Alasan

Malam semakin gelap, padahal baru saja Maghrib lewat.

‘Oh! Jangan hujan dulu, please!’ protes Parto dalam hati saat merasakan aroma khas yang terbawa angin yang bertiup. Aroma tanah yang basah oleh siraman air dari langit.

Namun tampaknya cuaca memang tak bisa ditawar. Meski tak terlalu deras, namun rintik gerimis itu semakin riuh, membuat suasana hati Parto yang tengah gundah semakin membuat lamunannya teringat pada alasan kuat yang membuatnya nekat pergi mencari Walji, teman sekantornya yang telah resign beberapa bulan lalu.

………..🫒

“Kamu melamar anakku cuma modal satu set perhiasan murahan ini saja? Aku juga bisa beli sendiri untuknya!” cibir Bu Yanti seraya mengangkat sebelah sudut bibirnya, menambah kesan kejam dengan tatapan tajam dan tak suka.

Parto mengulum senyum getirnya, menggertakkan rahang-rahangnya, dengan kedua tangan yang terkepal kuat, Parto berusaha menahan gemuruh yang membuat wajahnya terasa panas karena marah.

“Mau kamu kasih makan apa kalau aku memberi kalian restu untuk menikah? Lagian apa?! Melamar sekarang, tapi menikahnya tahun depan, hahaha … kamu mau mengambil keuntungan ya, Hah?!” Bu Yanti terus mencerca Parto dengan ejekan-ejekan yang menguji kesabarannya.

“Pulang sana! Dan jangan pernah kembali lagi! Aku malu kalau punya menantu cuma pegawai swasta kayak kamu!”

Setali tiga uang, Risma, wanita yang telah dipacari Parto hampir dua tahun ini pun bukan-nya membela sang kekasih di hadapan sang Ibu, namun justru bersekongkol menolak Parto.

“Maafkan aku, Mas!” ucapnya acuh.

“Ris … bukankah kita sudah berjanji?” Parto yang terlanjur jatuh hati pada Risma, masih berharap kekasihnya itu akan membantunya memberi pengertian pada Bu Yanti.

“Mau ngapain lagi? Risma sudah dilamar Robet Minggu lalu!” ketus Bu Yanti. “Dari namanya saja sudah keren, ora ndeso kayak kamu!”

“Meskipun bukan pegawai negri, tapi dia itu pengusaha sukses!” tegas gamblang Bu Yanti. “Noh tuh didepan rumah ada N-max baru, itu yang beliin si Robet!” sombong Bu Yanti seraya menunjuk ke arah teras rumah.

“Noh televisi tipis yang layarnya segede bioskop, sama AC itu, Robet juga yang beliin. Lah kamu, dua tahun pacaran sama Risma, apa yang sudah kamu kasih buat aku?”

“Kalau dateng ngapel, paling bawa martabak, terang bulan, roti bakar. Bukannya aku makin kaya, malah diabetes! Cih! Nggak sudi aku punya menantu kayak kamu!”

Habis manis sepah dibuang memang. Sebenarnya Parto tak sepelit itu, namun sejak sang ayah tiada sekitar tiga tahun yang lalu, ia harus menggantikan posisi sang ayah sebagai tulang punggung keluarga, dengan dua adiknya yang masih butuh biaya sekolah.

“Jika kamu menerima lamaran itu Minggu lalu, jadi ….” Parto semakin merasa terpukul saat mendengar kenyataan itu.

“Iya, Mas … terimakasih ya, gelang yang kamu belikan kemarin, aku suka! Akan aku simpan sebagai kenangan darimu.” Dengan tak tahu malu, Risma melontarkan ucapannya begitu saja.

“Balikin! Mana semua perhiasan itu! Aku juga nggak sudi punya istri matre kayak kamu!” serang balik Parto.

Namun Bu Yanti menghadang langkah Parto yang hendak mendekati Risma. Ia berdiri berkacak pinggang tepat berhadapan dengan Parto.

“Eh! Eh! Jadi laki-laki kok perhitungan! Barang yang sudah diberikan ya jangan diminta balik dong! Dasar miskin dan nggak tahu sopan!”

Tak ingin perdebatan berlarut, Bu Sutarmi yang dari tadi hanya bisa duduk terdiam menahan hati yang panas, kini bangkit berdiri meraih lengan sang putra.

“Cukup Le! Kita memang orang miskin, tapi kita masih punya malu! Cuma perhiasan segitu nggak usah digetuni! Anggap saja kamu sedang memberinya modal buat mereka makan!” Bu Sutarmi menarik lengan Parto untuk segera meninggalkan keluarga matre itu.

“Banyak wanita cantik yang baik di-luar-an sana, Le. Jangan berkecil hati dan lupakan semua penghinaan mereka,” hibur Bu Sutarmi seraya mengelus pundak sang putra.

“Dah, biar Ibu yang bawa motornya, kamu bonceng di belakang, pegangan ya, Ibu mau ngebut, hahaha!” imbuh Bu Sutarmi sekuat tenaga menyembunyikan amarah karena penghinaan dari keluarga Risma.

…………🫒

Kembali ke perjalanan Parto. Suasana dalam bus semakin sunyi. Hujan sudah mulai mereda, kini berganti dengan suara Derik jangkrik dan hewan-hewan malam yang menambah suasana desa semakin kentara.

Tes

Tes

Tes

Cairan hangat tampak menetes di punggung tangan Parto. Namun karena gelap, Parto hanya bisa mengendusnya untuk memperkirakan itu apa.

‘Kok bau anyir sih? Apa ini?’ batinnya seraya mendekatkan punggung tangan itu ke hidungnya lalu berusaha mencari pantulan cahaya dari lampu jalan yang sangat remang. Tak terpikirkan olehnya untuk menggunakan cahaya dari ponsel.

"Kok kayak darah?" gumamnya lagi disertai bulu kuduk yang tiba-tiba merinding hebat. “Ah! Mungkin cuma air yang bercampur karat,” simpulnya sendiri sembari menatap langit-langit bus yang memang tak lagi memiliki warna di sana.

‘Loh mana wanita dengan ikat rambut tadi? Kayak nggak lihat kapan turunnya?’ Entah kenapa pikirannya teringat pada wanita tadi.

“Sudah sampai, Mas!” panggil sang kondektur saat pak Sopir menghentikan laju bus-nya.

Parto turun di sebuah pertigaan. Gelap dan sunyi. Hanya ada sebuah lampu di sebuah gubuk di pojok pertigaan.

Parto menghela napas, menatap jalanan gelap di depan matanya.

“Nggak jauh kok, cuma sekitar lima ratus meter lagi jalan kaki!” gumamnya menyemangati diri sendiri.

Tujuan utamanya adalah rumah Walji.

Perjalanan tak sulit, meski jalanan kampung melewati sawah di kanan dan kiri, tapi semua sudah mulus di-aspal sehingga tak menyulitkan perjalanan Parto.

Hingga akhirnya setelah dua puluh menit berjalan kaki, sampailah Parto tepat di sebuah gapura yang bertuliskan ‘Selamat Datang di Desa Kalibaru’.

Tampak dua pria sedang duduk mengobrol di sebuah gardu tak jauh dari gapura. Parto mendekati keduanya.

“Kulo nuwun … permisi … mau ke rumahnya Walji, sebelah mana nggih Pak?” tanya sopan Parto.

“Oh? Walji?” Dua pria itu saling menatap lalu saling memberi kode seakan enggan memberi tahu.

“Anu … kalau Walji lagi nggak ada, Mas. Tapi Bapaknya ada. Mau saya antar ke rumah pak Ngatnu?” sahut pria yang satunya.

“Boleh, Pak, terimakasih sebelumnya!” jawab Parto tersenyum lega. “Anu … kalau boleh tahu … memangnya Walji kemana ya, Pak?”

“Katanya sih ke luar negri, tapi entahlah. Sejak kejadian itu, dia tak terlihat lagi di kampung ini!”

“Kejadian?”

“Aduh, Mas, jangan tanya lagi, nanti biar Bapaknya sendiri yang menjelaskan, takut keliru!” tukas warga itu lagi lalu mempercepat langkah kakinya.

“Nah ini Mas rumah Pak Ngatnu, silahkan masuk sendiri ya!”

Entah kenapa warga itu langsung lari terbirit-birit meninggalkan Parto yang masih melongo heran dan bingung tanpa sempat bertanya lagi bahkan berterimakasih karena sudah diantar.

Anehnya juga, setelah melihat Parto melangkahkan kaki ke pekarangan pak Ngatnu, orang yang rumahnya tepat di sebelah rumah itu, tampak terburu-buru menutup pintu.

‘Aneh … tapi kalau dipikir-pikir aku terus saja merinding sejak naik bus tadi, ada apa ya sebenarnya?’ batin Parto seraya melangkah pelan menuju rumah yang tampak sederhana dan normal seperti layaknya rumah kampung pada umumnya.

...****************...

Bersambung

Terpopuler

Comments

⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAndini Andana

⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAndini Andana

mending bawain sembako parto, pasti si ibuk senang 😋 berasnya beli yg oplosan yaak 🤣🤣🏃‍♀️🏃‍♀️🏃‍♀️

2025-07-15

2

⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAndini Andana

⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAndini Andana

ya..ya.. gelangnya suka tapi orangnya gak suka 🙈

2025-07-15

2

Yuli a

Yuli a

ngenes banget nasibnya... untung aja, cinta ditolak, dukun tidak bertindak..

ati-ati Lo Risma, kena kutukan mantan..👻👻👻👻

2025-06-29

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!