Bab 5_Nikah Paksa

Di ruang kaca sebuah gedung hukum elite di kawasan SCBD, dua orang duduk berseberangan dalam diam. Di antara mereka, sebuah meja kayu jati dengan permukaan mengkilap. Di atasnya, dua lembar kontrak dengan kop bertuliskan "Kesepakatan Perikatan Sipil Non-Romantis (Perjanjian Tertutup)" tergeletak menunggu tanda tangan.

Namira mengenakan blazer putih tulang, potongan tegas, wajahnya nyaris seperti topeng yang diukir dari ketegasan dan kebekuan. Di seberangnya, Sean Mahendra, dalam setelan pinjaman warna abu-abu gelap yang sedikit longgar di bahu, tetap tenang. Wajahnya tidak menunjukkan gugup, tidak juga percaya diri berlebihan. Hanya diam, matang dalam ketenangan yang jarang ditemui dari orang seumurnya.

Pengacara pribadi Namira, Inez Saraswati, membacakan isi perjanjian satu per satu.

“Poin pertama: Tidak ada hubungan emosional yang diizinkan berkembang antara pihak pertama dan pihak kedua. Tidak ada keterlibatan cinta, kasih sayang, atau upaya untuk membangun relasi di luar peran kontrak.”

Namira melirik Sean.

“Singkatnya: jangan jatuh cinta.”

Sean mengangguk.

“Itu bukan hal yang saya rencanakan sejak awal.”

“Poin kedua: Kedua belah pihak dilarang ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing. Termasuk, namun tidak terbatas pada, pekerjaan, keuangan, relasi sosial, atau keluarga.”

Namira menambahkan tanpa menoleh.

“Saya tidak akan urus hidupmu, kamu pun jangan coba urus hidup saya.”

Sean menjawab singkat.

“Saya tidak punya waktu untuk ikut campur.”

“Poin ketiga: Tempat tinggal bersama diperbolehkan, namun kamar tidur harus terpisah. Kecuali jika dalam situasi darurat medis.”

Sean menoleh, nada suaranya datar.

“Saya bisa tidur di gudang sekalipun, kalau itu syaratnya.”

“Tidak perlu selebay itu,” balas Namira pelan.

“Poin keempat: Seluruh isi kontrak bersifat rahasia. Tidak boleh dibocorkan kepada siapa pun, termasuk keluarga dekat.”

“Kalau saya melanggar?” tanya Sean.

Inez menjawab, “Gugatan hukum. Denda lima miliar rupiah. Berlaku untuk keduanya.”

Sean hanya mengangguk.

“Kemudian yang terakhir,” Inez berhenti sejenak.

“Pernikahan ini tidak bisa dibatalkan atau diakhiri sebelum masa kontrak satu tahun habis, kecuali salah satu pihak meninggal dunia.”

Keheningan menyelimuti ruangan.

Manajer Namira, Adit, yang sedari tadi berdiri di belakang, menelan ludah. Baginya ini bukan sekadar pekerjaan ini absurditas yang tak pernah ia bayangkan ketika pertama kali menandatangani kontrak sebagai manajer seorang eksekutif muda.

“Ada yang ingin ditambahkan?” tanya Inez.

Sean menoleh pada Namira.

“Satu tahun?”

Namira menatap matanya untuk pertama kalinya sejak pagi itu.

“Tepat satu tahun. Lalu kita bubar, seperti tidak pernah saling mengenal.”

Sean mengangguk.

“Saya hanya punya satu permintaan.”

“Apa?”

“Jika selama satu tahun ini saya gagal menjaga batas, atau melanggar salah satu syarat, saya akan pergi tanpa meminta apa-apa. Tapi kalau kamu yang melanggar, saya minta kamu minta maaf secara pribadi, bukan publik.”

Namira tersenyum kecil.

“Berani juga kamu.”

“Saya hanya menghargai harga diri.”

Pernikahan sipil dilangsungkan dua jam kemudian. Tanpa bunga, tanpa keluarga, tanpa cincin mewah. Hanya surat resmi, dua saksi, dan satu keputusan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari tekanan dan kalkulasi.

Setelah itu, mobil hitam membawa mereka ke apartemen mewah milik Namira. Sean duduk di kursi belakang, diam.

Namira memperhatikannya lewat kaca spion tengah.

“Kamu masih bisa mundur.”

Sean menggeleng.

“Kamu sudah lunasi tagihan rumah sakit ibu saya tiga jam lalu. Saya tidak sejahat itu untuk berpura-pura tidak tahu balas budi.”

Namira tidak menjawab. Sesuatu dalam nadanya membuat ia sedikit ingin minta maaf, tapi harga dirinya tak mengizinkan.

Malam itu, apartemen terasa terlalu sunyi. Sean membawa koper kecilnya ke kamar tamu. Lengkap, dingin, dan steril. Namira mengetuk pintu sebelum masuk.

“Ini jadwal kegiatan yang akan saya sampaikan ke publik.”

Ia menyerahkan selembar kertas.

“Ada beberapa sesi wawancara, tapi hanya formalitas. Kita hanya perlu terlihat kompak, tidak harus terlihat mesra.”

Sean membaca cepat, lalu meletakkan kertas itu di meja.

“Apa kamu yakin bisa bersikap wajar di depan kamera?”

Namira menyilangkan tangan.

“Saya CEO. Saya bisa memalsukan ekspresi lebih baik dari aktor sinetron.”

Sean tersenyum.

“Baik. Saya bukan aktor. Tapi saya tahu cara diam di waktu yang tepat.”

Namira mengamati Sean. Ada sesuatu tentang pria ini yang membuatnya sulit ditebak. Ia tidak tampak terintimidasi, tapi juga tidak mencoba mendominasi. Ia hanya... hadir. Penuh kesadaran, tidak lebih, tidak kurang.

“Kamu tahu ini semua bisa menghancurkan citraku kalau ketahuan hanya nikah paksa?” tanya Namira.

Sean mengangguk.

“Kamu juga tahu ini bisa menghancurkan hidup saya kalau saya jatuh cinta beneran?”

Namira terdiam sejenak.

“Jadi kita sama-sama berjudi,” gumamnya.

Sean berdiri.

“Bedanya, kamu berjudi dengan reputasi. Saya berjudi dengan rasa malu saya.”

Beberapa hari kemudian, mereka tampil bersama untuk pertama kalinya dalam konferensi pers. Sean mengenakan batik sederhana, Namira dalam gaun hitam elegan. Kamera memotret tanpa henti.

“Kami bertemu karena takdir yang tidak biasa,” ujar Namira, suaranya halus namun tegas.

“Kami percaya, cinta tidak harus datang dari jalan yang umum. Kadang, ia muncul di tengah kekacauan.”

Sean hanya tersenyum dan menggenggam tangan Namira di atas meja. Genggaman itu tampak natural, hangat padahal keduanya tahu, dalam kontrak, tak ada pasal tentang kehangatan.

Setelah acara selesai, mereka kembali ke mobil. Dalam perjalanan, keduanya hanya diam.

Akhirnya Sean berkata.

“Kalau kamu ingin menganggap ini bisnis, tidak masalah. Tapi setidaknya, mari kita bersikap sebagai manusia.”

Namira menoleh.

“Kamu tahu? Kalimat seperti itu bisa jadi jebakan untuk pasal pertama.”

Sean tertawa kecil.

“Tenang. Aku sudah hafal semua pasalnya dan sejauh ini, aku belum tertarik melanggar satupun.”

Malam itu, saat Namira berdiri sendirian di balkon apartemen, memandangi lampu-lampu kota Jakarta yang seperti semesta kecil yang tak pernah tidur, ia mendengar pintu dibuka perlahan.

Sean muncul, membawa dua gelas kopi.

“Saya buatkan ini. Kamu kelihatan lelah,” katanya.

Namira diam. Hanya melirik sebentar. Teh bukan favoritnya. Sean menarik kembali cangkir teh yang disodorkan pada wanita di sampingnya.

“Aneh, ya?” kata Namira akhirnya.

“Kita menikah, tapi tidak saling mengenal.”

Sean mengangguk.

“Tapi kita tahu aturan mainnya. Kadang itu lebih jelas dari cinta.”

Namira menoleh.

“Kamu percaya cinta?”

“Percaya. Tapi saya lebih percaya kontrak ini,” ujar Sean sambil mengangkat gelas tehnya.

“Untuk setahun ke depan.”

Namira hanya mengangguk kecil. Sean meneguk tehnya dalam hening, di bawah langit malam Jakarta yang tak pernah benar-benar gelap.

Terpopuler

Comments

NurAzizah504

NurAzizah504

mantap, wkwk

2025-06-23

0

NurAzizah504

NurAzizah504

gada celah untuk menolak

2025-06-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!