Bab 4_Tawaran Absurd

Ruang keluarga rumah besar keluarga Maxzella dipenuhi aroma wangi kayu manis dari diffuser elektrik. Tapi wangi itu tak cukup untuk menutupi ketegangan yang menggantung di udara. Duduk mengelilingi meja panjang adalah tokoh-tokoh penting dalam keluarga itu: Ayah Namira—Dr. Arman Maxzella, salah satu pejabat tinggi negara; Ibu—Mirna Dewanti; dan Rudi Dewantara, adik kandung Mirna yang dikenal sebagai dalang di balik berbagai strategi keluarga.

Namira duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya bertaut di pangkuan. Tatapannya dingin, namun tak bisa menyembunyikan gelisah yang bersembunyi di balik bola matanya.

“Namira,” suara ibunya membuka diskusi, tenang tapi menyiratkan ultimatum.

“Kamu harus dengar baik-baik rencana ini. Kita tidak sedang dalam posisi tawar menawar yang kuat.”

Namira hanya mengangguk sekali, dingin.

Ayahnya menunduk, tak berani menatap putri semata wayangnya. Pria yang dulunya disegani karena pidato-pidato berkelas itu, kini hanya bayang-bayang dari dirinya yang dulu.

“Rudi sudah menyusun skenario terbaik untuk kita semua,” lanjut Mirna.

“dan kamu bagian dari itu.”

“Bagian atau korban?” tanya Namira pelan, nyaris seperti gumaman, tapi cukup tajam menusuk.

Rudi yang sejak tadi menatap layar Ipad, meletakkannya dan menatap Namira langsung.

“Ini bukan soal siapa dikorbankan. Ini soal damage control. Ayahmu sedang dalam pusaran

skandal, dan media sosial haus darah. Kita harus kasih sesuatu yang lebih ‘manis’ untuk mereka gigit.”

“Jadi aku permen pengalihan?” ujar Namira lagi, kali ini lebih keras.

Mirna melirik tajam. “Bisa kamu hentikan dramamu sebentar dan dengarkan?”

“Silakan,” jawab Namira datar.

Rudi mengambil alih.

“Kami mempertimbangkan untuk mengatur pernikahanmu dengan—” Ia berhenti sebentar, mencari reaksi, “— pemuda bernama Sean Mahendra.”

Namira memutar kepalanya perlahan, seperti robot kehabisan baterai.

“Sean… Mahendra?”

“Iya. Kurir yang viral kemarin. Penyelamat lansia dari kebakaran. Semua media melambungkan dia. Sosok ideal. Rakyat kecil. Gagah, berani, penuh empati,” papar Rudi seolah sedang mempresentasikan produk unggulan.

“Kalian gila,” ujar Namira datar, hampir tanpa emosi.

“Kalian benar-benar gila.”

Mirna mencubit pelipisnya.

“Ini bukan gila, Namira. Ini strategi. Kamu sendiri tahu, reputasi keluarga kita terjun bebas. Kita butuh narasi baru. Sesuatu yang menyentuh simpati public dan apa yang lebih menyentuh hati masyarakat selain kisah cinta antara pewaris perusahaan raksasa dan seorang kurir sederhana yang viral karena kebaikannya?”

“Jadi ini Cinderella versi korporat?” ejek Namira.

“Kau akan tetap pegang kendali. Tidak akan ada cinta-cintaan norak. Ini hanya untuk panggung. Setelah beberapa waktu, bisa kita cerai baik-baik. Tapi citra kita akan pulih,” ujar Rudi mantap.

Namira tertawa kecil, pahit.

“Kalian kira public sebodoh itu?”

“Mereka tak bodoh. Tapi mereka mudah dialihkan. Lihat saja berita hari ini. Apa yang viral kemarin, hari ini dilupakan jika ada drama baru. Kita hanya perlu arahkan fokus mereka,” balas Rudi tenang.

“Aku tidak akan menikah dengan siapa pun, apalagi kurir yang bahkan aku baru kenal dua kali,” Namira bangkit dari kursinya.

Mirna ikut berdiri.

“Kalau kamu tetap menolak, bersiaplah melihat papamu diproses secara hukum, sponsor perusahaan kita menarik diri, dan proyek ekspansi di Eropa dibatalkan. Pilihannya hanya dua: kamu menikah, atau kamu menonton keluargamu runtuh.”

Namira menatap ibunya lama.

“Kalian yang salah, kalian yang harus tanggung akibatnya. Bukan aku.”

Mirna melunak, suaranya kini lebih lembut, tapi penuh manipulasi.

“Kamu putri kami, Namira...dan kamu sudah 35 tahun. Apa kamu tidak lelah menghadapi semuanya sendirian? Kami hanya ingin kamu punya pasangan yang bisa diajak kerja sama. Bukan pengusaha tamak atau politisi oportunis. Hanya orang sederhana yang mudah... diarahkan.”

Namira menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

“Kalian akan bayar dia?”

“Dia belum tahu. Tapi kami sudah kirim orang untuk mendekati ibunya. Katanya, ibunya sakit parah. Biaya rumah sakit mahal. Kami sedang menunggu responnya,” jawab Rudi.

Namira tertawa getir.

“Luar biasa. Bahkan anak muda polos pun kalian seret ke dalam permainan kotor ini.”

“Dia dewasa, dia bisa memilih,” kata Rudi lagi.

“Jika dia terima, itu artinya dia sadar akan tanggung jawabnya. Kamu hanya perlu... kompromi sedikit.”

Namira berjalan ke jendela, menatap halaman belakang yang luas tapi terasa sempit. Dunia miliknya yang selama ini dibangun dengan kerja keras, disiplin, dan ambisi kini terasa seperti penjara emas.

“Apakah kalian tahu,” ujarnya pelan.

“Betapa keras aku bekerja untuk tidak menjadi ‘anak dari orang tua saya’? Aku bangun reputasi sendiri. Aku tolak warisan politik. Aku tolak dinikahkan dari dulu. Aku pertahankan prinsip sendiri... dan sekarang kalian memintaku menyerah begitu saja?”

Ayahnya akhirnya angkat suara, pelan tapi berat.

“Nam... Papa minta maaf.”

Namira menoleh.

“Maaf tidak cukup. Ini hidupku, bukan alat perbaikan citra keluarga.”

“Tapi ini juga hidup kami,” timpal Mirna.

“Kami juga punya harga diri. Punya reputasi yang harus dijaga dan kami tidak akan membiarkan semuanya hancur hanya karena kamu terlalu keras kepala untuk melihat solusi.”

Namira menunduk. Seluruh tubuhnya gemetar. Tapi ia tidak menangis. Ia hanya... lelah. Terlalu lama menanggung ekspektasi, terlalu lama memikul beban nama keluarga yang lebih berat dari apa pun.

“Apa yang kalian minta... bukan solusi. Ini transaksi. Pernikahan sebagai alat tukar.”

Mirna melangkah mendekat, menyentuh bahunya.

“Kamu terlalu pintar untuk tidak tahu bahwa dunia ini... memang tentang tukar-menukar.”

\*\*\*

Malam itu, di kamarnya, Namira duduk di tepi ranjang. Laptopnya menyala, menampilkan email-email dari mitra kerja, undangan rapat, laporan keuangan. Tapi matanya kosong. Pikirannya berkelindan antara rasa muak, marah, dan... putus asa.

Bayangan wajah Sean muncul di benaknya. Kurir itu. Pria yang entah kenapa selalu tampak tenang, bahkan ketika dihadapkan dengan sarkasmenya.

Pria yang kini, tanpa persetujuannya, sedang digiring menjadi bagian dari hidupnya.

Apakah dia tahu? Apakah dia akan setuju? Apakah dia juga melihatku sebagai jalan keluar?

Ia berdiri, berjalan ke cermin. Menatap pantulan dirinya, perempuan dengan wajah sempurna, karier sempurna, hidup yang tampaknya sempurna.

Tapi di dalam... kosong.

Suaranya nyaris berbisik saat ia berbicara pada dirinya sendiri:

“Apakah semua pencapaian ini berarti jika aku harus menyerah hanya demi menambal kebusukan yang bukan aku yang ciptakan?”

Tak ada jawaban. Hanya bayangan dirinya yang menatap balik dengan pandangan yang sama—penuh tekanan batin.

Terpopuler

Comments

Author Sylvia

Author Sylvia

kasian banget Namira disini dia jadi korban

2025-06-22

0

NurAzizah504

NurAzizah504

baik namira ataupun sean, semuanya mrka manfaatkan

2025-06-23

0

NurAzizah504

NurAzizah504

aku belm tau mau berpihak ke siapa

2025-06-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!