Bab 2

Matahari baru saja menanjak di langit Luoyang, membakar kabut tipis yang masih menggantung di antara atap-atap rumah para pejabat tinggi. Kediaman Jenderal Wei kembali sibuk seperti biasa, pelayan lalu lalang, tabuhan genderang latihan terdengar dari halaman belakang, dan dapur sibuk menyiapkan makanan pagi untuk seluruh keluarga dan para prajurit pelindung.

Namun pagi ini, satu orang tidak lagi sama seperti kemarin.

Wei Lian.

Ia duduk di depan cermin panjang, mengenakan pakaian hijau giok dengan hiasan rambut sederhana. Pelayan pribadinya, Ah Rui, sedang membantunya menyisir rambut. Di balik senyum tenangnya, batin Wei Lian mendidih.

"Satu bulan. Tiga puluh hari. Satu-satunya kesempatan untuk mengubah sejarah dan menyelamatkan keluarga."aku

Wei Lian mengingat segalanya dengan jelas. Bahkan aroma darah dan jeritan terakhir ayahnya masih mengiang di telinga. Ia tahu, jika ia diam saja, semua akan terulang. Ia harus menghancurkan rencana pernikahan, dan menjatuhkan Putra Mahkota Xian sebelum semuanya dimulai.

---

“Putri, ini teh melati hangat,” kata Ah Rui lembut sambil meletakkan cangkir di hadapannya. “Hari ini Anda dijadwalkan menemui tabib istana untuk pertemuan awal menjelang peminangan...”

Wei Lian tersenyum lembut, tapi tangannya mengepal di bawah meja.

Peminangan. Itu awal neraka.

“Ah Rui,” ucapnya pelan. “Beritahu Ibu, aku ingin pergi keluar hari ini. Tanpa tandu, tanpa pengawal.”

“Putri... tidak aman bagi Anda berjalan sendiri.”

“Aku hanya ingin ke pasar untuk menyegarkan pikiran,” Wei Lian tersenyum manis. “Lagipula, aku masih belum resmi menjadi tunangan Putra Mahkota. Apa salahnya berjalan di antara rakyat?”

Ah Rui tampak ragu, tapi mengangguk.

Satu jam kemudian, Wei Lian keluar mengenakan pakaian rakyat biasa, wajahnya ditutupi selendang tipis. Ia berjalan tenang di pasar Luoyang, menyelusuri lapak demi lapak.

Namun ia tak sedang berbelanja.

Ia mencari dua hal: kabar tentang istana, dan seseorang siapa saja yang cukup kuat, cerdas, dan netral untuk diajak bekerja sama di luar lingkaran pengkhianat istana.

---

Di sisi lain pasar, seorang pria muda dengan jubah abu dan topi jerami tinggi sedang memandangi sepotong kue panggang dengan penuh kekaguman.

“Yang ini isi wijen, yang itu daging. Oh, dan yang itu... isinya keju sapi?” ucapnya senang. Di sampingnya, seorang pemuda berwajah ceria namun bersenjata lengkap menahan tawa.

“Yang Mul—uh... Tuan Mo, anda sedang menyamar, bukan piknik,” bisik si pemuda.

“Bukan salahku kalau pasar rakyat punya makanan yang lebih menarik dari dapur istana,” balas pria itu sambil membeli dua potong sekaligus.

Ia adalah Mo Yichen, Kaisar muda yang turun langsung ke kota dengan identitas palsu. Alasannya sederhana: mencari pengkhianat dalam istana dan... mencari seorang wanita yang bisa ia percayai untuk menjadi satu-satunya permaisuri. Tanpa selir. Tanpa politik.

Tanpa sengaja Ia menoleh, lalu... berhenti.

Dari arah seberang lapak, seorang wanita muda dengan pakaian sederhana sedang memandangi tumpukan rempah. Ia tampak tenang, namun gerak-geriknya terlalu rapi untuk rakyat biasa.

Satu langkah. Dua langkah. Mo Yichen menyipitkan mata.

Wanita itu tampak sangat familiar. Dan entah kenapa, aura di sekitarnya begitu tajam, penuh amarah yang tersembunyi.

---

Wei Lian sendiri saat ini sedang berdiri di depan lapak rempah, mendengarkan percakapan dua pria tua yang sedang membicarakan pengangkatan pejabat baru.

“Dengar-dengar, Putra Mahkota Xian akan segera menikah. Kabarnya anak Jenderal Wei yang jadi permaisuri,” bisik salah satu.

“Pantas saja, pasukan utara ditarik mundur, semua jadi lebih lunak. Tapi aku tak suka gaya Putra Mahkota. Licik, katanya...”

Wei Lian menggertakkan gigi. Tapi ia tidak bereaksi. Ia mencatat semuanya di kepala.

Tiba-tiba, seseorang menabraknya dari samping.

Kue jatuh ke tanah. Lengan mereka bersentuhan.

“Oh... maafkan aku!” kata seorang pria dengan suara hangat. Matanya tajam, dalam, seperti menyimpan banyak rahasia.

Wei Lian menoleh.

Untuk pertama kalinya dalam dua kehidupan, matanya bertemu dengan milik Mo Yichen.

Dan untuk sesaat, waktu seakan membeku.

---

"Maafkan aku," kata Mo Yichen lagi, kali ini lebih lembut. Ia memungut kue dari tanah dan meletakkannya di piring, lalu menyerahkan satu yang baru kepada Wei Lian.

"Aku yang ceroboh." ujar Mo Yichen

Wei Lian menatapnya curiga. “Tak masalah.”

Mo Yichen tersenyum. “Aku belum pernah melihatmu di pasar sebelumnya.”

Wei Lian mengangkat alis. “Apa kau mengingat semua wajah di pasar?”

“Tidak semua. Hanya yang tampak mencolok, seperti... seseorang yang tidak seharusnya berada di sini.”

Wei Lian menegang. Tapi ia tetap tenang.

“Kau siapa?” tanya Wei Lian

“Seorang pedagang keliling,” jawab Mo Yichen santai. “Namaku... Mo Yichen.”

Wei Lian membeku.

"Mo Yichen? Itu... nama kaisar muda yang baru saja naik tahta di utara. Tapi... dia di sini? Menyamar? Mustahil, mungkin hanya sama" batin Wei Lian

“Kau tidak bercanda?” tanya Wei Lian

“Aku tidak pandai bercanda. Tapi aku ahli dalam mengenali orang yang sedang menyembunyikan sesuatu.” Ia menatap mata Wei Lian langsung. “Dan kau... tampaknya tidak sedang mencari rempah.” jawab Mo Yichen

Wei Lian berbalik. “Kau terlalu banyak bicara untuk seorang pedagang.”

“Tapi cukup pintar untuk tidak menjadi musuhmu,” jawab Mo Yichen sambil tersenyum kecil.

Sebelum Wei Lian sempat menjawab, suara teriakan kuda dan bunyi panik datang dari ujung jalan.

“Pencuri! Tangkap dia! Dia mencuri gulungan rahasia dari istana!”

Seorang pria bertudung melesat melewati mereka. Di belakangnya, para penjaga istana mengejar. Keramaian pasar mendadak kacau.

Tanpa pikir panjang, Wei Lian menoleh dan melihat pelarian itu berlari ke arah anak-anak kecil.

“Jika dia menabrak mereka...!”

Tanpa ragu, Wei Lian bergerak cepat, melompat dan menjatuhkan si pencuri ke tanah, membuat gulungan kertas terpental ke samping.

Semua orang membeku.

Penjaga menangkap si pencuri. Salah satu dari mereka mendekati Wei Lian dengan wajah syok.

“Putri... Wei Lian...?” seru pelan penjaga yang melihat Wei Lian

Wei Lian mengutuk dalam hati. Wajahnya terbuka!

Mo Yichen berdiri diam, tak terkejut, hanya memperhatikan. Kini ia tahu: wanita itu bukan rakyat biasa. Dan bukan orang biasa.

---

Beberapa saat kemudian, di tempat yang lebih sepi, Mo Yichen menghampiri Wei Lian yang duduk sendiri di bawah pohon prem.

“Aku tak tahu aku sedang berbicara dengan putri Jenderal Wei,” katanya sambil duduk di sampingnya.

Wei Lian menoleh pelan. “Jangan bilang pada siapa-siapa.”

Mo Yichen tersenyum. “Aku tak suka politik. Aku lebih suka roti isi wijen.”

Wei Lian tak bisa menahan tawa kecil. “Kau aneh.”

Mo Yichen tersenyum lagi. “Dan kau... tampaknya sedang mencari sesuatu yang penting.”

Wei Lian menatapnya. “Jika kau bukan siapa-siapa... kenapa mata dan caramu bicara seperti seorang jenderal?”

Mo Yichen hanya menatap langit. “Karena... aku juga sedang mencari pengkhianat.”

Diam panjang menyelimuti mereka.

Dua orang dari dua dunia berbeda. Sama-sama menyamar. Sama-sama terluka oleh istana.

Dan tanpa mereka sadari, takdir baru sedang mulai dijalin oleh benang yang sama.

Bersambung

Terpopuler

Comments

sahabat pena

sahabat pena

putri seorang jenderal hebat memang cocok nya sama kaisar muda, kutub, setia dan bucin bukan sama putra mahkota 🤣🤣🤣

2025-06-29

0

YuniSetyowati 1999

YuniSetyowati 1999

Sepertinya menarik 🥰

2025-06-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!