Hari itu, langit mendung menggantung rendah, seolah ikut merasakan langkah berat seorang gadis yang berdiri di depan gerbang tinggi berwarna hitam elegan. Di tangannya, satu koper besar tergenggam erat.
Zee Vanya Alexandra Wolfe berdiri di depan gerbang tinggi berwarna hitam elegan.
Hari ini, dia resmi pindah ke Wolfe House—sebuah sekolah asrama elite milik keluarganya sendiri. Tapi dia tak datang sebagai pewaris keluarga Wolfe. Ia datang sebagai Zee, gadis baru yang ingin meninggalkan identitas keluarganya.
Dan mencari kebenaran.
Tak seorang pun tahu bahwa gadis berambut brown itu adalah saudari kembar dari Zia, murid Wolfe House yang baru saja dikabarkan meninggal dunia karena bunuh diri.
“Wolfe House,” gumamnya pelan, menatap bangunan megah di hadapannya. Bukan tempat yang ingin ia injak. Tapi juga bukan tempat yang bisa ia abaikan lagi.
Hari ini, dia datang bukan dengan motor sport kebanggaannya, melainkan dengan mobil keluarga. Sebagian dari rencananya. Ia ingin terlihat “biasa” di antara para murid elit di sini.
Untungnya, wajahnya tak terlalu mirip zia--cukup untuk menghindari kecurigaan.Terlebih, Zia pun tak pernah terlalu populer di sekolah ini.
Dan seperti yang sudah bisa ditebak, kedua orang tuanya tak mengantar. Kesibukan, rapat, pertemuan bisnis—selalu jadi alasan yang sama. Zee bahkan sudah berhenti mengharapkan kehadiran mereka sejak lama.
Sebuah suara memanggil dari belakang. "Zee!"
Zee menoleh pelan. Seorang pria paruh baya menghampirinya dengan senyum ramah—Pak Sakti, kepala sekolah Wolfe House. Wajahnya tak asing—pernah terlihat di mansionnya saat berbincang dengan kedua orang tuanya.
“Kamu Zee, kan?” tanya pria itu—Pak Sakti, kepala sekolah Wolfe House.
Zee mengangguk datar, tanpa banyak ekspresi. Tatapannya yang dingin membuat Pak Sakti sempat gugup sesaat.
“Mari, saya antar masuk. Semua berkasmu sudah diurus oleh... pamanmu kemarin,” ujarnya, menyesuaikan kata-kata karena Zee memang tak ingin identitasnya terbongkar. Zidan, ayahnya, memang telah menyuruh bawahannya mengurus kepindahan Zee sesuai keinginan putrinya itu.
Zee mengangguk. Langkah-langkah mereka menyusuri jalan menuju bangunan utama diikuti tatapan para murid. Satu per satu kepala menoleh. Sebagai murid baru, tentu ia menarik perhatian. Tapi ada hal lain—aura misterius, tenang, dan sedikit menekan.
Zee tidak seperti gadis-gadis lainnya. Ia tak tersenyum, tak menunduk, tak terlihat gugup. Ia berjalan lurus dengan mata tajam yang sulit diterka. Penampilannya bersih, rapi, tapi tak berusaha mencolok. Justru kesederhanaannya menonjolkan kharisma alami yang membuat orang-orang tak bisa mengalihkan pandang.
Di sudut lapangan asrama, empat murid cowok tengah duduk bersandar, mengamati dari kejauhan. Mereka bukan murid biasa—mereka adalah anggota Serigala 127, geng siswa paling disegani di Wolfe House.
"Cewek baru?" gumam Raka Dwiantara,mengangkat alis sambil bersiul pelan. “Dingin banget auranya. Tapi… cantik juga, ya.”
“Nggak menor, nggak lebay. Bukan kayak boneka pameran," gumam Leo sambil nyengir.
“Pampam, bego,” potong Raka, menyentil keningnya.
“Sakit, woy!”
“Baru digituin aja udah teriak. Gimana kalau ditusuk beneran?”
Mereka tertawa kecil. Tapi tawa itu langsung meredup ketika sosok di samping mereka berdiri.
Tanpa berkata apa-apa, ketua Serigala 127 hanya menatap ke arah Zee. Tatapannya tenang, namun tajam—seperti seseorang yang bisa membaca niat hanya dari cara orang melangkah.
Raka dan Leo langsung diam. Sorot mata itu cukup membuat mereka tahu: berhenti sekarang.
“Cabut,” ucap sang ketua singkat.
Mereka semua langsung berdiri. Tak ada yang berani membantah perintahnya.
“Mirip lo, bro,” bisik Raka ke Radit, wakil ketua geng.
Radit mengerling sebentar ke arah Zee, lalu menatap kosong ke depan.
“Bukan urusan gue,” jawabnya pendek.
Namun tatapan terakhir sang ketua ke arah Zee—datar dan dalam—menyimpan sesuatu. Seperti... rasa penasaran yang tidak diungkapkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments