Neraka di pagi hari...
Cahaya keemasan sinar mentari menusuk matanya yang sudah sembab dan bengkak, jendela kamar terbuka lebar hingga angin pagi menerbangkan tirai tipis di jendela kamarnya. Saat ia tersadar, lakban di mulutnya sudah tidak ada, ikatan di tangan hanya meninggalkan bekas memar keunguan di pergelangan tangannya.
Tubuhnya terasa remuk dengan kondisi pakaian yang tidak lagi utuh. Dea memaksakan tubuhnya untuk bangun dan memakai kembali pakaiannya yang berserakan di lantai.
Luka dan sakit di sekujur tubuh tidak seberapa sakit, jika dibandingkan hatinya yang kini telah retak, hancur sebuah harapan dan runtuhnya rasa percaya diri, bagaimana ia bisa melanjutkan hidup setelah ini.
Haruskah ia bangkit dan menganggap ini hanya musibah atau ia harus melawan?
Tapi melawan siapa? Dea tidak mengenali siapa pelakunya. Jantungnya berdetak kencang, menahan gemuruh yang ingin meledak.
Langkahnya tertatih saat turun ke lantai bawah untuk mengadukan semua kejadian semalam pada mamanya. Menuruni anak tangga terakhir Dea tertegun, semua orang sudah berpakaian rapih seakan ingin pergi ke suatu tempat.
"Nah ini tuan putri kita baru saja bangun!" seru papa Syam.
"Dea, kamu belum mandi sayang? Ayo cepat mandi kita akan berangkat ke Jakarta untuk mengantarkan kamu, papa minta di majukan satu hari keberangkatan kamu," ucap Dini lembut.
Dea berdiri dengan goyah, "Mama... A-aaku... Diperkosa." Airmata Dea jatuh dan tubuh lemahnya luruh terduduk di lantai.
Semua orang diam terpaku. Menatap Dea dengan wajah tidak percaya.
Hening
Hening. Puluhan detik terlewat dengan keheningan.
Harly berdiri, "hahaha ada drama queen di sini. Hey Dea! Jangan main watak ya! Cepat bangun, kita semua dibangunkan pagi-pagi demi mengantar kamu ke Jakarta!" cemooh Harly dengan tatapan penuh intimidasi.
Dini mengangkat tubuh Dea dengan amarah yang seketika menguasai dirinya.
Plak! Plak!
Tamparan dari telapak tangan mamanya mendarat di pipi Dea, "Jangan sembarang kamu Dea! Di sini laki-laki hanya ada tiga orang, kamu menuduh suami dan anak lelakiku?" bentak Dini.
Dea menatap wajah mama kandungnya dengan tatapan nanar. Ia mengusap pipinya yang terasa panas dan perih, hatinya semakin sakit mendapati kenyataan satu-satunya orang yang bisa ia harapkan untuk berlindung justru meragukan ceritanya.
"Kenapa mama tidak percaya aku, Ma?" ucap Dea dengan suara lirih.
"Karena kamu membuat cerita bohong! Kalau memang kamu diperkosa, kenapa tidak teriak! Kami semua ada di rumah semalam. Kamu bisa minta tolong pada kami!" maki Dini dengan amarah yang menyala.
"Tanganku diikat, mulutku dibekap dengan lakban. Aku sudah berusaha melawan, Ma. Tapi aku tidak berdaya. Mama lihat tanganku biru... " Dea menunjukkan pergelangan tangannya yang membiru.
"Halah! seperti mama tidak tahu kebiasaan kamu sejak kecil aja, Dea! Kamu sering ikat tanganmu sendiri kalau sedang tidur agar tidak garuk-garuk wajah kamu." Wajah Dini mencemooh dan menoyor kepala Dea.
"Dea nggak bohong, Ma," Dea mendongakkan kepala menatap wajah mamanya dengan wajah yang basah oleh airmata.
Hati Dea semakin sakit seiring hilangnya rasa percaya pada semua orang yang ada di ruangan itu.
"Kita periksa saja kamarnya, apa benar ada pemerkosa masuk diam-diam ke rumah kita, periksa semua CCTV. Kalau memang benar ucapan Dea, kita harus laporkan ini pada yang berwajib," ucap Dona mantan istri Syam dengan nada datar dan terlihat tenang.
"Papa akan visum Dea, ayo Dea ke ruang klinik papa." ucap Syam yang berprofesi dokter forensik di sebuah instansi.
Dea menggelengkan kepalanya dengan cepat, ia justru takut dengan papa Syam yang selama ini sering curi-curi kesempatan untuk selalu menggoda Dea.
"Hah! Terbukti sudah, dia hanya memainkan peran di sini. Kamu ingin menuduh kami kan?!" cecar Harly lagi.
Hanya Harry yang menatap Dea dengan tatapan iba, sejak tadi lelaki itu terlihat menutup rapat bibirnya.
'Apa yang harus aku lakukan Tuhan... ' lirih Dea menangis pilu di batinnya.
"Aku ingin lihat bahu kanan kalian!" teriak Dea sekuat tenaga, tatapan nyalang ia layangkan pada tiga orang laki-laki yang ada di ruangan itu.
"Aku menendang bahunya hingga ia terjatuh, pasti sekarang bahunya memar, Ma. Beri aku keadilan... " lirih Dea.
Kaki Harly goyah, tanpa sadar ia memundurkan kakinya setengah langkah.
Sementara Harry, wajahnya meringis menahan sesuatu hingga bulir-bulir keringat di keningnya mengalir ke pelipis.
Syam menelpon seseorang untuk datang ke kliniknya dan melakukan visum pada Dea.
Rasanya Dea ingin berteriak mengajukan protes, bukan seperti itu yang Dea inginkan, ia ingin di periksa di rumah sakit yang netral dimana tidak ada intervensi dari keluarga papa tirinya. Namun, Dea harus pasrah dengan keadaan. Karena mamanya tidak sama sekali mempercayai ceritanya.
Suasana kembali hening dengan tatapan intimidasi dari semua orang.
Dua orang nakes dari rumah sakit milik Syam datang dengan membawa alat medis untuk visum. Dea menggigil ketakutan karena ketua pelaksana visum adalah Syam sendiri, firasatnya mengatakan kalau ini hanyalah sebuah formalisme agar terkesan mereka peduli atau sedang berupaya menutupi kebenaran.
Tatapan Dona mengisyaratkan sesuatu yang gelap dan dalam, seperti ia sedang merencanakan sesuatu, entahlah.
Setelah melakukan visum, ketiga orang itu masuk dalam ruang kerja Syam, entah apa yang mereka bicarakan. Dea dibiarkan duduk sendiri di ruangan pasien dengan kemelut pikiran yang tak pernah padam.
Tatapan mata tidak percaya dari mamanya bagaikan serpihan tajam yang terus menggoreskan luka meninggalkan sayatan terdalam di kalbunya. Menyebar bagai kepingan nyeri yang menyesakkan dada.
Apa yang hancur hari itu tidak bisa lagi diperbaiki, apa yang hilang tidak mungkin akan kembali.
Mulut kehilangan eksistensinya, ketika bicara melahirkan kemustahilan saat diri 'terlihat baik-baik' saja, menurut mereka. Retakan di hatinya tidak ada yang mampu melihat, pondasi yang sudah ia bangun dengan kokoh seketika di hancurkan oleh jiwa yang gelap mata hatinya.
Dea memeluk kaki yang sedang di tekuk hingga menyentuh dadanya. Kini, jiwanya menetap pada tubuh yang tidak lagi ingin hidup. Menatap kosong ruangan dingin tanpa hangatnya belaian dan pelukan.
Di tengah badai yang beraroma busuk, tanpa suara, tanpa jerit keputusasaan, bisu di tengah gemuruh cacian... Merenung dalam diam dan tangisan batin yang kian lirih.
Apakah ini akhir segalanya? Atau ada jalan lain? Dimana suara gamelan itu mengalun? Dea ingin menari dalam tarian kesedihan dibawah guyuran hujan untuk menyamarkan airmata darah yang siap tumpah.
Tanpa sadar, kakinya menapak ke lantai marmer yang dingin. Ia melangkah keluar ruangan klinik dan terus berjalan tanpa menghiraukan tatapan, cacian dan bentakan semua orang yang ada di sana. Ia terus melangkah ke kamarnya. Tatapannya langsung tertuju pada ponselnya yang terus berdering.
"Hallo," jawab Dea dengan suara lirih nyaris tidak terdengar.
"Dea, kamu kemana aja sih. Mendadak jadwal keberangkatan di majukan. Kamu bisa ke sanggar sekarang nggak? jemputan dari dinas kebudayaan akan menjemput kita dua jam lagi."' Di seberang sana suara Laras terdengar panik.
"Mba Laras... Hiikkss hiikkss"
"Dee ... Kamu, kamu kenapa?"
"Jemput aku mba, A... Aku... Aku... Hikkss... Hiikss." Tangisan Dea terdengar semakin pilu.
"Dea dengarkan mba! Sekarang kamu siap-siap, apa pun masalahmu saat ini... Aku ingin kamu camkan kata-kataku Dea, hidup harus tetap berjalan. Kamu sudah di beri kesempatan yang paling berharga dalam hidupmu, jangan sia-siakan. Aku akan menjemputmu, Dea. Kita selesaikan masalah kamu sama-sama. Oke, nduk?!" Laras ingin memastikan Dea siap berangkat.
"Inggih mba." Dea menganggukkan kepalanya dengan lemah, meskipun ia tahu Laras tidak melihatnya, tapi Dea seakan menemukan secercah cahaya.
Ia segera turun dari kasur untuk mandi, membiarkan tubuhnya diterpa air shower yang terasa menusuk kulitnya, ia seakan jijik menyentuh kulitnya sendiri. Masih melekat dalam ingatannya bagaimana si pelaku menyentuh setiap inchi kulitnya.
Dea sadar, ia masih memiliki tanggung jawab yang besar. Mengemban tongkat estafet nama sanggar Larasati yang sudah besar di kalangan penari Nasional. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan, meski dengan perasaan campur aduk, tubuh yang tidak lagi utuh dan hati yang remuk redam, ia kesampingkan dulu duka yang membelenggunya.
Ia turun setelah Laras mengabari sudah berada di depan gerbang rumah. Tanpa pamit dan menatap wajah mamanya, Dea terus berjalan melewati tatapan cemooh dan tatapan mengintimidasi.
"Dea! Mau kemana kamu?" cegah Dini.
"Lihatlah ratu drama kita, pagi-pagi bikin heboh dan sekarang... Luar biasaa! Gimana gak di perkosa pakaiannya minim seperti itu, mau jualan kamu!" sindir Dona.
Dea menoleh ke arah Dona, tatapannya tajam dengan gumpalan rasa kesal yang siap meninju wajah palsu wanita itu. "Sindiran Tante lebih tepat untuk Tante sendiri!" Tunjuk Dea di wajah Dona.
"Tante menjual mamaku demi memuluskan hubungan gelap tante dengan seorang bupati. Sayangnya wanita bodoh itu mau dijadikan alat untuk menutupi kebejatan sahabatnya!" Dea lalu menatap wajah mamanya dengan jijik.
Dea menarik langkahnya menjauhi kedua perempuan yang tidak pantas lagi disebut ibu.
Sekali melangkah keluar rumah, ia tidak akan pernah kembali lagi ke neraka itu. Sebuah tekad tumbuh tiba-tiba dari puing kehancuran hatinya pada wanita yang telah melahirkannya.
Setelah mobil melaju, ia tidak ingin lagi menoleh kebelakang meskipun terlihat dari spion, Dini mengejar dan memanggil namanya dengan pilu, lalu mamanya bersimpuh di atas aspal meratapi kepergian Dea.
"Usai sudah ikatan kita, Ma... Selamat tinggal!" gumam Dea.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Dee
Kepikiran aja, kayak apa rasanya tinggal bareng keluarga tapi vibes-nya toxic semua. Rumah harusnya tempat pulang, tapi malah kayak neraka.
2025-06-22
2
🌞Oma Yeni💝💞
knp harus dia yg visum /Grievance/
2025-07-02
1
🌞Oma Yeni💝💞
bikin gemas ini maknya,,, gw balas gampar nih maakkkk /Hammer//Curse/ darah tinggi ku jadi kumat /Facepalm/
2025-07-02
1