Pagi masih berbalut kabut tipis saat Adriella melangkah keluar dari kamarnya yang sempit di sudut rumah besar itu. Kamar yang bahkan tak cukup untuk menampung semua pakaiannya, dengan dinding yang mulai lembap dan ranjang tua yang berderit tiap kali ia bergerak. Ini adalah rumah warisan mendiang ibunya, rumah yang kini terasa asing dan dingin baginya, rumah tanpa cinta.
Ia menggeliat pelan, lalu merapikan rambut hitam panjangnya ke belakang telinga. Dengan cepat, ia menyambar celemek dan bergegas menuju dapur. Suara dentingan piring dari ruang makan sudah terdengar, dan ia tahu, keterlambatan sedikit saja akan berujung amukan dari wanita yang kini berkuasa di rumah itu.
Bi Nani yang bekerja sebagai pelayan dan juru masak di rumah sedang sakit jadi untuk sementara Adriella dan ibu tirinya yang harus memasak.
“Lama sekali kamu! Apa kau pikir kami punya waktu menunggumu bermalas-malasan, hah?!” bentak Rika, mantan istri pertama sekaligus istri ketiga Bastian sekarang, ayah tirinya, yang kini kembali ke pelukannya setelah ibunya meninggal dunia.
Adriella menunduk, menahan perih yang sudah terlalu biasa ia rasakan. “Maaf, Tante.”
“Maaf, maaf, memangnya maaf bisa bikin orang kenyang!” Hardikan itu disambut lemparan serbet ke arahnya.
Adriella hanya diam, menahan napas dan emosinya sendiri. Ia sudah terlalu lelah untuk melawan. Sudah bertahun-tahun sejak ibunya meninggal dan Rika kembali mengambil alih rumah ini. Statusnya sebagai anak kandung dari pemilik rumah tak lebih dari sebutan. Di mata mereka, Adriella hanyalah pembantu yang tak dibayar, pelayan yang tak pernah cukup baik.
Bara, putra Rika dari pernikahannya yang pertama dengan Bastian, turun dari lantai dua dengan langkah santai. Rambutnya acak-acakan, wajah tampannya memancarkan senyum licik yang selalu membuat Adriella risih. Ia berdiri di ambang pintu dapur sambil menguap, lalu matanya menyapu tubuh Adriella dari atas ke bawah.
“Pagi yang indah, Adri,” ujarnya genit. “Kau terlihat... seksi dengan celemek itu.”
Adriella beringsut menjauh. “Pagi, Bara.”
Bara tertawa pelan dan menyenderkan tubuh di pintu. “Kapan-kapan kau harus pakai celemek itu saja tanpa baju. Biar pekerjaanmu lebih… menyenangkan dilihat.”
Rika yang mendengar itu malah tertawa, seolah godaan tak senonoh itu adalah candaan biasa. Adriella ingin muntah. Namun ia menahan semuanya, seperti biasa.
“Berangkat lebih awal,” katanya singkat, lalu melangkah keluar sambil membawa tas kerjanya. Bekerja sebagai akuntan di pabrik milik Bastian memang bukan pilihan, tapi itu satu-satunya jalan agar ia bisa tetap bisa mendapatkan uang untuk Alessia, adiknya yang kini semakin lemah karena penyakit kronisnya.
Di luar, angin pagi menyambutnya, segar namun terasa kontras dengan kekangan yang selalu ia rasakan di rumah. Jalanan perumahan mewah itu masih sepi. Ia berjalan kaki menuju halte, menghindari mobil-mobil mewah yang diparkir di garasi rumah-rumah tetangga. Ia memang tinggal di lingkungan elite, tapi dirinya tak lebih dari pelayan di rumah sendiri.
Sambil menunggu bus, Adriella membuka dompet kecilnya. Uang pas-pasan, tabungan hampir tak tersisa, dan Alessia butuh operasi. Butuh uang. Butuh harapan.
Ia menatap langit. Matanya sembab tapi masih bisa menatap tegar.
‘Bertahan, Adriella. Kamu harus bertahan.’
🍁🍁🍁
Setibanya di kantor, Adriella langsung membenamkan dirinya dalam tumpukan laporan keuangan. Di sinilah ia merasa sedikit lebih bebas, meski tetap diawasi dan diawasi oleh atasannya yang merupakan kaki tangan ayah tirinya sendiri. Tidak ada tempat benar-benar aman untuknya, bahkan di tempat kerja.
“Adriella,” suara tegas itu menghentikannya.
Ia menoleh. Pak Doni, manajer keuangan, berdiri dengan berkas di tangan.
“Ini laporan bulanan pabrik cabang. Kerjakan hari ini juga.”
“Baik, Pak.”
“Dan ingat, jangan membuat kesalahan. Pak Bastian ingin semua rapi sebelum rapat direksi besok.”
Adriella mengangguk. Ia menunduk lagi, menahan napas. Sejak bekerja di perusahaan ini, ia tahu bahwa dirinya hanya dipakai. Ia tahu tak akan pernah bisa naik jabatan, tak akan pernah dianggap berharga. Tapi demi Alessia, ia menelan semuanya.
Sore menjelang saat Adriella kembali ke rumah. Punggungnya pegal, matanya lelah. Tapi belum sempat ia membuka sepatu, suara Meisya kembali menggema.
“Cepat ke dapur! Lantai belum dipel! Kamar Bara juga belum dirapikan!”
Dan seperti robot, Adriella bergerak kembali. Menyapu, mengepel, mencuci piring. Saat akhirnya ia naik ke kamar Bara untuk membersihkan, pria itu sudah menunggu di pintu, hanya memakai kaus tipis dan celana pendek.
“Kau datang juga,” katanya sambil menyeringai. “Mau bantu aku mandi sekalian?”
Adriella mengatupkan rahangnya. “Permisi,” katanya dingin, mencoba melangkah masuk tanpa melihat pria itu.
Namun Bara menghalangi jalannya. Tangannya sempat menyentuh lengan Adriella.
“Kalau kau mau sedikit bersikap manis, hidupmu di rumah ini bisa lebih mudah,” bisiknya.
Adriella menepisnya dengan cepat. “Jangan sentuh aku, Bara.”
Ia berhasil masuk dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Dadanya bergemuruh, tapi wajahnya tetap dingin. Ia sudah terlalu sering menghadapi Bara dan semua kata-katanya yang menjijikkan. Ia ingin keluar dari rumah ini. Ia ingin kebebasan.
Malam itu, Adriella duduk di sisi ranjang Alessia, mengusap kening adiknya yang tampak pucat.
“Bagaimana kabarmu hari ini?”
Alessia tersenyum lemah. “Sedikit pusing... tapi lebih baik dari kemarin.”
“Bertahan ya. Kakak janji... operasi itu pasti akan terjadi. Kakak akan cari cara.”
Adriella menggenggam tangan adiknya. Di dalam rumah yang penuh kebencian, hanya Alessia yang jadi alasannya tetap bertahan. Ia memeluknya, menyembunyikan air mata.
Di rumah tanpa cinta ini, Adriella berusaha keras menjaga hatinya tetap hidup.
🍁🍁🍁
Langit senja mulai merona kemerahan ketika Adriella baru saja turun dari angkot, masih mengenakan seragam kantor yang sudah lecek karena seharian bekerja. Sepatu hak rendahnya menapak pelan menuju gerbang rumah mewah yang justru membuat hatinya terasa hampa setiap kali melangkah masuk. Tangannya membawa kantong plastik berisi obat dan bubur instan untuk Alessia, adik satu-satunya yang menjadi satu-satunya alasan ia bertahan sejauh ini.
“Alessia,” gumamnya lirih sambil membuka pagar.
Namun sebelum sempat memanggil lebih jauh, suara panik menyambutnya dari arah dalam rumah.
“Nona! Nona Alessia kenapa?” suara Bi Nani yang sudah sembuh dan kembali bekerja di rumah itu, terdengar serak.
Adriella langsung berlari, jantungnya berdegup kencang.
Tubuh kecil Alessia terkulai lemas di atas sofa ruang tengah. Wajahnya pucat pasi, nafasnya tersengal tak beraturan. Keringat dingin membasahi dahinya. Adriella menjatuhkan kantong plastik dari tangannya dan segera merangkul tubuh adiknya.
“Alessia! Dengar suara kakak, ya? Jangan tidur!” serunya panik.
Bi Nani mengangguk cepat. “Saya sudah panggilkan taksi online, Nona. Sebentar lagi sampai.”
Waktu terasa melambat saat Adriella mengangkat tubuh adiknya ke pelukannya. Berat Alessia kini bahkan terasa lebih ringan dari biasanya, tanda bahwa penyakitnya sudah menggerogoti tubuh rapuh itu lebih cepat dari yang diperkirakan.
“Ayo, kuat sedikit, Le. Kita ke rumah sakit ya. Kakak di sini, ya….”
Taksi yang mereka tumpangi membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Lampu kota menjadi kilau-kilau samar yang tak mampu mengalihkan perhatian Adriella dari wajah adiknya.
“Berapa kali Alessia muntah?” tanyanya sambil memeluk Alessia erat.
Bi Nani menjawab, “Tiga kali, dan dia mengeluh sesak dada. Saya sempat kasih air hangat tapi makin lemas.”
Adriella menggigit bibirnya, menahan air mata. Ketakutan mulai menjalar ke seluruh pikirannya. Ia tahu persis apa arti gejala itu, penyakit Alessia sudah memasuki fase kritis.
Setibanya di rumah sakit, tim medis langsung membawa Alessia ke ruang UGD. Adriella hanya bisa mengikuti dari belakang dengan langkah gontai. Tangannya gemetar saat menyerahkan kartu identitas Alessia dan menjawab pertanyaan petugas administrasi.
“Pasien butuh opname dan serangkaian tes. Kami akan lakukan yang terbaik,” ujar dokter jaga dengan serius setelah memeriksa singkat.
Beberapa jam berlalu. Adriella duduk di bangku tunggu yang dingin, memeluk dirinya sendiri sambil menatap layar ponsel yang kosong dari kabar baik. Ia memikirkan berbagai hal, tentang biaya pengobatan, tentang warisan yang tak bisa ia sentuh sebelum menikah, dan tentang Bara yang sempat menjanjikan 'bantuan' dengan syarat yang menjijikkan.
“Tidak… Aku tidak akan menjual harga diriku,” bisiknya pelan.
Tapi suara lain di kepalanya berbisik, kalau bukan sekarang, kapan bisa selamatkan Alessia?
Air matanya menetes diam-diam. Dunia seakan terlalu kejam. Di rumah, ia bukan siapa-siapa. Di kantor, hanya seorang akuntan biasa dengan gaji pas-pasan. Dan sekarang, bahkan untuk menyelamatkan satu-satunya orang yang paling ia cintai, ia tak punya kekuatan.
“Dik… tunggu sebentar lagi ya, kakak pasti cari cara,” gumamnya.
🍁🍁🍁
Pagi di rumah sakit masih terasa dingin. Matahari belum tinggi saat Adriella duduk sendiri di lorong bangsal kelas dua, dengan mata sembab dan wajah pucat. Di balik pintu kamar rawat, Alessia masih terbaring lemah dengan infus yang menempel di tangannya. Gadis itu belum sadarkan diri sejak malam tadi.
“Tekanan darahnya turun drastis. Kondisinya harus diawasi ketat,” begitu kata dokter yang menanganinya.
Adriella mengusap wajah, menahan tangis yang terus mendorong keluar. Ia membuka dompet kecilnya, menghitung lembaran uang terakhir. Tak sampai satu juta. Tabungan di rekening pun hampir habis, tergerus biaya perawatan awal dan obat-obatan.
Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan map biru yang sudah usang dari tasnya, dokumen warisan ibunya.
Surat wasiat itu sudah lama ia simpan, tapi tak pernah benar-benar diperhatikan. Hingga sekarang. Hingga situasi memaksanya mencari pertolongan dari apa pun yang mungkin bisa menyelamatkan Alessia.
Tangannya gemetar saat membaca kembali baris-baris tegas itu:
“Seluruh aset, termasuk rekening deposito dan properti atas nama Adriella Sanari dan Alessia Serena, hanya dapat dicairkan apabila Adriella telah menikah secara sah secara hukum. Hingga saat itu, aset akan dibekukan dan dikelola oleh kantor hukum Aris & Rekan.”
Adriella menutup map itu perlahan, matanya menatap kosong ke depan.
Menikah?
Di saat seperti ini?
Bagaimana mungkin?
🍁🍁🍁
Setibanya di rumah sore itu, Adriella langsung disambut suara tinggi penuh cemooh dari Tante Rika.
“Bagaimana? Udah abis semua uangnya, ya? Kapan kamu bisa mandiri sih, Rel? Jangan nyeret-nyeret kami kalau kamu kere!”
Adriella menahan napas, mencoba tetap tenang. “Saya hanya ambil baju ganti dan obat Alessia yang di rumah.”
Bara, yang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya, tertawa ringan. “Kalau kepepet banget, kamu tahu aku selalu bisa bantu, kan?”
“Tidak, terima kasih,” jawab Adriella cepat, matanya tak menatap pria itu.
Bara berdiri dan mendekat, senyumnya sinis. “Rel, kamu nggak usah sok kuat. Aku cuma minta satu hal kecil, temenin aku semalam aja. Gampang. Kamu dapat uang, adikmu selamat. Semua senang, kan?”
Adriella menggertakkan gigi. “Kamu keterlaluan.”
Tante Rika hanya memandang dengan sinis, tak ada sedikit pun niat membela. “Kalau kamu masih punya harga diri, pergilah dari sini sebelum kamu bikin rumah ini tambah malu.”
Adriella membeku. Diperlakukan seperti sampah di rumah tempat ia dibesarkan. Dianggap aib oleh wanita yang menikah dengan ayah tirinya setelah ibunya meninggal. Siapa yang bisa tahan?
Dengan tangan gemetar, Adriella berjalan naik ke kamar, mengambil tas dan beberapa lembar pakaian. Di dalam laci meja, ia temukan satu amplop, kartu nama pengacara keluarga ibunya.
“Kalau aku... menikah secara sah... semua ini bisa selesai,” gumamnya sendiri, suara hampir tak terdengar.
Tapi menikah bukan perkara sepele. Ia tak punya pasangan. Tak punya pacar. Tak punya siapa-siapa.
Tiba-tiba, suara lirih Alessia di rumah sakit semalam terngiang di telinganya.
“Kak... jangan tinggalin aku... sakit banget....”
Air mata mengalir di pipinya.
Adriella tahu, ia harus membuat pilihan. Segera.
🍁🍁🍁
Tiga hari setelah Alessia dilarikan ke rumah sakit, Adriella diberitahu tentang kondisi Allesia yang memburuk. Dokter menyarankan rawat inap jangka panjang dan terapi rutin yang biayanya jelas tak sedikit. Adriella mulai kehabisan waktu. Setiap hari, detik-detik berlalu seperti pisau yang menusuk pelan-pelan ke dalam dada.
Ketika ia pulang untuk mengambil dokumen tambahan dari rumah, ia dikejutkan oleh suasana aneh di ruang tamu.
Seorang pria paruh baya dengan perut buncit dan rambut setengah botak duduk dengan santai di sofa keluarga. Pakaiannya mewah, parfum menyengat. Di sampingnya, Tante Rika tampak tersenyum manis, begitu pula Pak Bastian, ayah tirinya yang biasanya nyaris tak pernah bicara padanya.
“Adri, sini duduk,” kata Pak Bastian tanpa basa-basi.
Adriella mendekat dengan hati tak tenang. Matanya sempat bertemu dengan mata lelaki asing itu. Sorotnya membuat tengkuknya dingin.
“Kenalkan. Ini Pak Darsa,” ujar Tante Rika manis. “Beliau pemilik pabrik konveksi besar. Baik, mapan, dan tertarik padamu.”
Jantung Adriella mencelos.
“Apa maksudnya?” tanyanya pelan, tak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar.
Pak Bastian menatapnya tajam. “Kamu butuh uang. Kami tahu itu. Alessia makin parah, rumah sakit makin mahal. Dan kami sudah terlalu banyak mengalah.”
“Pak Darsa bersedia bantu bayar semua biaya rumah sakit Alessia,” potong Tante Rika, suaranya terdengar bangga. “Dengan satu syarat: kamu menikah dengannya.”
Adriella tak bisa berkata-kata. Nafasnya sesak. Ia menatap lelaki tua itu yang kini tersenyum lebar, seperti predator yang baru saja menemukan mangsanya.
“Aku bisa memberimu semua yang kamu butuhkan, Sayang,” ucap Pak Darsa, suaranya berat dan jijik. “Kamu akan hidup nyaman. Adikmu juga.”
“TIDAK!” Adriella berdiri, suaranya meninggi. “Aku bukan barang dagangan!”
Pak Bastian menepuk meja keras. “Jangan keras kepala! Kamu pikir hidup ini bisa kamu atur seenaknya? Kamu kerja cuma buruh toko, bawa pulang gaji kecil. Sekarang kamu punya kesempatan menyelamatkan adikmu, dan kamu malah nolak?”
Tante Rika ikut berdiri. “Ini jalan keluar terbaikmu! Jangan jadi anak durhaka!”
Adriella memandang mereka satu per satu. Tak ada cinta. Tak ada belas kasih. Hanya mata-mata dingin yang menilai dirinya dari harga yang bisa dijual.
“Aku akan cari jalan sendiri,” ucapnya tegas, sebelum melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
🍁🍁🍁
Malam itu, Adriella duduk di ruang tunggu rumah sakit sambil memegang tangan Alessia yang lemah. Kepalanya penuh dengan tekanan, pilihan, dan rasa sakit.
Di meja kecil di sampingnya, kartu nama kantor hukum yang menangani warisan ibunya tergeletak.
“Hanya bisa dicairkan jika menikah secara sah.”
Pernikahan... bukan dengan orang tua itu. Tapi, mungkinkah dengan seseorang yang bersedia berpura-pura?
Adriella memandang jendela rumah sakit yang buram.
Jika ini satu-satunya cara menyelamatkan Alessia, mungkin dia harus mulai mencari orang yang bisa membantunya dalam pernikahan pura-pura. Bahkan jika itu berarti mempertaruhkan dirinya sendiri.
Hujan ringan turun sore itu. Langit kelabu seperti menggambarkan suasana hati Adriella yang semakin terpuruk. Dia berdiri di bawah atap kecil pos penjaga keamanan di pintu rumah sakit, menunggu kendaraan umum sambil memeluk tas selempangnya erat-erat.
Tangannya sedikit gemetar saat ia membuka ponsel dan menekan nomor seseorang. Setelah beberapa nada sambung, suara ceria seorang perempuan menjawab dari seberang.
“Halo, Adri?”
“Bianca…” Suara Adriella terdengar pelan. “Aku butuh bantuan.”
“Bantuan seperti apa?” Sahabatnya itu langsung serius.
Adriella menelan ludah, menatap air hujan yang membasahi trotoar. “Aku harus menikah untuk dapat warisan Mama. Papa tiriku mau menjualku ke pria tua hanya demi kerja sama perusahaan. Aku… aku nggak mau. Alessia butuh biaya pengobatan dan warisan itu satu-satunya cara.”
“Ya Tuhan… Adriella,” Bianca terdiam sesaat. “Lalu kau mau gimana?”
“Aku pikir… mungkin aku bisa pura-pura menikah. Kau kenal seseorang? Seseorang yang bisa kupercaya untuk akting selama beberapa bulan saja?”
Bianca tampak syok di seberang. “Kau yakin? Itu gila, Adri!”
“Semua ini demi Alessia. Aku nggak peduli, asal dia bisa sembuh.”
Tanpa Adriella sadari, tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang pria dengan jaket lusuh dan sepatu kotor berdiri di bawah pohon rindang, berteduh dari hujan. Ia mengenakan helm proyek yang kini disampirkan di bawah lengannya. Pria itu—Zehan—sedang menatap ke arahnya dengan wajah penuh ketertarikan.
Bukan karena suara atau paras Adriella yang mencuri perhatiannya, tapi karena isi pembicaraannya barusan. Pura-pura menikah demi menyelamatkan adiknya yang sakit? Zehan menarik napas. Dunia ini memang penuh kejutan. Dan dia, yang sedang melarikan diri dari tekanan keluarganya yang ingin menjodohkannya, tak sengaja mendengar tawaran yang entah kenapa menggugah hatinya.
Hujan telah berhenti. Adriella menutup telepon, menghela napas, lalu berjalan ke arah halte bus. Zehan memperhatikan langkahnya yang ragu. Matanya mengikuti setiap gerakan perempuan itu hingga akhirnya dia memutuskan melangkah mendekat.
Saat Adriella berhenti di halte, menunggu bus yang tak kunjung datang, Zehan menyusulnya dan berdiri beberapa langkah di samping.
“Permisi,” suaranya dalam namun lembut.
Adriella sedikit terkejut dan menoleh. Matanya bertemu dengan tatapan pria asing yang tampak kelelahan tapi ramah. Ia menyipitkan mata, mencoba mengenali wajahnya. “Ya?”
“Saya tidka mau terdengar lancang,” kata Zehan dengan tenang. “Tapi Saya dengar pembicaraanmu di telepon tadi.”
Wajah Adriella langsung memerah. “Kamu menguping?”
“Tidak sengaja,” jawab Zehan cepat. “Kamu bicara cukup keras. Dan saya berdiri tak jauh.”
Adriella memalingkan wajah, malu dan kesal. “Maaf, tapi itu urusan pribadi. Saya tidak butuh komentar dari orang asing.”
“Saya bukan mau mengomentari.” Zehan tersenyum kecil. “Saya hanya… tertarik dengan tawaranmu.”
Adriella mengernyit. “Tawaran?”
“Pura-pura jadi suamimu.”
Detik itu juga Adriella mundur selangkah. “Apa?”
“Saya tahu kedengarannya gila, tapi dengarkan saya dulu.” Zehan mengangkat tangan, menenangkan. “Saya juga sedang di desak untuk menikah. Saya tidak punya alasan kuat untuk menolak pernikahan palsu. Saya justru berpikir, ini bisa menguntungkan kita berdua.”
Adriella menatapnya penuh curiga. “Anda siapa sebenarnya?”
“Zehan. Hanya pekerja bangunan biasa,” jawabnya singkat. “Tapi saya cukup waras untuk tidak menyakiti perempuan, apalagi yang sedang berjuang untuk adiknya.”
Adriella menatap matanya, mencoba menilai apakah pria ini benar-benar bisa dipercaya. Entah mengapa, ada sesuatu dalam cara pria itu bicara yang membuatnya tak langsung ingin pergi. Ada ketulusan di sana.
“Saya butuh waktu,” ucap Adriella akhirnya.
“Tentu.” Zehan mengangguk. “Kamu bisa berpikir dulu. Tapi, kalau kau butuh seseorang yang bersedia berpura-pura jadi suamimu, saya ada di sini. Gratis. Dan saya bisa akting dengan baik.”
Adriella tertawa kecil, getir. “Gratis? Kamu yakin?”
“Yakin. Tapi… mungkin kau bisa bantu aku juga suatu hari nanti.” Senyumnya melebar, kali ini diselingi candaan. “Jadi kita impas.”
Bus datang dan Adriella segera naik, masih menoleh ke arah Zehan yang kini berjalan menjauh. Hatinya campur aduk. Pria itu muncul seperti bayangan tak terduga di tengah hujan, di tengah keterpurukannya membawa tawaran yang baru saja dia bicarakan dengan Bianca.
Takdir memang tak bisa ditebak. Tapi sore itu, di bawah langit kelabu dan aroma tanah basah, hidup Adriella baru saja berubah arah.
🍁🍁🍁
Tiga hari telah berlalu sejak pertemuan aneh itu di halte bus. Adriella masih belum memberi jawaban kepada Zehan. Ia telah mencoba menghubungi beberapa kenalan Bianca, namun semua jawaban sama: tak ada yang cukup gila untuk berpura-pura menikah dengan orang asing apalagi tanpa imbalan besar.
Di sisi lain, ayah tirinya semakin gencar mendesaknya. Surat perjanjian perjodohan telah disiapkan, dan lelaki tua bernama Darsa itu bahkan sempat mengirimkan hadiah mahal ke rumah sebagai "tanda cinta". Adriella mual setiap kali melihat wajah tua pria itu terlampir di undangan resepsi palsu yang dicetak sepihak oleh ayah tirinya.
Dan hari ini, adalah titik akhir dari segala kesabarannya.
“Kalau kau tidak menandatangani surat ini sampai besok, jangan harap bisa melihat adikmu di rumah sakit lagi!” bentak sang ayah tiri pagi itu, sebelum membanting pintu dan pergi ke kantor.
Adriella terdiam. Tangannya gemetar memegang surat yang mulai kusut. Napasnya tercekat, pikirannya kusut. Ia tidak bisa, ia tidak akan membiarkan Alessia jadi tumbal.
Sore itu, setelah memastikan Alessia tertidur di ruang rawat, Adriella keluar dari rumah sakit dan berjalan menuju halte yang sama. Entah kenapa, hatinya berharap pria itu, Zehan, masih sering lewat sana.
Dan tak lama, doa diam-diamnya terjawab.
Zehan datang. Dengan jaket sama, dan ransel penuh debu proyek. Dia baru saja pulang kerja, tampak lelah tapi tetap tegak.
“Kau datang lagi,” ucapnya sambil berdiri di samping Adriella.
“Saya tidak tahu harus menghubungimu di mana,” jawab Adriella tanpa menoleh.
Zehan tersenyum. “Saya juga berharap kamu datang lagi. Dan sekarang…?”
“Saya setuju,” kata Adriella cepat. “Kita menikah. Palsu. Hanya beberapa bulan. Setelah itu kamu bisa bebas.”
Zehan menatapnya lama, seolah memastikan perempuan itu tidak sedang bercanda. “Kamu yakin?”
“Lebih dari yakin.”
Dia mengangguk pelan. “Baik. Tapi kita butuh rencana. Bagaimana menjelaskan ini pada keluargamu? Kapan kita ‘menikah’? Dan....”
“Besok,” potong Adriella. “Besok pagi, saya akan ke kantor catatan sipil. Saya sudah siapkan berkasnya. Kita bisa menikah secara hukum, lalu buat perjanjian di atas kertas: hanya beberapa bulan, lalu cerai.”
Zehan mengangkat alis. “Cepat juga kamu bertindak.”
“Saya tidak punya banyak waktu, Zehan.”
Dia mengangguk mengerti. “Baiklah. Kalau begitu, saya akan datang. Tapi saya juga ingin kita membuat batasan. Kita mungkin akan tinggal bersama untuk meyakinkan mereka, tapi saya tidak akan pernah menyentuhmu tanpa izinmu.”
Adriella mengangguk. “Terima kasih.”
Sore itu, dua orang asing menyusun rencana gila. Satu demi adik yang sakit, satu demi kebebasan dari tekanan keluarga kaya. Mereka tidak tahu apa yang akan menanti ke depan. Tapi untuk sekarang, keduanya sama-sama butuh satu hal: pelarian.
Dan esok hari, dunia akan melihat sepasang suami istri baru. Bukan karena cinta, tapi karena kesepakatan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!