Pernikahan Palsu Dadakan
Pagi masih berbalut kabut tipis saat Adriella melangkah keluar dari kamarnya yang sempit di sudut rumah besar itu. Kamar yang bahkan tak cukup untuk menampung semua pakaiannya, dengan dinding yang mulai lembap dan ranjang tua yang berderit tiap kali ia bergerak. Ini adalah rumah warisan mendiang ibunya, rumah yang kini terasa asing dan dingin baginya, rumah tanpa cinta.
Ia menggeliat pelan, lalu merapikan rambut hitam panjangnya ke belakang telinga. Dengan cepat, ia menyambar celemek dan bergegas menuju dapur. Suara dentingan piring dari ruang makan sudah terdengar, dan ia tahu, keterlambatan sedikit saja akan berujung amukan dari wanita yang kini berkuasa di rumah itu.
Bi Nani yang bekerja sebagai pelayan dan juru masak di rumah sedang sakit jadi untuk sementara Adriella dan ibu tirinya yang harus memasak.
“Lama sekali kamu! Apa kau pikir kami punya waktu menunggumu bermalas-malasan, hah?!” bentak Rika, mantan istri pertama sekaligus istri ketiga Bastian sekarang, ayah tirinya, yang kini kembali ke pelukannya setelah ibunya meninggal dunia.
Adriella menunduk, menahan perih yang sudah terlalu biasa ia rasakan. “Maaf, Tante.”
“Maaf, maaf, memangnya maaf bisa bikin orang kenyang!” Hardikan itu disambut lemparan serbet ke arahnya.
Adriella hanya diam, menahan napas dan emosinya sendiri. Ia sudah terlalu lelah untuk melawan. Sudah bertahun-tahun sejak ibunya meninggal dan Rika kembali mengambil alih rumah ini. Statusnya sebagai anak kandung dari pemilik rumah tak lebih dari sebutan. Di mata mereka, Adriella hanyalah pembantu yang tak dibayar, pelayan yang tak pernah cukup baik.
Bara, putra Rika dari pernikahannya yang pertama dengan Bastian, turun dari lantai dua dengan langkah santai. Rambutnya acak-acakan, wajah tampannya memancarkan senyum licik yang selalu membuat Adriella risih. Ia berdiri di ambang pintu dapur sambil menguap, lalu matanya menyapu tubuh Adriella dari atas ke bawah.
“Pagi yang indah, Adri,” ujarnya genit. “Kau terlihat... seksi dengan celemek itu.”
Adriella beringsut menjauh. “Pagi, Bara.”
Bara tertawa pelan dan menyenderkan tubuh di pintu. “Kapan-kapan kau harus pakai celemek itu saja tanpa baju. Biar pekerjaanmu lebih… menyenangkan dilihat.”
Rika yang mendengar itu malah tertawa, seolah godaan tak senonoh itu adalah candaan biasa. Adriella ingin muntah. Namun ia menahan semuanya, seperti biasa.
“Berangkat lebih awal,” katanya singkat, lalu melangkah keluar sambil membawa tas kerjanya. Bekerja sebagai akuntan di pabrik milik Bastian memang bukan pilihan, tapi itu satu-satunya jalan agar ia bisa tetap bisa mendapatkan uang untuk Alessia, adiknya yang kini semakin lemah karena penyakit kronisnya.
Di luar, angin pagi menyambutnya, segar namun terasa kontras dengan kekangan yang selalu ia rasakan di rumah. Jalanan perumahan mewah itu masih sepi. Ia berjalan kaki menuju halte, menghindari mobil-mobil mewah yang diparkir di garasi rumah-rumah tetangga. Ia memang tinggal di lingkungan elite, tapi dirinya tak lebih dari pelayan di rumah sendiri.
Sambil menunggu bus, Adriella membuka dompet kecilnya. Uang pas-pasan, tabungan hampir tak tersisa, dan Alessia butuh operasi. Butuh uang. Butuh harapan.
Ia menatap langit. Matanya sembab tapi masih bisa menatap tegar.
‘Bertahan, Adriella. Kamu harus bertahan.’
🍁🍁🍁
Setibanya di kantor, Adriella langsung membenamkan dirinya dalam tumpukan laporan keuangan. Di sinilah ia merasa sedikit lebih bebas, meski tetap diawasi dan diawasi oleh atasannya yang merupakan kaki tangan ayah tirinya sendiri. Tidak ada tempat benar-benar aman untuknya, bahkan di tempat kerja.
“Adriella,” suara tegas itu menghentikannya.
Ia menoleh. Pak Doni, manajer keuangan, berdiri dengan berkas di tangan.
“Ini laporan bulanan pabrik cabang. Kerjakan hari ini juga.”
“Baik, Pak.”
“Dan ingat, jangan membuat kesalahan. Pak Bastian ingin semua rapi sebelum rapat direksi besok.”
Adriella mengangguk. Ia menunduk lagi, menahan napas. Sejak bekerja di perusahaan ini, ia tahu bahwa dirinya hanya dipakai. Ia tahu tak akan pernah bisa naik jabatan, tak akan pernah dianggap berharga. Tapi demi Alessia, ia menelan semuanya.
Sore menjelang saat Adriella kembali ke rumah. Punggungnya pegal, matanya lelah. Tapi belum sempat ia membuka sepatu, suara Meisya kembali menggema.
“Cepat ke dapur! Lantai belum dipel! Kamar Bara juga belum dirapikan!”
Dan seperti robot, Adriella bergerak kembali. Menyapu, mengepel, mencuci piring. Saat akhirnya ia naik ke kamar Bara untuk membersihkan, pria itu sudah menunggu di pintu, hanya memakai kaus tipis dan celana pendek.
“Kau datang juga,” katanya sambil menyeringai. “Mau bantu aku mandi sekalian?”
Adriella mengatupkan rahangnya. “Permisi,” katanya dingin, mencoba melangkah masuk tanpa melihat pria itu.
Namun Bara menghalangi jalannya. Tangannya sempat menyentuh lengan Adriella.
“Kalau kau mau sedikit bersikap manis, hidupmu di rumah ini bisa lebih mudah,” bisiknya.
Adriella menepisnya dengan cepat. “Jangan sentuh aku, Bara.”
Ia berhasil masuk dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Dadanya bergemuruh, tapi wajahnya tetap dingin. Ia sudah terlalu sering menghadapi Bara dan semua kata-katanya yang menjijikkan. Ia ingin keluar dari rumah ini. Ia ingin kebebasan.
Malam itu, Adriella duduk di sisi ranjang Alessia, mengusap kening adiknya yang tampak pucat.
“Bagaimana kabarmu hari ini?”
Alessia tersenyum lemah. “Sedikit pusing... tapi lebih baik dari kemarin.”
“Bertahan ya. Kakak janji... operasi itu pasti akan terjadi. Kakak akan cari cara.”
Adriella menggenggam tangan adiknya. Di dalam rumah yang penuh kebencian, hanya Alessia yang jadi alasannya tetap bertahan. Ia memeluknya, menyembunyikan air mata.
Di rumah tanpa cinta ini, Adriella berusaha keras menjaga hatinya tetap hidup.
🍁🍁🍁
Langit senja mulai merona kemerahan ketika Adriella baru saja turun dari angkot, masih mengenakan seragam kantor yang sudah lecek karena seharian bekerja. Sepatu hak rendahnya menapak pelan menuju gerbang rumah mewah yang justru membuat hatinya terasa hampa setiap kali melangkah masuk. Tangannya membawa kantong plastik berisi obat dan bubur instan untuk Alessia, adik satu-satunya yang menjadi satu-satunya alasan ia bertahan sejauh ini.
“Alessia,” gumamnya lirih sambil membuka pagar.
Namun sebelum sempat memanggil lebih jauh, suara panik menyambutnya dari arah dalam rumah.
“Nona! Nona Alessia kenapa?” suara Bi Nani yang sudah sembuh dan kembali bekerja di rumah itu, terdengar serak.
Adriella langsung berlari, jantungnya berdegup kencang.
Tubuh kecil Alessia terkulai lemas di atas sofa ruang tengah. Wajahnya pucat pasi, nafasnya tersengal tak beraturan. Keringat dingin membasahi dahinya. Adriella menjatuhkan kantong plastik dari tangannya dan segera merangkul tubuh adiknya.
“Alessia! Dengar suara kakak, ya? Jangan tidur!” serunya panik.
Bi Nani mengangguk cepat. “Saya sudah panggilkan taksi online, Nona. Sebentar lagi sampai.”
Waktu terasa melambat saat Adriella mengangkat tubuh adiknya ke pelukannya. Berat Alessia kini bahkan terasa lebih ringan dari biasanya, tanda bahwa penyakitnya sudah menggerogoti tubuh rapuh itu lebih cepat dari yang diperkirakan.
“Ayo, kuat sedikit, Le. Kita ke rumah sakit ya. Kakak di sini, ya….”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments