Udara malam menyapa dengan hangat lembut saat Aluna keluar dari gedung studio. Rambutnya masih diikat kuda, tubuh mungilnya dibalut jaket jeans longgar di atas crop top putih dan rok mini. Meski baru selesai adegan panas, wajahnya tetap ringan nyaris seperti tidak terjadi apa-apa.
Surya, sang manajer, berjalan di sampingnya. Usianya sekitar pertengahan 30-an. Tubuhnya pendek, agak bulat, dan keringatan meski hanya berdiri di luar set. Tapi senyum dan loyalitasnya tak pernah berubah. Sejak Aluna masih gadis 15 tahun dengan suara lantang dan hobi banting pintu, Surya sudah jadi tamengnya di dunia hiburan.
“Capek, Lun?” tanya Surya sambil membuka pintu belakang mobil MPV yang menunggu.
“Enggak juga. Paling cuma pegal bagian…” Aluna pura-pura berpikir, “bibir.”
Surya langsung nyengir malu. “Aduh, ya ya… maaf, lupa kamu abis adegan begituan.”
Aluna tertawa kecil, lalu duduk di kursi belakang. Surya ikut masuk dari sisi seberang.
“Eh, Pak Alaric mana?” tanya Surya sambil melongok keluar. “Tadi katanya mau nunggu sampe selesai.”
Aluna melirik ke jendela. Tak ada sosok jas hitam yang biasanya berdiri diam seperti patung pengintai. Hanya kru teknis yang sibuk membongkar perlengkapan.
Surya mengangkat smartphone. “Kayaknya dia udah pulang duluan, deh. Tadi staf studio sempat bisik katanya pergi setelah adegan kissing. Alasannya… jemput adiknya.”
Aluna terdiam sejenak. Lalu—tertawa.
Tawa itu ringan. Tapi Surya langsung tahu: itu bukan tawa polos. Itu tawa seseorang yang tahu sesuatu yang orang lain tidak tahu.
“Kenapa?” tanya Surya, alisnya naik.
Aluna menyandarkan kepala ke jendela mobil, masih menyungging senyum sinis.
“Karena gue tahu Alaric…” Ia mengedip ke arah kaca, “pasti bibirnya udah gatal.”
Surya menatap Aluna dengan bingung. “Gatal?”
Aluna hanya tertawa lagi. Kali ini lebih pelan. “Ya. Dan yang bisa ngasih salep penawarnya… ya cuma Renzo.”
Surya membisu sejenak. Mulutnya terbuka, lalu tertutup lagi. Ia pernah menangani artis kontroversial, tapi Aluna... sudah naik level.
Mobil mulai bergerak meninggalkan studio.
Dan di balik kaca jendela, Aluna tersenyum kecil. Ia tahu permainan ini belum berakhir. Malah… baru benar-benar dimulai.
...***...
Gerbang tinggi kediaman keluarga Alverio II terbuka pelan, memperlihatkan halaman luas dan taman terawat yang tetap terasa dingin meski matahari mulai naik.
Alaric, dari keluarga Alverio I, turun dari mobil hitamnya tanpa supir. Setelan semi-formal dengan jaket hitam dan celana panjang bersih. Wajahnya datar seperti biasa, tapi matanya langsung menyapu ke teras depan rumah—mencari seseorang.
Tak lama, pintu utama terbuka. Renzo muncul sambil menenteng dua kotak plastik besar berisi makanan. Senyum lebarnya menyapa Alaric, tapi belum sempat ia bicara…
“Renzo! Tanganmu jangan begini, nanti kamu keseleo lagi!”
Tangan ramping mencubit lengan Renzo cukup keras, disertai wajah khawatir yang tak bisa disembunyikan.
Mommy Renzo, sang mama tiri rasa mama kandung. Anggun, berkelas, dan selalu punya nada lembut dalam setiap ucapan.
“Alaric, ‘kan, CEO. Masa kamu suruh dia ke sini, Nak? Sudah nikah, biarkan dia jaga istrinya sendiri…”
Renzo hanya meringis. “Aku cuma kangen, Mom…”
“Kangen bisa lewat telepon! Jangan manja! Malu-maluin!”
Alaric melangkah mendekat dan langsung mengambil dua kotak dari tangan Renzo tanpa menunggu izin.
“Nggak pa-pa, Tan. Renzo bukan beban,” katanya datar.
“Justru itu masalahnya,” gumam sang mommy.
Dari balik ruang tamu, seorang wanita lain muncul—dengan senyum lebih judes, suara lebih datar dan mata yang menyimpan api dendam.
“Akhirnya kamu dapat juga, ya, Alaric… Warisan yang seharusnya untuk anakku,” ucap mama Renzo, menyindir.
Langkah Alaric terhenti setengah detik. Tapi ia tidak menoleh. Yang menjadi penghalang ia mendapatkan warisan hanyalah mamanya Renzo saja.
“Artinya aku pantes dapetin warisan itu, Tan. Jadi, nggak usah ngiri.”
Renzo sempat melirik mamanya, lalu cepat menyentuh lengan Alaric pelan, seolah menahan agar jangan bicara lebih jauh.
Kotak-kotak lauk tersusun rapi di jok mobil bagian belakang.
Saat Renzo hendak naik, sang mommy berseru dari ambang pintu.
“Jangan lupa makan tiga kali sehari!”
“Siap, Mom. Renzo balik dulu ya. Muach!”
Renzo menutup pintu mobil dan saat mesin menyala, ia bersandar di kursinya sambil tertawa kecil. “Drama pagi… selalu seru di rumah Alverio II.”
“Papa gue sama lo selisih beberapa menit aja pas lahiran,” ujar Alaric.
“Tapi Papa lo jadi yang pertama dong. Alverio I. Cukup satu istri. Setia, nggak kaya Papa gue yang punya dua istri.”
“Jangan-jangan lo anak kandungnya Mommy.”
“Berharapnya sih gitu. Tapi Mommy kena kanker rahim. Padahal kalo punya anak sendiri pasti gue bakal jadi yang nomor dua. Sayangnya gue yang menang.”
Suasana di dalam mobil berubah hening. Hanya suara AC dan keramaian jalan di sore hari. Alaric mengemudi dengan satu tangan, satu lagi menahan dagunya yang menyandar ke jendela.
Renzo, duduk di kursi penumpang depan, menggoyangkan lututnya pelan.
Samudra dan Samuel, saudara kembar. Usia baru memasuki angka 45. Nikah muda menghasilkan Alaric dan Renzo yang kini berusia 25 tahun. Muda, sukses dan kaya.
“Di LA gue sempat magang di salah satu perusahaan riset skincare Korea. Mereka gila-gilaan soal detail.”
Alaric menoleh sedikit, mengangguk. “Lo suka?”
“Lumayan. Tapi capek karena cuaca LA kadang bikin gue homesick.”
“Makanya lo langsung pulang tanpa mampir ke rumah?”
Renzo menyengir kecil. “Gue cuma... pengin lihat Abang dulu.”
Alaric tak menjawab. Tapi bibirnya sempat menegang.
“Kalau disuruh pilih divisi di Alverio Group,” lanjut Renzo, “gue pengin di bagian R&D produk baru. Bukan yang udah jalan. Aku pengin bangun dari nol.”
“Produk pria?” tanya Alaric, masih tenang.
“Bisa. Atau skincare remaja. Yang lebih playful. Warna-warni. Nggak segede divisi ibu-ibu atau premium line sih, tapi…”
“Tapi lo bisa bikin itu sukses.” Nada Alaric lebih hangat kali ini.
Renzo melirik sebentar, senyumnya lembut. “Asal ada Abang, gue pasti bisa.”
Mobil berhenti di lampu merah. Alaric menatap lurus ke depan.
Lampu berubah hijau.
Mobil kembali melaju.
...***...
Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Sebelah kiri jalan ada trotoar rindang, sementara deretan ruko tua tampak adem karena naungan pohon besar.
Alaric menempelkan smartphone ke telinga sambil menyipitkan mata. Nada suaranya terdengar tegang.
“Ya, saya bilang kirimkan ulang E-mailnya. Kalau angkanya meleset, itu bisa ganggu seluruh strategi kuartal bulan depan…”
Sementara itu, Renzo, yang duduk manis di kursi penumpang, mendesah panjang dan melipat tangan.
“Kenapa Abang harus jadi CEO yang serius banget pas gue lagi lapar?”
Setelah beberapa detik memandangi jalan, pandangan Renzo tertuju pada penjual es krim dorong tak jauh dari trotoar. Di depannya, seorang pria paruh baya dengan perut buncit sedang menyuapi seorang anak kecil berambut kuncir satu dengan cone es krim rasa stroberi.
Renzo memperhatikan. Senyum kecil muncul di wajahnya.
Pria itu tampak sayang sekali pada si anak. Bahkan ia merogoh tas kecilnya, mengeluarkan tisu, lalu mengelap bibir si gadis kecil dengan lembut.
“Aduh… wholesome banget sih. Papa dan anak goals banget…”
Renzo membuka pintu mobil pelan, menyeberang cepat dan bergabung dengan penjual es krim.
“Bang, satu cone coklat vanilla,” katanya sambil tersenyum ramah.
Pria penjual es krim sibuk mengambilkan es krim, sementara si papa dan anak masih bercanda. Renzo berdiri agak dekat, sambil melirik si anak kecil yang tengah menjilati es krimnya dengan heboh.
“Pelan-pelan. Nanti beku lidah lo,” ujar sang papa.
Renzo tersenyum geli.
Tunggu!
Lo?
Saat anak kecil itu menoleh, mata Renzo langsung membelalak.
Ikat rambut pink. Lesung pipi. Senyum licik khas mulut pedas.
“A—Aluna?!”
Gadis ‘kecil’ itu—yang ternyata bukan gadis kecil—mengedipkan mata.
“Ngapain lo?”
Renzo melongo. “Kirain anak SD.”
Pria ‘papa’ di sebelahnya tertawa keras dan melepas topi yang menutupi rambutnya.
“Emang Aluna itu bodynya kaya anak SD kalo pakai seragam sekolah gini. Abis syuting tadi. Ini mau pulang.”
Renzo masih diam, memandangi Aluna dari atas ke bawah.
“Lo… Lo serius banget nyamar jadi anak kecil?!”
“Namanya juga akting. Ditambah gue jadi anak SMA tahu bukan anak ‘kecil’.”
Aluna mengambil cone vanilla miliknya dan menjilat bagian pinggirannya dengan gaya kekanakan.
Renzo hanya bisa berdiri terpaku, sementara Aluna—yang masih memakai tas selempang mini dengan gantungan boneka bebek—menyodorkan tisu ke Renzo.
“Tuh, bibir lo belepotan coklat.”
Renzo masih diam.
Di seberang jalan, Alaric menutup telepon dan mendongak, lalu langsung menatap heran ke arah Renzo—yang sekarang berdiri di tengah trotoar bersama Aluna... yang mengenakan jaket pink, rok mini dan ekspresi nakal seperti biasa.
Alaric melihat artikel yang muncul di smartphone.
GOSIP SORE
‘Adik Sepupu CEO Muda Alverio Mengira Istri Abangnya sebagai Anak SD’
Faktanya? Aluna baru saja selesai syuting adegan sebagai siswi SMA untuk film terbarunya dan hanya mampir sebentar membeli es krim bersama Surya, manajer.
Pihak manajemen belum memberi tanggapan, namun para penggemar justru menikmati kehebohan ini dan memuji akting natural Aluna bahkan di luar kamera.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments