Bab 5

Ketenangan istana hanyalah ilusi. Dalam diam, bisikan beracun menyusup lewat tirai, meluncur di antara cawan teh, dan menari di antara senyuman pura-pura. Dan Wei Lian tahu, setelah surat anonim mencuat, waktunya bergerak lebih cepat.

Di paviliunnya yang tenang, ia duduk di depan cermin. Yan’er membantu menyisir rambutnya, namun dari bayangan pantulan, ia melihat kegelisahan pada pelayan setianya itu.

“Ada yang kau sembunyikan, Yan’er?”

Pelayan itu menggigit bibir. “Putri... hari ini, selir Wang datang ke perpustakaan dan—dan berkata sesuatu pada Putra Mahkota... tentang surat...”

Wei Lian tidak menanggapi secara langsung. Ia hanya menurunkan jarinya ke permukaan meja.

“Jadi ia mulai mencium arah angin. Bagus. Artinya umpan berhasil.”

 

Di sisi lain istana, Putra Mahkota duduk termenung. Surat tanpa nama itu menjadi bahan diskusi para menteri, bahkan sampai telinga Kaisar.

“Apakah benar calon putri mahkota yang kita pilih tidak layak?”

“Bukankah sudah banyak yang berkata bahwa adiknya lebih halus, lebih patuh, dan... lebih terhubung dengan Yang Mulia?”

Putra Mahkota menutup kipasnya perlahan. Dalam benaknya, ia tak peduli siapa yang pantas. Yang ia perlukan adalah sekutu yang kuat.

Dan sekarang, setelah gosip itu beredar, ia bisa memanfaatkannya sebagai alasan untuk menekan keluarga Wei lebih lanjut. Bahkan jika perlu... mengganti calon.

 

Wei Ruo pun mulai terperangkap dalam permainan yang ia pikir ia kendalikan. Ia menikmati perhatian Putra Mahkota, tapi tak tahu bahwa langkah-langkahnya sudah diatur oleh kakaknya.

Suatu pagi, ia diberi undangan khusus oleh Nyonya Fu untuk menghadiri jamuan kecil. “Hanya beberapa wanita istana dan istri para menteri,” katanya dengan senyum manis. Namun, di sana, Wei Ruo dibuat menjadi pusat perhatian.

“Cantik sekali, Adik Putri Wei. Bahkan lebih lembut dari kakaknya yang terkenal galak.”

“Pantas Putra Mahkota terlihat sering tersenyum akhir-akhir ini.”

Wei Ruo tersipu, namun juga gugup. Ia belum terbiasa menjadi pusat pujian, apalagi dengan nada sindiran tersembunyi.

 

Di tempat lain, Mo Yichen kembali ke pasar luar istana dengan Zhao Jin. Mereka sedang menyelidiki seorang penjual lukisan yang diam-diam menyebarkan salinan surat fitnah.

“Anda pikir Putri Wei yang menyebarkannya?” tanya Zhao Jin.

“Aku pikir... dia tahu siapa yang menyebarkan. Dan sengaja membiarkannya.” jawab Mo Yichen santai

Zhao Jin menghela napas. “ Anda semakin tertarik padanya.”

“Aku tertarik pada hasil akhirnya,” sahut Mo Yichen. “Ia bukan wanita biasa. Tapi pertanyaannya: akan jadi apa ia jika diberi kuasa?”

Hari itu, sebuah pengumuman mengejutkan muncul di aula utama istana. Putra Mahkota mengusulkan peninjauan ulang terhadap perjodohannya.

“Kita harus pastikan calon permaisuri benar-benar dicintai rakyat dan pantas mendampingi Kaisar masa depan.”

Ini bukan pembatalan. Tapi ancaman diam-diam.

Wei Lian membaca gulungan pengumuman itu dengan tenang. Di belakangnya, ibunya gemetar.

“Kita dalam bahaya, Lian’er. Ini bisa berarti akhir...” ujar sang ibu yang ketakutan

“Belum, Ibu. Aku belum kalah. Aku bahkan belum benar-benar memulai.” jawab Wei Lian di belakangnya ada Ah Rui san juga Yan'er

Wei Lian lalu menulis surat pendek. Bukan untuk Qiu Shan. Tapi untuk Mo Yichen

‘Aku tahu siapa dirimu bukan. Tapi aku ingin tahu, apakah kau tertarik pada permainan yang lebih besar dari sekadar tahta?’

Ia menggulung surat itu, menyuruh Yan’er menyerahkannya ke rumah teh tempat Mo Yichen biasa duduk mengamati langit.

Malam itu, saat lampion mulai menyala dan cahaya lilin menari-nari di sepanjang lorong istana, Wei Lian duduk sendirian di taman belakang. Ia mendengar langkah kaki yang tak asing.

“Menulis surat pada pria misterius di malam hari? Itu tidak biasa untuk calon permaisuri,” ujar Mo Yichen sambil duduk di batu besar.

“Kau membaca suratku?” tanya Wei Lian

“Aku hanya membaca bagian yang tak dituliskan.” jawab Mo Yichen

Wei Lian tertawa pelan. “Jawabanmu?”

Mo Yichen menatap bintang. “Aku akan bermain. Tapi aku punya syarat.”

“Apa itu?” tanya Wei Lian

“Kau harus jujur padaku. Tidak semua rahasia, tapi cukup agar aku tahu kau tak akan menusukku dari belakang.” Jawab Mo Yichen

Wei Lian mengangguk. “Dan aku juga punya syarat. Jangan ganggu urusanku, kecuali aku minta bantuan.”

Mo Yi tersenyum. “Sepakat.”

Malam itu, dua orang yang menyembunyikan banyak hal duduk berdampingan. Belum sebagai sekutu, belum sebagai kekasih. Tapi sebagai dua pion yang memilih untuk menjadi pemain.

Dan permainan pun berlanjut lebih cepat, lebih berbahaya, dan lebih menggairahkan dari sebelumnya.

Wei Lian menyusun langkah lebih berani dan menghubungi Mo Yichen secara langsung.

Mo Yichen dan Wei Lian menjalin awal kerja sama, meski saling menyimpan rahasia.

Wei Ruo mulai menjadi korban umpan, meski ia belum menyadarinya.

Sedangkan gosip mulai mengarah pada kemungkinan penggantian calon permaisuri

Keesokan harinya

Angin musim semi membawa bau tanah basah, daun muda, dan juga... kekacauan yang perlahan tumbuh. Setelah pengumuman peninjauan ulang perjodohan, suasana di istana berubah. Yang sebelumnya memuji Wei Lian kini mulai diam. Mereka yang dulu berbisik di belakangnya kini terang-terangan membandingkan dirinya dengan sang adik.

Namun, Wei Lian tidak gentar. Ia tahu betul: badai baru saja mulai.

---

“Yang Mulia Putra Mahkota telah mengundangmu untuk menghadiri Festival Bunga Plum di taman istana bersama tamu-tamu istimewa,” ujar pelayan istana dengan nada netral, meski matanya menyiratkan sesuatu.

“Sendirian?” tanya Wei Lian sambil menatap kaligrafi yang sedang ia latih.

“Tidak. Adikmu, Nona Wei Ruo, juga diundang sebagai pendamping.”

Wei Lian hanya tersenyum. Tentu. Sebuah panggung tidak akan lengkap tanpa pelengkapnya.

---

Festival Bunga Plum adalah acara tahunan yang jarang digelar di dalam lingkungan istana.

Kali ini, taman selatan dibuka, dihias lampion berwarna merah muda dan ungu, dan meja panjang diletakkan di bawah pohon-pohon plum yang sedang mekar.

Para pejabat muda dan para nyonya istana hadir, duduk membentuk setengah lingkaran menghadap panggung musik dan tarian. Di tengah mereka, duduk Wei Lian dan Wei Ruo, dipisahkan hanya oleh satu orang yaitu Putra Mahkota.

“Kau semakin cantik, Zhenzhen,” ujar Putra Mahkota pada Wei Ruo dengan suara cukup keras untuk didengar semua orang.

Wei Ruo tersipu malu.

Wei Lian hanya memutar cangkir tehnya dengan tenang. Zhenzhen adalah nama panggilan masa kecil Wei Ruo yang jarang digunakan orang lain. Dan Putra Mahkota mengucapkannya seolah mereka sudah sangat dekat.

Mata para bangsawan mulai berkedip-kedip, bisik-bisik mulai menyebar. Tentu saja. Ini bukan sekadar pesta bunga. Ini ujian untuk melihat siapa yang lebih pantas menjadi permaisuri.

Dan Wei Lian akan menghadapinya dengan tenang.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Wahyuningsih

Wahyuningsih

seru thor buat adiknya yg dajjal menderta thor d buat segan mtipun tk mau n putra mahkota jga biar mraskan ap yg d rasakn wei lian bla prlu lbih dri kehdupan yg lalu n d buat wei lian badas abis thor d tnggu upnya thor yg buanyk n hrs tiap hri jgn lma2 upnya thor ntar lumutan loh 😁😁😁 sellu jga keshtn 💪💪💪💪💪💪🦾🫶🫶🫶 sekebon thor

2025-06-17

0

Osie

Osie

yaaacckk putra mahkota ente salah cari lawan..wei lian udah pernah mati dan pastinya g bakal mengulang hidup yg sama spti dulu...jd gak sabar nunggu pembalasan yg sesungguhnya

2025-06-17

0

Wulan Sari

Wulan Sari

lanjutkan Thor semangat 💪👍❤️🙂🙏

2025-06-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!