Alaric adalah Iblis
Hujan mengguyur deras di luar jendela kaca besar terminal kedatangan. Langit gelap, bandara basah, dan suara rintik hujan beradu ritmis dengan atap logam, seperti lagu sunyi yang hanya dimengerti oleh orang-orang yang sedang menunggu—diam, dan menahan napas.
Alaric Alverio berdiri tegak di dekat tiang penyangga. Setelan jas pernikahannya masih melekat di tubuhnya. Basah di ujung celana, sepatu kulitnya sudah menampung air, tapi ia tak tampak terganggu. Tak satupun keluhan lolos dari bibirnya. Wajahnya tetap datar, rahangnya mengeras, matanya fokus pada satu titik: pintu kaca otomatis yang belum terbuka.
Smartphone di sakunya bergetar. Tapi ia mengabaikannya.
Lalu, akhirnya, pintu itu bergeser. Dan suara langkah cepat memecah kesunyian.
“Bang Al!”
Renzo muncul dari dalam kerumunan—jaket hoodie hitam, tas selempang, dan rambut cokelat yang sedikit basah karena terburu-buru. Usianya hanya setahun di bawah Alaric, tapi senyum dan langkah ringannya membuatnya terlihat jauh lebih muda. Dia berlari kecil, seperti anak kecil yang menemukan orang rumahnya setelah terlalu lama di negeri asing.
Tanpa ragu, Renzo memeluk Alaric—erat, hangat, dan terlalu lama untuk dianggap biasa.
Alaric membalas pelukan itu, satu tangan menepuk punggung Renzo, tapi ada tarikan samar di matanya. Napasnya sedikit bergetar… hanya sedikit. Tapi cukup untuk mengungkapkan sesuatu yang tak bisa diucapkan.
“Lo datang pakai jas pernikahan?” tanya Renzo sambil tertawa kecil saat mereka melepaskan pelukan.
“Baru selesai… langsung ke sini,” jawab Alaric datar.
Mereka mulai berjalan menuju parkiran. Langkah mereka sejajar. Kadang bahu mereka bersenggolan ringan.
Renzo kuliah di Los Angeles dan langsung pulang setelah lulus S1. Sering bertelepon dengan Alaric jadi logat ‘lo gue’ masih tersangkut di kepala.
“Jadi, lo beneran nikah?”
“Ya.”
“Sama si artis itu?”
“Ya.”
“Suka dia?”
“Nggak.”
Renzo terkekeh pelan. Lalu menoleh padanya.
“Tapi lo tetap dateng buat jemput gue sendiri, meski dia nunggu sendirian di kamar pengantin?”
Alaric menghentikan langkahnya sejenak. Menoleh. Tatapannya tajam, penuh diam.
“Nggak ada yang lebih penting dari elo, Ren.”
Renzo mengangkat satu alis, pura-pura geli, tapi pipinya merona samar.
“Lo tahu itu kalimat yang bisa merusak pernikahan orang lain, ‘kan?”
Alaric tidak menjawab. Hanya melanjutkan langkah. Tapi di tengah hujan yang makin deras, tangan mereka bersentuhan. Sejenak. Lalu menggenggam.
Mereka berjalan seperti itu menuju mobil hitam Alaric—dua pria, dua nama besar dari keluarga Alverio, berjalan berdampingan. Tapi apa yang ada di antara mereka… lebih dari sekadar kedekatan. Lebih dari sekadar darah. Sesuatu yang tak seharusnya. Tapi juga tak sanggup dihentikan.
...***...
Lampu koridor menyala temaram. Jam menunjukkan lewat pukul sepuluh malam. Udara apartemen masih hangat dari uap kamar mandi. Aluna melangkah keluar dari unitnya, hanya mengenakan jubah tidur satin putih yang longgar membungkus tubuh mungilnya. Rambut basahnya terurai, aroma sabun lavender masih menempel di kulitnya. Suara tumit sandal tipisnya memecah keheningan koridor.
Langkahnya terhenti saat melihat Alaric muncul dari lift, masih mengenakan kemeja putih yang kusut dan celana hitam formal. Di sebelahnya, seorang pria muda lebih tinggi dan sedikit lebih kurus dari Alaric, berjalan tenang namun enggan melihat ke arahnya.
Renzo.
Tatapan Renzo dingin. Mata biru keabu-abuannya menatap lantai seolah Aluna tak ada di sana. Bahunya sedikit miring ke Alaric, seperti mencari perlindungan diam-diam. Suasana mendadak terasa aneh.
Aluna mengernyit. "Dia tinggal di sini juga?"
Alaric hanya meletakkan koper Renzo di depan unit apartemen seberang—tepat berhadapan dengan unit Aluna. Klik kecil terdengar saat pintu dibuka dengan kode akses.
“Ya. Renzo tinggal di sini,” jelas Alaric datar sambil menggiring koper masuk ke dalam.
Renzo tak mengucap salam. Ia hanya menunduk sedikit dan masuk tanpa menatap Aluna sekalipun.
Pintu ditutup. Sunyi.
Aluna memutar tubuhnya, bersedekap. "Kamu naruh... dia di depan apartemenku?"
Alaric menoleh santai. “Ya. Apartemen ini milik keluargaku. Dan dia juga keluarga.”
“Keluarga yang kamu jemput sendiri saat malam pernikahan kita?” Nada Aluna mulai meninggi, matanya menyipit.
Alaric menatapnya dengan angkuh. “Pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan. Itu perjanjian. Dan kamu sudah tanda tangan.”
Aluna melangkah mendekat, jubahnya tersibak sedikit oleh gerakan marahnya.
“Kalau ingin perhatian, bisa pakai cara lain selain menggoda adik ipar sendiri dengan baju tipis,” balas Alaric tajam, matanya menyisir tubuh Aluna sekilas tapi penuh sindiran.
Aluna menahan napas. Wajahnya merah, entah karena malu atau marah.
“Jadi itu? Pernikahan ini cuma cara kamu untuk ngedapetin warisan dari kakekmu?!”
Alaric mendekat satu langkah. Suaranya menurun, tapi tak kalah tajam.
“Dan kamu pikir kamu bukan bagian dari permainan itu? Kamu juga dapat untung, Aluna. Nama bersih, hidup mewah, sorotan simpati. Jangan sok jadi korban!”
“Aku kehilangan keluargaku, Alaric.”
Alaric terdiam. Matanya menahan sesuatu—sesuatu yang hampir terlihat seperti rasa bersalah, tapi langsung dia bungkam.
“Istirahatlah. Aku akan bicara denganmu nanti.”
Alaric membalikkan tubuh. Tapi sebelum benar-benar masuk ke unitnya, ia membuka pintu unit seberang.
“Renzo, nggak usah nunggu gue. Tidur aja dulu.”
Suara Renzo dari dalam terdengar pelan namun jelas. “Iya, Bang.”
Aluna mengepalkan tangan. Hatinya menegang.
Tanpa sepatah kata lagi, Alaric masuk ke unitnya dan pintu tertutup.
...***...
Keesokan paginya, dunia terbelah oleh berita yang sama.
BREAKING NEWS
‘Aluna Valtieri Resmi Menikah dengan CEO Muda Alverio Beauty!’
‘Tersangka Pembunuhan Mendadak Jadi Istri Pewaris Kekayaan Dunia!’
‘Pernikahan atau Manuver Bisnis?’
Layar-layar televisi, portal berita online, hingga akun-akun gosip selebgram ramai memajang foto wedding kiss Aluna dan Alaric—penuh kemewahan, sensualitas, dan kontroversi. Gaun putih dengan potongan terbuka di bahu, senyum tipis Aluna, serta kecupan mendalam Alaric menjadi sorotan yang tak terhindarkan.
‘Apa ini bentuk cinta… atau strategi penyelamatan citra?’
‘Apakah Alverio Group menggunakan pernikahan ini untuk membersihkan nama brand mereka?’
‘Bagaimana bisa CEO muda paling dingin bisa jatuh ke pelukan wanita paling kontroversial saat ini?’
‘Gila, aku kira Alaric terlalu pintar untuk main drama begini.’
‘Aluna cocok banget jadi pasangan CEO, tatapannya kuat.’
‘Jangan-jangan dia nggak bersalah dan justru sedang dikambinghitamkan?’
Beberapa jam kemudian, berita baru muncul—tak kalah menggelegar.
‘Fakta Baru Kasus Pembunuhan Rafael Maresca: Bukti CCTV Menunjukkan Waktu Kematian Tidak Sesuai Alibi Tuduhan Aluna!’
Media mulai menggiring arah baru.
‘Sebuah rekaman CCTV dari gedung seberang apartemen Rafael mengungkapkan bahwa waktu kematian Rafael terjadi dua jam setelah Aluna meninggalkan lokasi. Polisi mulai membuka kemungkinan bahwa Aluna bukan pelaku.’
‘Kami akan meninjau ulang tuduhan. Ada kejanggalan dalam kesaksian saksi kunci yang sebelumnya menjatuhkan Aluna.’ —Juru Bicara Kepolisian
Berita itu menyebar secepat api.
Pakar hukum diundang bicara di televisi. Pengacara publik mulai bicara soal kemungkinan pembebasan nama. Fans Aluna perlahan muncul kembali di kolom komentar, seperti pasukan yang selama ini diam dan takut.
‘Dia nggak bersalah! Kita harus minta maaf!’
‘Mungkin Alaric tahu semuanya sejak awal. Mungkin ini caranya menyelamatkan Aluna.’
...***...
Cahaya matahari pagi menelusup dari balik tirai transparan, menciptakan bayangan halus di lantai marmer ruang tengah. Aroma kopi hangat mulai menyebar samar, bercampur dengan udara pagi yang tenang.
Aluna berjalan santai dari kamar ke ruang tengah dengan pakaian yang menjadi kebiasaannya: tank top tipis warna krem dan celana pendek satin, ringan dan lembut, memperlihatkan hampir seluruh lekuk tubuh rampingnya. Rambutnya masih agak kusut setelah tidur, tapi tetap cantik dengan kesan liar yang alami.
Ia menjatuhkan tubuh ke sofa putih panjang dan mengambil remote. TV 60 inch di depannya menyala dengan satu klik. Saluran berita muncul. Jemari Aluna memutar rambutnya santai sambil memandangi layar.
Dari balik lorong kamar, terdengar langkah kaki. Alaric muncul, hanya mengenakan jubah mandi hitam terbuka sebagian, dada bidangnya basah sedikit, dan rambutnya masih menetes air. Ia menguap kecil lalu berjalan ke dapur terbuka, menuang air mineral ke gelas kristal, menghadap ke arah sofa tempat Aluna duduk.
Matanya memandang Aluna. Sebentar. Lalu menoleh ke layar TV.
“Kebiasaan kamu nonton berita pagi-pagi pakai baju begitu?” tanya Alaric, nada suaranya datar tapi penuh sindiran halus.
“Kebiasaan kamu keluar kamar setengah telanjang juga enggak kalah mengganggu,” balas Aluna santai, tanpa menoleh.
“Fair,” gumam Alaric, lalu menyesap air.
Mereka nyaris masuk dalam rutinitas... sebelum wajah seorang pria muncul di layar televisi. Rafael Maresca. Mantan Aluna. Foto profilnya dipajang di samping headline berita.
BREAKING NEWS
‘Penyebab Rafael Maresca Tewas: Racun Sianida’
Gelas di tangan Alaric berhenti di tengah jalan.
Aluna mendadak duduk tegak. Wajahnya berubah.
“Apa…?” bisiknya, mata membelalak menatap layar.
‘Kepolisian menyimpulkan Rafael bunuh diri di apartemennya karena tekanan dari dunia permodelan. Hasil autopsi menunjukkan kandungan sianida dalam sistem pencernaannya…’
Napas Aluna tertahan.
“Nggak mungkin…” gumamnya. “Rafael... dia…”
Alaric berjalan pelan ke arah sofa, berdiri di sampingnya.
“Dia mantanmu. Kamu yakin tahu segalanya tentang dia?”
Aluna menatap Alaric dengan wajah keras. “Dia memang impulsif, tapi bukan pengecut. Dia enggak akan bunuh diri.”
“Masih menyimpan perasaan?”
“Jangan mulai dengan tuduhan murahanmu, Alaric! Dia manusia. Aku punya masa lalu. Dan aku tahu dia ngga—”
“Dia mati. Dan itu justru menyelamatkanmu, bukan?” potong Alaric tajam.
Aluna berdiri. Kini mereka saling berhadapan.
“Kamu senang dia mati?!” teriak Aluna, suaranya bergetar.
Alaric mendekat. Matanya tajam, bahunya menegang.
“Aku yang menyuruh orangku membunuhnya.”
Hening.
Seperti semua udara di dalam ruangan disedot dalam satu tarikan napas.
Aluna membeku. Matanya melebar, suara tercekat di tenggorokannya.
“A—apa?”
“Aku perintahkan pengikutku menyusup ke apartemennya. Campurkan racun ke minumannya,” ujar Alaric dengan dingin nyaris kejam. “Bukan karena aku benci dia. Tapi karena aku nggak suka kamu mengingat siapa pun. Karena tahananku… nggak boleh punya siapa-siapa.”
Aluna melangkah mundur. Tangannya menggenggam lengan sofa, tubuhnya gemetar.
“Aku bukan tahananmu…” bisiknya.
“Oh, tapi kamu adalah bagian dari kesepakatanku dengan dunia. Pernikahan ini membuka jalan ke kekuasaan yang aku inginkan. Dan kamu,” Ia mendekat pelan, “hanya bisa jadi milikku. Bukan siapa-siapa lagi.”
Air mata Aluna nyaris jatuh, tapi ia menahannya mati-matian.
“Ternyata… kamu udah merencanakan hal itu sejak lama…”
“Ya. Sebelum Papa aku nunjukin ultimatum, aku udah tau isinya sejak lama.”
“Kamu… monster….”
Alaric menyeringai tipis. “Monster yang kamu nikahi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
2025-07-19
1