Haisya melantunkan kalimat syahdu dalam hati, mencoba menenangkan gejolak perasaannya. Tak terasa wajahnya jadi sendu, terbayang wajah ibunda, sosok yang selalu menjadi tempatnya bersandar. Sebuah rindu yang tak terucapkan memenuhi dadanya.
Semilir angin sore menerpa wajah Haisya, terasa sejuk, mungkin begitu. Mega merah tampak indah di ufuk barat, berpadu dengan debur ombak yang menderu pelan di bawah sana. Rasanya diri ini tak ingin berlalu, namun waktu terus melaju. Ada kedamaian yang mendalam saat memandang arah itu. Burung-burung saling berseru, perlahan pergi satu per satu, kembali ke sarangnya. Haisya berdiri di atas batu karang, jilbabnya terurai ditiup sang bayu. Ombak rindu selalu menggebu, menggores kisah dalam hidupnya. Betapa indah hari itu, betapa indah ombak berderu, menyerbu bibir pantai itu, seakan membawa rindu yang hanyut bersamanya. Haisya rindu…
Gadis itu duduk memeluk lututnya, usai menggoreskan tinta di atas selembar kertas putih yang kini basah oleh tetesan air. Lama sudah ia terus berdiam diri di sisi pantai itu, matanya yang indah tak pernah lelah memandang luasnya lautan. Entah apa yang ia pikirkan hingga enggan beranjak dari tempatnya.
Buliran-buliran air mata mulai menghiasi pipi lembutnya. Mega merah keemasan di ufuk barat mulai tergantikan oleh awan gelap yang membawa beban berat, berupa air yang akan ia jatuhkan ke permukaan bumi. Dan benar saja, tak lama kemudian, rintik hujan mulai turun.
Tetes demi tetes air hujan menyamarkan air mata yang mulai menganak sungai di wajah cantik Haisya. Bulu matanya yang lentik mencoba menahan air mata yang jernih, namun tak kuasa. Langit terus menumpahkan apa yang tersimpan di dalam awan-awan, seolah-olah turut merasakan kesedihan sebagaimana yang Haisya rasakan. Lima tahun sudah Haisya bertahan di pondok tercinta ini. Kini, ia sangat merindukan ibunda yang telah melahirkannya.
"Ibu… Haisya lelah, Haisya capek… hik hik." "Haisya ingin pulang dan memelukmu, Ibu… Haisya nggak tahan di sini… teman-teman Haisya jahat… hik hik." Dalam kesendiriannya, Haisya terus menangis dan mengeluhkan perasaannya. Sebuah beban berat yang ia pendam, kini tumpah bersama derai hujan.
***
Sore itu, sehabis bermain sepak bola, Ridwan langsung mandi hingga tak sadar hari semakin petang. Kala itu, hujan turun dengan sangat deras. Ia masuk kamar berniat akan bersiap-siap pergi ke masjid, namun entah mengapa hatinya ingin sekali melihat hujan dari jendela.
Dari kejauhan, Ridwan melihat seorang wanita tengah duduk di atas batu dan membiarkan dirinya diterpa hujan. Awalnya ia tak peduli, namun pikiran itu terus mengusik. Hari mulai petang, dan gadis itu masih berada di sana, tanpa bergerak. Ia yakin dia pasti salah satu santri putri pondok ini.
Ia putuskan untuk menghampirinya. Tak lupa, ia memakai jaket karena diluar sangat dingin. Ridwan juga membawa payung untuk melindungi dirinya agar tidak basah terkena hujan.
Ia berlari menghampirinya, langkahnya terhenti di belakang gadis itu. Nafasnya tersengal, jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena lari. Ia memanggil wanita itu, namun Haisya tak merespons, bahkan sekadar menoleh pun tidak.
Ridwan memberanikan diri menyentuh pundaknya. Seketika Haisya menoleh. Betapa terkejutnya Ridwan melihat wajahnya yang berantakan; bibirnya pucat pasi dan matanya merah sembab. Ia yakin Haisya baru saja menangis. Tubuhnya menggigil hebat karena kedinginan. Tanpa ragu, Ridwan melepaskan jaketnya dan memakaikannya ke badan Haisya, berharap sedikit menghangatkan tubuhnya.
"Ayo, kembali ke pondok," ajak Ridwan lembut. Namun, saat ia menoleh ke belakang, rupanya Haisya tak mengikutinya melainkan tergeletak tak sadarkan diri di atas pasir yang basah, di bawah guyuran hujan lebat. Ridwan menyentuh pipinya, sudah dingin sedingin es, wajahnya semakin pucat, seperti tak ada lagi kehidupan.
Tanpa berpikir panjang, Ridwan segera membopong tubuh Haisya. Ia berlari sekuat tenaga menuju asrama putri. Di depan gerbang, ia bertemu dengan Ustazah Zulfa yang tampak cemas di tengah hujan.
"Wan, apa yang terjadi dengannya?" tanya Ustazah Zulfa dengan nada khawatir. "Haisya pingsan di tepi pantai, Zah. Dia kehujanan," jawab Ridwan, nafasnya masih tersengal. "Astaghfirullah, tolong bawa dia ke kamarnya!" Ustazah Zulfa segera menunjukkan arah kamar Haisya.
Ridwan membawa Haisya masuk, dan di dalam kamar, ia bertemu dengan Hana dan Rini yang baru saja memasuki kamar. Mereka terkejut melihat Haisya yang tak sadarkan diri dan seorang santri putra berada di asrama putri.
"Ada apa ini, kok Akhi Ridwan ada di sini?" tanya Hana cemas. "Ini, tadi saya menemukan dia di tepi pantai, pakaiannya basah kuyup. Sebaiknya kalian gantikan pakaiannya, agar dia tidak sakit nanti," jelas Ridwan singkat. Hana dan Rini hanya mengangguk, masih terkejut.
"Sebaiknya kamu juga segera mengganti pakaianmu, Wan!, kamu juga kehujanan," Ustazah mengingatkan Ridwan dengan nada cemas. "Na'am, Zah… Kalau begitu saya pamit undur diri, saya titip Haisya ya, Zah… Assalamualaikum…"
"Waalaikumsalam… Makasih sudah menolong Haisya."
"Afwan, Zah." Ridwan meninggalkan tempat itu dan kembali ke asrama putra. Ustazah Zulfa terus memandangi punggung Ridwan sampai hilang di balik pintu, sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya.
Malam itu, Ridwan sudah berganti pakaian. Setelah salat Magrib di kamar, ia duduk di serambi, mendengarkan rintik hujan. Pikirannya tertuju pada Haisya. Ia khawatir dengan keadaannya. Ia juga merasa bersalah karena mungkin tidak menyadari bahwa Haisya sedang tidak baik-baik saja.
"Bagaimana keadaannya sekarang… dia pasti sedang ada masalah hingga dia menyendiri di pantai," gumam Ridwan dalam hati. "Hmm… kalau dipikir-pikir, Haisya memang cantik, dia juga anak yang sopan, pintar lagi…" Ridwan menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. "Eh, apaan sih… kok aku malah jadi mikirin dia sih… Aduh, Wan… sudah, hilangkan dia… hilangkan dari otakmu ini! Jangan sampai kamu suka sama dia… ingat, dia percaya sama kamu sebagai sahabat… jangan kamu kecewakan dia dengan rasa cinta ini." Ridwan terus saja bicara sendiri dalam hati, antara hati dan pikirannya saling berlawanan, sebuah pergulatan batin yang tak bisa dihindari.
Ridwan teringat kembali kejadian tadi sore. Kini ia begitu kepikiran dengan perbuatannya. Ia tidak bisa tidur karena terus memikirkan gadis itu. "Pokoknya besok pagi aku harus meminta maaf padanya, semoga dia tidak apa-apa." Ridwan mulai berjuang memejamkan matanya. Ia takut dimarahi Pak Kyai bila begadang hingga pagi hari.
***
Keesokan paginya, Ridwan melewati koridor lantai dua tempat kelasnya berada. Ia berjalan dengan penuh wibawa, badannya tinggi dan kekar. Tas ia pakai menyamping seperti aktor-aktor lelaki idaman. Jam digital melingkar di tangan kirinya benar-benar cool, membuat semua pandangan mata santriwati tertuju kepada dirinya.
Ridwan duduk di bangkunya, pandangannya terus terarah pada Haisya yang tampak ceria bercanda dengan teman-temannya. Melihat gadis itu bahagia, ia pun merasa bahagia.
"Sha…!" Ridwan memanggil Haisya saat jam istirahat. "Hmm…" Haisya, hanya merespon dengan deheman.
"Maaf ya…”kalimat Ridwan menggantung memancing rasa penasaran.
"Untuk?"
"Untuk aku yang menggendongmu kemarin sore." akhirnya Ridwan berani mengatakannya.
"Oh… enggak masalah, makasih, ya!." Haisya tersenyum tipis.
"Beneran kamu nggak marah?"
"Ya bener lah… harusnya aku yang berterima kasih karena sudah ditolong."
"Santai."
"Oke."
"Ehm… Sha…!" Ridwan terdiam sejenak, ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi ragu.
"Iya… ada apa?"
"Nggak jadi, deh," Ridwan mengurungkan niatnya.
***
Saat waktu istirahat, Haisya memutuskan untuk naik ke rooftop seperti biasa. Gadis itu memang senang sekali menyendiri. Ia suka menikmati udara sejuk di atas sana. Selain itu, ia juga bisa menenangkan pikirannya dengan memandang pemandangan dari atas rooftop.
Ia berjalan ke sisi rooftop, tangannya berpegangan di pembatas. Tanpa ia sadari ada seseorang yang juga mengikuti kegiatan Haisya. Orang itu berdiri menjajari tubuhnya, ia juga memandang ke arah yang Haisya pandang.
"Lo kenapa sih, Sha?" Suara itu mengejutkan Haisya. "Allahu Akbar! Sejak kapan kamu di situ?" Haisya menoleh, sedikit terkejut.
"Nggak penting dari kapan gua di sini, yang penting sekarang gua minta penjelasan lo, kenapa kemarin Ridwan nemuin lo di tepi pantai dalam keadaan pingsan di bawah guyuran hujan?" tanya Hasnan, yang notabenenya adalah kakak sepupu Haisya, dengan nada serius.
"Aku nggak apa-apa kok, Mas. Aku cuma lagi pengen sendiri." Haisya berusaha meredakan kekhawatiran. "Oh, jadi lo nggak mau, nih, terus terang sama abang lo?" "Beneran, Mas, aku nggak apa-apa." Haisya memaksakan senyumnya.
Hasnan hanya berdecak kecil dan menghembuskan napas kasar, mewakili kata 'ya sudahlah'. Pria itu pun meninggalkan Haisya seorang diri disana, meskipun hatinya masih menyimpan rasa khawatir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments