaris menantang. Tapi Alaric hanya menarik napas perlahan dan mengangkatnya.

“Kenapa?” Suaranya datar, dalam, stabil—terlalu tenang untuk suasana sepanas ini.

Di seberang, terdengar suara tawa kecil.

“Sorry, Bang… kepencet. Sumpah. Gue lagi tiduran tadi, gak sengaja... sorry banget.”

Lalu disusul kekehan kecil khas Renzo yang mengganggu.

“Nggak apa-apa,” balas Alaric pelan.

Tut... Sambungan ditutup.

Aluna langsung membalikkan badan. Ia meraih laptop di meja, menutupnya dengan suara cukup keras, lalu berbaring masuk ke balik selimut.

Tak ada kata. Tapi kemarahan itu terasa jelas dari cara ia membenamkan wajahnya ke bantal.

Alaric menatap punggung istrinya yang terbungkus kain tipis itu beberapa detik. Lalu, ia mendekat.

Kakinya menyentuh karpet, langkah pelan dan berat. Ia naik ke kasur, menumpu dua tangannya di sisi kanan dan kiri wajah Aluna yang berbalik, kini menatapnya dengan sorot penuh amarah.

Wajah mereka hanya dipisahkan satu napas panas.

“Kamu marah…” bisik Alaric, suaranya lebih berat dari sebelumnya.

“Kamu angkat telepon dia,” desis Aluna.

Alaric mendekat. Napasnya menyentuh tulang pipi Aluna.

“Kalau aku bisa… menguji keduanya… Kenapa aku harus memilih satu?”

Aluna menegang. Matanya menatap dalam, penuh luka dan bara.

“Sampai kapanpun, Renzo akan jadi yang pertama,” lanjut Alaric tanpa ragu. “Tapi kamu... mungkin bisa jadi yang kedua.”

Kalimat itu menusuk seperti jarum tipis.

Namun detik berikutnya, tubuh Alaric menekan lembut tubuh Aluna. Bibirnya menyusuri garis rahang Aluna, lalu bisikannya menyelinap di antara bisikan malam.

“Tapi jangan salah… kadang yang kedua bisa membuatku lupa dunia. Atau… justru bikin aku merasa paling hidup.”

Aluna tak membalas. Tapi ia tak menolak. Tangannya mencengkeram bahu Alaric, dan api yang tertahan sejak pintu dikunci tadi akhirnya meledak dalam bisikan-bisikan maut, napas berat, dan gelombang panas yang tak lagi bisa dibendung.

Malam itu, di kamar tanpa gorden tertutup—tak ada lagi riset peran, tak ada lagi telepon, dan tak ada lagi posisi siapa yang lebih dulu.

Yang ada hanyalah pembuktian bahwa bahkan ‘yang kedua’ pun bisa jadi candu yang paling mematikan.

...***...

Jam di dinding baru menunjukkan pukul 7 a.m.

Cahaya matahari pagi masuk dari celah gorden ruang makan, membentuk garis-garis emas di meja kayu panjang yang kini dipenuhi berkas, laptop terbuka, dan secangkir kopi yang tinggal setengah.

Alaric, masih mengenakan kaos abu tipis dan celana jogger hitam, duduk menghadap layar. Earphone menempel di telinga, wajahnya serius. Rambutnya belum disisir rapi, tapi auranya tetap kuat—dingin, fokus, dan nyaris tak tersentuh.

“Untuk lini kosmetik musim ini, kita butuh artis muda yang tidak terlalu bersih citranya,” katanya pada layar Zoom.

“Justru yang kontroversial, asal tetap relevan. Orang-orang suka redemption story.”

Tiba-tiba terdengar bunyi pintu kamar terbuka pelan. Langkah kaki bertelanjang menyentuh lantai.

Aluna keluar dari kamar. Rambutnya masih berantakan, hanya mengenakan kaos oversize yang jatuh di paha dan celana pendek tipis. Matanya sembab, bukan karena menangis—tapi karena semalam ia tidur dalam pelukan pria yang kini seolah tak melihatnya.

Ia berdiri sejenak di ambang ruang makan. Pandangannya tertumbuk pada punggung Alaric. Bahu bidang itu, kini begitu asing dalam kesibukannya sendiri.

Tadi malam, bibir itu membisikkan dosa dan kini hanya menyebutkan nama-nama artis sebagai strategi penjualan.

Aluna berjalan perlahan ke dapur. Membuka pintu kulkas, lalu mengambil botol air dingin dan menuangnya ke gelas.

Saat hendak minum—

Tangan Alaric tiba-tiba merebut botol itu dari tangannya.

Aluna kaget. Tatapan mereka bertemu.

Alaric kini berdiri di sampingnya, satu tangan masih memegang botol, yang lain mencabut earphone-nya.

“Jangan langsung minum dingin pagi-pagi! Suaramu dibayar mahal sekarang. Jaga tenggorokanmu.”

Aluna terdiam. Ia tahu ini seharusnya jadi hal kecil. Tapi perhatiannya justru membuat dadanya makin sesak.

“Tadi malam…” gumam Aluna pelan.

“Sudah lewat,” potong Alaric cepat, menaruh kembali botol ke dalam kulkas.

Aluna menarik napas pendek. Ia berbalik, mengisi teko dengan air dan menyalakan pemanas.

Alaric memperhatikannya. Matanya tak bisa sepenuhnya lepas. Tapi ekspresinya tetap sulit ditebak.

Alaric kembali ke meja makan, duduk lagi, menyambung Zoom meeting seolah tak ada yang terjadi.

“Maaf. Tadi ada sedikit gangguan,” katanya ke rekan-rekannya.

Dan begitu saja, semuanya seolah kembali normal. Kecuali untuk Aluna, yang berdiri membelakangi dapur dan menyadari satu hal.

Yang paling menyakitkan dari semalam bukan saat disentuh—tapi saat pagi datang dan tak ada yang berubah.

Setelah menutup laptop dan melepas earphone, Alaric berdiri dari meja makan dan berjalan santai ke dapur.

Aluna sedang duduk di bar stool, kaki menggoyang ringan. Di hadapannya ada sepiring telur orak-arik yang tampak terlalu matang, dua lembar roti panggang, sosis goreng, dan saus yang sudah meluber ke pinggiran piring.

Alaric menarik kursi tinggi satunya dan duduk tepat di hadapan Aluna. Ia menyandarkan siku ke meja bar, menatap istri yang kini pura-pura fokus pada sarapannya.

“Kamu masak?” tanyanya tiba-tiba.

Aluna mendesah. “Iya. Kenapa?”

“Pasti seumur hidup belum pernah masak sendiri,” tebak Alaric, nada bicara seperti mencium kegagalan dari aroma dapur.

Aluna mengangkat bahu. “Biasanya Surya yang beliin makanan. Tapi sejak nikah, aku pikir bakal dikasih makan suami... ternyata dibiarin kelaparan.”

Alaric menyipitkan mata. “Itu sindiran atau permintaan?”

Belum sempat Aluna menjawab, Alaric meraih garpu dari tangannya, menyendok telur orak-arik, lalu memasukkannya ke mulut.

Seketika itu juga, ekspresinya berubah. Ia memutar kepala ke kiri… lalu cepat-cepat meneguk air putih yang ada di gelas Aluna.

“Ini telor atau garam padat?” gumamnya sambil menghela napas.

Aluna menahan tawa, setengah malu.

Alaric menatapnya, lalu mengangkat alis dengan licik. “Kamu beneran masih perawan gak sih?”

Aluna langsung membeku. “Hah?!”

Alaric menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, matanya tajam, bibirnya menyeringai.

“Katanya masakan pertama cewek itu sering jadi pembuktian. Kalau keasinan gini... pasti kamu pengin cepet-cepet kawin.”

Aluna mencibir. “Dan kamu pikir aku pengin kawin sama orang sepertimu?!”

“Kalau kamu masih perawan, mungkin aku pikir-pikir lagi untuk melakukan pembobolan.”

Aluna menampar lengan Alaric—tidak keras, tapi cukup untuk meluapkan syok dan amarahnya. Wajahnya memerah—antara kesal, malu, dan… entah kenapa, dagunya bergetar menahan tawa.

Alaric berdiri, mengambil sosis dari piring Aluna dan menggigitnya sambil jalan kembali ke meja makan, membawa laptop ke kamar.

Tapi sebelum benar-benar pergi, ia sempat melirik sekilas ke arah Aluna.

“Nanti malam, coba bikin ulang. Kalau masih asin… mungkin aku yang akan kasih hukuman.”

Aluna melempar tatapan tajam.

Tapi di dalam hatinya, tawa kecil itu tetap menggelitik. Karena ternyata... rasa asin pun bisa membuat pagi mereka lebih hidup dari biasanya.

Episodes
1 Ultimatum di Ambang Kematian
2 Alaric adalah Iblis
3 Take Scene Film 18+
4 Bibir yang Gatal
5 Telor Orak-arik atau Garam Padat?
6 Antara Anti Gores & Goresan Lama
7 Televisi, Jas Dilepas dan Prioritas
8 Di Balik Kursi CEO
9 Kemunculan Pria Masa Lalu
10 Proyek Baru untuk Aluna
11 Bukan Suami Biasa
12 Batas Ini Harusnya Tidak Dilanggar
13 Aluna Demam, Alaric Rawat
14 Menyambut Suami Pulang
15 Sudah Cut Tapi Ciuman Berlanjut
16 Di Postinganku, Dia Jadi Suami Idaman
17 Sofa Kutukan dari Mama
18 Untuk Istri yang Belum Kucintai
19 Tawa Indah CEO Muda yang Dingin
20 Jaket Couple Alaric dan Aluna
21 Tuntutan Mama Mertua
22 Hamil dalam Waktu Sebulan
23 Kabar Bahagia untuk Aluna
24 Badai di Tengah Badai
25 Aluna Resmi Jadi Ibu
26 Jemput Alaric's Baby
27 Happy Ending?
28 Jadi Papa dan Suami
29 Arshen Alverio
30 Bukan Tentangnya Kali Ini
31 Panggilan Papa dari Arshen
32 Merawat Bayi Demam Bersama
33 Belok Menuju Lurus
34 Sarkas Tapi Sayang
35 Belajar Menjadi Pelindung
36 Pelan-Pelan Ya
37 Wanita yang Tidak Pernah Menuntut
38 Bukan Kabar Bahagia
39 CEO Kecil Alaric Alverio
40 Milikku, Titik!
41 Renzo dan Nadhifa
42 Gulali Kesayangan Papa
43 Kita, Versi Lebih Tenang
44 Kamu Nggak Hamil, 'kan?
45 Bunga Hitam dari Langit
46 Teror Terus Berlanjut
47 Minta Dibeliin Kelinci
48 Kelinci di Tengah Teror Gereja
49 Kelinci Horor di Pagi Hari
50 Festival di Alverio University
51 Makan Malam Keluarga Alverio
52 Alaric Cemburu?
53 Sosok Peneror Muncul
54 Baby Hacker Termanis Sejagat Raya
55 Seluruh Dunia Bergerak Untuknya
56 Arshen Suka Mie
57 Lembur Sebagai Mama & Papa
58 Dana Gelap Alverio Group
59 Dana Gelap Ketemu
60 Rekening Ludes Bayar Makan Mahal
61 Sukanya Susu
62 Dua Belas Digit
63 Terungkap
64 Tertangkap
65 Momen Berdua
66 Arshen Gemes
67 Arshen Gemoy Banyak Omong
68 Sekretaris Baru untuk Alaric
69 Ketampanan Alaric Alverio
70 Insiden Papa Jahat
71 Arshen di Usia Dua Belas
72 TES DNA
73 Terlalu Dewasa Buat Anak SD
74 Hari Pengambilan Rapor Semester 1
75 Sajadah untuk Putra Mereka
76 Mengorek Masa Lalu
77 Adik Cewek
78 Permintaan Maaf
79 Jangan Bucin, Plis!
Episodes

Updated 79 Episodes

1
Ultimatum di Ambang Kematian
2
Alaric adalah Iblis
3
Take Scene Film 18+
4
Bibir yang Gatal
5
Telor Orak-arik atau Garam Padat?
6
Antara Anti Gores & Goresan Lama
7
Televisi, Jas Dilepas dan Prioritas
8
Di Balik Kursi CEO
9
Kemunculan Pria Masa Lalu
10
Proyek Baru untuk Aluna
11
Bukan Suami Biasa
12
Batas Ini Harusnya Tidak Dilanggar
13
Aluna Demam, Alaric Rawat
14
Menyambut Suami Pulang
15
Sudah Cut Tapi Ciuman Berlanjut
16
Di Postinganku, Dia Jadi Suami Idaman
17
Sofa Kutukan dari Mama
18
Untuk Istri yang Belum Kucintai
19
Tawa Indah CEO Muda yang Dingin
20
Jaket Couple Alaric dan Aluna
21
Tuntutan Mama Mertua
22
Hamil dalam Waktu Sebulan
23
Kabar Bahagia untuk Aluna
24
Badai di Tengah Badai
25
Aluna Resmi Jadi Ibu
26
Jemput Alaric's Baby
27
Happy Ending?
28
Jadi Papa dan Suami
29
Arshen Alverio
30
Bukan Tentangnya Kali Ini
31
Panggilan Papa dari Arshen
32
Merawat Bayi Demam Bersama
33
Belok Menuju Lurus
34
Sarkas Tapi Sayang
35
Belajar Menjadi Pelindung
36
Pelan-Pelan Ya
37
Wanita yang Tidak Pernah Menuntut
38
Bukan Kabar Bahagia
39
CEO Kecil Alaric Alverio
40
Milikku, Titik!
41
Renzo dan Nadhifa
42
Gulali Kesayangan Papa
43
Kita, Versi Lebih Tenang
44
Kamu Nggak Hamil, 'kan?
45
Bunga Hitam dari Langit
46
Teror Terus Berlanjut
47
Minta Dibeliin Kelinci
48
Kelinci di Tengah Teror Gereja
49
Kelinci Horor di Pagi Hari
50
Festival di Alverio University
51
Makan Malam Keluarga Alverio
52
Alaric Cemburu?
53
Sosok Peneror Muncul
54
Baby Hacker Termanis Sejagat Raya
55
Seluruh Dunia Bergerak Untuknya
56
Arshen Suka Mie
57
Lembur Sebagai Mama & Papa
58
Dana Gelap Alverio Group
59
Dana Gelap Ketemu
60
Rekening Ludes Bayar Makan Mahal
61
Sukanya Susu
62
Dua Belas Digit
63
Terungkap
64
Tertangkap
65
Momen Berdua
66
Arshen Gemes
67
Arshen Gemoy Banyak Omong
68
Sekretaris Baru untuk Alaric
69
Ketampanan Alaric Alverio
70
Insiden Papa Jahat
71
Arshen di Usia Dua Belas
72
TES DNA
73
Terlalu Dewasa Buat Anak SD
74
Hari Pengambilan Rapor Semester 1
75
Sajadah untuk Putra Mereka
76
Mengorek Masa Lalu
77
Adik Cewek
78
Permintaan Maaf
79
Jangan Bucin, Plis!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!