Sang Rawi memancarkan cahaya gemilang berpendar ke seluruh ruang. Memantulkan sinar melalui jendela kaca. Memberikan sentuhan sinar benderang pada sosok wanita muda dengan tinggi semampai dan rambut panjang bergelombang. Ia nampak termenung pagi itu dengan kantung mata yang menghiasi wajah cantiknya.
Namira Maxzella, berdiri di depan jendela apartemennya yang berada di lantai 20. Memandangi gedung-gedung kaca yang mulai disiram matahari pagi. Secangkir kopi hitam terkait di jemari tangannya. Namun tak sedikit pun disentuh. Uapnya sudah tak lagi mengepul di udara. Seolah mencerminkan pikirannya yang terus bergolak sejak bangun tidur.
Ia baru saja selesai menyusun ulang bahan presentasi investor yang akan dimulai siang nanti. Di layar laptopnya masih terbuka grafik performa kuartal kedua, angka-angka, persentase, dan target yang belum sepenuhnya membuatnya puas. Kantung mata yang menghiasi wajahnya pertanda dunia mimpi hanya sekejap ia rasa.
Pagi itu, ingin sekali Namira melepaskan segala riuh pikiran yang berkecamuk dalam kepalanya. Mengarungi samudra mimpi dan berbaring di atas permadani. Sebelum ia mewujudkan keinginan terdalamnya. Terdengar lantunan nyaring.
Bel apartemen berbunyi.
Namira menoleh ke arah interkom di dinding. Rasa malas menyergap meski hanya untuk sekedar melangkah. Disertai dengan langkah yang begitu berat ia berjalan perlahan menuju interkom berada.
Jemari tangannya terayun perlahan. Ia menekan tombol interkom dengan penuh keengganan.
“Paket atas nama Namira,” ujar suara pria dari speaker.
“Letakkan di rak paket,” sahutnya datar, nyaris malas.
Beberapa menit kemudian, barulah ia berjalan keluar dan mengambil paket dari rak yang tersedia di depan lobi tiap lantai. Namun, begitu matanya terantuk pada label pengiriman yang tertera, langkahnya terhenti. Dahi berkerut. Ia membalik paket, membacanya ulang dengan teliti.
Namira Permata – Tower C, Lantai 5, Unit 510.
Ia tinggal di Tower A. Jauh sekali.
Sedetik kemudian terdengar nafasnya yang mendengus kesal.
“Luar biasa...” gumamnya sinis, sembari melirik smartwacth ditangannya.
07.24...
“Apa sekarang zamannya orang tidak bisa membaca?”
“Untuk apa mereka sekolah kalau tak berguna seperti ini,” ujarnya lagi dengan nada kesal.
Langkahnya terayun dengan cepat. Ia kembali ke dalam, meletakkan paket di meja makan dengan kasar. Lalu membuka aplikasi layanan ekspedisi. Jari-jarinya mengetuk layar ponsel dengan kesal. Saat akhirnya tersambung, ia tak menunggu lama.
Selamat pagi, layanan pelanggan Anter Logistik. Ada yang bisa kami bantu?
Suara diseberang telp terdengar renyah.
“Saya menerima paket yang bukan milik saya. Ini jelas kesalahan kurir Anda. Kirim orang untuk mengambilnya sekarang!” ucapnya tajam.
“Saya benar-benar tidak punya waktu untuk membereskan kelalaian orang lain.”
Ba-Baik, mohon maaf atas ketidaknyamanannya, Bu. Kami akan segera mengirim kurir untuk menjemput kembali paket tersebut dalam waktu tiga puluh menit.
“Pastikan dia tidak mengulang kesalahan. Saya tidak akan menoleransi kelalaian dua kali,” ucap Namira tajam.
Sambungan telp berhenti. Nampak kekesalan menghiasi raut wajahnya. Pagi ini, entah kenapa rasa lelahnya semakin menjadi. Namira bergegas meraih cangkir kopi lantas meneguk isinya secepat kilat. Kopi yang begitu dingin terasa hambar. Rasanya semakin memperburuk suasana hatinya.
**
Pukul 07.48, bel pintu kembali berbunyi. Namira membuka pintu dengan gerakan cepat, tanpa niat menyembunyikan ketidaksabarannya. Di hadapannya berdiri seorang pria muda, sekitar akhir tiga puluhan, mengenakan jaket hitam dengan logo ekspedisi. Wajahnya bersih, senyumnya tipis, sikapnya sopan... terlalu santai untuk ukuran seseorang yang datang menebus kesalahan.
“Selamat pagi, Bu Namira. Saya Sean Mahendra, kurir dari Anter Logistik. Mohon maaf atas kesalahan pengantaran tadi.”
Namira mengulurkan paket dengan rasa gusar.
“Lain kali, tolong baca alamat dengan benar. Kalau ini dokumen penting atau barang bernilai, dampaknya bisa fatal.”
Sean menerima paket dengan dua tangan, menunduk sedikit.
“Benar, Bu. Tapi untungnya, kali ini hanya salah kirim, bukan salah niat.”
Namira memicingkan mata.
“Lucu?! Anda menganggap ini sepele karena Anda tidak berada di posisi saya. Kalau saya terlambat lima menit saja ke kantor, saham perusahaan bisa turun. Kalau Anda terlambat... apa?! Motor mogok?”
Alih-alih tersinggung, Sean tetap tenang.
“Setiap pekerjaan punya risikonya, Bu. Saya mungkin hanya kurir, tapi kadang saya mengantar barang yang lebih berharga dari gaji saya sendiri.”
“Tetap saja Anda terlihat terlalu santai,” ucap Namira, menyilangkan tangan di dada.
Tatapannya sinis, seolah meremehkan Sean.
“Santai bukan berarti lalai,” balas Sean, kali ini sedikit lebih mantap.
“Kalau saya panik tiap salah antar, saya tak akan sempat memperbaiki. Saya percaya, reaksi cepat lebih berguna daripada penyesalan panjang,” ujarnya lagi.
Namira terdiam. Ucapan itu menghantam sisi dalam dirinya yang tak ingin disentuh. Tapi ia menolak mengakuinya. Matanya menyipit, mencari nada sarkas di balik kata-kata pria itu. Tak ada.
“Menarik,” kata akhirnya.
“Anda bicara seperti motivator murah di media sosial.”
“Oh… ataukah anda seorang motivator MLM yang handal bermain kata-kata?” ujar Namira.
Mencari celah untuk bisa menjadi pemenang dalam perdebatan yang absurd ini.
Sean hanya tersenyum kecil.
“Semoga kalimat murah itu cukup berharga untuk tidak mengulangi kesalahan hari ini dan semoga Ibu mendapat paket yang tepat di hari-hari mendatang.”
Namira menghela napas pelan. Hampir tak terdengar.
“Saya tidak yakin Anda bisa bertahan lama di pekerjaan ini kalau terlalu rileks begitu.”
Sean mengangguk sekali, tetap ramah.
“Kalau pun tidak, saya akan cari pekerjaan lain yang membuat saya tetap sopan, santai... dan tidak membebani siapa pun dengan ekspektasi yang terlalu tinggi.”
Tanpa menunggu izin, ia mundur selangkah, membungkuk singkat, dan berjalan pergi. Langkahnya ringan, kontras dengan hawa panas yang ditinggalkannya di dalam ruangan.
Namira menatap punggung pria itu sampai menghilang di balik lift. Lalu perlahan menutup pintu. Ia hendak membalas tajam namun urung. Pria muda itu berlalu meninggalkan serpihan hawa panas dalam hati Namira.
Ruangan kembali hening. Tetapi tidak dengan hawa panasnya. Ia menatap cangkir kopi yang sekarang benar-benar dingin, lalu membalikkan badan. Tapi entah kenapa, kepalanya masih sibuk memutar ulang satu kalimat:
Santai bukan berarti lalai
Kalimat itu terus terngiang, seperti nada dering yang tidak dimatikan dan anehnya… itu membuatnya kesal.
Pagi berikutnya, Namira sedang bersiap-siap untuk rapat daring pertamanya hari itu. Bunyi hairdriyer berdenging cukup nyaring. Ia melihat wajahnya di cermin. Mengagumkan….
Ia tersenyum tipis, seolah bangga dengan penampilannya yang begitu mempesona. Wanita karier, mandiri, cerdas dan mendapatkan pujian yang berlimpah. Hidupnya sempurna… sangat sempurna menurutnya. Namira mulai memoles wajah dengan riasan sederhana namun menampilkan aura kecantikan yang luar biasa. Tak dapat dipungkiri, bahwa memiliki kecantikan merupakan jaminan hidup di masa depan. Semacam privilege tanpa aturan tertulis.
Kini, Namira mulai memilah pakaian yang akan menunjang penampilannya. Mengenakan pakaian yang pantas tentu akan menunjang penampilan supaya semakin gemilang. Lagi-lagi senyumnya kembali mengembang, saat ia selesai berdandan. Menatap dirinya di depan cermin. Satu kata--- sempurna….
Ritual pagi seperti biasanya. Menyecap kopi Americano panas less sugar favoritnya. Jemari tangan lentiknya sibuk mengutak-atik Ipad berlogo separuh apel miliknya. Mengecek beberapa dokumen dan data yang akan ia presentasikan nanti. Sampai sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Nina…
Sahabat dekatnya mengirimkan sebuah video dengan pesan kurir ekspres idaman disertai emoji love. Namira mengernyitkan kening, lantas memutar video yang dikirimkan sahabatnya itu. Sebuah berita sedang menggemparkan jagad dunia maya.
Sosok kurir pemberani, penyelamat nyawa seorang lansia yang hampir terbakar di dalam rumah.
Berita yang sedang viral saat itu tersebar di dunia maya. Namira menyipitkan mata, tatkala menyaksikan cuplikan video yang diambil dari beberapa kamera amatir. Tiga hari yang lalu, terjadi kebakaran di sebuah perumahan yang ditinggali salah seorang lansia. Tidak ada warga yang berani menyelamatkan, tim damkar juga masih terjebak kemacetan Kota Metropolitan.
Namun tak disangka seorang pemuda yang bekerja sebagai kurir, berani menerobos api dan menyelamatkan Sang lansia. Ia di elu-elukan dan beritanya viral dimana-mana. Mata Namira menyipit, saat menatap sosok kurir yang ada dalam video. Sosok yang sepertinya tidak asing dalam pikirannya. Sampai terdengar bel intercom berbunyi.
Ia menoleh ke arah jam dinding, 08.03…
Bukan jadwal antar sarapan, bukan juga jadwal belanja mingguan. Diiringi langkah cepat dan sedikit curiga, ia berjalan menuju arah pintu keluar. Memegang handle pintu lantas membukanya dengan cepat.
Di baliknya lagi-lagi berdiri Sean Mahendra. Mengenakan topi hitam dan jaket logistik yang masih sama, ekspresinya tetap tenang. Kali ini ia membawa paket yang cukup besar di tangannya.
“Selamat pagi, Bu Namira. Maaf mengganggu lagi,” katanya sambil sedikit menunduk.
Namira mengangkat alis.
“Jangan bilang Anda salah kirim lagi,” nada suaranya penuh sarkasme.
Sean menunjukkan alat pemindainya.
“Justru kali ini, paketnya benar. Atas nama Bu Namira Maxzella. Dari Jakarta Selatan, pengirim: PT Artamex.”
Namira menyipitkan mata. Menatap pemuda dihadapannya.
“Luar biasa. Setelah salah kirim kemarin, sekarang Anda muncul lagi dengan gaya ‘saya-santai-tapi-profesional’. Apa ini bagian dari permintaan maaf berantai?”
Sean hanya tersenyum, tak terpancing. Tetap tenang dengan sikap santun.
“Saya hanya mengantarkan sesuai sistem, Bu. Kalau boleh tahu, Ibu ingin saya letakkan di mana paketnya?”
Namira menyandarkan diri di pintu, menyilangkan tangan.
“Letakkan di meja kantor CEO saya. Tapi saya lupa, Anda mungkin berpikir kantor CEO itu bisa dicapai dengan naik motor.”
Sean tetap tenang, meski matanya sedikit menyipit.
“Saya tahu tempat saya, Bu. Justru karena itu, saya pastikan paket sampai ke tangan yang benar. Mau orang biasa, mau CEO, prosedurnya sama.”
“Ah, egaliter sekali,” ejek Namira.
“Sayang hidup nyata tidak seromantis brosur motivasi.”
Sean tidak menjawab seketika. Ia hanya meletakkan paket dengan hati-hati di lantai dekat pintu.
“Saya mengerti, Bu. Dunia tidak adil. Tapi kalau saya membenci semua orang kaya hanya karena saya belum kaya, saya tidak akan fokus bekerja.”
Namira mengangkat alis, sedikit terkejut mendengar jawaban yang tak terduga.
“Tunggu. Apa itu maksud tersirat bahwa saya arogan karena kaya?”
Sean menatapnya tenang. Masih dengan sikap santun.
“Tidak, Bu. Saya hanya menjawab pernyataan Ibu dengan kenyataan saya. Saya tidak menilai Ibu. Tapi saya paham kenapa Ibu menilai saya.”
“Luar biasa. Anda ternyata bukan hanya kurir, tapi juga filsuf jalanan.”
Sean tertawa kecil.
“Saya hanya orang biasa yang kadang berpikir sebelum bicara. Maaf kalau itu terdengar aneh.”
Namira menatapnya lama. Separuh dari dirinya ingin menutup pintu dan mengakhiri percakapan. Separuh lainnya... penasaran.
“Baiklah, Sean Mahendra. Sekarang Anda sudah antar paket saya dengan benar. Anda merasa sudah menebus kesalahan kemarin?”
“Bukan soal tebus-menebus, Bu. Bekerja itu bukan urusan membayar utang moral. Saya hanya menyelesaikan apa yang jadi tugas saya.”
Lagi dan lagi, Sean menjawab dengan tenang. Bak manusia yang seolah tak memiliki emosi.
Namira menyeringai tipis, “dan Anda pikir itu cukup?”
Sean tersenyum.
“Tidak akan pernah cukup untuk sebagian orang. Tapi bagi saya, cukup itu saat saya tahu saya sudah melakukan bagian saya dengan benar.”
Hening sejenak. Namira menarik napas, mencoba membentuk kalimat berikutnya yang lebih tajam. Tapi anehnya, tak ada yang keluar. Seperti sedang berdebat dengan tembok beraksen sopan.
“Apa Anda selalu tenang begini?” tanya Namira akhirnya, setengah kesal.
“Tidak, Bu,” jawab Sean.
“Tapi saya belajar bahwa emosi yang tak dikendalikan, cuma akan membuat hidup makin berat. Saya angkat paket, bukan amarah.”
Namira mendengus pelan. Tangannya masih terlipat di dada. Gayanya sama, bak putri Raja yang arogan.
“Kalau semua orang sebijak Anda, dunia akan terlalu membosankan.”
Sean menunduk sedikit, kali ini benar-benar menahan tawa.
“Kalau semua orang sejujur Ibu, mungkin dunia akan lebih jujur… meski sedikit lebih tajam.”
Untuk pertama kalinya sejak kemarin, sudut bibir Namira terangkat, meskipun hanya sepersekian detik.
Ia menunjuk paket di lantai.
“Angkat lagi. Bawa ke meja dapur. Anggap ini bagian dari rehabilitasi citra.”
Sean mengangguk patuh, mengambil paket itu dan membawanya masuk sejauh ambang pintu.
“Saya akan pastikan tidak salah alamat lagi, Bu Namira.”
“Bagus . Karena saya tidak akan bersikap semanis ini dua kali.”
Sean tersenyum sambil mundur.
“Percayalah, Bu. Tadi pun tidak manis, hanya sedikit... mengandung gula.”
Namira nyaris tertawa, tapi ia menahan diri.
“Pergilah sebelum saya ubah pikiran dan kirim komplain ke kantor pusat.”
Sean memberi hormat ringan.
“Baik, Bu. Sampai jumpa... mungkin.”
Pintu tertutup.
Untuk kedua kalinya, keheningan itu diisi gema ucapan Sean yang lagi-lagi menempel di kepala:
Saya angkat paket, bukan amarah.
Kedua kalinya juga, itu membuat Namira... kesal.
Kesal karena pria itu tak merasa perlu membela diri keras-keras, dan tetap menang. Kesal karena ia mulai merasa, ia sedang kalah dalam duel yang tak ia rencanakan. Kesal karena untuk pertama kalinya, ia merasa... penasaran.
Hari itu seharusnya hari biasa. Tapi satu tayangan berita pagi mengubah segalanya.
"Breaking News: Video Tak Pantas Diduga Libatkan Anggota DPR Dr. Arman Maxzella"
Namira menatap layar televisi dengan wajah membeku. Tak butuh pakar forensik digital untuk mengenali sosok pria yang diburamkan di rekaman itu. Nada suara presenter yang tenang justru membuat dunia di sekelilingnya terasa bergemuruh. Namira memegang gelas kopinya erat. Terlalu erat. Tangannya bergetar hebat.
Dalam hitungan menit, notifikasi ponselnya meledak.
Nam, itu beneran papa mu?
Kamu nggak bakal klarifikasi?
Gelar MBA tapi nggak bisa kendalikan rumah sendiri? Ironis ya.
Kalimat terakhir menusuk. Tak logis, tapi publik tak butuh logika. Mereka butuh bahan gosip. Namira tidak segera mematikan televisi. Ia biarkan suara dari layar menyusup ke ruang duduk apartemennya yang serba rapi dan dingin. Video yang viral sejak dini hari itu terus diputar ulang oleh berbagai kanal berita. Wajah pria yang diburamkan itu, suara rendah dengan diksi khas, gestur tangan yang terlalu ia kenal... semua merayapi pikirannya seperti racun yang menyusup perlahan.
Dr. Arman Maxzella
Anggota DPR, ayah kandungnya. Figur sentral dalam hidup yang selama ini ia dekati dari kejauhan bukan karena jarak, tapi karena ketidakpercayaan yang perlahan tumbuh sejak remaja. Dulu ia pikir intuisi remaja hanya paranoia. Tapi sekarang? Buktinya terpampang jelas. Bukan sekadar desas-desus atau rumor politik. Ini visual…. Ini viral… Ini nyata….
Ia meremas gelas kopi di tangannya, tak menyadari bahwa sebagian isi kopi sudah tumpah ke taplak meja.
Beberapa detik kemudian, ponselnya mulai bergetar. Pertama dari grup keluarga besar. Lalu kolega di kantor. Teman SMA yang sudah lama tak menyapa. Bahkan seorang jurnalis gaya hidup yang dulu pernah mewawancarainya untuk segmen “Perempuan Berpengaruh di Balik Startup Ternama”.
Notifikasi datang seperti tembakan peluru.
Tiap satu menyentuh layar, satu sisi dalam dirinya runtuh sedikit demi sedikit.
Kamu nggak akan buat pernyataan resmi?
Namira, kamu masih tinggal di rumah Papa? Atau sudah pisah properti?
Kami perlu tahu sikapmu agar komunikasi ke media bisa kami kendalikan.
Pernyataan, sikap, komunikasi. Semua kata-kata itu terasa asing, dingin dan mekanis. Seolah yang sedang disorot bukan kehidupan, tapi krisis PR sebuah perusahaan.
Namira berjalan ke dapur, mencuci tangan dengan gerakan tak beraturan. Tangannya menggigil. Ia berhenti, menatap wajahnya di pantulan lemari kaca. Matanya terlihat lelah. Tpi lebih dari itu, ia merasa asing dengan dirinya sendiri.
Selama ini ia pikir dirinya kuat. Ia pikir, hidup di bawah bayang-bayang nama besar ayahnya membuatnya kebal. Ia pikir, pencapaian akademik dan karier profesionalnya cukup menjadi benteng. Tapi tidak. Viralitas menghancurkan logika. Citra keluarga adalah medan perang, dan sekarang, ia sedang berdiri di garis tembak.
...****************...
Siang hari, ia akhirnya memenuhi panggilan ibunya. Tanpa banyak bicara, ia memesan mobil daring dan menuju rumah besar yang berdiri angkuh di kawasan elit lama Jakarta Selatan—rumah tempat ia tumbuh tapi tak pernah benar-benar merasa ‘pulang’.
Setibanya, ia disambut oleh para asisten rumah tangga dengan wajah penuh simpati palsu. Salah satunya sempat berbisik, “Sabar ya, Mbak Namira.”
Namira hanya mengangguk sekilas, menolak tatapan iba itu.
Di ruang tengah, ibunya sudah duduk dengan setelan blus biru laut dan kalung mutiara, terlihat siap untuk wawancara, bukan percakapan keluarga.
“Duduklah,” perintah sang ibu, tanpa ekspresi.
Namira menurut, duduk berhadapan di sofa panjang.
“Jadi,” suara Bu Mirna datar.
“Kamu mau kita atur konferensi pers atau tidak?”
Namira mengernyit.
“Mama mengira aku akan berdiri di depan kamera untuk... membela Papa?”
“Bukan membela. Menjernihkan. Memberi kesan bahwa keluarga ini solid. Masih terkendali.”
Namira tertawa pendek, getir.
“Kesan, Ma? Kesan seperti apa? Seolah video itu tidak pernah ada? Seolah kita masih keluarga harmonis dengan anak perempuan berprestasi yang selalu menjadi 'PR asset'?”
Sang ibu menghela napas. Lama.
“Dengar baik-baik, Namira. Dunia ini tidak menunggu orang yang sibuk merasa benar. Dunia ini bergerak berdasarkan persepsi dan persepsi bisa dihancurkan dalam satu malam. Seperti sekarang.”
“Lalu aku harus mengorbankan harga diri sendiri demi persepsi itu?”
Ibunya menatapnya, lama. “Harga diri apa yang kamu pertahankan kalau semua yang sudah dibangun keluarga ini runtuh?”
Hening merayap di antara mereka.
Namira menunduk. Ada rasa perih yang tak bisa ia jelaskan. Seolah setiap kata ibunya adalah cambuk yang mengingatkan bahwa ia bukan bagian dari dunia yang benar-benar ia pilih. Ia hanya pion dalam narasi yang sudah digariskan sejak dulu.
“Aku sudah cukup lama menahan diri, Ma,” katanya lirih.
“Aku sekolah tinggi, bekerja keras, membuktikan bahwa aku bukan hanya anak pejabat. Tapi pada akhirnya, nama belakangku tetap menjadi penjara.”
“Penjara atau perlindungan. Tergantung dari sisi mana kamu melihatnya.”
Namira mendongak, sorot matanya tajam.
“dan sisi Mama selalu sisi kontrol.”
Sang ibu tidak tersinggung. Ia hanya menyandarkan diri ke sofa, menatap ke arah jendela.
“Kita tidak punya waktu untuk debat moral. Namira, yang kita miliki sekarang adalah waktu yang sempit dan krisis yang meluas. Kita butuh simbol. Sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian. Menikah adalah salah satu cara tercepat.”
Namira mencengkeram sisi kursinya.
“Jadi aku hanya... alat penyeimbang opini publik?”
“Tidak. Kamu tetap anak Mama. Tapi kamu juga pewaris realitas yang sudah kita bangun selama puluhan tahun. Kita tidak bisa pura-pura bahwa kamu lepas dari semua ini.”
“Bukankah itu justru bukti betapa rusaknya sistem yang Mama bela?”
“Idealismemu indah,” jawab Sang ibu.
“Tapi tidak berguna dalam manajemen krisis.”
Kalimat itu menampar. Bukan karena kasar, tapi karena terlalu jujur dan Namira tahu, Mamannya tak pernah membuang waktu untuk basa-basi.
Setelah percakapan itu berakhir, Namira naik ke kamar lamanya. Sudah bertahun-tahun tak ia tempati, tapi tetap dibiarkan seperti dulu. Foto-foto kelulusan, sertifikat olimpiade, rak buku penuh jurnal dan biografi pemimpin dunia... semua jadi artefak masa lalu.
Ia berdiri lama di depan cermin. Kini ia tahu, cermin bisa memantulkan lebih dari sekadar wajah. Ia bisa memantulkan harapan yang memudar, luka yang tak sempat sembuh, dan ambisi yang perlahan berubah menjadi kelelahan.
Namira duduk di tepi ranjang dan membuka email dari kantor. Ada pesan dari seorang koleganya, menyampaikan “dukungan moral” dan saran untuk “rebranding personal bila perlu”.
“Rebranding?” pikirnya sinis.
Sejak kapan identitas manusia bisa dipoles seperti logo?
Sore mulai turun. Suara azan menggema dari kejauhan, samar di balik kaca jendela. Tapi hati Namira tak tenang. Ia bukan mencari Tuhan, bukan juga mencari pelarian. Ia hanya mencoba bertahan di tengah riuhnya tuntutan yang tak memberinya waktu untuk bernapas.
Ia menyalakan laptop. Membuka folder lama. Di sana ada draft naskah novel yang pernah ia mulai tulis diam-diam, cerita tentang seorang perempuan yang memilih hidup di kota kecil dan membangun yayasan bagi anak-anak yang gemar membaca buku. Jauh dari politik, jauh dari tekanan.
Namira membaca paragraf awalnya, lalu menutupnya lagi. Terlalu utopis. Terlalu jauh dari realitas sekarang. Ia mengembuskan napas panjang. Mungkin, pada akhirnya, kekuatan bukan soal menolak kenyataan. Tapi bagaimana berdiri tegak ketika kenyataan itu menamparmu tanpa ampun.
Malam pun tiba. Tidak membawa ketenangan. Hanya gelap yang lebih jujur dari semua orang yang menyuruhnya ‘tenang saja’.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!