Mie Instan VS Nasi Putih

Sri melotot tajam ke arah Hana, kesal melihat sikap putrinya yang begitu santai, seolah-olah dialah yang memegang kendali.

"Jangan macam-macam kamu, Hana!" desisnya sembari mencengkeram lengan anaknya dengan keras. "Cepat katakan apa tujuanmu ke sini sebenarnya!"

Namun Hana tak gentar. Dengan tenang ia menepis tangan ibunya, lalu membuka tas besar yang tadi hampir membuatnya terjatuh. Jemarinya terarah pada sebuah amplop coklat tua yang tampak usang namun masih rapi tersimpan.

"Tenang, Bu," katanya pelan, menyunggingkan senyum yang tak bisa ditafsirkan, antara dendam, sinisme, dan sedikit kenangan pahit. "Nenek menyuruhku memberikan ini pada Ibu."

Sri menyambar amplop itu dengan geram. Tapi saat dia menarik kertas dari dalamnya dan membaca isinya, wajahnya langsung berubah.

Matanya membulat. Bibirnya gemetar. Wajahnya seketika pucat.

Hana menyandarkan tubuh ke tembok kamar kecil itu, menyilangkan tangan dan memandangi ibunya dengan puas. Tidak ada pelukan hangat yang ia harapkan, jadi tak ada pula belas kasihan yang akan ia beri.

"Aku senang Ibu masih bisa membaca," sindir Hana pelan.

Sri menunduk menatap surat di tangannya. Jari-jarinya bergetar saat menelusuri kembali tulisan tangan yang begitu dikenalnya, tulisan ibu kandungnya sendiri, Ningsih, yang kini entah berada di mana. Surat itu menyebutkan perjanjian yang ia dan suaminya buat sepuluh tahun silam.

Perjanjian hutang.

Sri langsung teringat saat-saat awal pernikahannya dengan pria barunya. Saat itu mereka hidup pas-pasan, dan ia membujuk ibunya agar mau menjual kebun sawit warisan sang ayah. Uangnya, mereka janji akan digunakan untuk modal usaha dan menyekolahkan Hana.

Ningsih, dengan hati yang rapuh tapi penuh cinta pada cucunya, akhirnya luluh. Tapi dengan satu syarat, Hana harus ikut mereka ke kota dan dirawat sebagaimana mereka merawat Malika.

Sri menggigit bibirnya sendiri. Matanya kosong. Sebuah kenangan muncul, kenangan yang sudah lama coba ia kubur dalam-dalam. Ia tahu ia telah mengingkari janji itu. Setelah uang berada di tangan, mereka berubah. Usaha berjalan, kehidupan membaik, Malika tumbuh dengan limpahan kasih sayang.

Sementara Hana? Dibiarkan. Diabaikan. Ditelantarkan.

Sri menatap Hana lagi. Kali ini dengan campuran rasa takut dan bersalah, sesuatu yang bahkan belum sempat ia akui pada dirinya sendiri selama ini.

"Aku datang bukan untuk minta belas kasihan," kata Hana dingin. "Aku datang untuk menagih janji. Bukan cuma uang, tapi hakku sebagai anak. Sebagai manusia."

Sri memejamkan mata. Kata-kata itu menamparnya lebih keras dari apa pun.

Wajah Sri memucat. Tangannya gemetar, amplop yang tadi dipegang erat kini hampir jatuh dari genggaman. Ia tahu betul isi perjanjian itu. Bukan sekadar omong kosong warung kopi. Ada tanda tangan dirinya dan suaminya, lengkap dengan materai. Tertulis jelas jika dalam sepuluh tahun hutang tak dikembalikan, maka jumlahnya berkali lipat. Tepatnya sepuluh kali lipat dari nilai awal.

Sri menelan ludah. Satu miliar. Jumlah yang kini tak mungkin bisa ia keluarkan tanpa menjual rumah atau tokonya. Pikirannya berputar cepat, sementara Hana tetap diam di sudut kamar sempit itu, memperhatikan setiap kegelisahan sang ibu seperti menonton pertunjukan yang sudah lama ia tunggu-tunggu.

Tiba-tiba.

"Ibu...! Ibu di mana, sih? Malika lapar nih, buuu~"

Terdengar suara teriakan manja dari arah ruang tengah. Suara itu memecah ketegangan di dalam kamar seperti petir di siang bolong.

Sri terkesiap. Tubuhnya langsung menegang, matanya panik memandang Hana.

“Jangan bersuara!” bisiknya tajam, telunjuknya kembali menempel di bibir, seperti sebelumnya.

Namun Hana hanya mengangkat alis. Tak peduli. Ia bahkan menyenderkan tubuh ke tembok, menarik napas dalam dan menutup mata sejenak. Lelah. Perjalanan jauh dari desa, panas, dan luka batin yang terus menguras tenaganya membuat tubuhnya nyaris roboh.

Sri buru-buru keluar kamar dan menutup pintu perlahan. Di luar, Malika berdiri dengan piyama lembut warna pastel, rambutnya dikuncir dua seperti anak remaja manja, dan wajahnya cemberut.

"Aku laper, Bu. Buatin mi instan dong. Yang pakai telur dua, cabenya jangan banyak,” katanya sambil menjulurkan bibir.

Sri langsung berubah. Wajah tegangnya ditutup dengan senyum lemah yang dipaksakan. “Iya, sayang. Ibu buatin sekarang, ya?”

Sri langsung ke dapur, tangannya cekatan mengambil mi, telur, dan panci kecil. Ia tak berani menengok ke kamar sempit di ujung dapur. Pikirannya masih digelayuti rasa takut dan bersalah.

Sementara itu, di balik pintu tipis kamar pembantu, Hana duduk di atas kasur tua yang sudah mengempis. Ia mendengar suara ibunya mengaduk mi di dapur. Bau bumbu instan yang khas menusuk hidungnya.

Perutnya berbunyi.

Ia menahan diri agar tidak mengeluh. Tapi rasa lapar tak bisa dibohongi. Selama perjalanan, ia tak makan apa pun. Hanya minum seadanya. Kini, tubuhnya menjerit minta asupan.

Ia membuka tas besar yang dibawanya. Dari dalamnya, ia keluarkan bekal terakhir yang neneknya siapkan, nasi putih yang dibungkus daun pisang, hangatnya sudah hilang, dan tanpa lauk.

Ia membuka bungkus itu perlahan, memandangi isinya sejenak lalu tersenyum getir.

“Ibu...,” bisiknya pelan.

"Mi instan untuk Malika, nasi dingin tanpa lauk untukku."

Ia lalu memakan nasi itu perlahan, sambil menahan air mata yang menggantung di pelupuk matanya.

Tapi Hana meneguhkan diri. Dia tidak datang untuk belas kasihan. Dia datang untuk menagih harga dirinya yang pernah diinjak.

Dan ini baru permulaan.

“Ibu… itu sandal siapa di depan pintu kamar pembantu?”

Suara Malika terdengar dari arah meja makan, terdengar ringan namun penuh curiga.

“Jangan-jangan… ibu mempekerjakan pembantu diam-diam, ya?”

Sri yang tengah menuangkan mi ke mangkuk langsung membeku sejenak. Jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Ketahuan? Dalam sepersekian detik, otaknya berpikir cepat mencari alasan.

“Bukan, Nak,” jawabnya berusaha santai sambil tersenyum kikuk. “Itu sandal ibu. Tadi habis nyapu belakang.”

Malika menyipitkan mata, ekspresi manjanya berubah jadi menyelidik. “Ibu awas aja ya, kalau ternyata diam-diam sewa pembantu! Nanti Ayah marah loh! Sayang banget uangnya. Mending buat biaya kuliah aku.”

Sri tertawa kecil, hambar. “Tentu saja nggak, Sayang. Buat apa ibu pakai pembantu? Ibu masih kuat, kok. Semua masih ibu kerjain sendiri.”

Malika hanya mendengus kecil. “Iya deh, tapi jangan lupa ya, sepatu aku yang kotor udah di pojok kamar, belum dicuci. Sama baju-baju yang kemarin juga. Aku butuh buat acara kampus.”

Sri mengangguk lemah. “Iya, Nak. Ibu cuci nanti.”

Hana yang mendengarkan semua itu dari balik pintu kamar pembantu hanya bisa menghela napas pelan. Ia duduk bersila di atas kasur tipis yang dingin, menatap sisa nasi yang belum habis di telapak tangannya. Tidak ada lauk, tidak ada minuman.

Tapi ada kenyataan yang lebih pahit dari lapar: melihat ibunya begitu tunduk pada anak tirinya.

Ia tersenyum tipis. Getir.

Dulu ia pernah bermimpi diperlakukan seperti itu, dimanja, diperhatikan, diminta tolong dengan nada manis. Tapi semua itu hanya milik Malika.

Bagi ibunya, dirinya hanyalah beban lama yang muncul kembali saat semuanya sudah nyaman.

Terpopuler

Comments

Fittar

Fittar

kok mau mempertahankan anak tiri yang membuatnya jd seperti pembantu dari pada menyayangi anak kandung sendiri.
suami juga sama, tak memberi ijin memperkerjakan orang lain untuk istri sendiri. padahal sudah berkorban menjual tanah ibunya untuk usahanya

2025-06-24

1

Inooy

Inooy

d dapur bu Sri memasak mie instan bwt anak tiri nya,,d kamar pembantu yg sempit Hana makan hanya nasi putih aj tanpa lauk apapun..itu pun pemberian sang nenek bwt bekal d jalan....

sungguh2 miris, s ibu memanjakan anak tiri nya..sementara anak kandung sendiri d abaikan, ckckck....

2025-07-08

0

kriwil

kriwil

cuma di jadikan babu sama anak tiri dan suami nya bener bener ibu yang goblok ningalin anak kandung demu se ongok sampah tak berguna

2025-07-23

0

lihat semua
Episodes
1 Kedatangan Tak Terduga
2 Mie Instan VS Nasi Putih
3 Amplop 5 Juta Saja?
4 Mengamati Mencatat Lalu Menyusun Rencana
5 Kejutan Pesta
6 Ini Baru Permulaan
7 Putri Yang Kembali
8 Kedatangan Nenek Rosma
9 Perjodohan
10 Persekongkolan
11 Pradipta
12 Dia Hanya Benalu!
13 Pendekatan Rendy
14 Pembatalan Pernikahan
15 Lamaran Dadakan
16 Bertukar Pasangan
17 Kencan Pertama
18 Berhak Tahu dan Berhak Cemburu
19 Kemana Rendy?
20 Tak Sesuai Ekspektasi
21 Perbedaan Kasta
22 Hana Dihakimi
23 Aib Dari Putri Kesayangan
24 Provokasi Malika
25 Melupakan Dendam dan Rencana Kelam
26 Jasman si Tua Keladi
27 Siasat Kejam Burhan
28 Pernikahan Mengerikan
29 Pernikahan Sesungguhnya
30 Pertemuan yang Dinantikan
31 Menanti Hukuman
32 Malam Pertama Kelabu
33 Pemilik Sah
34 Saldo Kosong
35 Semuanya Hilang
36 Mengambil Alih Simpati
37 Pelukan
38 Tanggung Jawab Rendy
39 Ampuni Kami
40 Mengambil alih Toko
41 Dewinta?
42 Sri Dikhianati
43 Cinta dan Memaafkan
44 Rumah Dewinta
45 Hanya Tamu tak Diundang
46 Fakta Baru
47 Tiga Benalu
48 Rencana Pernikahan
49 Sebatas Impian
50 Rahasia Masa Lalu
51 Rayuan Maut Rendy
52 Kehilangan Sri
53 Menciummu
54 Mengusir
55 Rumah Sewaan
56 Meninggalkan Istana Ilusi
57 Dicampakkan di Hari Pernikahan
58 Penyesalan dan Kebencian
59 Keinginan Malika
60 Penolakan Sri
61 Kemunculan Hendra
62 Ayah
63 Karma
Episodes

Updated 63 Episodes

1
Kedatangan Tak Terduga
2
Mie Instan VS Nasi Putih
3
Amplop 5 Juta Saja?
4
Mengamati Mencatat Lalu Menyusun Rencana
5
Kejutan Pesta
6
Ini Baru Permulaan
7
Putri Yang Kembali
8
Kedatangan Nenek Rosma
9
Perjodohan
10
Persekongkolan
11
Pradipta
12
Dia Hanya Benalu!
13
Pendekatan Rendy
14
Pembatalan Pernikahan
15
Lamaran Dadakan
16
Bertukar Pasangan
17
Kencan Pertama
18
Berhak Tahu dan Berhak Cemburu
19
Kemana Rendy?
20
Tak Sesuai Ekspektasi
21
Perbedaan Kasta
22
Hana Dihakimi
23
Aib Dari Putri Kesayangan
24
Provokasi Malika
25
Melupakan Dendam dan Rencana Kelam
26
Jasman si Tua Keladi
27
Siasat Kejam Burhan
28
Pernikahan Mengerikan
29
Pernikahan Sesungguhnya
30
Pertemuan yang Dinantikan
31
Menanti Hukuman
32
Malam Pertama Kelabu
33
Pemilik Sah
34
Saldo Kosong
35
Semuanya Hilang
36
Mengambil Alih Simpati
37
Pelukan
38
Tanggung Jawab Rendy
39
Ampuni Kami
40
Mengambil alih Toko
41
Dewinta?
42
Sri Dikhianati
43
Cinta dan Memaafkan
44
Rumah Dewinta
45
Hanya Tamu tak Diundang
46
Fakta Baru
47
Tiga Benalu
48
Rencana Pernikahan
49
Sebatas Impian
50
Rahasia Masa Lalu
51
Rayuan Maut Rendy
52
Kehilangan Sri
53
Menciummu
54
Mengusir
55
Rumah Sewaan
56
Meninggalkan Istana Ilusi
57
Dicampakkan di Hari Pernikahan
58
Penyesalan dan Kebencian
59
Keinginan Malika
60
Penolakan Sri
61
Kemunculan Hendra
62
Ayah
63
Karma

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!