Pagi datang dengan pelan, menyusup lewat celah jendela kecil di kamar sempit Adriella. Cahaya keemasan menyinari debu yang melayang tenang di udara. Adriella sudah duduk di tepi ranjang saat Zehan membuka mata.
"Aku harus ke notaris pagi ini," gumam Adriella sambil merapikan rambutnya di depan cermin kecil yang retaknya sudah bertahun-tahun.
Zehan mengangguk. “Kita berangkat bareng, ya.”
Adriella hanya menjawab dengan senyum tipis. Ia tak terbiasa dengan kehadiran seseorang yang bersikap lembut padanya sejak ibunya tiada. Namun pagi ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang tumbuh diam-diam di balik rasa was-was, sesuatu bernama harapan.
Kantor notaris berada di pusat kota, gedung tua yang dikelilingi gedung-gedung baru menjulang. Begitu mereka memasuki ruangan, notaris yang sudah menanti langsung berdiri menyambut.
“Selamat pagi, Nona Adriella dan ini suami Anda?” tanyanya sambil menatap Zehan.
“Iya, ini suami saya, namanya Zehan,” jawab Adriella mantap.
Zehan menjabat tangan notaris itu dengan tenang, menyembunyikan gugup yang sempat menyelinap.
“Dokumen pernikahan sudah saya terima. Dengan ini, sesuai surat wasiat almarhumah ibu Anda, warisan akan segera dicairkan ke rekening atas nama Anda dalam waktu tiga hari kerja.”
Adriella menahan napas. Setelah sekian lama disandera oleh harapan dan ketidakpastian, akhirnya jalan itu terbuka. Uang itu bukan untuknya. Ia tidak peduli tentang kekayaan. Tapi ia peduli pada satu hal, kesembuhan adiknya.
🍁🍁🍁
Di perjalanan pulang, Zehan melirik ke arah Adriella yang menatap ke luar jendela angkutan umum.
“Kamu senang?”
Adriella tersenyum samar. “Senang, tapi juga takut.”
“Takut?”
“Saya takut semuanya cuma sebentar. Saya takut tidak bisa menyelamatkan Alessia walaupun saya udah sejauh ini.”
Zehan menggenggam tangan Adriella, hangat dan mantap.
“Kamu sudah sejauh ini. Saya yakin kamu tidak akan berhenti sampai Alessia benar-benar sembuh. Dan saya ada di sini. Tidak kemana-mana. Jika kamu butuh bantuan, katakan saja pada saya.”
Air mata menggenang di pelupuk mata Adriella, tapi ia cepat-cepat menyekanya. Bukan karena malu. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tidak menanggung semuanya sendirian.
🍁
Siang harinya, Adriella duduk di sisi ranjang rumah sakit Alessia. Gadis itu masih terbaring lemah, infus menancap di lengannya, napasnya pelan.
“Alessia, tunggu ya… Kakak udah hampir bisa bawa kamu untuk berobat yang lebih baik. Sedikit lagi.”
Zehan berdiri di pintu kamar, memperhatikan dari kejauhan. Ia tidak ingin mengganggu, hanya ingin memastikan bahwa Adriella tidak kehilangan harapan di tengah perjuangannya.
Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya dalam hati, bagaimana jika pernikahan palsu ini bukan hanya tentang menyelamatkan Alessia? Bagaimana jika, tanpa sadar, ia juga sedang diselamatkan?
🍁🍁🍁
Langit senja menyambut kepulangan Adriella dan Zehan. Bayangan rumah besar bercat putih itu mulai tampak dari balik gerbang tinggi, namun bukannya merasa tenang, dada Adriella justru bergemuruh. Ada sesuatu yang membuat langkahnya terasa berat. Zehan menatapnya dari samping, seolah bisa membaca gelisah yang merayap dalam diam.
Begitu kaki mereka menjejak lantai marmer teras, suara bentakan menyambut mereka.
“ADRIELLA!”
Teriakan itu datang dari ruang tengah. Bastian berdiri dengan mata merah dan tangan menggenggam koran, wajahnya memerah menahan emosi. Di sampingnya berdiri Rika, menyilangkan tangan di dada, dengan pandangan penuh kebencian yang tak ia sembunyikan.
Adriella menahan napas. Zehan secara refleks melangkah setengah langkah ke depan, seolah ingin melindunginya.
“Berani-beraninya kau mencairkan warisan itu tanpa seizin kami!” seru Bastian, membanting koran ke atas meja. “Kau pikir kami bodoh?! Aku sudah tahu semuanya dari pengacara!”
Adriella menggigit bibirnya, tapi tetap berusaha bicara tenang, “Warisan itu ditujukan langsung atas nama Ibu dan turun padaku. Tidak ada yang bisa Anda ambil, Pak.”
“Benar, uangnya sudah kuhabiskan untuk rumah sakit,” lanjutnya. “Untuk Alessia.”
“Saya tidak peduli dengan adikmu itu!” Bastian membentak. “Sekarang hanya rumah ini yang bisa kuhitung sebagai aset, dan kau, kau harus menyerahkan hak rumah ini padaku! Itu perintah!”
“Tidak!” Adriella berseru. “Saya tidak akan menyerahkan rumah peninggalan ibu saya. Kalian tidak punya hak!”
Rika menghentakkan kaki, “Apa kau pikir hidupmu akan nyaman di rumah ini setelah semua ini?”
Zehan akhirnya bicara, suaranya tenang tapi tegas. “Saya tahu ini bukan posisi saya. Tapi Adriella punya hak atas rumah ini. Dan kalau kalian mau memperumit hidupnya, kalian harus berurusan juga dengan saya.”
Bara maju satu langkah, menantang. “Kau pikir kau siapa? Mau main jadi pahlawan? Dasar sok jagoan!”
Zehan menatap Bara tanpa gentar. “Saya tidak cari masalah dan saya tidak ingin menjadi pahlawan. Tapi saya tidak akan tinggal diam kalau istri saya disakiti.”
Keheningan mencekam. Ketegangan menggantung di udara seperti kabel listrik terbuka.
Akhirnya, Adriella menarik tangan Zehan. “Sudah, kita ke kamar.”
🍁🍁🍁
Pagi itu terasa berat bagi Adriella. Setiap detik yang berlalu seakan dipenuhi kecemasan yang tak kunjung mereda. Ia duduk di samping tempat tidur Alessia, yang terbaring lemah setelah malam yang panjang. Di luar, udara dingin pagi menggigit kulit, namun perasaan di hatinya jauh lebih beku.
Alessia, adiknya yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya, kini berada di ambang batas antara hidup dan mati. Penyakit kronis yang diderita Alessia semakin parah, dan setelah berminggu-minggu menunggu, akhirnya mereka mendapat kabar bahwa operasi yang sangat ditunggu-tunggu bisa dilakukan. Namun biaya untuk operasi itu luar biasa besar, lebih besar dari yang bisa Adriella bayangkan.
Saat itu, ia menatap dengan tajam surat persetujuan operasi yang tergeletak di atas meja. Ada satu-satunya alasan ia bisa mendapat dana tersebut: warisan dari ibunya yang telah cair, meskipun sebagian besar sudah ia serahkan untuk pengobatan Alessia.
Namun masalah belum berakhir. Bastian, Rika, dan Bara terus menerus menuntut bagian mereka. Bastian bahkan tak segan-segan menekan Adriella untuk segera mengalihkan hak atas rumah mereka. Mereka menginginkan lebih banyak, sementara Adriella harus berjuang sendiri dengan sisa uang yang ada, yang hampir semuanya terpakai untuk biaya rumah sakit dan perawatan Alessia.
“Adriella, kamu pasti capek,” suara Zehan terdengar lembut, menarik Adriella dari lamunan. Ia berdiri di pintu kamar, tatapannya penuh dengan kekhawatiran.
Adriella menoleh, mata yang lelah dipenuhi rasa cemas. “Saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Uang yang ada tidak cukup untuk menutupi semua biaya rumah sakit. Mereka, mereka tidak akan berhenti menekan saya. Dan saya masih harus memastikan Alessia bisa menjalani operasi ini.”
Zehan berjalan mendekat dan duduk di sampingnya, mengambil tangan Adriella yang terulur lemah. “Kamu sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi ingat, kamu tidak sendiri. Kita akan jalani ini bersama.”
Tapi kata-kata Zehan tak membuatnya lebih tenang. Adriella tahu, perasaan gelisah ini takkan hilang sebelum Alessia menjalani operasi itu dan keadaan kembali normal. Ia takut kehilangan harapan.
Saat itu, dokter masuk ke ruangan, tersenyum kecil meskipun wajahnya serius. “Bu Adriella, kami sudah mempersiapkan semua yang dibutuhkan untuk operasi Alessia. Tapi kami butuh konfirmasi dari Anda tentang waktu pelaksanaannya. Ini saat yang paling tepat.”
Adriella mengangguk, perasaan campur aduk. “Tentu. Segera lakukan. Tolong bantu adikku, Dok.”
Setelah dokter keluar, suasana kembali sepi. Zehan melihat Adriella dengan penuh perhatian. “Kita harus bersiap. Tidak ada yang tahu bagaimana hasilnya nanti, tapi saya yakin kamu sudah berbuat yang terbaik untuk Alessia.”
“Tapi itu tidak cukup, Zehan,” jawab Adriella, suaranya hampir pecah. “Semua yang ku lakukan tidak akan berarti apa-apa kalau operasi ini gagal.”
Zehan mengeratkan pelukannya. “Kamu harus berpikir positif, Adriella. Doakan yang terbaik untuk Alessia. Keluarga kita akan tetap berdiri, dan kita akan berjuang bersama, tidak peduli apa yang terjadi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments