Taksi yang mereka tumpangi membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Lampu kota menjadi kilau-kilau samar yang tak mampu mengalihkan perhatian Adriella dari wajah adiknya.
“Berapa kali Alessia muntah?” tanyanya sambil memeluk Alessia erat.
Bi Nani menjawab, “Tiga kali, dan dia mengeluh sesak dada. Saya sempat kasih air hangat tapi makin lemas.”
Adriella menggigit bibirnya, menahan air mata. Ketakutan mulai menjalar ke seluruh pikirannya. Ia tahu persis apa arti gejala itu, penyakit Alessia sudah memasuki fase kritis.
Setibanya di rumah sakit, tim medis langsung membawa Alessia ke ruang UGD. Adriella hanya bisa mengikuti dari belakang dengan langkah gontai. Tangannya gemetar saat menyerahkan kartu identitas Alessia dan menjawab pertanyaan petugas administrasi.
“Pasien butuh opname dan serangkaian tes. Kami akan lakukan yang terbaik,” ujar dokter jaga dengan serius setelah memeriksa singkat.
Beberapa jam berlalu. Adriella duduk di bangku tunggu yang dingin, memeluk dirinya sendiri sambil menatap layar ponsel yang kosong dari kabar baik. Ia memikirkan berbagai hal, tentang biaya pengobatan, tentang warisan yang tak bisa ia sentuh sebelum menikah, dan tentang Bara yang sempat menjanjikan 'bantuan' dengan syarat yang menjijikkan.
“Tidak… Aku tidak akan menjual harga diriku,” bisiknya pelan.
Tapi suara lain di kepalanya berbisik, kalau bukan sekarang, kapan bisa selamatkan Alessia?
Air matanya menetes diam-diam. Dunia seakan terlalu kejam. Di rumah, ia bukan siapa-siapa. Di kantor, hanya seorang akuntan biasa dengan gaji pas-pasan. Dan sekarang, bahkan untuk menyelamatkan satu-satunya orang yang paling ia cintai, ia tak punya kekuatan.
“Dik… tunggu sebentar lagi ya, kakak pasti cari cara,” gumamnya.
🍁🍁🍁
Pagi di rumah sakit masih terasa dingin. Matahari belum tinggi saat Adriella duduk sendiri di lorong bangsal kelas dua, dengan mata sembab dan wajah pucat. Di balik pintu kamar rawat, Alessia masih terbaring lemah dengan infus yang menempel di tangannya. Gadis itu belum sadarkan diri sejak malam tadi.
“Tekanan darahnya turun drastis. Kondisinya harus diawasi ketat,” begitu kata dokter yang menanganinya.
Adriella mengusap wajah, menahan tangis yang terus mendorong keluar. Ia membuka dompet kecilnya, menghitung lembaran uang terakhir. Tak sampai satu juta. Tabungan di rekening pun hampir habis, tergerus biaya perawatan awal dan obat-obatan.
Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan map biru yang sudah usang dari tasnya, dokumen warisan ibunya.
Surat wasiat itu sudah lama ia simpan, tapi tak pernah benar-benar diperhatikan. Hingga sekarang. Hingga situasi memaksanya mencari pertolongan dari apa pun yang mungkin bisa menyelamatkan Alessia.
Tangannya gemetar saat membaca kembali baris-baris tegas itu:
“Seluruh aset, termasuk rekening deposito dan properti atas nama Adriella Sanari dan Alessia Serena, hanya dapat dicairkan apabila Adriella telah menikah secara sah secara hukum. Hingga saat itu, aset akan dibekukan dan dikelola oleh kantor hukum Aris & Rekan.”
Adriella menutup map itu perlahan, matanya menatap kosong ke depan.
Menikah?
Di saat seperti ini?
Bagaimana mungkin?
🍁🍁🍁
Setibanya di rumah sore itu, Adriella langsung disambut suara tinggi penuh cemooh dari Tante Rika.
“Bagaimana? Udah abis semua uangnya, ya? Kapan kamu bisa mandiri sih, Rel? Jangan nyeret-nyeret kami kalau kamu kere!”
Adriella menahan napas, mencoba tetap tenang. “Saya hanya ambil baju ganti dan obat Alessia yang di rumah.”
Bara, yang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya, tertawa ringan. “Kalau kepepet banget, kamu tahu aku selalu bisa bantu, kan?”
“Tidak, terima kasih,” jawab Adriella cepat, matanya tak menatap pria itu.
Bara berdiri dan mendekat, senyumnya sinis. “Rel, kamu nggak usah sok kuat. Aku cuma minta satu hal kecil, temenin aku semalam aja. Gampang. Kamu dapat uang, adikmu selamat. Semua senang, kan?”
Adriella menggertakkan gigi. “Kamu keterlaluan.”
Tante Rika hanya memandang dengan sinis, tak ada sedikit pun niat membela. “Kalau kamu masih punya harga diri, pergilah dari sini sebelum kamu bikin rumah ini tambah malu.”
Adriella membeku. Diperlakukan seperti sampah di rumah tempat ia dibesarkan. Dianggap aib oleh wanita yang menikah dengan ayah tirinya setelah ibunya meninggal. Siapa yang bisa tahan?
Dengan tangan gemetar, Adriella berjalan naik ke kamar, mengambil tas dan beberapa lembar pakaian. Di dalam laci meja, ia temukan satu amplop, kartu nama pengacara keluarga ibunya.
“Kalau aku... menikah secara sah... semua ini bisa selesai,” gumamnya sendiri, suara hampir tak terdengar.
Tapi menikah bukan perkara sepele. Ia tak punya pasangan. Tak punya pacar. Tak punya siapa-siapa.
Tiba-tiba, suara lirih Alessia di rumah sakit semalam terngiang di telinganya.
“Kak... jangan tinggalin aku... sakit banget....”
Air mata mengalir di pipinya.
Adriella tahu, ia harus membuat pilihan. Segera.
🍁🍁🍁
Tiga hari setelah Alessia dilarikan ke rumah sakit, Adriella diberitahu tentang kondisi Allesia yang memburuk. Dokter menyarankan rawat inap jangka panjang dan terapi rutin yang biayanya jelas tak sedikit. Adriella mulai kehabisan waktu. Setiap hari, detik-detik berlalu seperti pisau yang menusuk pelan-pelan ke dalam dada.
Ketika ia pulang untuk mengambil dokumen tambahan dari rumah, ia dikejutkan oleh suasana aneh di ruang tamu.
Seorang pria paruh baya dengan perut buncit dan rambut setengah botak duduk dengan santai di sofa keluarga. Pakaiannya mewah, parfum menyengat. Di sampingnya, Tante Rika tampak tersenyum manis, begitu pula Pak Bastian, ayah tirinya yang biasanya nyaris tak pernah bicara padanya.
“Adri, sini duduk,” kata Pak Bastian tanpa basa-basi.
Adriella mendekat dengan hati tak tenang. Matanya sempat bertemu dengan mata lelaki asing itu. Sorotnya membuat tengkuknya dingin.
“Kenalkan. Ini Pak Darsa,” ujar Tante Rika manis. “Beliau pemilik pabrik konveksi besar. Baik, mapan, dan tertarik padamu.”
Jantung Adriella mencelos.
“Apa maksudnya?” tanyanya pelan, tak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar.
Pak Bastian menatapnya tajam. “Kamu butuh uang. Kami tahu itu. Alessia makin parah, rumah sakit makin mahal. Dan kami sudah terlalu banyak mengalah.”
“Pak Darsa bersedia bantu bayar semua biaya rumah sakit Alessia,” potong Tante Rika, suaranya terdengar bangga. “Dengan satu syarat: kamu menikah dengannya.”
Adriella tak bisa berkata-kata. Nafasnya sesak. Ia menatap lelaki tua itu yang kini tersenyum lebar, seperti predator yang baru saja menemukan mangsanya.
“Aku bisa memberimu semua yang kamu butuhkan, Sayang,” ucap Pak Darsa, suaranya berat dan jijik. “Kamu akan hidup nyaman. Adikmu juga.”
“TIDAK!” Adriella berdiri, suaranya meninggi. “Aku bukan barang dagangan!”
Pak Bastian menepuk meja keras. “Jangan keras kepala! Kamu pikir hidup ini bisa kamu atur seenaknya? Kamu kerja cuma buruh toko, bawa pulang gaji kecil. Sekarang kamu punya kesempatan menyelamatkan adikmu, dan kamu malah nolak?”
Tante Rika ikut berdiri. “Ini jalan keluar terbaikmu! Jangan jadi anak durhaka!”
Adriella memandang mereka satu per satu. Tak ada cinta. Tak ada belas kasih. Hanya mata-mata dingin yang menilai dirinya dari harga yang bisa dijual.
“Aku akan cari jalan sendiri,” ucapnya tegas, sebelum melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
🍁🍁🍁
Malam itu, Adriella duduk di ruang tunggu rumah sakit sambil memegang tangan Alessia yang lemah. Kepalanya penuh dengan tekanan, pilihan, dan rasa sakit.
Di meja kecil di sampingnya, kartu nama kantor hukum yang menangani warisan ibunya tergeletak.
“Hanya bisa dicairkan jika menikah secara sah.”
Pernikahan... bukan dengan orang tua itu. Tapi, mungkinkah dengan seseorang yang bersedia berpura-pura?
Adriella memandang jendela rumah sakit yang buram.
Jika ini satu-satunya cara menyelamatkan Alessia, mungkin dia harus mulai mencari orang yang bisa membantunya dalam pernikahan pura-pura. Bahkan jika itu berarti mempertaruhkan dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments