Mengamati Mencatat Lalu Menyusun Rencana

Keesokan harinya.

Langit masih gelap ketika Hana membuka matanya. Udara pagi di dalam kamar kecil itu terasa dingin, lembab, dan sunyi. Namun dari luar, terdengar suara halus yang sudah akrab di telinganya, gemericik air, gesekan kain pel di lantai, bunyi panci berpindah tempat.

Sri sudah bangun dan seperti biasa, sudah sibuk mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.

Hana bangkit pelan. Setelah menunaikan shalat subuh, ia duduk sejenak, menatap langit-langit kamar. Namun tubuhnya terasa gatal untuk bergerak. Ia tak pernah terbiasa berdiam diri di pagi hari. Di kampung, jam segini ia sudah menyapu halaman, mencuci baju, atau membantu nenek menanak nasi. Diam seperti ini justru membuatnya merasa lemah.

Ia membuka pintu kamar perlahan, melangkah ke dapur. Di sana, Sri tengah mengepel lantai dengan gerakan cepat dan teratur. Rambutnya dikuncir asal, keringat sudah mulai membasahi pelipis.

Sri menoleh, terkejut melihat Hana muncul.

“Hana! Masuk lagi ke kamar! Ibu bilang jangan keluar dulu, kan?” bisiknya cepat dengan nada setengah panik.

Namun Hana hanya berdiri tenang. “Tenang, Bu. Ayah dan Malika belum bangun, kan?”

Sri terdiam sesaat. Ia tahu Hana benar. Suaminya selalu bangun lewat pukul tujuh, dan Malika? Jangan harap keluar kamar sebelum jam delapan, kecuali ada urusan mendesak.

Ia mengangguk pelan, menyerah. “Sebentar saja!”

Hana mengangguk, lalu duduk di kursi meja makan, memandangi ibunya yang kembali sibuk dengan kain pel dan ember. Setiap gerakan Sri tampak cekatan, tanpa suara berlebih, seperti sudah menyatu dengan rumah itu.

Beberapa menit berlalu dalam hening yang aneh. Hening yang menyesakkan tapi juga damai dalam caranya sendiri.

“Boleh aku bantu, Bu?” tanya Hana akhirnya, tulus.

Sri menghentikan gerakannya, menatap Hana sejenak. Matanya menyipit, seperti meremehkan. Lalu dia mendengus kecil.

“Ah, kamu nggak akan bisa kerja di rumah ini. Ini bukan rumah papan yang kamu tempatin di kampung. Ini rumah keramik. Semua harus bersih, harus rapi. Nggak bisa asal.”

Kalimat itu menusuk, bukan karena nada kasarnya, tapi karena sindiran halus yang terasa seperti menolak siapa diri Hana sebenarnya.

Namun Hana hanya tersenyum kecil, menahan balasan. Ia tahu, membantah hanya akan membuat ibunya semakin menutup diri. Ia memilih diam. Tapi dalam hatinya, ia tahu.Ia mampu. Bahkan lebih dari yang ibunya bayangkan.

Sambil duduk, Hana memperhatikan ibu kandungnya yang begitu sibuk… bukan karena cinta, tapi karena kebiasaan yang sudah tertanam. Mengerjakan semua pekerjaan rumah, memenuhi permintaan Malika dan suaminya, dengan sepenuh jiwa.

Siang hari.

Sesuai janjinya, Sri datang ke kamar Hana dengan sebuah amplop baru. Kali ini lebih tebal. Wajahnya lelah, tapi tetap dengan sikap ketus yang ia pertahankan sejak awal.

“Ini sisa uangnya,” katanya singkat sambil meletakkan amplop itu di atas meja kecil dekat jendela. “Lima juta. Cukup untuk ongkos pulang dan biaya hidup kalian tinggal di kampung."

Hana menatap ibunya dalam diam. Matanya menyipit, dan senyum sinis perlahan muncul di wajahnya.

“Lima juta?” katanya pelan, lalu menghela napas pendek. “Padahal... hutang Ibu ke Nenek seratus juta. Belum dendanya sepuluh kali lipat. Totalnya... satu miliar, Bu.”

Sri melotot. “Apa?! Satu miliar? Kamu pikir ini pasar? Kamu pikir bisa main ancam dan minta segitu?”

Hana bersandar ke tembok, nada bicaranya tetap tenang, namun penuh tekanan.

“Bukan aku yang minta. Nenek yang bilang, aku tidak boleh pulang kalau tidak membawa yang jadi hak kami. Uang itu milik Nenek, Bu. Bukan milik Ibu. Bukan milik suami ibu. Dan bukan juga buat Malika.”

Wajah Sri memerah. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Napasnya naik turun, antara marah, panik dan takut.

“Dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu, hah? Kau pikir aku mencetak uang sendiri?!”

Tapi belum sempat Hana menjawab, suara dari ruang depan terdengar:

“Sri! Di mana kamu? Ayo sini, aku mau berangkat.”

Suara itu. Burhan.

Sri langsung panik, buru-buru meninggalkan kamar dan menutup pintu Hana rapat-rapat. Di ruang tamu, Burhan berdiri rapi, dengan kemeja putih bersih, celana kain, dan sepatu mengilap. Di tangannya, sebuah tas jinjing besar yang Sri tahu pasti berisi uang hasil toko sembako semalam.

Roko sembako mereka maju dengan pesat, bahkan sudah mempekerjakan banyak pegawai dan mempunyai beberapa cabang, sehari omset yang di dapat bahkan bisa mencapai puluhan juta. Uang modal yang dipinjamkan nenek rupanya berhasil mengubah perekonomian mereka.

Burhan menatap jam tangannya. “Aku telat. Ambilkan rokok dan air mineral.”

Sri menuruti, tapi begitu kembali, ia membuka mulut pelan.

“Mas, bisa minta uang dua juta lagi, nggak?” tanyanya hati-hati.

Burhan menghentikan langkah. Matanya tajam. “Lho, bukannya tadi udah kuberi empat juta?!”

Sri buru-buru merespon, “Iya, tapi, harga baju buat kado Malika lebih mahal dari yang ibu kira. Aku pengen kasih kejutan buat dia, Mas. Yang bagus, biar dia senang.”

Mendengar nama Malika, nada Burhan langsung melunak. Dia menoleh, wajahnya berubah. “Yaudah, yaudah. Nih,” katanya sambil merogoh dompet, lalu mengambil beberapa lembar ratusan ribu dan memberikannya.

“Tapi ingat. Kado itu harus keren. Jangan sampai kelihatan murahan. Itu anak kita cuma ulang tahun sekali dalam setahun. Kalau sampai dia kecewa, awas kamu!”

Sri mengangguk cepat. “Iya, Mas. Tenang aja.”

Burhan lalu melangkah pergi. Pintu depan tertutup rapat. Suara mobil menjauh di jalan.

Dari dalam kamar, Hana menyandarkan kepalanya ke dinding. Matanya menerawang. Senyum getir kembali muncul di wajahnya.

Ibunya bahkan juga tak diperlakukan layak oleh suaminya sendiri, tak dipercayakan masalah keuangan. Meminta uang yang nilainya pasti kecil untuk suaminya saja ibunya bahkan harus berbohong.

Berpura-pura demi Malika, demi kado ulang tahun. Seolah-olah cinta dan uang hanya layak untuk satu anak saja.

Hana mengepalkan tangan.

Ia tahu kini rumah ini dibangun dari kebohongan. Dan ia bertekad akan merobohkannya, satu demi satu.

Hana memandangi amplop di tangannya. Lima juta rupiah. Jumlah yang tak kecil, tapi jauh dari harga yang harus dibayar atas luka yang sudah belasan tahun tertanam dalam hidupnya.

Ia menyimpannya pelan di balik tas. Lalu duduk kembali di atas kasur, termenung.

"Kalau kau hendak berperang," suara neneknya dulu kembali terngiang dalam pikirannya, "maka kenali dulu musuhmu. Jangan sampai kau maju buta dan mati sia-sia."

Hana mengangguk dalam hati.

Belum waktunya melawan.

Ia perlu tahu lebih banyak tentang isi rumah ini, tentang kehidupan sehari-hari ibunya, tentang Malika, dan terutama tentang pria bernama Burhan sosok yang dulu ia kenal sebagai 'ayah baru' yang merebut segalanya dari dirinya.

Dari pengamatannya singkat hari ini, Hana tahu satu hal pasti ibunya tidak hidup dalam kemewahan yang utuh.

Memang, rumah ini besar. Dindingnya tembok, lantainya keramik, tidak seperti rumah papan tempat ia tinggal bersama nenek. Tapi yang disebut “rumah” belum tentu tempat tinggal yang memberi rasa aman dan cinta.

Sri tidak benar-benar dihormati di sini.

Ia mengurus rumah sendirian, bangun paling pagi, mencuci baju Malika dengan tangannya, menyapu, mengepel, bahkan harus berbohong hanya demi meminta uang untuk membayar hutang yang sebenarnya adalah kewajiban suaminya.

Dan yang lebih menyakitkan, semua itu bukan karena cinta, tapi karena takut.

Takut pada Burhan. Takut pada Malika.

Takut kenyamanan semunya hancur jika Hana tetap tinggal di rumah ini.

Hana menarik napas dalam.

Ia menyadari bahwa dendamnya bukan hanya untuk menuntut keadilan bagi dirinya dan nenek, tapi mungkin, untuk menyelamatkan ibunya juga, meski Sri sendiri tidak menyadarinya.

Namun sekarang belum saatnya bergerak. Ia butuh waktu.

Butuh mendengar.

Butuh melihat.

Dan karena itu, ia akan bertahan.

Di kamar sempit ini. Dengan nasi dingin dan tatapan curiga.

Ia akan mengamati.

Mencatat.

Menyusun.

Lalu saat waktunya tiba, ia akan bergerak. Dan tak ada yang bisa menghentikannya.

Terpopuler

Comments

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

bahkan dia juga harus bersabar melihat sang ibu yang sejatinya sudah tidak diperlakukan selayaknya seorang istri

2025-07-01

1

Imas Atiah

Imas Atiah

sri kamu hidup rela timggalin hana demi suami dan anak tiri yg tidak memberiksn mu kenyamanan tapi hnya rasa takut yg kamu hadapi

2025-06-22

0

Nar Sih

Nar Sih

semangatt hana dgn semua rencana mu semoga lancar juga sgra membls sakit hati mu,lanjutt kak👍💪🙏

2025-06-22

1

lihat semua
Episodes
1 Kedatangan Tak Terduga
2 Mie Instan VS Nasi Putih
3 Amplop 5 Juta Saja?
4 Mengamati Mencatat Lalu Menyusun Rencana
5 Kejutan Pesta
6 Ini Baru Permulaan
7 Putri Yang Kembali
8 Kedatangan Nenek Rosma
9 Perjodohan
10 Persekongkolan
11 Pradipta
12 Dia Hanya Benalu!
13 Pendekatan Rendy
14 Pembatalan Pernikahan
15 Lamaran Dadakan
16 Bertukar Pasangan
17 Kencan Pertama
18 Berhak Tahu dan Berhak Cemburu
19 Kemana Rendy?
20 Tak Sesuai Ekspektasi
21 Perbedaan Kasta
22 Hana Dihakimi
23 Aib Dari Putri Kesayangan
24 Provokasi Malika
25 Melupakan Dendam dan Rencana Kelam
26 Jasman si Tua Keladi
27 Siasat Kejam Burhan
28 Pernikahan Mengerikan
29 Pernikahan Sesungguhnya
30 Pertemuan yang Dinantikan
31 Menanti Hukuman
32 Malam Pertama Kelabu
33 Pemilik Sah
34 Saldo Kosong
35 Semuanya Hilang
36 Mengambil Alih Simpati
37 Pelukan
38 Tanggung Jawab Rendy
39 Ampuni Kami
40 Mengambil alih Toko
41 Dewinta?
42 Sri Dikhianati
43 Cinta dan Memaafkan
44 Rumah Dewinta
45 Hanya Tamu tak Diundang
46 Fakta Baru
47 Tiga Benalu
48 Rencana Pernikahan
49 Sebatas Impian
50 Rahasia Masa Lalu
51 Rayuan Maut Rendy
52 Kehilangan Sri
53 Menciummu
54 Mengusir
55 Rumah Sewaan
56 Meninggalkan Istana Ilusi
57 Dicampakkan di Hari Pernikahan
58 Penyesalan dan Kebencian
59 Keinginan Malika
60 Penolakan Sri
61 Kemunculan Hendra
62 Ayah
63 Karma
Episodes

Updated 63 Episodes

1
Kedatangan Tak Terduga
2
Mie Instan VS Nasi Putih
3
Amplop 5 Juta Saja?
4
Mengamati Mencatat Lalu Menyusun Rencana
5
Kejutan Pesta
6
Ini Baru Permulaan
7
Putri Yang Kembali
8
Kedatangan Nenek Rosma
9
Perjodohan
10
Persekongkolan
11
Pradipta
12
Dia Hanya Benalu!
13
Pendekatan Rendy
14
Pembatalan Pernikahan
15
Lamaran Dadakan
16
Bertukar Pasangan
17
Kencan Pertama
18
Berhak Tahu dan Berhak Cemburu
19
Kemana Rendy?
20
Tak Sesuai Ekspektasi
21
Perbedaan Kasta
22
Hana Dihakimi
23
Aib Dari Putri Kesayangan
24
Provokasi Malika
25
Melupakan Dendam dan Rencana Kelam
26
Jasman si Tua Keladi
27
Siasat Kejam Burhan
28
Pernikahan Mengerikan
29
Pernikahan Sesungguhnya
30
Pertemuan yang Dinantikan
31
Menanti Hukuman
32
Malam Pertama Kelabu
33
Pemilik Sah
34
Saldo Kosong
35
Semuanya Hilang
36
Mengambil Alih Simpati
37
Pelukan
38
Tanggung Jawab Rendy
39
Ampuni Kami
40
Mengambil alih Toko
41
Dewinta?
42
Sri Dikhianati
43
Cinta dan Memaafkan
44
Rumah Dewinta
45
Hanya Tamu tak Diundang
46
Fakta Baru
47
Tiga Benalu
48
Rencana Pernikahan
49
Sebatas Impian
50
Rahasia Masa Lalu
51
Rayuan Maut Rendy
52
Kehilangan Sri
53
Menciummu
54
Mengusir
55
Rumah Sewaan
56
Meninggalkan Istana Ilusi
57
Dicampakkan di Hari Pernikahan
58
Penyesalan dan Kebencian
59
Keinginan Malika
60
Penolakan Sri
61
Kemunculan Hendra
62
Ayah
63
Karma

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!