Bismillahirrohmanirrohim… Alif lam mim dzalikal kitabullah raiba fih hudan lil muttaqin…
Lantunan-lantunan ayat suci Al-Qur'an itu terus bergema di setiap sudut ruangan bernuansa hijau tosca yang menenangkan. Hari ini adalah hari tenang bagi para santri yang akan melaksanakan UAS semester pertama. Sebagian santri memanfaatkan waktu itu untuk beristirahat dan sebagian yang lain menggunakannya untuk mencuci, membaca buku, ataupun tadarus Al-Qur'an.
Di sebuah sudut ruangan, tampak Haisya yang terdiam tanpa bergerak ataupun bersuara. Wajahnya tertunduk dan sebuah Al-Qur'an mini berada di tangannya. Jam menunjukkan pukul 10.11 WIB. Suara isakan lembut mulai terdengar. Rupanya gadis itu menangis di sudut ruangan. Entah apa yang terjadi dengannya, namun air mata itu terus mengalir tanpa henti.
Semua santri di aula tersebut tampak biasa saja ketika mengetahui Haisya menangis. Haisya memang sudah terbiasa mengeluarkan air mata ketika membaca kitab sucinya. Air matanya adalah cerminan dari kecintaannya yang mendalam pada Al-Qur'an, bukan kesedihan.
"Ya Allah… begitu indahnya kalimat-kalimat ini. Makna yang terkandung pada setiap ayatnya selalu membekas dalam hati setiap Muslimin. Aku ingin sekali menghafalkan ayat-ayat-Mu ini, Ya Allah… Aku ingin menjaganya, diriku benar-benar telah jatuh cinta kepada kitab suci Al-Qur'an," bisiknya dalam hati, membiarkan air mata membasahi mushaf yang dipegangnya.
Dalam kesunyian, Haisya bersimpuh kepada Sang Khalik, mencurahkan segala perasaan, harapan, dan semua masalah kehidupannya hanya kepada Yang Maha Kuasa. Ia menemukan kedamaian di sana.
Di sisi lain, Nur dengan giatnya belajar untuk menghadapi ujian esok hari. Semua buku materi telah ia baca, dan kini ia sedang berlatih mengerjakan soal-soal. "Pokoknya besok nilaiku harus yang tertinggi, aku nggak mau kalah sama Haisya, santri baru itu," gerutunya dalam hati, tekadnya membara.
Nur memang anak terpintar di kelasnya, namun semenjak kehadiran Haisya, dirinya merasa terancam dan takut apabila Haisya akan merebut posisinya. Sehingga Nur selalu berusaha agar nilainya bisa di atas Haisya. Nur juga selalu mengawasi gerak-gerik Haisya. Ketika Haisya sedang melakukan aktivitas lain—seperti membantu di rumah Pak Kyai—Nur agak lega. Akan tetapi, ketika Haisya belajar atau hanya memegang sebuah buku saja, Nur merasa takut dan ia langsung belajar lebih giat daripada Haisya. Untungnya, Haisya adalah anak yang sibuk karena harus menjalankan piket di ndalem Pak Kyai, sehingga membuat dirinya jarang ada waktu untuk belajar. Hal itu sedikit mengurangi kekhawatiran Nur.
***
Suasana pagi ini begitu sejuk, dengan awan yang menyelimuti angkasa langit. Senyuman manis mengembang di bibir mungil Haisya, wajahnya bersinar laksana mentari pagi. Dengan berpakaian rapi serta beberapa alat tulis lainnya, Haisya memasuki ruang ujian dengan Bismillah. Ia niatkan segala aktivitasnya ini sebagai suatu ibadah kepada Rabb-nya.
Tiga puluh menit telah berjalan. Mereka masih terus menggoyangkan pena mereka di atas lembar jawab. Nur merasa gelisah karena soal yang begitu sulit menurutnya. Ia menoleh ke sana kemari berharap ada yang mau membantunya. Sementara Haisya, di bangkunya, tampak terlelap dengan santainya. Ia telah mengerjakan soal dan menjawab sebisanya, lalu membiarkan diri beristirahat.
***
Pukul 09.30 WIB, wali santri telah duduk rapi di aula pertemuan, memenuhi setiap kursi. Berbagai ekspresi terlihat di wajah masing-masing wali santri, tak sabar menunggu hasil nilai yang telah anak-anak mereka capai.
Seorang laki-laki berjas menaiki mimbar dan mulai membuka pidatonya. Dilanjutkan oleh laki-laki berkemeja biru yang akan mengumumkan beberapa anak yang akan diberi apresiasi karena berprestasi. Pak Ahmad telah memanggil anak-anak yang mendapatkan peringkat 1-3 dari kelas 1-4. Tibalah saatnya pengumuman untuk kelas 5. Perasaan cemas dan takut mulai Haisya rasakan. Jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Doa sudah ia langitkan, ikhtiar sudah ia laksanakan, kini ia bertawakal hanya kepada Allah SWT. Apa pun kenyataannya nanti, ia serahkan hanya kepada-Nya.
"Baik, sekarang tibalah kita di kelas 5 Kulliyatu-l-Mu'allimin Al-Islamiyah, peringkat ke-3 diperoleh oleh… Al-akh M. Zuhair."
Seketika Haisya lemas. Ia takut tak mendapatkan peringkat dan akan membuat orang tuanya kecewa. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
"Peringkat ke-2 diperoleh oleh… Al-ukhti…" Laki-laki itu menjeda kalimatnya, membuat semua orang penasaran. Kali ini mata Haisya terbuka lebar karena Pak Ahmad telah menyebutkan "ukhti," itu artinya dirinya masih punya kesempatan untuk meraihnya. Harapan kecil menyala kembali.
"Peringkat ke-2 diperoleh oleh siapa? Ada yang tahu? Oke, langsung saja daripada penasaran, peringkat ke-2 diperoleh oleh ukhti Nur Azizah."
Nur langsung melotot karena kaget. Sebenarnya ia menginginkan peringkat pertama. Namun ternyata dirinya mendapatkan peringkat ke-2. Kekalahan ini terasa pahit. Begitu pula dengan Haisya yang telah pasrah dan hilang harapan. "Nur yang pintar dan rajin saja peringkat ke-2, ah… sudahlah aku nggak mungkin dapat peringkat," begitu pikir Haisya, mengusap wajahnya yang mendadak terasa lesu.
Kali ini Haisya sudah tidak fokus memperhatikan Pak Ahmad yang di depan. Haisya justru bercanda dengan beberapa anak di sampingnya, mencoba mengusir kekecewaan.
"Dan saat yang ditunggu-tunggu inilah santri terpintar, terpandai, tercerdas, dan baik budi pekertinya! Kalian semua harus mencontohnya, belajarlah rendah hati seperti apa yang dia lakukan. Siapakah dia…? Ya… peringkat pertama diperoleh oleh… Al-ukhti…?" Pak Ahmad sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Amanda...Keysa...Aminah.., bla bla bla," para santri mulai menyebutkan nama teman-teman mereka, riuh memenuhi aula.
"Ya, harap tenang! Tolong dengarkan saya, peringkat pertama jatuh kepada ukhti Haisya Ardiyanti! Beri tepuk tangan!!!" Prok..prok..prok. "Yuk, ukhti, silahkan menaiki panggung!"
"Ukhti Haisya!, Ukhti peringkat pertamaaa… Selamat ya, ukhti…" Para santriwati membuat gaduh suasana, mereka histeris begitu nama Haisya disebutkan. Suara tepuk tangan membahana.
Haisya masih bengong. Matanya mengerjap, belum percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Apakah ia tidak salah dengar?
"Haisya! Woy, cepetan maju! Nggak mau hadiah?" seru temannya.
"Sya… aku nggak salah dengar, kan?" Haisya mencoba bertanya untuk meyakinkan diri.
"Iya Haisya sayangkuuu… cintaku… buruan maju… cepetan bangun, jangan tidur melulu makanya… sadar!" Fasya menggoyangkan lengannya.
"Aku enggak tidur, kali…" Haisya bangkit dari tempat duduknya, kakinya melangkah lunglai, seolah masih dalam mimpi, menuju panggung.
Semua mata tertuju padanya. Mereka begitu terpesona dengan Haisya yang cantik dan juga pintar. Desas-desus tentangnya yang modis, lalu berubah menjadi sederhana, dan kini menjadi santri berprestasi, semakin menguatkan kekaguman mereka.
Haisya memberikan senyuman termanis yang pernah ia ciptakan kepada hadirin yang melihatnya. Senyuman itu memancar tulus, membiaskan cahaya kebahagiaan. Termasuk ayah dan ibunya, yang duduk di barisan depan. Mereka tak berhenti menatap putri mereka di atas panggung. Senyuman bangga selalu mengembang, menghiasi wajah berseri mereka, memancarkan kebahagiaan yang tak terhingga.
Setelah melaksanakan sesi foto, Haisya langsung lari menuju ke arah kedua orang tuanya. Memeluk mereka erat, mencium tangan, dan menyerahkan lencana penghargaan miliknya. Betapa terharunya sang ibu, air mata menetes bahagia. Putrinya itu benar-benar telah membuatnya bangga sejak kecil hingga sekarang. Belum sekalipun dirinya dibuat kecewa.
Namun, di tengah semua euforia dan pujian yang ia dapat, Haisya tidak tahu. Bahwa di balik setiap tepuk tangan dan senyum bangga, tersimpan bayangan kebencian yang perlahan mulai tumbuh—sebuah persaingan tak terlihat yang akan mengejarnya, bukan hanya di lingkungan pesantren, tetapi jauh melampaui batas yang ia kira aman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments