Take Scene Film 18+

‘Ding-dong’

Suara bel apartemen memecah sunyi. Aluna menoleh malas dari dapur. Tanpa menunggu Alaric keluar kamar, ia berjalan menuju pintu dengan jubah tipis masih melingkari tubuhnya.

Begitu daun pintu terbuka, sosok jangkung langsung berdiri di sana. Renzo. Senyum kecil, mata tajam, hoodie abu-abu yang kebasahan di kerahnya. Aluna mengerjap. Tanpa kata, ia langsung menutup pintu.

Tapi tangan lain lebih cepat. Alaric, masih dengan kaos putih dan celana linen, menahan pintu sebelum benar-benar tertutup.

“Biarin dia masuk.”

“Kenapa? Supaya bisa sarapan bertiga sambil menyudutkanku?”

Alaric hanya menatap. Aluna mendengus, melangkah mundur. Renzo masuk begitu saja, seperti rumah miliknya.

“Wah, artis besar buka pintu sendiri sekarang?” sindir Renzo ringan, pandangannya menyapu Aluna dari atas ke bawah. “Gue sempat lihat lo di berita New York. Audisi teater Broadway, ‘kan? Sayang gagal… karena skandal pembunuhan mantan.”

Aluna menegang. Mata membelalak, tapi ia tertawa kecil, penuh racun.

“Dan lo kuliah di luar negeri cuma buat ngikutin berita gosip lokal?”

“Maaf, gue juga pelajari ‘penyebab kegagalan’, biar gak jadi kaya lo.”

Debat meledak. Dua mulut tajam saling tikam. Kata-kata penuh sarkasme dan ejekan dilempar seperti pisau. Renzo mendekat. Aluna mundur. Sampai punggungnya terbentur dinding marmer di koridor apartemen.

Renzo mencondongkan tubuhnya. Hanya beberapa inci dari wajah Aluna. Napasnya hangat di pipi wanita itu.

“Apa lo juga ngadu napas begini ke mantan lo sebelum dia mati?”

“Renzo!” bentak Aluna.

Tapi Alaric tetap diam di dapur. Ia sibuk memanggang roti. Ia menaruh dua sandwich isi telur dan smoked beef di meja makan, lalu menambahkan piring ketiga.

“Ren, duduk. Lo lapar.”

“Iya, Bang.”

Aluna masih berdiri, dada naik turun. Renzo hanya tersenyum seolah tak terjadi apa-apa, lalu menarik kursi dan mulai makan. Alaric duduk di sampingnya.

Aluna memandangi keduanya. Dua pria dari keluarga yang sama, penuh rahasia, penuh jebakan.

Dan sekarang... sarapan pun terasa seperti jamuan eksekusi.

Sendok menabrak pinggir piring porselen. Suara lembut, tapi mengganggu. Aluna menatap dua pria di depannya.

Renzo duduk terlalu dekat dengan Alaric, bahunya kadang menyentuh bahu sang CEO muda itu saat mengambil garam, atau saat menyodorkan cangkir kopi.

“Bang, roti bagian tengah lo masih kosong. Biar gue isi,” ucap Renzo, mengambilkan potongan telur dan menyelipkannya di roti Alaric, gerakannya akrab—terlalu akrab.

Alaric mengangkat alis, tapi tak menolak.

Aluna mengetukkan jemarinya di atas meja. “Kalian selalu begini?”

“Begini bagaimana?” Renzo menoleh, senyum tipis.

“Seperti pasangan suami-istri yang udah nikah lima tahun.”

Renzo tertawa pelan. “Lo cemburu, Kakak Ipar?”

“Lo keliru. Gue jijik.”

Suasana mendingin. Renzo hanya tersenyum—tapi kini tak semanis sebelumnya.

Aluna berdiri. Baru satu langkah ia ambil, suara Alaric menyusul tanpa nada tinggi, tapi sangat jelas.

“Alaric nggak pernah ditinggal partner makan. Kalau ada yang pergi lebih dulu, itu aku,” ujar Alaric ke arah Aluna.

Langkah Aluna berhenti. Ia menoleh perlahan. Alaric menatap langsung ke matanya sambil memegang gelas kopi.

“Duduk. Habiskan sarapanmu.”

Renzo memandangi Alaric sebentar, senyumnya mengembang kecil, tapi matanya tak lepas dari Aluna. Penuh pengawasan. Penuh rasa tak suka.

Aluna kembali duduk, pelan, dengan wajah datar. Tapi pikirannya mulai bekerja keras.

Meja itu terlalu sempit untuk tiga orang. Terlalu sesak untuk rahasia, untuk emosi dan untuk seseorang yang mulai kehilangan tempatnya.

Suara dering dari smartphone Renzo memecah keheningan ruang tengah. Ia baru saja menyelesaikan sarapannya ketika nama ‘Mommy’ muncul di layar. Wajah santainya sedikit berubah.

Ia menjawab panggilan itu sambil berdiri, membelakangi Aluna dan Alaric. 

“Ya, Mom…”

“Iya, aku langsung ke apartemen, enggak mampir ke rumah dulu…”

“Mommy, enggak perlu khawatir, aku baik-baik aja…”

Nada suara lembut itu perlahan berubah jadi lebih patuh. Lalu hening beberapa detik.

“Sekarang?”

“Okay, Renzo pulang sekarang.”

Renzo menutup telepon. Ia berbalik. Senyumnya tetap ada, tapi tidak seceria tadi.

“Mommy nyuruh pulang ke rumah. Katanya nggak sopan langsung ke apartemen tanpa sapa Mama sama Papa.”

Alaric langsung berdiri dari kursinya. Sigap. Refleks. Seolah tubuhnya sudah terbiasa bereaksi begitu saat Renzo butuh sesuatu.

“Gue antar.”

Renzo mengangkat tangannya, menolak halus.

“Jangan! Mommy udah kirim sopir. Dan jalanan masih licin karena hujan tadi malam, lo enggak perlu keluar.”

Alaric mengerutkan dahi. “Gue enggak masalah. Gue bis—”

“Lo baru nikah, Bang,” potong Renzo, nada bicaranya pelan tapi tajam. “Beritanya masih panas. Kalau paparazzi lihat lo lebih memilih nganter gue daripada menemani istri, artikelnya bisa meledak.”

Aluna menoleh dari sofa, matanya menyipit. “Mommy? Mama? Papa?”

“Mommy itu Mama tiri gue,” ujar Renzo lalu berjalan ke arah pintu.

“Telpon gue kalau udah nyempe,” ucap Alaric akhirnya.

Renzo menoleh, senyumnya tipis. Tapi matanya hanya menatap Alaric, bukan Aluna. “Selalu, Bang.”

Aluna menarik napas. “Lucu. Pernikahan ini cuma formalitas, tapi tetap terasa seperti orang ketiga.”

Alaric tidak menjawab. Ia hanya memandangi pintu yang baru tertutup, lebih lama dari seharusnya.

...***...

Langit mendung membalut sore yang murung. Aluna duduk di sisi sofa, tubuhnya membungkuk sedikit, rambut panjang tergerai menutupi sebagian wajah. Di tangannya, cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh.

Alaric berdiri di dekat jendela, menatap keluar, satu tangan di saku celana, satu lagi memegang smartphone yang sudah lama ia matikan layarnya.

“Alaric…” Suara Aluna nyaris berbisik. “Benar kamu yang bunuh Rafael?”

Suasana membeku. Hanya detak jarum jam yang terdengar dan hujan ringan mulai menampar kaca.

Alaric tidak langsung menjawab. Ia membalikkan badan perlahan, lalu menatap Aluna dengan wajah datar.

“Ya.”

Aluna menarik napas tajam. Jemarinya meremas cangkir. “Kalau begitu… keluarga aku juga? Mama, Papa, adikku… semua kecelakaan itu…”

Alaric tidak menghindar. “Bukan aku,” katanya pelan. “Itu kehendak Tuhan.”

Tangan Aluna gemetar. Cangkir itu nyaris jatuh dari genggamannya. Ia menunduk, dan satu tetes air mata jatuh di lututnya yang terbuka karena hot pants satin yang ia pakai.

Ia sendiri. Benar-benar sendiri.

Dan satu-satunya orang di rumah itu adalah pria yang mencabut semua yang ia punya.

Alaric mendekat. Duduk di sandaran sofa, tak menyentuh Aluna.

“Tapi sekarang kamu bebas. Namamu sudah bersih. Manajermu menghubungiku tadi siang. Ada tawaran film—”

Aluna langsung menoleh cepat. “Kamu bicara dengan manajerku tanpa izin?”

Alaric mengangkat alis, santai. “Dia bagian dari kontrak perusahaan. Semua hal yang menyangkut kamu… harus atas sepengetahuanku.”

“Jadi aku ini... apa?” Aluna berdiri, menatapnya tajam. “Proyek? Properti perusahaan?”

“Kamu itu milik Alverio Group. Dan aku pemiliknya.”

Aluna tertawa kecut. Matanya basah, tapi suaranya dingin.

“Dan tawarannya? Genre sekolah tapi… 18+? Kamu juga setuju aku berperan seperti itu?”

“Itu yang laku di pasaran. Kamu butuh peran itu untuk bangkit. Dan kita—” Alaric berdiri, menghadapnya lurus, “—butuh kamu terlihat ‘baik-baik saja’ di media.”

Aluna mundur selangkah. “Kamu bukan suami. Kamu manajer, penculik, dan penguasa.”

Alaric menatapnya tenang. “Dan kamu menandatangani semuanya.”

...***...

Lampu studio menyala terang, menyinari set ruangan UKS yang dibuat semirip mungkin dengan ruang kesehatan sekolah elite. Tirai putih, ranjang kecil, lemari obat, dan kamera yang siap menangkap setiap sudut dari cerita.

Aluna, mengenakan seragam sekolah ketat—rok pendek plisket navy dan kemeja putih yang satu kancingnya dibiarkan terbuka—duduk di pinggir ranjang UKS sambil memegang naskah. Rambutnya dikuncir kuda, bibirnya diberi sedikit gloss yang membuatnya tampak lebih muda… dan lebih menggoda.

Di sisi ruangan, berdiri seseorang yang seharusnya tidak ada di sana: Alaric Alverio.

Setelan jas gelap, wajah dingin CEO, dan lencana tamu di dadanya. Ia berdiri diam di balik monitor sutradara, bersama manajer Aluna dan dua produser. Tapi hanya matanya yang tak berkedip, tertuju penuh ke satu titik: Aluna.

‘Take 1, Scene 23 – UKS, Ciuman’

Suara clapper terdengar.

Aktor lawan main Aluna—seorang pria muda tampan dengan jas sekolah yang terbuka separuh, turun dari meja periksa dan duduk di sebelah Aluna. Tatapan mereka bertemu. Aluna memiringkan kepala, senyum kecilnya muncul. Ia berperan… sempurna.

“Jangan bilang kamu bolos kelas cuma buat peluk aku.” Suara Aluna lirih, menggoda.

“Kamu lebih sehat dari semua vitamin,” balas aktor itu sambil menyentuh pinggang Aluna, menariknya mendekat.

Alaric tidak bergerak. Tapi rahangnya mengeras.

Sementara itu, di layar monitor, aktor itu menunduk perlahan, menyentuh bibir Aluna dengan ciuman—lembut di awal, lalu berubah jadi panas dan mendalam. Aluna menutup matanya, tangan aktor itu menyelip ke dalam bagian bawah kemeja.

Alaric mengepalkan jemari di balik saku jasnya. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi dadanya sesak.

Bukan karena ciuman itu… Tapi karena bukan dia yang melakukannya.

Atau karena… Renzo pun belum pernah ia cium seperti itu.

Seketika pikirannya kacau.

“Cut! Bagus! Energinya dapet!” teriak sutradara.

Para kru bertepuk tangan. Aluna tersenyum lelah, menyeka sudut bibirnya dengan tisu, lalu berdiri. Matanya sempat bertemu dengan Alaric dari kejauhan.

Dan untuk pertama kalinya… Aluna melihat Alaric tidak sekaku biasanya. Ada api kecil di matanya. Api yang berbahaya. Api yang ingin membakar sesuatu… atau seseorang.

Terpopuler

Comments

Desi Oktafiani

Desi Oktafiani

Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.

2025-07-20

1

lihat semua
Episodes
1 Ultimatum di Ambang Kematian
2 Alaric adalah Iblis
3 Take Scene Film 18+
4 Bibir yang Gatal
5 Telor Orak-arik atau Garam Padat?
6 Antara Anti Gores & Goresan Lama
7 Televisi, Jas Dilepas dan Prioritas
8 Di Balik Kursi CEO
9 Kemunculan Pria Masa Lalu
10 Proyek Baru untuk Aluna
11 Bukan Suami Biasa
12 Batas Ini Harusnya Tidak Dilanggar
13 Aluna Demam, Alaric Rawat
14 Menyambut Suami Pulang
15 Sudah Cut Tapi Ciuman Berlanjut
16 Di Postinganku, Dia Jadi Suami Idaman
17 Sofa Kutukan dari Mama
18 Untuk Istri yang Belum Kucintai
19 Tawa Indah CEO Muda yang Dingin
20 Jaket Couple Alaric dan Aluna
21 Tuntutan Mama Mertua
22 Hamil dalam Waktu Sebulan
23 Kabar Bahagia untuk Aluna
24 Badai di Tengah Badai
25 Aluna Resmi Jadi Ibu
26 Jemput Alaric's Baby
27 Happy Ending?
28 Jadi Papa dan Suami
29 Arshen Alverio
30 Bukan Tentangnya Kali Ini
31 Panggilan Papa dari Arshen
32 Merawat Bayi Demam Bersama
33 Belok Menuju Lurus
34 Sarkas Tapi Sayang
35 Belajar Menjadi Pelindung
36 Pelan-Pelan Ya
37 Wanita yang Tidak Pernah Menuntut
38 Bukan Kabar Bahagia
39 CEO Kecil Alaric Alverio
40 Milikku, Titik!
41 Renzo dan Nadhifa
42 Gulali Kesayangan Papa
43 Kita, Versi Lebih Tenang
44 Kamu Nggak Hamil, 'kan?
45 Bunga Hitam dari Langit
46 Teror Terus Berlanjut
47 Minta Dibeliin Kelinci
48 Kelinci di Tengah Teror Gereja
49 Kelinci Horor di Pagi Hari
50 Festival di Alverio University
51 Makan Malam Keluarga Alverio
52 Alaric Cemburu?
53 Sosok Peneror Muncul
54 Baby Hacker Termanis Sejagat Raya
55 Seluruh Dunia Bergerak Untuknya
56 Arshen Suka Mie
57 Lembur Sebagai Mama & Papa
58 Dana Gelap Alverio Group
59 Dana Gelap Ketemu
60 Rekening Ludes Bayar Makan Mahal
61 Sukanya Susu
62 Dua Belas Digit
63 Terungkap
64 Tertangkap
65 Momen Berdua
66 Arshen Gemes
67 Arshen Gemoy Banyak Omong
68 Sekretaris Baru untuk Alaric
69 Ketampanan Alaric Alverio
70 Insiden Papa Jahat
71 Arshen di Usia Dua Belas
72 TES DNA
73 Terlalu Dewasa Buat Anak SD
74 Hari Pengambilan Rapor Semester 1
75 Sajadah untuk Putra Mereka
76 Mengorek Masa Lalu
77 Adik Cewek
78 Permintaan Maaf
79 Jangan Bucin, Plis!
Episodes

Updated 79 Episodes

1
Ultimatum di Ambang Kematian
2
Alaric adalah Iblis
3
Take Scene Film 18+
4
Bibir yang Gatal
5
Telor Orak-arik atau Garam Padat?
6
Antara Anti Gores & Goresan Lama
7
Televisi, Jas Dilepas dan Prioritas
8
Di Balik Kursi CEO
9
Kemunculan Pria Masa Lalu
10
Proyek Baru untuk Aluna
11
Bukan Suami Biasa
12
Batas Ini Harusnya Tidak Dilanggar
13
Aluna Demam, Alaric Rawat
14
Menyambut Suami Pulang
15
Sudah Cut Tapi Ciuman Berlanjut
16
Di Postinganku, Dia Jadi Suami Idaman
17
Sofa Kutukan dari Mama
18
Untuk Istri yang Belum Kucintai
19
Tawa Indah CEO Muda yang Dingin
20
Jaket Couple Alaric dan Aluna
21
Tuntutan Mama Mertua
22
Hamil dalam Waktu Sebulan
23
Kabar Bahagia untuk Aluna
24
Badai di Tengah Badai
25
Aluna Resmi Jadi Ibu
26
Jemput Alaric's Baby
27
Happy Ending?
28
Jadi Papa dan Suami
29
Arshen Alverio
30
Bukan Tentangnya Kali Ini
31
Panggilan Papa dari Arshen
32
Merawat Bayi Demam Bersama
33
Belok Menuju Lurus
34
Sarkas Tapi Sayang
35
Belajar Menjadi Pelindung
36
Pelan-Pelan Ya
37
Wanita yang Tidak Pernah Menuntut
38
Bukan Kabar Bahagia
39
CEO Kecil Alaric Alverio
40
Milikku, Titik!
41
Renzo dan Nadhifa
42
Gulali Kesayangan Papa
43
Kita, Versi Lebih Tenang
44
Kamu Nggak Hamil, 'kan?
45
Bunga Hitam dari Langit
46
Teror Terus Berlanjut
47
Minta Dibeliin Kelinci
48
Kelinci di Tengah Teror Gereja
49
Kelinci Horor di Pagi Hari
50
Festival di Alverio University
51
Makan Malam Keluarga Alverio
52
Alaric Cemburu?
53
Sosok Peneror Muncul
54
Baby Hacker Termanis Sejagat Raya
55
Seluruh Dunia Bergerak Untuknya
56
Arshen Suka Mie
57
Lembur Sebagai Mama & Papa
58
Dana Gelap Alverio Group
59
Dana Gelap Ketemu
60
Rekening Ludes Bayar Makan Mahal
61
Sukanya Susu
62
Dua Belas Digit
63
Terungkap
64
Tertangkap
65
Momen Berdua
66
Arshen Gemes
67
Arshen Gemoy Banyak Omong
68
Sekretaris Baru untuk Alaric
69
Ketampanan Alaric Alverio
70
Insiden Papa Jahat
71
Arshen di Usia Dua Belas
72
TES DNA
73
Terlalu Dewasa Buat Anak SD
74
Hari Pengambilan Rapor Semester 1
75
Sajadah untuk Putra Mereka
76
Mengorek Masa Lalu
77
Adik Cewek
78
Permintaan Maaf
79
Jangan Bucin, Plis!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!