Langit di atas ibu kota Luoyang seperti sedang menangis. Awan mendung menggulung tebal, seolah tahu bahwa hari itu akan menjadi saksi dari pengkhianatan paling kejam dalam sejarah istana kekaisaran.
Di pelataran luas di depan gerbang utama istana, ribuan pasang mata rakyat berkumpul. Mereka berdiri dalam diam.
Tak ada yang bersorak, tak ada yang tertawa. Bahkan para penjaga istana yang biasa bengis pun terlihat ragu menatap barisan yang sedang digiring menuju tiang eksekusi.
Mereka sebenarnya tidak percaya dan tidak sanggup melihat jendral mereka di perlakukan seperti ini tapi mereka bukan siapa siapa yang bisa melawan.
Seorang jendral dan istrinya, beserta pengikut dan keluarga besarnya ya g berda di sana.
Mereka diikat dan didorong paksa ke tengah lapangan. Darah segar mengalir dari luka di wajah dan tubuh mereka.
Salah satu perempuan, mengenakan pakaian putih yang compang-camping, wajahnya bengkak penuh luka. Namun dari matanya masih menyala api yang dulu membuatnya dikenal sebagai Putri Wei Lian, anak sulung Jenderal Wei, sang legenda perang, pemilik 300.000 pasukan elit utara.
Kini, ia tidak lebih dari tawanan.
Putri dari keluarga pahlawan, dijadikan tumbal kekuasaan.
Dari atas panggung tinggi berdiri dua orang berpakaian megah. Seorang pria muda berjubah ungu kerajaan dengan mata elang dan senyum dingin: Putra Mahkota Xian. Di sampingnya berdiri seorang wanita cantik bersanggul indah dan perhiasan istana Wei Rou, adik kandung Wei Lian.
Wei Lian menatap mereka dengan mata nanar. Ia terengah, tapi tetap memaksa bicara.
“Kenapa... Rou’er... kau adikku... kenapa kau...?” tanya Wei Lian terbata
Wei Rou tersenyum manis. Tapi senyum itu tak membawa hangat. "Jiejie, bukankah kau yang egois? Seharusnya aku yang menjadi Putri Jenderal, bukan kau. Seharusnya aku yang diperistri Putra Mahkota."
“Tidak... Ayah... Ibu... kita membesarkanmu... dengan cinta...” Wei Lian menangis,
"Apa kau lupa kau juga darah keluarga Wei... dan orang yang kau khianati adalah keluarga dan ayah ibumu sendiri" ujar Wei Lian putus asa ingin berdiri tapi tubuhnya tak mampu berdiri. Ia jatuh berlutut, tak kuasa melawan.
Sedangkan Wei Rou hanya diam tidak perduli, yang ia perdulikan saat ini ia akan jadi permaisuri kekaisaran ini.
Putra Mahkota Xian sendiri menatap ke bawah dengan tatapan jijik. “Wei Lian, selama ini kau hanya batu loncatan. Aku hanya membutuhkan ayahmu. Setelah dukungan militer diberikan, kau... tak lebih dari beban.”
Wei Lian menggeleng, tak percaya. “Kau mencintaiku... kau berjanji...”
“Janji adalah senjata, Wei Lian. Dan kau... terlalu mudah percaya.” jawab Putra Mahkota Xian
Jeritan Wei Lian pecah. Tapi bukan hanya karena pengkhianatan itu.
Sebab di hadapannya, pedang algojo sudah terangkat tinggi.
“Ayah.....!!!” teriak Wei Lian histeris.
Tapi suara sudah terlambat. Pedang turun.
Suara tubuh jatuh menghantam tanah. Darah memercik.
Jenderal Wei—ayahnya—tumbang pertama. Ibu dan yang lain mulai menyusul.
Wei Lian menjerit, suaranya melengking memecah langit Luoyang. Tapi tiada satu pun yang mendekat.
Tak ada tangan yang menolong. Bahkan rakyat pun tak berani bersuara. Mereka hanya bisa menyaksikan tragedi itu, dengan mulut tertutup dan hati tersayat.
Putri Wei Lian jatuh lemas. Dunia dalam pikirannya seakan ikut mati bersama keluarganya.
"Pengawal.... Bawa wanita menjijikan itu kepenjara, belum waktunya ia mati. Siksa dulu dia jangan beri makan dan minum, setelah tiga hari baru eksekusi " teriak Putra Mahkota Xian dengan lantang
Wei Rou yang mendengar itu sangat bahagia melihat Jie jienya menderita.
Ia sangat puas lalu pergi bersama Putra Mahkota Xian
---
Hari berganti malam. Wei Lian dikurung dalam penjara bawah tanah istana, tempat para pemberontak dan penjahat negara biasanya dibuang. Rantai besi mengekang tangannya, dan luka di sekujur tubuhnya membuat napasnya berat.
Ia tak makan, tak minum. Tidak ada air, tidak ada sinar. Hanya aroma besi dan darah.
Hari pertama, ia berusaha berteriak, meminta keadilan.
Hari kedua, ia terdiam. Menangis dalam senyap.
Hari ketiga, ia tidak menangis. Tidak bicara. Hanya menatap langit sempit di celah-celah batu bata dengan mata kosong.
Saat malam ketiga datang, pintu besi terbuka. Seorang algojo masuk membawa pedang pendek.
"Sudah saatnya. Atas perintah Putra Mahkota, kau akan diakhiri malam ini," ucapnya tanpa emosi dan menunduk tidak berani melihat Wei Lian disana.
Wei Lian menatapnya datar. Tak ada ketakutan.
Ia tersenyum samar. Tapi bukan senyum pasrah. Melainkan senyum... yang menyeramkan.
Ia menutup mata, lalu berbisik pelan.
"Dewa Langit, jika ada satu harapan yang bisa kau dengar... kembalikan waktuku. Aku tidak meminta hidup abadi, tidak meminta mukjizat... hanya satu kesempatan. Satu kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Petir mengguncang langit, angin bertiup kencang di luar, berputar kuar hingga menghancurkan dinding dinding istana.
Algojo tersentak. Tiba-tiba, kilat putih menyambar langsung ke dalam penjara.
Wei Lian memekik—tapi bukan karena sakit. Tubuhnya melayang. Dunia berputar. Semua menjadi putih.
Lalu—gelap.
---
Saat Wei Lian membuka mata, ia terengah dan terduduk. Tubuhnya berkeringat. Namun... tidak ada luka. Tidak ada darah. Tidak ada rantai.
Ia menatap sekeliling dengan bingung.
Ranjang kayu berukir phoenix. Tirai sutra hijau muda. Aroma bunga prem menguar dari dupa kecil.
Kamarnya.
Kamar pribadinya di kediaman Jenderal Wei.
Wei Lian berlari ke cermin.
Wajahnya... masih muda. Belum ada bekas luka. Tidak ada darah.
Ia melihat keluar jendela. Halaman kediaman ramai. Ayahnya sedang berlatih pedang seperti biasa di pagi hari. Adiknya, Wei Rou, sedang menari bersama pelatih pribadi. Para pelayan sibuk membawa nampan sarapan.
"Ini... bukan mimpi. Ini... masa lalu" gumam Wei Lian
Ia meraba dadanya. Air mata meleleh.
"Langit benar-benar mengabulkan doaku..." ujar Wei Lian menangis haru
---
Hari itu, tepat satu bulan sebelum perjodohan dengan Putra Mahkota Xian diumumkan secara resmi.
Wei Lian menenangkan napas. Tapi hatinya sudah membara.
"Jika satu bulan ini adalah milikku... aku akan gunakan sebaik mungkin."
"Pertama, Aku harus membatalkan perjodohan itu. Kedua, menyelidiki siapa saja pengkhianat yang bekerja di balik layar. Ketiga... memastikan adikku tidak punya celah untuk menusuk dari belakang lagi" gumam Wei Lian dalam hati
Wei Lian bangkit dari tempat tidur.
Hari ini... ia tidak lagi menjadi Putri yang lembut dan polos.
Hari ini, Wei Lian memulai langkah menuju balas dendam dan menuju takdir baru yang tidak pernah ia duga.
Tak jauh dari sana, seorang pria berkuda masuk ke kota dengan pakaian rakyat biasa dan senyum tipis di wajahnya. Di belakangnya, pengawal setianya menguap sambil membawa karung berisi panci.
Pria itu menatap ke arah kediaman Jenderal Wei, lalu berbisik:
“Tempat ini... punya aroma menarik.”
Bersambung
Matahari baru saja menanjak di langit Luoyang, membakar kabut tipis yang masih menggantung di antara atap-atap rumah para pejabat tinggi. Kediaman Jenderal Wei kembali sibuk seperti biasa, pelayan lalu lalang, tabuhan genderang latihan terdengar dari halaman belakang, dan dapur sibuk menyiapkan makanan pagi untuk seluruh keluarga dan para prajurit pelindung.
Namun pagi ini, satu orang tidak lagi sama seperti kemarin.
Wei Lian.
Ia duduk di depan cermin panjang, mengenakan pakaian hijau giok dengan hiasan rambut sederhana. Pelayan pribadinya, Ah Rui, sedang membantunya menyisir rambut. Di balik senyum tenangnya, batin Wei Lian mendidih.
"Satu bulan. Tiga puluh hari. Satu-satunya kesempatan untuk mengubah sejarah dan menyelamatkan keluarga."aku
Wei Lian mengingat segalanya dengan jelas. Bahkan aroma darah dan jeritan terakhir ayahnya masih mengiang di telinga. Ia tahu, jika ia diam saja, semua akan terulang. Ia harus menghancurkan rencana pernikahan, dan menjatuhkan Putra Mahkota Xian sebelum semuanya dimulai.
---
“Putri, ini teh melati hangat,” kata Ah Rui lembut sambil meletakkan cangkir di hadapannya. “Hari ini Anda dijadwalkan menemui tabib istana untuk pertemuan awal menjelang peminangan...”
Wei Lian tersenyum lembut, tapi tangannya mengepal di bawah meja.
Peminangan. Itu awal neraka.
“Ah Rui,” ucapnya pelan. “Beritahu Ibu, aku ingin pergi keluar hari ini. Tanpa tandu, tanpa pengawal.”
“Putri... tidak aman bagi Anda berjalan sendiri.”
“Aku hanya ingin ke pasar untuk menyegarkan pikiran,” Wei Lian tersenyum manis. “Lagipula, aku masih belum resmi menjadi tunangan Putra Mahkota. Apa salahnya berjalan di antara rakyat?”
Ah Rui tampak ragu, tapi mengangguk.
Satu jam kemudian, Wei Lian keluar mengenakan pakaian rakyat biasa, wajahnya ditutupi selendang tipis. Ia berjalan tenang di pasar Luoyang, menyelusuri lapak demi lapak.
Namun ia tak sedang berbelanja.
Ia mencari dua hal: kabar tentang istana, dan seseorang siapa saja yang cukup kuat, cerdas, dan netral untuk diajak bekerja sama di luar lingkaran pengkhianat istana.
---
Di sisi lain pasar, seorang pria muda dengan jubah abu dan topi jerami tinggi sedang memandangi sepotong kue panggang dengan penuh kekaguman.
“Yang ini isi wijen, yang itu daging. Oh, dan yang itu... isinya keju sapi?” ucapnya senang. Di sampingnya, seorang pemuda berwajah ceria namun bersenjata lengkap menahan tawa.
“Yang Mul—uh... Tuan Mo, anda sedang menyamar, bukan piknik,” bisik si pemuda.
“Bukan salahku kalau pasar rakyat punya makanan yang lebih menarik dari dapur istana,” balas pria itu sambil membeli dua potong sekaligus.
Ia adalah Mo Yichen, Kaisar muda yang turun langsung ke kota dengan identitas palsu. Alasannya sederhana: mencari pengkhianat dalam istana dan... mencari seorang wanita yang bisa ia percayai untuk menjadi satu-satunya permaisuri. Tanpa selir. Tanpa politik.
Tanpa sengaja Ia menoleh, lalu... berhenti.
Dari arah seberang lapak, seorang wanita muda dengan pakaian sederhana sedang memandangi tumpukan rempah. Ia tampak tenang, namun gerak-geriknya terlalu rapi untuk rakyat biasa.
Satu langkah. Dua langkah. Mo Yichen menyipitkan mata.
Wanita itu tampak sangat familiar. Dan entah kenapa, aura di sekitarnya begitu tajam, penuh amarah yang tersembunyi.
---
Wei Lian sendiri saat ini sedang berdiri di depan lapak rempah, mendengarkan percakapan dua pria tua yang sedang membicarakan pengangkatan pejabat baru.
“Dengar-dengar, Putra Mahkota Xian akan segera menikah. Kabarnya anak Jenderal Wei yang jadi permaisuri,” bisik salah satu.
“Pantas saja, pasukan utara ditarik mundur, semua jadi lebih lunak. Tapi aku tak suka gaya Putra Mahkota. Licik, katanya...”
Wei Lian menggertakkan gigi. Tapi ia tidak bereaksi. Ia mencatat semuanya di kepala.
Tiba-tiba, seseorang menabraknya dari samping.
Kue jatuh ke tanah. Lengan mereka bersentuhan.
“Oh... maafkan aku!” kata seorang pria dengan suara hangat. Matanya tajam, dalam, seperti menyimpan banyak rahasia.
Wei Lian menoleh.
Untuk pertama kalinya dalam dua kehidupan, matanya bertemu dengan milik Mo Yichen.
Dan untuk sesaat, waktu seakan membeku.
---
"Maafkan aku," kata Mo Yichen lagi, kali ini lebih lembut. Ia memungut kue dari tanah dan meletakkannya di piring, lalu menyerahkan satu yang baru kepada Wei Lian.
"Aku yang ceroboh." ujar Mo Yichen
Wei Lian menatapnya curiga. “Tak masalah.”
Mo Yichen tersenyum. “Aku belum pernah melihatmu di pasar sebelumnya.”
Wei Lian mengangkat alis. “Apa kau mengingat semua wajah di pasar?”
“Tidak semua. Hanya yang tampak mencolok, seperti... seseorang yang tidak seharusnya berada di sini.”
Wei Lian menegang. Tapi ia tetap tenang.
“Kau siapa?” tanya Wei Lian
“Seorang pedagang keliling,” jawab Mo Yichen santai. “Namaku... Mo Yichen.”
Wei Lian membeku.
"Mo Yichen? Itu... nama kaisar muda yang baru saja naik tahta di utara. Tapi... dia di sini? Menyamar? Mustahil, mungkin hanya sama" batin Wei Lian
“Kau tidak bercanda?” tanya Wei Lian
“Aku tidak pandai bercanda. Tapi aku ahli dalam mengenali orang yang sedang menyembunyikan sesuatu.” Ia menatap mata Wei Lian langsung. “Dan kau... tampaknya tidak sedang mencari rempah.” jawab Mo Yichen
Wei Lian berbalik. “Kau terlalu banyak bicara untuk seorang pedagang.”
“Tapi cukup pintar untuk tidak menjadi musuhmu,” jawab Mo Yichen sambil tersenyum kecil.
Sebelum Wei Lian sempat menjawab, suara teriakan kuda dan bunyi panik datang dari ujung jalan.
“Pencuri! Tangkap dia! Dia mencuri gulungan rahasia dari istana!”
Seorang pria bertudung melesat melewati mereka. Di belakangnya, para penjaga istana mengejar. Keramaian pasar mendadak kacau.
Tanpa pikir panjang, Wei Lian menoleh dan melihat pelarian itu berlari ke arah anak-anak kecil.
“Jika dia menabrak mereka...!”
Tanpa ragu, Wei Lian bergerak cepat, melompat dan menjatuhkan si pencuri ke tanah, membuat gulungan kertas terpental ke samping.
Semua orang membeku.
Penjaga menangkap si pencuri. Salah satu dari mereka mendekati Wei Lian dengan wajah syok.
“Putri... Wei Lian...?” seru pelan penjaga yang melihat Wei Lian
Wei Lian mengutuk dalam hati. Wajahnya terbuka!
Mo Yichen berdiri diam, tak terkejut, hanya memperhatikan. Kini ia tahu: wanita itu bukan rakyat biasa. Dan bukan orang biasa.
---
Beberapa saat kemudian, di tempat yang lebih sepi, Mo Yichen menghampiri Wei Lian yang duduk sendiri di bawah pohon prem.
“Aku tak tahu aku sedang berbicara dengan putri Jenderal Wei,” katanya sambil duduk di sampingnya.
Wei Lian menoleh pelan. “Jangan bilang pada siapa-siapa.”
Mo Yichen tersenyum. “Aku tak suka politik. Aku lebih suka roti isi wijen.”
Wei Lian tak bisa menahan tawa kecil. “Kau aneh.”
Mo Yichen tersenyum lagi. “Dan kau... tampaknya sedang mencari sesuatu yang penting.”
Wei Lian menatapnya. “Jika kau bukan siapa-siapa... kenapa mata dan caramu bicara seperti seorang jenderal?”
Mo Yichen hanya menatap langit. “Karena... aku juga sedang mencari pengkhianat.”
Diam panjang menyelimuti mereka.
Dua orang dari dua dunia berbeda. Sama-sama menyamar. Sama-sama terluka oleh istana.
Dan tanpa mereka sadari, takdir baru sedang mulai dijalin oleh benang yang sama.
Bersambung
Malam di kediaman Jenderal Wei tak pernah benar-benar sepi. Di halaman belakang, suara prajurit yang sedang berlatih terdengar seperti irama yang tak pernah padam.
Namun di kamar pribadi Putri Wei Lian, suasana justru seperti badai yang menanti untuk dilepaskan.
Di balik meja kayu jati besar, Wei Lian menatap sehelai kertas tipis berhiaskan tinta merah muda. Tinta itu bukan dari tangannya. Ia menyuruh salah satu pelayan andalannya, seorang kaligrafer diam-diam yang biasa menulis puisi untuk para selir muda, menuliskannya.
Kalimatnya lembut, namun isinya... mematikan.
"Yang Mulia Putra Mahkota, Hamba bukan siapa-siapa, hanya seorang gadis yang mengagumi Anda dari balik bayang.
Melihat Anda bersama kakakku, hatiku terbakar dengan cemburu.
Bila hidup hanya mengizinkan satu dari kami untuk berdiri di sisi Anda…
Maka izinkanlah hamba menjadi orang itu.
— Wei Ruo"
Wei Lian memegang surat itu erat. Ia tahu surat ini bukan sekadar jebakan. Ini awal dari serangan baliknya. Putra Mahkota Xian adalah pria yang gila kekuasaan, tapi juga tamak wanita. Ia menyukai pujian, dan mudah tergoda jika merasa dicintai diam-diam.
"Aku tahu dia akan menelan ini bulat-bulat," bisiknya.
Ah Rui, pelayan setianya, masuk perlahan membawa jubah hitam dan kerudung tipis.
"Putri, Anda yakin ingin keluar malam-malam seperti ini?" bisik Ah Rui khawatir.
"Aku tak bisa menyerahkan ini pada orang lain. Ini harus melalui jalur yang kutentukan sendiri." Jawab Wei Lian
---
Di gang sempit dekat pasar malam, Wei Lian berpakaian seperti wanita penghibur kelas atas Wei Rou menyelinap ke sebuah kedai teh tua yang dikenal sebagai tempat para pelayan istana berkumpul diam-diam untuk bertukar kabar.
Di sana duduk seorang wanita paruh baya, dikenal sebagai Bibi Zhen, mantan pelayan istana bagian dapur yang sekarang menjual “ramuan awet muda” dan gosip paling segar seantero Luoyang.
Bibi Zhen langsung menoleh saat melihat "wanita" berjubah hitam duduk di meja belakang.
"Siapa kau?" tanyanya curiga.
Wei Lian tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi perak dan meletakkannya di atas meja, lalu menggeser suratnya pelan.
“Beri ini pada pelayan yang biasa mengurus kamar Putra Mahkota. Bilang ini dari pengagumnya yang diam-diam. Pastikan surat ini dibaca.”
Bibi Zhen menatapnya lama. “Kau... orang istana?”
Wei Lian tersenyum samar dari balik kerudung. “Yang pasti, aku lebih tahu isi istana daripada yang kau bayangkan.”
---
Keesokan harinya…
Di kediaman Putra Mahkota Xian, pelayan muda yang baru datang dari luar istana menemukan surat itu saat merapikan bunga di meja depan kamar sang pangeran. Ia tak tahu dari mana surat itu datang, tapi segel peraknya menunjukkan ini bukan surat main-main.
Putra Mahkota membaca surat itu dengan ekspresi senyum sinis. Ia mengangkat alis saat membaca nama di akhir surat.
“Wei Ruo…? Adik Wei Lian?” gumamnya.
Mata pangeran itu memicing. Wei Ruo memang lebih muda, lebih lembut, dan lebih "penurut" dibanding kakaknya yang keras kepala. Kalau ini benar… maka ia mungkin bisa memiliki keduanya dan menjatuhkan satu.
“Apa aku seberharga itu, sampai adik iparku pun tak bisa menahan perasaannya?” gumamnya penuh keangkuhan.
---
Sementara itu, di ruang belakang kediaman Jenderal Wei, Wei Ruo tanpa tahu apa-apa sedang belajar merangkai bunga bersama ibunda mereka.
“Ruo'er, kau tampak bahagia hari ini,” kata ibu mereka lembut.
Wei Ruo tersenyum manis. “Hamba hanya senang karena kakak akan segera menikah. Kami semua akan lebih terhormat di istana.”
Dalam hati, Wei Lian yang menguping dari balik dinding dalam lorong rahasia, hampir tertawa. Tunggu saja, Ruo. Kau ingin naik ke istana? Silakan. Tapi bukan sebagai adik dari permaisuri. Kau akan menjadi perusak kehormatan keluarga sendiri.
---
Di sisi lain kota, di atap rumah para pedagang sutra…
Mo Yichen duduk bersila sambil menyesap teh. Zhao Jin, si pengawal lucu tapi setia, sedang membaca papan pengumuman yang baru dipasang.
“Wah! Lihat ini, Tuan Mo! Putra Mahkota akan menunda pengumuman tanggal pernikahan karena katanya ada ‘masalah pribadi dalam keluarga calon mempelai’. Wah, wah…”
Mo Yichen tersenyum tipis. “Dia sudah mulai goyah.”
Zhao Jin menatapnya dengan mata membelalak. “Jadi rumor tentang surat cinta itu benar? Yang katanya dari adik calon istrinya?”
“Aku tak tahu siapa mengirim surat itu, tapi efeknya jelas. Dan jika dugaan kita benar… maka Putri Wei Lian sedang memulai permainan berbahaya.”
“Yang Mul—eh, Tuan Mo, bolehkah saya bertanya?”
“Tidak boleh,” jawab Mo Yichen tanpa menoleh.
Zhao Jin tetap lanjut. “Kenapa Anda begitu tertarik pada gadis itu? Bukankah kita sedang mencari pengkhianat istana? Bukan… calon istri.”
Mo Yichen menatap jauh, lalu berkata pelan, “Karena gadis itu tidak takut kotor. Ia melompat menyelamatkan anak-anak di pasar, tidak peduli wajahnya dikenali. Itu bukan wanita biasa.”
Zhao Jin mengangguk-angguk bijak, lalu mengunyah kacang. “Jadi… kita bantu dia?”
“Kita awasi dulu. Tapi kalau dia benar-benar ingin melawan Putra Mahkota, kita tidak bisa diam.”
Zhao Jin tersedak. “Melawan Putra Mahkota?! Itu seperti mencoba menyedot laut dengan sendok teh, Tuan!”
Mo Yichen tertawa kecil. “Maka kita perlu sendok yang sangat tajam.”
Zhao Jin memiringkan kepala. “apa tuan jatuh cinta padanya ya, Tuan?”
Mo Yichen tidak menjawab hanya tersenyum.
---
Malam itu, Wei Ruo dipanggil oleh Putra Mahkota ke istana secara resmi, dengan alasan membahas persiapan upacara keluarga. Jenderal Wei yang polos tak menaruh curiga, bahkan merasa bangga karena kedua putrinya mendapat perhatian dari pangeran.
Wei Lian berdiri di beranda kamarnya, menatap bayangan kereta yang membawa Wei Rui menuju istana.
Ah Rui bertanya lirih, “Putri, Anda yakin ingin adik Anda masuk perangkap ini?”
Wei Lian menoleh perlahan. Wajahnya dingin, namun tidak kejam.
“Dia yang memilih jalan ini sendiri. Bahkan di kehidupan sebelumnya, dia rela menghancurkan Ayah dan Ibu demi kekuasaan.”
“Lalu... langkah selanjutnya?” tanya Ah Rui
Wei Lian menyeringai kecil. “Langkah selanjutnya? Aku akan membiarkan Putra Mahkota dan Wei Ruo tenggelam dalam ambisi mereka. Saat mereka saling menggenggam… aku akan memotong tali yang mereka pegang.”
---
Di dalam istana, Putra Mahkota menyambut Wei Ruo dengan senyum penuh arti.
“Kau datang… Ruo’er.”
Wei Ruo menunduk sopan, tapi jantungnya berdebar. “Hamba… hanya datang karena diperintahkan.”
“Tak perlu canggung. Suratmu… begitu tulus.”
Wei Ruo membeku. “S-su… surat?”
Putra Mahkota mengangkatnya perlahan dan memperlihatkan surat itu. “Jangan malu. Aku mengerti. Kau berbeda dari kakakmu. Kau… lebih halus. Lebih bijak. Mungkin… lebih pantas.”
Mata Wei Ruo berkedip bingung. Tapi ia tak menolak. Ia tahu ini adalah kesempatan. Ia berpura-pura menunduk lagi, lalu berkata pelan:
“Hamba hanya ingin… berada di sisi Yang Mulia.”
---
Di luar jendela istana, tak jauh dari sana, Mo Yichen menyaksikan semua ini dari jauh. Dengan tatapan tajam, ia menghela napas.
“Putri Wei Lian… kau menusuk mereka dari balik bayangan. Tapi sampai kapan kau bisa main sendirian?”
Zhao Jin duduk di sebelahnya, sedang makan kue isi kacang.
“Kalau kau cinta, kenapa nggak bantu sekalian?”
Mo Yichen tersenyum. “Aku tidak akan mencampuri rencananya. Kecuali jika ada yang ingin mendorongnya. Saat itu… baru aku tangkap.”
bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!