NovelToon NovelToon

Simpul Yang Terurai

Jejak di Angin Takdir

"Betapa kecilnya aku."

Angin berbisik di samping telinga ku, seolah mengingatkanku. Ia membelai jilbabku dengan kelembutan yang tak terduga di ketinggian ini, di sebuah titik yang terasa begitu terasing dari hiruk pikuk dunia di bawah. Udara dingin pegunungan menyapu wajah, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan yang baru terguyur embun. Kutinggikan pandangan, menyapu hamparan luas yang membentang di bawah sana, memanjakan mata sekaligus menelanjangi kalbu.

Di sini, setiap detik terasa begitu rapuh, begitu tak pasti, seolah takkan pernah kudapatkan lagi dalam bentuk yang sama. Matahari bersinar cerah di atas sana, namun biasnya di antara awan tipis terasa mengandung rahasia. Bukan sekadar cahaya biasa; ada semacam pantulan yang menyiratkan beban, kegelisahan, atau mungkin sebuah isyarat tersembunyi yang hanya bisa kurasakan.

Pemandangan yang terhampar di hadapanku adalah pengingat abadi betapa kecilnya aku di hadapan ciptaan-Nya yang maha dahsyat, betapa seringnya aku lupa bersyukur atas karunia-Mu, Ya Allah. Manusia kadang terlalu sombong dalam batas pengetahuannya, lupa bahwa setiap helaan napas adalah anugerah. Di satu sisi, hijau membentang luas tanpa akhir: petak-petak sawah yang tertata rapi seperti permadani zamrud, disusul kebun-kebun yang rimbun dengan buah-buahan dan sayuran, dan di kejauhan sana, pegunungan yang menjulang angkuh, puncaknya diselimuti kabut tipis seolah sedang berbisik pada langit. Di sisi lain, biru tak bertepi: lautan lepas yang memantulkan cahaya mentari, ombaknya saling berkejaran dengan irama abadi, tak pernah lelah memukul bibir pantai, seolah melantunkan lagu purba tentang kekekalan.

Kontras yang sempurna, keindahan yang tak terbantahkan. Namun, di tengah harmoni itu, mataku tertuju pada sebuah anomali. Sebuah bangunan kokoh yang mencakar langit di tepi pantai. Mega, raksasa, dengan dinding-dinding beton abu-abu yang menjulang angkuh, memancarkan aura dominasi. Ratusan pekerja tampak sibuk seperti semut, mondar-mandir membawa material, mengoperasikan mesin-mesin berat yang menderu memekakkan telinga. Menara-menara baja yang tak terhitung jumlahnya menusuk cakrawala, dihiasi lampu-lampu merah yang berkedip ritmis setiap dua detik—sebuah detak jantung buatan yang terasa asing di tengah keheningan alam.

"Pusat Listrik Tenaga Uap," bisikku pada diri sendiri, nama yang kudengar sering disebut oleh banyak orang, seolah itu adalah pencapaian terbesar peradaban. Cerobongnya, yang menyerupai menara kue astor raksasa yang tak proporsional, tak henti mengepulkan asap kelabu, atau mungkin uap sisa pembakaran batu bara. Asap itu pasti merobek lapisan ozon, mencemari udara, merusak paru-paru bumi. Tapi apa daya? Para penguasa berjas, dengan dasi ketat dan senyum formalitas, telah menguasai perusahaan ini. Mereka adalah dalang di balik semua ini, demi menghasilkan listrik yang akan menerangi setiap sudut kehidupan, setiap rumah, setiap gedung. Sebuah harga yang harus dibayar, pikirku getir, demi sebuah kenyamanan semu. Sebuah keseimbangan yang goyah.

Namun, di tengah kemegahan dan polusi itu, sebuah pemandangan kontras yang begitu sederhana justru menarik perhatianku. Sebuah layang-layang merah jambu yang mungil, namun begitu mencolok di kanvas biru langit. Ia menari, meliuk bebas mengikuti arah angin, seolah tanpa beban. Gerakannya begitu luwes, anggun, dan tak terbebani oleh gravitasi. Betapa damainya hidupnya, pikirku. Sebuah hasrat tiba-tiba melintas di benakku, begitu kuat hingga menyesakkan dada: Andaikan aku bisa seperti layang-layang itu. Terbang bebas, tak terbebani oleh pikiran dan ekspektasi, dengan seseorang yang setia mengawasi dan menjaga erat taliku dari bawah sana. Seseorang yang akan memastikan aku tidak tersesat, tidak jatuh.

Ilusi kebebasan itu begitu memikat, begitu indah. Namun, seakan alam ingin mengajariku sebuah pelajaran pahit, ilusi itu tiba-tiba tersentak. Sebuah sentakan tajam merobek harmoni di langit. Secepat kilat, seperti sebuah tangan tak terlihat yang memutus, tali layang-layang yang begitu dijaga kuat oleh pemiliknya itu, putus.

Seketika, ia kehilangan arah. Gerakannya berubah menjadi putaran liar, limbung tak berdaya, seperti jiwa yang kehilangan pegangan. Ia melayang jauh, entah kemana, terbawa arus angin yang tak peduli. Angin yang tadi membawanya menari, kini menjadi pengantar kejatuhannya.

"Sial," gumamku pelan, sebuah desahan getir yang tak disengaja. Bahkan hal yang paling dijaga pun, yang paling dicintai, bisa lepas begitu saja. Tidak ada jaminan. Tidak ada kepastian. Ini mengajarkanku: apa pun yang kita kira menyenangkan, apa pun yang kita anggap aman, pada akhirnya akan ada saatnya berubah menjadi tidak menyenangkan. Hidup ini adalah serangkaian kejutan, baik atau buruk, dan kita hanya bisa pasrah.

Manusia memang tak pernah puas. Kita selalu merasa kurang, terus menginginkan lebih, mengejar fatamorgana kebahagiaan yang selalu tampak di kejauhan, hingga terlena bahwa sejatinya kebahagiaan itu bukanlah tentang apa yang akan kita dapatkan, melainkan dari apa yang sudah kita miliki, dari setiap nafas yang masih bisa kita syukuri. Kesederhanaan adalah kunci.

Pikiranku melayang, jauh mengikuti jejak layang-layang yang kini terjatuh tak berdaya di tengah hamparan sawah. Ia hanya sehelai kertas dan bambu, namun entah mengapa nasibnya terasa begitu mirip dengan apa yang kurasakan. Sebuah pertanyaan yang selalu menghantui kembali menyeruak. "Di mana kalian sekarang, Ibu, Bapak? Sedang apakah mereka?" Bisikan khawatir itu meluncur begitu saja, tanpa sadar menjadi suara yang menggetarkan. Perasaan cemas yang selalu kurasakan setiap kali memikirkan mereka, kembali menusuk ke dalam hati, menciptakan lubang kosong yang tak bisa terisi.

Tepat saat matahari kini berada di puncak kepala, menghujamkan sinarnya tanpa ampun, suara panggilan suci mulai terdengar. Lantunan adzan yang merdu, penuh kedamaian, mengalun dari corong-corong masjid dan mushola di sekitar, memecah kesunyian siang yang tadi diisi oleh gejolak batinku. "Allahu Akbar… Allahu Akbar… Asyhadu alla ilaha illallah… Asyhadu anna Muhammadarrasulullah… Hayya 'alash shalah… Hayya 'alal falah… Allahu Akbar… Allahu Akbar… La ilaha illallah."

"Kriiinggg…!" Bel instruksi persiapan shalat berbunyi, mendesak, seolah ikut memanggilku untuk kembali ke fitrah. Aku beranjak, langkahku menuruni anak tangga satu per satu, perlahan namun pasti, menuju qo’ah—ruangan salat, sebuah tempat di mana aku bisa menumpahkan segala bebanku kepada Sang Khalik.

Setelah mengambil air wudhu, membasuh diri dari debu dunia dan kegelisahan batin, aku masuk ke qo’ah. Ruangan itu sudah ramai dengan para santriwati yang tenggelam dalam shalat sunnah qabliyah. Aku mengikuti mereka, mencoba menenangkan diri dalam setiap gerakan shalat. Usai menunaikan salat Zuhur, aku menumpahkan seluruh isi hatiku kepada Sang Khalik. Segala angan-angan yang dulu kurajut, kecemasan yang tak terucap, dan perasaan yang menyesakkan, semua ku kabarkan pada-Nya. Hanya kepada-Nya aku bisa berkeluh kesah tanpa batas.

Teringat segala dosa yang telah kulakukan, kelalaianku kepada Sang Khalik, tentang segala kewajiban yang belum tertuntaskan. Sebuah rasa bersalah menggerogoti. Perlahan, cairan bening mengalir di pipiku, bukan hanya air mata penyesalan, tapi juga kelegaan karena bisa menumpahkan segalanya. Aku bersujud, menangis sejadi-jadinya, memohon ampunan-Nya. Begitu dalam, hingga rasanya tak ada lagi beban yang tersisa.

"Ukhti, limadza?" Suara lembut seorang teman menyentuh bahuku, memecah kesendirian dalam sujudku. "Hal ukhti tabki?" (Ukhti, kenapa? Apakah ukhti menangis?)

Aku mendongak, berusaha menyembunyikan jejak air mata di wajahku yang basah. "Eh, laa ba’sa, ana laa abki." (Tidak apa-apa, aku tidak menangis.) Aku mencoba tersenyum, meski rasanya perih.

"Shahihan? Ukhti kadzibah." (Sungguh? Ukhti bohong.) Matanya menyelidik, tahu persis kebohonganku, karena ia pasti melihat bahuku yang bergetar.

"Shahih laa akdzib." (Sungguh aku tidak bohong.) Aku memaksakan senyum yang lebih lebar, berharap dia percaya.

"Tayyib, hayya na’kul!" (Baiklah, ayo makan!) Ia menarik tanganku lembut, mengajakku bangkit.

"Hayya." (Ayo.)

Aku beranjak dari tempat sujudku, langkah terasa berat, namun ada sedikit kelegaan. Kami berjalan menuju aula makan. Lauk kali ini mungkin sederhana, hanya tumis kangkung dan tempe goreng, tapi hatiku dipenuhi syukur yang tulus. Allah SWT telah memberikan makanan yang halal dan thayyib ini, untuk dapat disantap bersama semua santri. Alhamdulillah, lidahku masih normal, sehingga masih bisa kurasakan nikmatnya masakan ini. Nikmat yang sering dilupakan banyak orang.

Namun, di balik rasa syukur dan kenikmatan sederhana itu, sebuah pertanyaan terus menggantung. Jauh di lubuk hati, aku tahu. Seperti layang-layang yang talinya putus dan jatuh tak tentu arah, hidupku akan segera menghadapi perubahan besar yang tak bisa diperkirakan. Sebuah takdir baru menanti, dan aku tidak tahu, apakah aku akan terbang bebas menuju kebahagiaan atau justru jatuh hancur dalam kehampaan.

Topeng dan Jiwa yang Memberontak

Haisya memahami, setiap orang mengenakan topeng. Sebuah fasad yang mereka bangun untuk menunjukkan diri sebagai orang lain, demi diterima, demi aman, atau demi sekadar bertahan. Namun, tidak dengannya. Haisya memilih untuk tetap menjadi dirinya—Haisya Ardiyanti, gadis dengan nama anggun ini, yang rela meninggalkan kehangatan keluarga, tawa riuh teman-teman, serta segala kesenangan di tanah kelahiran demi satu cita-cita yang menggebu.

Tiga tahun yang lalu, Haisya melangkah masuk ke gerbang pesantren ini, sebuah tempat yang asing namun penuh janji. Penampilannya kala itu, bagaikan anomali di antara santriwati lainnya; sebuah gaun cokelat susu pas membalut tubuh rampingnya, berpadu dengan jilbab pashmina senada yang menjuntai elegan. Postur tubuhnya yang tinggi semampai, kulit putih bersih, hidung mancung, serta bibir mungil merona dengan senyuman yang terus ia tebarkan, seolah menyihir setiap pasang mata. Mereka terkesima bukan hanya oleh paras, tapi juga oleh budi pekerti yang Haisya rasa biasa saja. Ia ramah, cepat berbaur, dan berusaha menjadi sosok yang mudah diterima siapa pun.

Langkah demi langkah, Haisya menaiki anak tangga asrama, gemerisik koper di tangan kanan dan tas kecil cantik di punggungnya menjadi satu-satunya irama dalam keheningan yang menyambut. Sesampainya di kamar, wajah-wajah ramah para santriwati menyapanya, dan Haisya tahu, inilah awal dunianya yang baru. Rasa canggung menyergap, namun diatasi dengan senyum paling tulus, berusaha menciptakan suasana yang hangat di antara mereka. Ia mencoba untuk bisa menjadi siapa pun yang mereka sukai, beradaptasi dengan karakter apa pun yang mereka harapkan. Haisya ingin menjadi bagian dari mereka, secepat mungkin.

Perlahan, penampilannya mulai bertransformasi. Gaun modis dan pashmina berganti gamis longgar dan jilbab syar’i, menyesuaikan diri dengan para santriwati lainnya. Tak hanya fisik, sikapnya pun turut berubah. Dari periang menjadi lebih pendiam, dari ekspresif menjadi lebih tertutup. Apa pun yang diperintahkan kepadanya, dengan cepat dilaksanakan. Bila ada ketidakadilan menimpanya, ia terima dengan diam dan keikhlasan. Haisya ingin menjadi santriwati sempurna yang tak merepotkan siapa pun.

Mereka menyukai Haisya karena sikapnya yang "sangat terimaan" dan "pasrah", tak pernah protes. Seringkali, ia dimanfaatkan oleh teman-temannya, diminta mengerjakan ini dan itu, seolah tak ada penolakan dalam dirinya. Tak jarang pula, ia diremehkan dan dipandang sebelah mata, dianggap lemah, atau terlalu lugu. Haisya mendiamkan semua itu, membiarkan mereka membangun persepsi mereka sendiri tentang dirinya. Toh, selama ini, itu berhasil membuatnya diterima.

Suatu sore yang temaram, secarik kertas lusuh tergeletak di atas meja belajar Haisya. Syifa, sahabat karibnya yang penuh perhatian, tak sengaja membacanya. Tulisan tangan Haisya, yang seringkali menjadi wadah pelampiasan jiwanya, tertera jelas di sana:

"Maaf… Aku memang bukan pendengar dan penghayat cerita yang baik, apalagi pemberi penjelasan rumitnya cerita itu. Tapi… Setidaknya tak lepas statusku menjadi tempat pembuangan akhir cerita itu, walaupun lebih sering aku diremehkan, digunakan saat dibutuhkan saja, tapi tak masalah bagiku…. Terima kasih kawan, karena kalian masih menganggapku ada."

Hening. Syifa menatap tulisan itu, pandangannya sarat dengan pemahaman. "Haisya temanku, sesungguhnya kau adalah singa yang tertidur," bisik Syifa dalam hatinya, sebuah keyakinan yang tak pernah ia suarakan, "yang suatu saat kau akan bangun dan tunjukkan keganasanmu." Syifa yakin, suatu saat nanti, Haisya Ardiyanti yang sesungguhnya akan menunjukkan jati dirinya.

Lamunan Syifa buyar secepat kilat ketika Laila mengagetkannya. Sebuah tepukan ringan di pundak terasa seperti sambaran petir. "Assalamualaikum, Ukhty," sapa Laila ceria.

"Astaghfirullah… Laila!" Syifa menghela napas, setengah kesal.

"Stop! Jangan marah dulu, jawab dulu salamku!" Laila terkikik.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Syifa, mencoba menahan senyum.

"Nah, gitu dong. Eh, ngomong-ngomong lagi mikirin apaan, sih, sampai ngalamun gitu? Nanti kemasukan gimana?" Laila penasaran.

"Iya, kemasukan anti," Syifa membalas, melirik geli.

"Yee, malah ngalihin pembicaraan. Ana mana bisa masuk ke antum." Laila cemberut.

"Sudahlah, ayo keluar. Kamarnya mau dikunci!" Syifa beranjak, menarik Laila keluar.

Di kelas, Haisya fokus mengikuti pelajaran nahwu shorof yang rumit, namun tidak menyadari bahwa di barisan belakang, beberapa pasang mata santri putra terus mengawasinya. Bisikan-bisikan samar sesekali terdengar, mengusik fokus Haisya.

"Heh, Zak, cewek yang di depan itu tadi namanya siapa, ya?" Bisik Ilham, matanya tak lepas dari Haisya.

"Yang mana?" Zaki menyahut, pura-pura tak tahu.

"Itu loh, yang cantik," Ilham menunjuk ke arah Haisya yang duduk manis di bangku depan, memperhatikan penjelasan ustadzah.

"Ooooh, itu," Zaki manggut-manggut. "Dia Haisya, lulusan dari Sekolah Negeri."

"Oh, pantesan, beda dari yang lain," komentar Ilham.

"Bedanya?" Zaki penasaran.

"Ya… lihat penampilan dan gayanya! Modis banget, 'kan?" Ilham terkekeh pelan, menyiratkan kekaguman yang tersembunyi.

"Kamu suka, kah?" Zaki memancing.

"Entahlah," jawab Ilham, nadanya ragu, namun matanya tak bisa berbohong.

Ridwan, yang duduk persis di depan Zaki dan Ilham, merasa risih dengan suara bising mereka yang mengganggu konsentrasi. Ia menghentikan tadarus Al-Qur'annya sejenak. "Ilham, Zaki, tolong diam! Perhatikan Ustadzah dengan baik!" tegurnya tegas.

"Oke, Bos," sahut mereka serempak, seketika hening.

Waktu pembelajaran pun usai. Ustadzah keluar meninggalkan kelas dengan salam penutup. Begitu pula dengan Haisya dan Fasya, mereka meninggalkan kelas dan bergegas menuju kantin, perut sudah keroncongan. Sementara Ilham, Ridwan, dan Zaki tetap berada di kelas.

"Wan, emangnya kamu enggak tertarik apa dengan cewek yang namanya Haisya?" Ilham tak menyerah.

"Mmmmmm… niat saya ke sini untuk menuntut ilmu, bukan untuk yang lainnya," jawab Ridwan singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari mushaf Al-Qur'an di tangannya.

"Eleh, alim banget jadi orang. Ilham yang anak kyai juga nggak alim amat," Zaki mencibir Ridwan karena sikap cueknya yang terlalu berlebihan. Ridwan sebenarnya mendengar cibiran dari Zaki, namun ia tetap memilih untuk menutup telinga, menarik napas dalam, dan melanjutkan tadarusnya, seolah tak ada yang terjadi. Ketenangan adalah bentengnya.

Haisya kembali ke kelas setelah makan siang, mendapati Ridwan masih dengan aktifitas yang sama, duduk diam dan tekun melantunkan ayat-ayat suci. Haisya tidak menyapanya, melainkan langsung duduk di bangkunya dan membaca salah satu buku tebal yang berada di atas meja. Diam-diam, Zaki yang memang tak pernah puas, menanyakan berbagai hal tentang Haisya kepada Alvia, teman dekatnya. Alvia, tanpa ragu, menceritakan semua tentang Haisya; tentang sikap, adab, perilaku, dan keramah-tamahannya selama di dalam asrama putri. Ia tahu betapa Haisya berusaha untuk beradaptasi.

"Masa, sih, dia anak yang ceria? Tapi di sini kok dia kalem banget, ya?" Zaki bertanya-tanya dalam hatinya, kontras dengan apa yang didengarnya. Ia tak tahu, bahwa sikap pendiam Haisya adalah salah satu bentuk topeng yang dipakainya.

Hari demi hari, Zaki semakin penasaran dengan sosok gadis yang telah mengusik pikirannya itu. Wajah Haisya, senyumnya, gerak-geriknya—semua menjadi bayangan yang mengganggu konsentrasinya. Zaki tidak dapat fokus belajar karena terus kepikiran tentang Haisya. Berbagai upaya telah ia lakukan untuk menghilangkannya dari pikiran; membaca lebih banyak kitab, berzikir lebih khusyuk, bahkan mencoba menghindari jalur yang biasa dilalui Haisya. Namun tetap saja, Zaki justru semakin tertarik dengan paras cantik yang dulu pernah Haisya pamerkan.

Hingga suatu hari, sebuah bisikan tak terduga sampai ke telinga Haisya. Seseorang membocorkan bahwa banyak dari kalangan santri putra yang diam-diam "naksir" kepadanya. Informasi itu bagai sengatan listrik. Haisya yang telah mengetahui hal itu pun merasa bingung dan gelisah. Bagaimana caranya agar tidak ada lagi santri putra yang menyukainya? Ia hanya ingin fokus mencari ilmu, tanpa adanya gangguan yang tak diinginkan ini.

Haisya mencari tahu penyebab mereka menyukainya. Ternyata salah satu penyebab utamanya adalah penampilannya. Lambat laun, dengan perlahan namun pasti, Haisya mulai melupakan fashion. Ia bahkan berpenampilan lebih cupu dari santri lainnya. Jilbabnya ukurannya semakin besar, tak lupa ia selalu memakai kaus kaki dan hand sock untuk menutupi kulitnya yang putih. Haisya juga sudah tidak memperhatikan wajahnya; jerawat-jerawat kecil mulai tumbuh di bagian pipinya yang lembut, dibiarkan begitu saja. Kini, Haisya merasa lebih aman dan lebih bebas berekspresi, tanpa khawatir jika ada seseorang yang "mencintainya" hanya karena fisik. Toh, sekarang paras wajahnya tidak seindah dulu. Mereka pasti akan berhenti memandang Haisya.

"Ukhty, kok sekarang jadi jerawatan, sih…?" Syifa bertanya suatu hari, sedikit terkejut melihat perubahan Haisya.

"Ya, enggak apa-apa, namanya juga di pondok ya enggak sempat perawatan," jawab Haisya santai, mencoba menutupi kegelisahan.

"Iya juga, sih, he-he-he…" Syifa tertawa kecil. "Ty, ukhty dulu sih sekolah di mana?"

"Di SMP Negeri Jateng," jawab Haisya.

"Di negeri?" ia tampak sedikit terkejut. "Kenapa Ukhty malah ke sini?"

"Entahlah, saya juga tidak merencanakannya, tiba-tiba saja saya masuk ke sini," Haisya mengangkat bahu, seolah itu adalah misteri baginya sendiri.

"Rencana Allah memang indah," Syifa mengangguk penuh makna.

"Iya, Dia tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Mungkin jika saya enggak ke sini, saya enggak akan kenal kamu seperti sekarang." Haisya tersenyum tulus padanya.

Haisya percaya, setiap godaan adalah ujian, dan setiap rintangan adalah jalan menuju pemahaman yang lebih dalam. Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-A'raaf (7): 200: "Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaiton, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Haisya terus meyakinkan diri, bahwa perubahan penampilannya ini adalah tameng. Bahwa dengan menjadi "cupu", ia akan terhindar dari gangguan dan bisa fokus pada ilmunya. Namun, di antara semua keyakinan itu, sebuah pertanyaan baru mulai muncul dan mengusik benaknya, pertanyaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Apakah dengan mengubah dirinya, ia juga sedang memadamkan sesuatu yang penting dari masa lalunya, sesuatu yang justru mungkin sedang berusaha menemukan jalannya kembali kepadanya? Sesuatu yang akan mengubah takdirnya, jauh lebih dalam dari sekadar penampilan?

Jejak Kekaguman dan Persahabatan

Tujuan Haisya mengubah penampilannya adalah agar ia terbebas dari segala bentuk godaan atau perhatian laki-laki. Ia ingin menjadi tak terlihat, fokus pada ilmunya, jauh dari silau kekaguman yang sia-sia. Namun, ironisnya, rencana Haisya tidak sesuai harapan. Justru dengan perubahan penampilannya, sebuah ketertarikan samar mulai tumbuh di hati Ridwan. Meskipun demikian, Ridwan tetap bersikap biasa kepada Haisya, tidak memperlihatkan sedikit pun gejolak di hatinya. Ia adalah pemuda yang sangat menjaga diri, memegang teguh batasan interaksi dengan lawan jenis.

Haisya, yang mengira tidak akan ada lagi laki-laki yang menyukainya dengan penampilan saat ini, merasa sedikit lebih percaya diri. Ia mulai berinteraksi secara santai dengan santri putra di kelasnya, mengobrol bahkan saling membantu dalam pelajaran. Baginya, mereka hanyalah teman sekelas, tak lebih.

Suatu hari, di tengah pelajaran nahwu, Ridwan berbisik pelan, "Haisya, pinjam penghapusnya dong." Permintaan itu sederhana, namun Haisya tahu maksudnya. Ia menggeser penghapus yang berada di depan mejanya ke arah Ridwan.

Haisya menghampiri Ridwan untuk memberikan penghapus tersebut. Tangannya terulur. Namun, Ridwan menggeleng pelan, menolak menerimanya langsung dari tangan Haisya. "Tolong taruh saja diatas meja," pintanya, matanya lurus ke depan.

"Oh, oke," Haisya sedikit terkejut, namun segera mengerti. Ia meletakkan penghapus itu di meja Ridwan.

"Makasih." "Sama-sama."

Dari insiden kecil itu, Haisya semakin memahami bahwa Ridwan adalah laki-laki yang teguh pendirian. Ia tak mau bersentuhan dengan lawan jenis, bahkan untuk hal sekecil apa pun. Ia hanya akan berinteraksi apabila ada suatu kepentingan yang mendesak. Dari sekian banyak teman perempuan di kelasnya, ia hanya tampak dekat dengan dua orang: Alvia dan Haisya.

Alvia adalah anak yang cerewet dan aktif, bagaikan api yang tak pernah padam. Ia selalu menjadi teman 'berantem' Ridwan dalam adu argumen. Ridwan, yang pada dasarnya pendiam, akan berubah menjadi cerewet dan ekspresif bila ia sedang bersama Via. Seringkali ia berbicara dengan nada tinggi ketika berdebat dengan Via, namun dari situlah mereka semakin dekat. Kedekatan yang, tanpa Ridwan sadari, telah menumbuhkan sebuah rasa dalam hati Alvia. Sebuah rasa yang kini mulai menyesakkan dadanya.

Namun sayangnya, Ridwan tak pernah menerima perasaan itu. Ada seseorang yang Ridwan kagumi, seorang gadis yang telah mengisi relung hatinya, sehingga ia tak bisa melihat gadis lain selain gadis itu—meskipun gadis yang menyukainya (seperti Alvia) jauh lebih cantik secara kasat mata. Bagi Ridwan, gadis impiannya itu memiliki sisi kecantikan tersendiri, sebuah keindahan yang tidak ia jumpai dalam diri gadis-gadis lain. Kecantikan yang jauh melampaui fisik.

"Assalamualaikum Wr. Wb. Selamat pagi anak-anak, bagaimana kabar kalian hari ini?" Suara Ustadz yang menenangkan memenuhi ruang kelas.

"Waalaikumsalam Wr. Wb. Alhamdulillah, baik, Tadz," jawab para santri serempak.

"Alhamdulillah, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali. Pelajaran apa kali ini?"

"Nahwu, Tadz." "Tayyib, materi kita dalam pelajaran nahwu kali ini adalah mengenai jumlah mufidah. Siapa yang tahu apa itu jumlah mufidah?"

"Saya, Tadz!" Ridwan mengangkat tangan. "Ya Ridwan, apa itu jumlah mufidah?"

"Jumlah mufidah adalah suatu susunan yang memberikan faedah/berfaedah yang terdiri dari 2 kata atau lebih."

"Contohnya?"

"Al-bustanu jamilun."

"Tayyib, ahsanta."

Ustadz melihat sekeliling. "Kenapa disebut jumlah mufidah, apakah sudah mufid?" Hening sejenak. "Tolong jangan Ridwan terus yang jawab, ayo ganti!"

"Haisya, Tadz!" Fasya berteriak, mengagetkan Haisya.

"Apaan, sih, Fas? Aku belum bisa," bisik Haisya.

"Halah, nggak usah pura-pura! Kamu pasti bisa, cuma pura-pura," balas Fasya.

Ustadz tersenyum. "Iya Haisya, coba jawab!"

Haisya menghela napas. "Kalau menurut saya itu sudah mufid, Tadz, karena kita sudah paham dan tahu maksud dari kalimat itu. Karena menurut artinya itu kebun yang indah, jadi kita tahu bahwasanya kebun itu indah." Jawabannya tegas, jelas.

"Kalau semisal di situ hanya ada Al-bustanu saja, apakah sudah mufid?"

"Belum."

"Bukankah disitu sudah jelas itu kebun?"

"Iya, tapi belum jelas kebunnya kenapa." Haisya menjawab tanpa ragu.

"Jadi yang namanya jumlah mufidah itu pasti terdiri dari mubtada' dan khobar. Al-bustanu itu sebagai mubtada', sedangkan jamilun sebagai khobar. Kalau hanya mubtada' tanpa adanya khobar-nya, maka itu belum disebut sebagai jumlah mufidah."

"Tadz, bagaimana dengan al-ustadzu fil fashli, khobar-nya al-fashl atau fiil fashli, Tadz?"

"Fiil fashli." "Tapi bukannya fii itu harf, Tadz?"

"Haisya, jadi gini, fiil fashli itu adalah susunan jar wa majrur. Jadi fii itu harf jar yang mengejerkan al-fashl sehingga menjadi majrur dalam alamatnya/tandanya adalah kasrah."

Kriiing!

Bel istirahat telah berbunyi, menyelamatkan Haisya dari pertanyaan lanjut. Ustadz keluar dari kelas diikuti sebagian besar santri, hanya beberapa anak saja yang tetap berada di dalam kelas.

Seperti biasa, kebiasaan santri putri di jam istirahat adalah ghibah—berkumpul dan saling bercerita. Namun, berbeda dengan Haisya yang lebih memilih untuk duduk tenang di bangkunya, menghafalkan Hadis-hadis Rasulullah SAW, membiarkan alunan ayat suci mengisi ruang hatinya.

Tak lama, Ridwan mendekati Haisya. Ia tidak langsung melontarkan pertanyaan serius, melainkan sedikit mencairkan suasana dengan obrolan-obrolan ringan, sesekali melempar senyum tipis. Beberapa pertanyaan Ridwan lontarkan kepada Haisya, dan setiap jawaban Haisya selalu berujung pada rasa kagum Ridwan. Kata-kata Haisya selalu bijak dan penuh makna, mencerminkan kedalaman pemikiran dan hatinya.

Ridwan merasakan sesuatu yang berbeda saat berada di dekat Haisya. Sebuah perasaan baru, yang tak bisa didefinisikan. Bukan sekadar kagum, bukan hanya ketertarikan; ada semacam ketenangan dan kecocokan yang aneh.

Haisya pun tak sungkan menceritakan tentang pergaulan anak remaja di luaran sana, termasuk dirinya di masa lalu. Ia juga menceritakan pengalamannya selama ia sekolah di sekolah negeri, kehidupannya yang amburadul, hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah dan belajar di pesantren. Begitu pula, Ridwan menceritakan pengalaman-pengalamannya di pondok-pondok sebelum akhirnya ke pondok ini. Ridwan benar-benar kagum dengan tekad Haisya untuk berhijrah yang begitu kuat, mengubah diri dari seorang Haisya yang amburadul hingga menjadi Haisya yang seperti sekarang. Itu bukanlah hal yang mudah, ia tahu.

Sejak saat itu, mereka menjadi teman dekat. Kedekatan mereka terjalin bukan karena romantisme, melainkan karena kesamaan pemikiran dan kedewasaan. Mereka seringkali meminta pendapat dan nasihat satu sama lain, karena keduanya merupakan sosok yang bijaksana dan berpikiran dewasa. Keduanya memang memiliki banyak kesamaan, baik dari sikap hingga kemampuan akademik mereka pun hampir serupa. Dilihat dari kedekatan mereka, rupanya mereka cocok, dan banyak santri yang mengira di antara keduanya ada suatu hubungan khusus.

Suatu hari, di tengah persiapan praktik IPA, suasana menjadi sedikit tegang. Zaki membawa sebuah meja yang berat. Ridho membawa alat praktik dan peraga laboratorium IPA, tumpukan barang yang harus mereka pindahkan dari lantai 4 ke lantai 2.

"Cewek juga bantuin dong!" protes Zaki, suaranya meninggi. "Iya tuh, malah duduk-duduk, bukannya bantuin, capek tahu!" Ridho dan Zaki yang mulai berkeringat mulai emosi dengan tingkah para santriwati yang hanya duduk santai menunggu.

Ridwan, yang melihat ketegangan itu, ikut bicara. "Sudah-sudah, yuk para cewek dan cowok bekerja sama memindahkan barang-barang ini, biar cepat selesai, dan kita cepat praktik," ia mencoba menengahi. Para santriwati pun berdiri dan mulai membantu para santri putra.

"Oke, para cewek tolong keluarkan barang-barangnya dan pindahkan sampai tangga, ya. Dan untuk para cowok, kita yang mengangkat barang-barang itu sampai ke depan lab, nanti kita bereskan bareng-bareng!" Ridwan mulai mengatur dan disetujui oleh semua siswa dengan kata "oke".

"Wan, ini!" Seorang gadis menyerahkan kotak-kotak tempat gelas praktik, dan Ridwan menerimanya dengan senyuman.

Gadis itu tampak sedikit gugup karena jaraknya yang begitu dekat dengan Ridwan. Entah mengapa, Haisya langsung melarikan diri setelah benda itu diterima oleh Ridwan. Ya, gadis itu adalah Haisya. Haisya lari karena terkejut. Tanpa sengaja, tangan mereka bersentuhan. Haisya merasa sangat bersalah atas sentuhan itu, padahal Ridwan tampak biasa-biasa saja, seolah tak ada yang terjadi.

Kali itu, Haisya dan Ridwan yang biasa selalu menjaga wudhunya, mereka berdua sama-sama tidak memiliki wudhu. Dan pada saat Haisya akan memindahkan sebuah Al-Qur'an, tiba-tiba ia teringat bahwa dia sudah batal wudhu. Ia tak ingin menyentuh Al-Qur'an dalam keadaan tidak suci. Kemudian ia menyuruh Fasya untuk mengambil Al-Qur'an tersebut.

Dan pada saat itu juga, Ridwan mendekati Haisya dan membisikkan sesuatu di telinganya. "Sha, maaf ya!"

Haisya menoleh. "Maaf karena tadi menyentuh tanganmu," lanjut Ridwan, merasa tidak enak.

"Iya, enggak apa-apa kok," jawab Haisya, meski hatinya masih sedikit berdebar.

"Sekali lagi maaf ya…" Ridwan masih merasa bersalah.

"Hmm…"

"Sha, kamu kok bisa sih menciptakan penemuan sehebat itu? Dapat ide dari mana?" Ridwan mengubah topik, penasaran dengan kemampuan Haisya yang baru terungkap.

Fasya yang baru datang kembali, langsung menyambung obrolan dengan antusias. Ia terus nyerocos di depan Haisya, tanpa memberi kesempatan Haisya untuk bicara.

"Sudah ngomongnya?" Haisya akhirnya memotong. Fasya hanya cengengesan.

"Nih, jadi aku bisa lakukan itu semua tuh karena aku sudah pernah belajar itu saat aku di SMP dulu. Dulu aku, kan, sekolah di sekolah negeri, jadi aku sudah sering praktik, jadi di sini aku tinggal mengembangkan saja."

"Iiiih, hebat kamu ya! Dikasih makan apa sih kamu sama ibumu? Bisa otaknya encer banget," Fasya berdecak kagum. "Nggak kayak aku, alat pipet takar aja nggak tahu, gimana mau melakukan percobaan, yang ada meledak kali tuh bahan kimia."

"Makanya kalau lagi diterangin jangan tidur…" Haisya menyindir Fasya. Fasya cuma memajukan bibirnya. "Haha, ha… Sudah, nggak usah manyun-manyun gitu bibirnya! Ke kantin aja yuk!" Haisya dan Fasya akhirnya pergi ke kantin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!