NovelToon NovelToon

Red Thread

Pulang Atau Asing

Suara roda koper menggema lembut di lantai marmer bandara Soekarno-Hatta diantara hiruk pikuk keramaiannya. Althea Reycecilia Rosewood menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar jantungnya yang tidak biasa. Lima tahun—terlalu lama untuk menyebut ini hanya sekadar kunjungan. Ini adalah pulang.

Udara Jakarta menyambut dengan kehangatan tropis yang khas. Bukan hanya suhu yang membuat kulitnya terasa berbeda, tapi juga aroma udara yang membawa kenangan—tentang masa remajanya dulu, tentang tawa, dan tentang luka yang belum sempat sembuh sepenuhnya. Ya, sehari setelah kelulusan sarjananya Althea memilih untuk pergi keluar negeri tepatnya ke London, Inggris untuk bekerja disana, ralat atau mungkin itu hanya kata penenang untuk menghindari sesuatu.

Althea menoleh ke kiri dan kanan, matanya mencari wajah-wajah yang dulu begitu familiar. Dan di tengah keramaian terminal kedatangan, tiga sosok berlari kecil ke arahnya.

“ALTHEAAA!” suara tinggi nan nyaring itu datang dari Charlene Ester Smith, yang dengan gaya khasnya melambai-lambaikan tangan seperti kipas angin.

Sebelum Althea sempat menanggapi, Charlene sudah menerjangnya ke dalam pelukan erat. “Lo cantik banget, sumpah! Kayak keluar dari majalah Vogue! Tapi… ya ampun, lima tahun, Thea! Lo jahat, lo ngilang!”

Althea tertawa, memeluk balik sahabatnya itu. “Hati-hati Char. Gue enggak ngilang. Cuma... hilang arah sebentar. Biasa quarter life crissis”

Rosseane Gwen Nixon menyusul dari belakang, langkahnya tenang, senyumnya hangat. “Akhirnya lo pulang juga. Welcome home, Althea.”

“Thanks, Rose,” kata Althea lembut. Pelukannya dengan Rosseane jauh lebih tenang, seperti memeluk rumah yang selalu ada di sana, menunggu dengan sabar.

Dan terakhir, Ellenora Joy Hubbert—dengan rambut cokelat panjang dan jaket denim favoritnya—mengangkat alis. “Kalau ini mimpi, jangan bangunin gue. Lo beneran di sini, Thea? Bukan hologram?”

Althea tersenyum lebar. “Ngaco Lo, gue daging dan darah, El. No CGI.”

“Gue suka versi lo yang nyata.” Ellenora memeluknya singkat tapi hangat. “Welcome back in real life my sister.”

Mereka tertawa bersama, suara tawa yang langsung terasa seperti dulu. Di tengah keramaian bandara, empat perempuan berdiri dalam lingkaran yang utuh kembali, meski tak sepenuhnya sama. Mereka telah tumbuh, berubah, menghadapi hidup masing-masing. Tapi sesuatu di antara mereka tetap bertahan—ikatan yang tak hilang oleh waktu atau jarak.

Charlene merangkul bahu Althea. “Oke, kita langsung ke tempat makan favorit kita. Lo pasti kangen Seafood Bang Tagor, kan?”

“Dan es teh manis yang ga terlalu manis,” tambah Ellenora.

Rosseane menyelipkan tangan ke lengan Althea. “Kita punya banyak cerita untuk dikejar. Tapi pelan-pelan aja. Malam ini cuma soal menyambut Lo pulang.”

Althea menatap ketiga sahabatnya dengan mata yang mulai basah. “Gue harap… gue enggak salah pulang.”

Charlene menepuk-nepuk punggungnya. “Selama lo pulang ke kita, itu enggak akan pernah salah.”

Mereka berjalan keluar dari bandara bersama, langkah-langkah kecil menuju awal yang baru. Althea tak tahu apa yang menantinya di kota ini—yang jelas, ia tidak sendirian.

♾️

Mobil Ellenora melaju lincah membelah malam Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur. Jendela setengah terbuka membawa angin lembut masuk ke dalam, bersama dengan suara musik dari radio yang mengalun pelan. Althea duduk di kursi penumpang depan, sesekali menatap keluar, memandangi kota yang berubah tapi tetap terasa akrab. Billboard, lampu jalan, warung tenda—semuanya seperti potongan puzzle dari ingatan yang lama tak tersentuh.

"Tempatnya masih ada, Thea. Lo bakal seneng," kata Ellenora dari kursi belakang, sambil mengunyah permen karet. "Seafoodnya sekarang tambah rame, tapi masih murah dan enak."

"Lo sih cuma kangen Bang Tagor yang suka ngasih lo diskon karena lo genit," sela Charlene dengan mata melirik ke kaca spion.

“Bukan genit, itu namanya bersosialisasi,” jawab Ellenora sambil tersenyum nakal. Tawa mereka pecah ringan. Rosseane yang duduk di samping Ellenora hanya tersenyum, tangannya sibuk membalas pesan di ponselnya.

Mereka akhirnya tiba di sebuah warung kecil di pojok jalan yang tak terlalu ramai. Warung itu sederhana, dengan lampu kuning temaram dan meja-meja kayu yang sudah aus dimakan waktu. Tapi di mata keempat sahabat itu, tempat itu adalah harta karun—penjaga cerita lama yang belum selesai.

"Masih sama," gumam Althea saat duduk di bangku kayu yang sedikit berderit.

"Tempat ini enggak akan pernah berubah," kata Rosseane sambil meletakkan tas di pangkuannya.

"Sama kayak kita." Charlene menyeringai.

"Ya... sebagian dari kita."

Malam itu, di sebuah warung seafood sederhana pinggir jalan. Lampu bohlam kuning bergelantungan di atas tenda biru yang sedikit berkibar karena angin malam. Asap dari bakaran cumi dan kepiting menggoda penciuman siapa pun yang lewat. Mereka duduk di bangku plastik, meja bundar dari besi ringan, dengan alas kertas cokelat yang sudah sedikit basah oleh saus tiram dan cangkang kerang.

“Sumpah ya, gue kangen banget makan kayak gini bareng kalian,” gumam Thea, menyeka saus dari sudut bibirnya dengan tisu. Ia tampak lebih rileks malam itu, hoodie-nya digantikan dengan blouse santai dan rambut digerai seadanya.

“Lo pikir kita gak kangen?” balas Elenora sambil memecah capit kepiting.

“Kita kayak grup band yang ditinggal vokalisnya tiba-tiba waktu mau manggung.”

Rose mengangguk dramatis. “Dan ngomongnya H-1 lagi. Ngotak dikit lah! Seenggaknya H-30 gitu.”

Thea menunduk. “Gue tahu... dan gue minta maaf.”

Charlene mengangkat kepalanya dari piring kerang. “Lo masih inget gak, pas kita anter lo ke bandara?”

Thea mengangguk perlahan. “Terlalu jelas sampai gue berdoa minta gue lupa. Tapi gak bisa.”

“Gue inget lo pakai hoodie abu-abu, rambut lo dikuncir seadanya,” ujar Elen sambil menyeka tangannya.

“Muka lo kayak… orang hidup enggan mati pun enggan.”

Thea menarik napas. “Karena emang iya. Gue nyerah. Bukan karena gue gak sayang kalian, tapi gue gak bisa ngadepin hidup gue waktu itu. Gue takut kalau gue gak pergi, gue bakal makin hancur.”

Hening sejenak.

Hanya suara penggorengan dari dapur kecil di belakang mereka dan musik dangdut sayup-sayup dari tenda sebelah.

Rose menyandarkan dagunya di tangan. “Lo tahu gak, Thea… hari itu setelah lo masuk ke dalam, Elen nangis. Charlene diem seharian. Gue marah-marah ke siapa aja. Kita kehilangan lo, tapi kita juga ngerti... lo pergi buat bertahan.”

Thea tersenyum kecil. Matanya berkaca-kaca. “Waktu itu… gue gak bisa bilang apa pun. Karena kalau gue ngomong lebih banyak, gue takut gue batal naik pesawat.”

“Dan lo gak akan jadi Thea yang sekarang. Yang lebih kuat. Lebih… hidup” ujar Charlene sambil menatapnya lembut.

Thea menatap ketiganya. “Gue gak janji jadi sempurna. Tapi sekarang gue balik bukan buat kabur. Gue balik karena gue udah cukup kuat buat hadapin semuanya.”

Elen menjulurkan tangan, menggenggam tangan Thea. “Kita gak pernah butuh lo jadi sempurna. Kita cuma butuh lo tetap ada.”

Rose mengangguk. “Dan jangan pernah pergi lagi ninggalin kita.”

Mereka semua tertawa pelan, sambil mengangkat gelas berisi es teh manis yang sudah mulai encer.

“Cheers buat hidup yang baru, dan pertemanan yang gak pernah kadaluarsa,” ujar Charlene sambil tersenyum.

“Cheers,” sahut mereka serempak.

Di tengah kota Jakarta yang tak pernah tidur, di bawah langit malam yang lembap dan penuh asap, mereka duduk bersama. Bersama luka yang pernah ada, dan harapan yang perlahan kembali tumbuh.

Beberapa menit berlalu dalam percakapan ringan, sebelum suasana mulai melambat. Althea tahu, cepat atau lambat, pertanyaan itu akan datang. Dan benar saja, Rosseane-lah yang pertama membukanya dengan nada halus.

“Jadi, Thea... kenapa baru sekarang pulang?”

Althea menatap minumannya sejenak. Es yang mengapung di permukaan gelas tampak seperti waktu—mencair perlahan, tak bisa dicegah.

“Sayang mau ninggalin kerjaan disana, banyak bule ganteng lagi" jawabnya sambil terkekeh.

“Dulu gue pergi karena merasa nggak punya tempat di sini. Tapi... ternyata rasa asing itu juga nggak hilang meski sejauh apa pun gue pergi.” lanjutnya langsung merubah wajahnya sendu.

“Rasa asing karena... dia?” tanya Ellenora, nadanya hati-hati.

Althea tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap ke kejauhan. Ke arah jalan yang kosong. Seolah sedang melihat bayangan seseorang di sana.

“Bukan cuma karena dia. Tapi dia bagian besar dari alasannya.” Ucapnya pelan.

Charlene meletakkan sendoknya. “Kalau ketemu lagi, lo bakal ngomong sesuatu ke dia?”

“Gak tahu,” Althea mengangkat bahu. “Mungkin... nggak perlu.” lanjutnya

Diam sejenak mengisi meja itu. Tapi bukan diam yang canggung—lebih seperti ruang bagi masing-masing dari mereka untuk merenung.

Rosseane akhirnya bicara.

“Kalau lo udah berani balik, berarti lo udah cukup kuat buat ngadepin apa pun. Termasuk masa lalu. BTW lo tinggal ke mansion Rosewood atau Roland? ”

Althea menatap Rosseane dan tersenyum tipis. “Gue tinggal diapart.” ucap Thea membuat teman-temannya mengangguk pelan memahami keadaan Althea. Bahkan mereka tak sanggup membayangkan hidup menjadi Althea. Menjadi sosok yang kuat dan tak mau merepotkan orang lain.

Rose duduk di samping Althea, meletakkan sehelai tisu basah ke tangan sahabatnya yang dari tadi tampak lebih banyak tersenyum lembut daripada tertawa lepas seperti biasanya.

“Lo masih inget gak sih,” ujar Charlene sambil menyeruput kelapa muda, “waktu Thea tiba-tiba ngomong mau pindah ke London? Kita semua lagi disini juga kan?”

Rose tertawa kecil. “Yang bikin kaget itu bukan lo pindah, Thea. Tapi lo ngomong sambil nyabutin daging kerang, terus mukanya datar banget. ‘Gue besok ke London’ gitu doang, pergi ke London berasa kek ke Bekasi.”

Thea mengulas senyum tipis. “Emang harus dramatis biar enak, gitu?”

Elenora menyipitkan mata. “Lo tuh kebiasaan dari dulu, Thea. Sekali ngomong, isinya kayak bom.”

Althea menunduk sejenak, lalu menatap langit senja yang mulai redup. “Sorry guys, saat itu... cuma itu satu-satunya jalan yang bisa gue pilih. Gak banyak yang bisa gue pegang di sini. Dan kalau bukan karena beasiswa s2 dan ke terima jadi jewelry designer, mungkin gue juga gak jadi ke sana.”

Rose meraih tangan Althea di bawah meja, menggenggamnya hangat. “Tapi lo berhasil. Dan sekarang balik. Gimana rasanya balik lagi?”

Thea menghela napas, mencelupkan udang ke saus dan memutar-mutar sendoknya.

“Aneh. Rasanya kayak semua orang udah jalanin hidup masing-masing. Kayak lo semua... udah punya ritme sendiri. Gue balik dan... ngerasa kayak tamu.”

Charlene meletakkan sendoknya dan menatap serius. “Thea, lo gak pernah jadi tamu. Lo bagian dari kita. Meskipun waktu dan tempat misahin, tapi hati kita tetap nyambung.”

Elen menimpali sambil menyeruput es teh. “Dan lo bukan cuma bagian dari lingkaran ini, tapi juga bagian dari kenangan banyak orang, Thea. Masa remaja kita gak akan lengkap tanpa lo. Inget gak waktu kita kabur ke Puncak tanpa izin buat nonton meteor shower?”

Thea tertawa kecil. “Itu ide paling bodoh dan paling indah yang pernah kita lakukan. Gue masih inget gimana kita kedinginan karena lupa bawa jaket.”

Rose tertawa, lalu mengangguk. “Dan lo... satu-satunya yang bawa termos teh panas. Lo selalu mikir jauh ke depan.”

Thea menyeringai pelan. “Sekarang pun gue masih mikir jauh ke depan. Tapi bedanya... sekarang gue takut kalau masa depan gue kosong.”

Hening sesaat menyelimuti meja. Lalu Charlene berkata, dengan nada tenang namun penuh arti, “Lo gak sendiri sekarang. Kita semua masih di sini. Bahkan kalau dunia berubah, kita tetap jadi tempat pulang.”

Althea memandangi satu per satu wajah teman-temannya. Senyum mereka tak berubah—mereka tumbuh, tapi tidak melupakannya.

“Terima kasih...” bisiknya nyaris tak terdengar.

Di sini meja yang sama, tempat cerita lama pernah tumpah ruah, mereka tahu, kepulangan Althea bukan sekadar reuni. Itu adalah awal dari sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang menunggu untuk dihadapi, entah dalam bentuk penyesalan, pengampunan, atau… cinta yang belum benar-benar usai.

♾️

Langit Jakarta malam itu tampak muram. Gerimis tipis menari di balik jendela kaca apartemen yang baru kembali ia kenali. Althea Reycecilia Rosewood baru saja pulang ke Indonesia setelah empat tahun di luar negeri. Tidak ada pesta sambutan. Tidak ada pelukan hangat keluarga. Bahkan ia tidak mampir ke mansion keluarga Roland, tempat tinggal ibunya sekarang ataupun mansion keluarga Rosewood—rumah masa kecilnya—sebab hatinya terlalu lelah untuk kembali ke tempat yang kini terasa asing.

Begitu sampai di apartemennya, ia langsung melepaskan sepatunya, mengganti pakaian, lalu membiarkan air hangat dari shower menyapu tubuhnya yang letih. Seolah hendak meluruhkan segala sisa luka yang selama ini ia tahan dalam diam.

Setelahnya, ia berjalan menuju balkon, membuka pintu geser kaca, dan berdiri menatap jalan kota yang masih ramai oleh lampu kendaraan dan bunyi klakson. Angin malam menerpa kulitnya yang dingin. Namun tubuhnya bukan satu-satunya yang dingin—hatinya pun demikian. Pandangannya kosong, menyusuri kerlap-kerlip lampu kota, tapi pikirannya tenggelam dalam kenangan yang tak kunjung pergi.

Ayah kandungnya, Antonio Rosewood, telah meninggal beberapa bulan sebelum ia wisuda sarjananya. Sejak itu, hidupnya terasa lebih asing. Keluarga yang dulu sudah dingin sekarang malah bertambah asing. Sang ibu, Dayana Rosewood—atau kini Dayana Roland—memilih melanjutkan hidup dengan menikah lagi bersama Josep Roland. Sosok pria yang sebenarnya baik, namun tetap tak bisa mengisi kekosongan dalam diri Althea.

Kakak kandung Althea, Galen Aglen Rosewood, yang berusia lima tahun lebih tua darinya, sudah lama menjalani kehidupan keluarga yang utuh. Ia menikah dengan Rebecca Diandra Rosewood dan kini menjadi ayah dari anak kembar berusia lima tahun, Alexander Acello Rosewood dan Alexandra Acella Rosewood.

Tak hanya itu, Althea juga memiliki tiga saudara tiri. Carlos Gio Roland, anak pertama dari pernikahan Josep dan mendiang istrinya, Leny Roland. Carlos tiga tahun lebih tua darinya, dan sudah menikah dengan Angela Rea Roland, dan ayah seorang putra berusia tiga tahun bernama Darren Zio Roland.

Lalu ada Sharon Zea Roland, saudari tiri yang seumur dengannya—namun nyaris tak pernah berbagi hal apapun. Dan Mellody Sea Roland, adik tiri satu tahun lebih muda darinya yang terlalu jauh untuk bisa disebut dekat. Walaupun mereka seumuran dan sama sama-sama perempuan mereka sangat jauh sekali dengan kata akrab, bahkan mereka berdua terang-terangan tidak menyukai Thea dan menatap dengan tatapan permusuhan.

Pikirannya melayang pada satu pertanyaan, apa sebenarnya arti rumah dan keluarga, jika tidak ada yang benar-benar menantikanmu di dalamnya?

Rumah yang sangat terasa asing. Keluarganya… masing-masing sudah punya hidupnya sendiri. Mereka sibuk dengan keluarga, pasangan, dan anak-anak mereka. Althea bahkan tak tahu apakah kehadirannya kini masih berarti bagi siapa pun dari mereka.

Jadi di sinilah ia sekarang.

Sendirian. Di tengah riuhnya kota yang tak peduli akan hatinya. Di apartemen yang dingin. Berjuang sendiri. Melindungi diri sendiri. Tanpa sandaran.

Dengan napas berat, ia menatap langit yang gelap di atas sana.

"Selamat datang kembali, Thea," bisiknya pada diri sendiri, getir.

Luka lama tidak hilang hanya dengan satu pelukan, tapi mungkin… pelukan itu adalah tanda bahwa luka itu akhirnya diperhatikan. Di luar, angin malam berembus lembut. Jakarta tidak berubah banyak, tapi Althea tahu—ia sudah bukan gadis yang dulu lagi. Dan entah bagaimana, masa lalu akhirnya mulai mengejarnya satu per satu.

Arti Rumah

Sinar matahari pagi menyusup lembut melalui sela tirai apartemen, menyentuh pipi Althea yang masih terbaring di ranjang. Matanya perlahan terbuka, dan dalam diam, ia menatap langit-langit. Rasanya masih seperti mimpi—kembali ke tanah kelahiran, kembali ke wajah-wajah yang dulu ia tinggalkan dengan sejuta rasa.

Ponselnya bergetar di meja samping tempat tidur. Satu pesan masuk dari Charlene.

“Kami otw dalam 20 menit. Jangan pakai alasan ‘Kasian baby Ed and baby Ray kalau ditinggal, apalagi Char lagi hamil'. Baby El dan Baby Rey sama Daddy nya masing-masing, dan hamil bukan berarti gue lemah. Apalagi buat ketemu sahabat sendiri. Buktinya gue gapapa kan jemput Lo dibandara bahkan sampe jalan sama kalian kemaren. Gue harus banyak gerak biar gampang lahirannya. Lo nggak ada alasan buat nolak”

Althea tersenyum kecil. Terlalu tahu gue gengsian, gumamnya.

Sebenarnya ia sempat menolak halus ketika ketiga sahabatnya bersikeras ingin menjemputnya. Seperti kemarin lusa ketika ia baru saja tiba di Indonesia sebenernya Thea sudah menolak karena mengerti teman-temannya tengah sibuk akan banyak hal namun temannya sangat memaksa dengan alasan sangat merindukannya jadilah ia kalah karena 1 vs 3. Rosseane dan Elenora baru saja menjadi ibu dari bayi laki-laki mereka—selisih usia hanya dua minggu.

Ya, Baby El atau Elden Gabriello Gilmore merupakan anak dari Ellenora Joy Hubbert dan Elvano Zico Gilmore. Sedangkan Baby Ray atau Raynand Xander Bailey merupakan anak dari Rosseane Gwen Nixon dan Regan Sky Bailey. Charlene? Ia sudah menikah dengan Cristo Leon Davis dan kini dirinya sedang mengandung 7 bulan. Apakah Thea datang ketika mereka menikah? Tentu saja kebetulan pernikahan mereka tidak dilangsungkan di Indonesia melainkan Rose dilakukan di Paris, Elen di Santorini, dan Char di Venesia. Apapun akan Althea lakukan untuk sahabat yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri.

Tepat pukul sepuluh pagi, bel apartemennya berbunyi. Saat pintu terbuka, suara tawa langsung memenuhi udara.

“Cantik juga Lo pada pagi-pagi gini,” goda Althea melihat teman-temannya serempak mengenakan dress santai nya. Penampilan Elen hari ini sangat berbeda, ia nampak elegan dan dewasa.

Rosseane menyusul, berjalan dengan santai. “Jangan salah, kita ini emak-emak modis. Tapi jangan harap bisa tidur lebih dari tiga jam semalam.”

Charlene berdiri paling belakang, masih mengelus perut buncitnya. “Walaupun hamil gue harus tetep cantik, badai, dan modis,” katanya, percaya diri.

"Iya-iya bumil cantik, HAHAHA" Kata Althea, Rose, dan Ellen menggoda Charlene yang masih tersenyum bangga.

Mereka pun meluncur ke café yang tenang di pusat kota—cafe milik Elen. Ya, semenjak dirinya menikah elen memilih mengelola cafe saja daripada bekerja dikantor supaya bisa mengurus suami dan anaknya.

Setelah makanan tiba obrolan mulai mengalir ringan. Mereka bertukar kabar, bercanda, dan seperti biasa, menggoda satu sama lain.

“Gimana perasaanmu setelah balik?” tanya Charlene sambil menyendok panna cotta.

Thea mengangkat bahu. “Aneh. Seperti nggak pernah pergi... tapi juga bukan benar-benar pulang.”

Rosseane menatapnya dengan lembut. “Dan proyek baru Lo?”

“Besok gue ke kantornya liat situasi, sebenernya gue cuma ke kantor pas laporan sama meeting doang selebihnya bebas mau WFO atau WFH" Jawab Althea santai, pasalnya ia menang besok harus ke kantor barunya.

Charlene mencondongkan badan. “Emang keren jewelry designer kita. BTW Kak Galen udah nawarin lo posisi di perusahaan bokap lo, kan? Kenapa nggak ambil aja malah ambil proyek yang ngeri ini?”

“Padahal lo lulusan terbaik,” tambah Rosseane, separuh protes.

“Dan itu perusahaan bokap Lo sendiri,” sahut Elena, kali ini lebih serius.

Thea terdiam sejenak, menatap jendela café yang menghadap taman kota. “Gue capek ada di bawah bayang-bayang keluarga gue. Gue mulai dari nol. Tanpa warisan. Tanpa pengaruh siapa-siapa. Sekalian gue bakal buktiin tanpa dia gue masih hidup”

Charlene menatapnya lama. “Lo jangan selalu keras sama diri sendiri, Thea.”

“Gue nggak tahu cara lain untuk merasa pantas,” sahut Thea pelan.

Sesaat, tak ada yang bicara. Lalu Elena menyeringai, mengubah suasana.

“Tapi serius, kita ini udah emak-emak, Char bentar lagi nyusul. Tinggal lo, Thea. Masih sendiri. Rencana?”

"Besok gue merried" Jawab Althea serius. Teman-temannya mengerutkan dahinya kebingungan dan seakan bertanya 'sama siapa?'

"Hardin Scott" Jawab Althea santai membuat teman-temannya memutar bola matanya malas dengan kehaluannya.

"Terserah Lo deh. Kalau kayak gini semuanya seakan masih sama ya?"

Thea tertawa pelan. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Charlene sudah menyambar cepat, “Ya masih sama... sebagian dari kita.”

Thea menatapnya, tersenyum samar, lalu mengangguk. “Ya... sebagian dari kita.”

Mereka tertawa bersama. Entah karena kalimat itu menyentuh, atau justru terlalu nyata untuk ditertawakan. Di balik tawa, Thea tahu—dunia mereka kini berubah.

♾️

Suasana café semakin hangat. Tawa kecil dan obrolan ringan mengalir, mengisi ruang tanpa jeda yang canggung. Thea duduk tenang di tengah sahabat-sahabatnya, membiarkan momen ini meresap perlahan. Namun, pintu café tiba-tiba terbuka, dan seorang pria berperawakan tinggi dengan jaket kasual masuk sambil mendorong stroler yang berisi bayi mungil yang wajahnya mirip sekali dengannya, seperti kemasan sachet orang yang mendorong stroler tersebut.

“Elvan?!” seru Elenora, separuh terkejut, ada apa suaminya tersebut tiba-tiba menyusulnya.

Suaminya hanya nyengir, mendekat sambil mengangkat bayi yang kini tertidur pulas. “Maaf ganggu sayang. Baby kita nangis terus di rumah. Kayaknya kangen banget sama Mommy-nya.”

Charlene memicingkan mata. “Bayi yang sekarang lagi tidur nyenyak itu? Kasian banget baby El ganteng dijadiin alasan akal-akalan daddy nya”

Elenora melipat tangan di dada, menatap suaminya curiga. “Ini akal-akalan kamu, ya?”

Elvan duduk di kursi kosong di sebelah Elenora, santai dan penuh percaya diri. “Bisa jadi. Tapi siapa suruh kamu pergi ga ngajak aku. Aku kan juga mau ikut”.

Thea menahan tawa sementara Rosseane menutup mulutnya, menahan kekeh. “Parah sih ini,” komentar Charlene sambil melirik tajam.

“Kalian pasangan bucin level akut, dikira yang lain udah pindah mars kali ya.”

Elenora tersenyum mengejek. “Nih, liat deh, liat semua ngeliat kita kayak tatapan iri.”

Elvan malah makin santai, merangkul Elenora dari samping. “Biarin. Yang penting Mommy-nya anakku bahagia.”

Thea hanya bisa menggeleng pelan sambil tertawa. “Terserah deh gue yang single akut mendadak ngerasa ngontrak.”

Baru beberapa menit mereka menikmati obrolan ringan lagi, pintu café kembali terbuka—kali ini sosok pria berpenampilan kalem dan dewasa melangkah masuk sambil mendorong stroller bayi mungil berusia dua bulan.

“Sayang...” suara lembut Rosseane membuat pria itu tersenyum.

Regan, suami Rose, menghampiri Rose dan mengecup singkat kening istrinya. “Tadi dia baru bangun, kupikir sekalian jemput kamu. Baby Rey juga kayaknya nyaman banget di strollernya.

”Regan duduk di samping Rosseane, menepuk perlahan tangan istrinya.

"Cuma sama Rose doang ni Regan kalem" Ceplos Elvan membuat Regan memutar bola matanya malas. Walaupun mereka bertolak belakang, Elvan yang sedikit tengil dan Regan yang tekesan serius merupakan sahabat dari SMP sehingga membuat mereka sangat akrab, bahkan sampai sekarang.

“Lo ngapain disini?” Tanya Regan pada Elvan.

"Buta Lo? Padahal sendirinya juga kesini kangen istri" cibir Elvan pada Regan membuat mereka yang ada disana memaklumi dua manusia itu.

Charlene manyun, menyilangkan tangan di dada. "Gue jadi obat nyamuk di sini huh terusin aja mesranya, kangen my hubby.”

“Ck drama. Sok-sokan paling tersakiti padahal suami lo ke Singapore, bukan karena lo jomblo,” sahut Rose cepat.

“Hehe... tetap aja, gue ditinggal kerja waktu lagi butuh disayang-sayang,” keluh Charlene sambil menatap kosong ke arah Jus milik-nya.

"Alay Lo, Thea yang jomblo aja Sans bro" sahur Elen membawa-bawa Thea.

"Dih gue single ya, gue sendiri milih bukan karena keadaan" jawab Althea dengan bangganya mengundang gelak tawa teman-temannya.

Mereka semua tersenyum, lalu obrolan mengalir santai—tentang rumah tangga, tentang kompromi, tentang ketakutan jadi orang tua, dan hal-hal kecil yang sering luput dibicarakan karena kesibukan.

Thea mendengar semuanya dengan penuh perhatian. Ia belum menikah, belum punya anak. Tapi sorot matanya tak menyimpan iri, hanya harapan.

“Gue masih nggak nyangka, dari kita berempat, yang nikah duluan malah Elena yang kek preman ini, eh pacaran sekali langsung ketemu jodoh, keren asli” goda Charlene, menatap Elenora dengan senyum nakal.

“Jangan salah. Tampang boleh preman, tapi hati mudah ditaklukkan,” balas Elvan santai dan kata-katanya sukses membuat Elen tersipu malu dan menjadi bahan ejekan teman-temannya.

♾️

Suara sendok bertemu gelas terdengar lembut, mengiringi aroma karamel latte dan vanilla milk tea. Baby El masih tertidur di pelukan Elvan, dan stroller kecil di samping Rosseane berayun perlahan, menampakkan wajah mungil bayi laki-laki berusia dua bulan yang juga tengah lelap.

“Lihat deh pipi Baby El... kayak mochi,” ucap Althea sambil mencolek pelan pipi si kecil dengan jari telunjuknya.

“Makanya buruan buat mochi sendiri,” goda Elenora sambil terkekeh.

"Hilalnya diaa aja belum keliatan sama sekali" Jawab Rose ikut menggoda Thea.

Thea memutar bola matanya malas“Nggak semudah itu, guys. Bener tu kata Rose hilalnya aja belum keliatan dan gue kayaknya belum siap bangun jam 2 pagi buat nyusuin bayi.”

Rosseane tersenyum, membenarkan letak selimut anaknya. “Awalnya pasti panik... tapi lama-lama kamu bakal kangen. Gue kadang suka bangun tengah malam cuma buat lihat dia tidur.”

“Bener banget lagi, Rose,” celetuk Elvan sambil tertawa.

Regan yang sejak tadi diam, menambahkan, “Tapi itu bener. Tiap malam kayaknya ada alarm batin yang otomatis hidup. Bahkan sebelum anaknya nangis, kita udah kebangun.”

“Dan tiba-tiba hidupmu berputar 180 derajat. Semua prioritas berubah,” sambung Rosseane.

“Dulu bangun pagi buat rapat, sekarang buat ganti popok.”

Namun di tengah suasana yang penuh canda dan obrolan hangat tentang bayi, Thea menatap ke arah Baby El, lalu ke stroller bayi Rosseane. Ada senyum samar di wajahnya. Thea tiba-tiba berkata pelan namun terdengar jelas di antara mereka semua.

"Gue pengen jadi Ibu."

Mereka semua terdiam. Bukan karena terkejut, tapi karena ucapan Thea itu bukan hanya sebuah pernyataan—melainkan harapan yang dalam. Sebuah kalimat yang keluar dengan nada lirih namun sarat makna.

Charlene yang duduk di sampingnya menoleh cepat. “Eh? Lo serius, Thea? Tiba-tiba banget biasanya alasan kerja”

Thea tersenyum, namun sorot matanya jauh. “Gue baru sadar... betapa indahnya menjadi rumah untuk seseorang. Dan mungkin... Gue capek jadi orang yang selalu berjalan sendirian.”

Rosseane meraih tangannya, hangat. “lo nggak pernah sendirian, Thea. Tapi gue ngerti maksud lo. Ada rasa yang cuma bisa muncul setelah lo ngerasain seorang snak tidur di pelukan lo.”

Elvan menimpali dengan nada menggoda, “Cie... yang selama ini workaholic, keras kepala akhirnya kena virus baby fever juga?”

“Enggak juga,” Thea tertawa kecil. “Gue cuma... ingin tahu bagaimana rasanya dicintai tanpa syarat. Mungkin kalau punya anak, Gue bisa belajar mencintai diri sendiri lewat dia.” Ucapan itu membuat suasana sedikit hening—bukan karena canggung, tapi karena semua tahu dari mana akar kata-kata itu berasal. Masa lalu Thea yang rumit, keluarga yang tak sepenuhnya hangat, dan luka yang tak pernah benar-benar disembuhkan.

“Gue suka anak kecil. Tapi... Gue belum tahu apakah gue bisa jadi ibu yang baik.” Nada suaranya jujur, tanpa topeng.

Elenora mencondongkan tubuhnya, tatapannya lembut. “Nggak ada ibu yang langsung ahli. Kita belajar sambil jalan. Gue pun dulu takut banget, apalagi... ya lo tahu sendiri kan gue orangnya bar-bar,” katanya sambil tergelak.

“El paling bucin ke anaknya sekarang, padahal dulu dia paling males kalau disuruh gendong keponakan,” goda Charlene.

Elvan mengangkat tangan. “Gue saksi hidupnya. Dulu El kaku banget pegang bayi, kayak takut meledak.”

“Eh tapi sekarang... lihat aja,” Regan menunjuk Elenora yang refleks mengelus pelan rambut Baby El saat bayi itu menggeliat kecil dalam pelukan Elvan.

“Cinta itu ngubah segalanya,” ucap Rosseane.

Thea tersenyum, dan dalam diam ia bertanya dalam hati

'Akan seperti apa jika gue benar-benar menjadi seorang ibu kelak? Akankah gue bisa menciptakan keluarga yang hangat, tidak seperti yang pernah gue punya?'

Namun ia tak mengutarakannya. Ia hanya menatap ke arah sahabat-sahabatnya—tiga wanita yang kini bukan hanya sahabat, tapi juga ibu, istri, rumah dari seseorang.

Elenora menatapnya lembut. “lo akan jadi ibu yang luar biasa suatu hari nanti, Thea. Karena lo tahu rasanya kehilangan. Lo tahu pentingnya jadi pelindung.”

“Dan yang penting,” tambah Rosseane, “lo nggak perlu terburu-buru. Kalau saatnya tiba... Lo pasti akan tahu.”

“Dan calon daddynya juga harus seimbang ya—harus tahan banting, sabar, bisa bujuk lo kalau lagi drama,” goda Charlene, membuat semua tertawa lagi.

Regan yang sejak tadi diam, menatap Thea dengan tatapan menghargai. “Keinginan itu bukan kelemahan, Thea. Justru itu kekuatan. Karena nggak semua orang berani mengakuinya.”

Elvan melirik Elenora sambil mengusap kepala Baby El. “Kalau lo butuh pelatihan jadi orang tua, bisa magang dulu ke rumah kami.”

Elenora menepuk bahunya. “Magang beneran nanti lo digaji pake pampers.”

Tawa pun kembali memenuhi café itu. Namun di balik tawa itu, ada satu hal yang mulai tumbuh diam-diam di hati Althea, keinginan untuk membangun sesuatu yang belum pernah ia miliki—keluarga yang hangat, rumah yang penuh cinta, dan seorang anak yang bisa ia peluk tanpa rasa takut.

“BTW anak kalian lahir nyaris barengan. Dua minggu aja jaraknya!” seru Thea, terkekeh tak percaya. Ia menatap kedua keponakannya tersebut dengan tatapan penuh harap bisa seperti teman-temannya, namun ia bahkan tidak tau bagaimana awal untuk melangkah. Dirinya kini hanyalah fokus untuk dirinya sendiri dan karirnya.

Rosseane tersenyum lembut melihat dua bayi laki-laki yang tengah tertidur lalu menoleh kearah Althea. “Takdir emang nggak bisa ditebak kan?”

Regan, yang terkenal bijak dan tenang, ikut melirik Thea. “Menikah itu bukan perlombaan. Tapi kalau sudah yakin, pastikan kamu punya cukup ruang di hatimu untuk menerima—dan memberi.”

Elvan menimpali, “Dan jadi orangtua itu... ternyata lebih melelahkan daripada jadi CEO. Karena mereka itu ibarat kertas putih polos, tergantung gimana kita sebagai orang tua menorehkan tintanya dan kita adalah panutan kehidupan untuk mereka. Tidak mudah tapi... jauh lebih bermakna.” ucapnya lembut sambil melihat putra pertamanya dan putra sahabatnya yang sedang tertidur pulas distroler mereka masing-masing.

Rose menyender ke bahu Thea. “lo pasti akan nemu seseorang yang tepat, Thea. Tapi jangan buru-buru. Nggak ada gunanya jadi milik orang yang nggak pernah ngeliat lo utuh.”

Mereka mengobrol lebih lama. Tentang kolik malam hari, MPASI, vaksinasi, bahkan tentang suara tangis bayi yang bisa dibedakan dari lapar, lelah, atau hanya ingin dipeluk.

Sementara Thea hanya menyimak, merekam semuanya dalam diam. Bukan dengan iri, tapi dengan kekaguman... dan sedikit harapan.

Dan persahabatan ini... tetap satu-satunya rumah yang tak pernah menghakimi. Hari itu, di sini dengan empat orang tua muda, satu calon pengantin yang sibuk memikirkan dekorasi, dan satu perempuan yang masih mencari tempatnya sendiri... Thea merasa, mungkin, dia tak benar-benar sendiri di dunia yang berubah begitu cepat.

Thea menarik napas. Sore itu, di café milik sahabatnya, dengan suara tawa dan bayi yang tertidur di dekat mereka, ia tahu

'Rumah itu bukan sekedar tempat. Tapi orang-orang yang membuatmu merasa cukup serta dimana kamu saling memberi dan menerima cinta tanpa diminta'

Proyek Phoenix

Pagi itu, Althea Reycecilia Rosewood melangkah keluar dari mobil hitam yang membawanya menuju gedung tinggi dengan logo PT MS Corporation di fasad kaca depannya. Ia mengenakan blouse putih gading dengan potongan clean dan celana bahan krem pucat, gaya elegan minimalis yang mencerminkan dirinya: tenang di luar, badai di dalam. Make up tipis diwajahnya dan rambut hitam panjangnya ia curly bagian bawahnya serta dibiarkan tergerai panjang menambah kesan elegan pada diri Althea.

Seorang wanita dari departemen Human Capital menyambutnya di lobi dengan senyum hangat. “Selamat pagi, Mrs. Rosewood. Saya Mirna Rone dari HC. Senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung dengan jewelry designer yang katanya ‘jenius terselubung’ ini,” ujar perempuan berkacamata itu, bercanda ringan.

Althea tersenyum sopan. “Selamat pagi nona Mirna, terimakasih namun saya harap nama saya tidak terlalu dibesar-besarkan.”

“Saya kira malah belum cukup,” timpal Mirna sambil berjalan mendampinginya menuju ruang pertemuan kecil.

“Perusahaan kami sudah mengikuti perkembangan Anda bahkan sejak sebelum Anda kembali ke Indonesia.”

Althea mengangguk. “Jadi... proyek ini benar-benar spesial, ya?”

“Bukan hanya spesial, ini sangat strategis. Phoenix adalah proyek jangka panjang yang membawa nama besar perusahaan, dan… kabar baiknya, CEO kami yang langsung mengawasi.”

Mirna menyerahkan map kontrak. “Tapi tentu saja, sebelum itu, kita harus bicara hal legal dulu.”

Mirna menoleh sebentar ke arah pasal-pasal terakhir. “Kami perlu pastikan lagi, ya. Proyek ini dipegang langsung CEO, artinya pengawasan penuh, dan… tidak bisa dibatalkan sepihak. Kalau dilanggar, ada penalti Sepuluh miliar dan blacklisted dari dunia perhiasan?”.

Ia menaikkan alis. “Cukup ekstrim". Althea mengangguk ringan, lalu menandatangani kontrak tanpa banyak komentar.

Mirna tampak cukup terkesan. “Wah, biasanya yang baca bagian penalti langsung tertegun dua menit.”

“Aku tidak main-main,” ujar Althea datar tapi tegas.

Senyum Mirna mengembang

Mirna tertawa kecil. “Kalau boleh jujur, proyek ini memang bukan untuk orang yang main-main. Tapi melihat rekam jejak Anda, kami yakin Anda orang yang tepat.”

Setelah tanda tangan selesai, Mirna menyerahkan tugas berikutnya kepada seseorang yang baru masuk ke ruangan.

“Ini Azalea George, sekretaris CEO kami. Panggil saja Lea. Dia akan membawa Anda berkeliling.”

Lea menjabat tangan Althea dengan antusias. “Akhirnya! Saya sering dengar nama Anda dari Arga, asistennya CEO. Mereka excited banget anda bergabung.” Ya, Lea adalah kekasih dari asisten CEO yaitu Arga Willson.

"Jangan terlalu formal denganku, ngomong-ngomong apakah dia kekasihmu karena dari panggilanmu dan caramu bercerita terlihat akrab?" Tanya Thea sambil tersenyum mengikuti gadis ceria ini.

Lea mengangguk sambil tersenyum dan mengajak Althea menyusuri berbagai lantai perusahaan, sambil menceritakan satu persatu divisi.

Selama tur keliling perusahaan, suasana terasa jauh lebih santai. Lea memperkenalkan beberapa divisi dengan ramah.

“Yang di lantai tiga ini bagian creative & media. Mereka bakal banyak berinteraksi sama kamu nanti, so… siap-siap dibanjiri ide. Jadi kita punya divisi riset desain, tim pemasaran digital, dan tim kreatif yang luar biasa. Tapi ruang favoritku sih tetap rooftop café kita—kalau kamu butuh udara segar, it’s perfect.”

“Aku senang brainstorming,” sahut Althea, mulai menikmati ritmenya.

Sambil berjalan ke arah lantai eksekutif, Lea sedikit menurunkan suara.

“FYI, kamu akan banyak koordinasi langsung sama CEO. Ini jarang banget terjadi. Biasanya beliau cuma handle client VIP atau proyek krusial.”

Althea diam sejenak. “Aku sudah diberi gambaran dan aku suka suasananya,” gumam Althea sambil melihat sekeliling. “Tapi Phoenix ini... rasanya terlalu besar untuk jadi proyek pertama setelah aku kembali.”

Lea menoleh sambil tersenyum. "Aku yakin kamu pasti bisa, kebetulan Mr. Al baru selesai meeting. Ayo, sekarang kamu kenalan langsung.” Althea menegang sejenak saat mendengar nama itu. Tapi wajahnya tetap netral. Banyak nama sama didunia ini.

Lea menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu besar. Lea mengetuk sebentar lalu tersenyum. “He’s ready. Good luck!”

Pintu terbuka. Althea masuk ke ruangan luas bernuansa kayu gelap dan kaca yang terlihat elegan. Di hadapannya, seorang pria duduk membelakangi jendela tinggi, menatap pemandangan kota didepannya.

Althea melangkah masuk dan berdiri tenang. “Selamat pagi. Saya Althea Reycecilia Rosewood. Jewelry designer untuk proyek Phoenix" Kursi eksekutif itu perlahan berputar tepat setelah Althea mengucapkan namanya. Tatapan gelap dan tajam menubruknya. Wajah yang begitu dikenal menatapnya lurus.

Aleron Rafael Moonstone

Aleron menatap mata tajam itu... masih sama. Dingin tapi menyimpan sesuatu. Luka? Rindu? Marah? Mata Aleron yang menyimpan Penyesalan, Rindu, atau apalah itu Althea tetap menatapnya tanpa ekspresi. Aleron menatapnya nyaris tidak berkedip. Ada sesuatu dalam sorot matanya—bukan hanya keterkejutan, tapi juga… luka yang belum sembuh. Namun Althea bersikap seolah ia hanya menghadapi seorang CEO, bukan seseorang dari masa lalunya.

“Althea…” ucap Aleron perlahan.

Ia tetap berdiri tegak. “Ternyata benar. Kamu.”

Beberapa detik sunyi. Lalu Althea membuka suara. “Mr. Moonstone. Maaf tapi saya tidak bisa melanjutkan proyek ini. Saya mohon izin untuk mengundurkan diri.” Ia menatap Althea dalam diam. Terlalu lama. Namun Althea tidak goyah. Ia tak memutar bola matanya, tak menunduk, tak menegang dan berusaha tenang.

Wajah Aleron mengeras. “Thea…” Aleron terdiam. Sekejap matanya mengeras, seolah menahan sesuatu.

“Kalau kamu mundur sekarang,” ucapnya tiba-tiba, nada suaranya berubah serius, “maka kamu akan dikenai penalti. Dan kamu tahu apa artinya bagi kariermu.”

Althea terdiam ia tahu betul sekarang ini perjuangan karirnya selama ini sebagai jewelry designer dipertaruhkan. Althea terdiam sejenak lalu berusaha bersikap profesional.

“Baiklah karena saya sudah menandatangani kontrak. Saya mengerti isi dan konsekuensinya. Kalau itu saja yang ingin disampaikan, saya akan mulai bekerja.”

Aleron mendesah pelan. “Aku berharap kamu akan… bereaksi.”

“Ada yang ingin Anda bahas tentang desain awal proyek ini?” ujar Althea, tetap tenang.

“Kamu... terlihat berbeda,” ucap Aleron akhirnya setelah diam beberapa saat.

“Saya di sini sebagai bagian dari tim Phoenix, bukan untuk membahas masa lalu.” Suaranya stabil. Dingin tapi tidak menyerang. Profesional.

Aleron menyandarkan punggung di kursinya. “Setidaknya kamu harus bicara. Tentang kita dan...”

“Maaf tapi sepertinya tidak ada yang perlu dibahas.” Althea memotong kalimat itu dengan sangat sopan.

“Saya tidak ingin mencampur urusan pribadi dalam pekerjaan, dan saya harap Anda juga begitu.”

Aleron menatap tajam. “Aku cuma—”

“Menjalankan peran Anda sebagai CEO? Tolong jaga sikap anda dan bersikaplah profesional."

Beberapa detik hening. Lalu Althea mengangguk sopan. “Jika tidak ada hal lain, saya mohon pamit. Saya akan menunggu dokumen briefing dari tim Anda.”

Aleron menatap Althea. “Aku bisa profesional. Tapi aku tidak bisa berpura-pura.”

Althea membalikkan badan dan berjalan keluar tanpa menoleh lagi. Di belakangnya, Aleron masih berdiri diam. Dalam benaknya, Phoenix bukan sekadar proyek.

Phoenix adalah kebangkitan—dan mungkin, juga kehancuran.

Althea membalikkan badan dan melangkah keluar sebelum Aleron sempat mengatakan apa pun lagi. Saat pintu tertutup kembali, Aleron menyandarkan kepala di sandaran kursinya, menatap kosong ke langit Jakarta.

Ia baru menyadari. Perempuan yang dulu ia kenal—penuh emosi, marah, dan berani menatap luka—sudah tidak ada. Yang berdiri di hadapannya tadi adalah seorang Althea yang telah mati rasa.

Dan itu jauh lebih menyakitkan.

Dalam benaknya, 'Phoenix bukan sekadar proyek.

Phoenix adalah kebangkitan—dan mungkin, juga kehancuran'

♾️

Satu bulan setelah pertemuan pertamanya dengan Aleron, Althea resmi mulai bekerja penuh waktu di ruang desain eksklusif lantai delapan — ruang yang telah disiapkan khusus untuk proyek Phoenix.

Tim Phoenix sendiri hanya terdiri dari lima orang inti:

Althea Reycecilia Rosewood – sebagai Head Jewelry Designer

Clive Ranveer – Senior Material & Gem Specialist, pria keturunan Jerman-Indonesia yang perfeksionis dan tidak suka basa-basi.

Velda Tanaya – Creative Strategist, wanita karismatik dan sedikit kompetitif, sering adu argumen dengan Clive soal estetika.

Yuna Choi – Digital Designer asal Korea Selatan, tenang dan sangat detail-oriented.

Marco Ezra – PR & Branding Advisor, flamboyan, banyak bicara, tapi tahu bagaimana membungkus hasil kerja jadi “wow”.

Setiap pagi dimulai dengan meeting cepat. Hari ini, Clive menyodorkan beberapa sampel batu langka di atas meja bundar.

“Ini Padparadscha sapphire dari Sri Lanka. Aku masih ragu memasukkannya ke desain inti,” katanya sambil melirik Althea.

“Kenapa?” tanya Althea, menatap batu berwarna oranye-pink itu dengan fokus.

Clive menyilangkan tangan. “Warnanya terlalu lembut. Kita butuh impact. Kamu tahu sendiri proyek ini harus jadi... legacy.”

Velda menimpali dengan senyum miring. “Justru Padparadscha mewakili transisi—sunset and sunrise. Itu tema yang sangat dekat dengan rebirth, sesuai nama proyeknya.”

Yuna mengangguk pelan. “Aku bisa coba buat simulasi 3D-nya untuk melihat pantulan cahaya jika dipasangkan dengan rose gold.”

Marco menyeruput espressonya. “Aku sih ngikut aja asal hasil akhirnya bisa jadi bahan pameran internasional.”

Althea mengangkat pandangannya. “Kita akan gunakan Padparadscha. Tapi bukan sebagai pusat. Kita akan pasang batu ini di bagian tersembunyi dari rangka cincin—hanya bisa dilihat oleh pemiliknya.”

Semua menoleh padanya. “Simbol dari rasa yang tetap ada, meski tak terlihat,” lanjutnya. “Phoenix bukan tentang terbakar... tapi tentang hidup kembali diam-diam, setelah nyala padam.”

Ruangan hening sesaat. Clive mendecak kecil. “Baik. Kita coba itu.”

Velda melempar senyum kagum. “Aku suka. Itu... puitis banget.”

Yuna sudah mulai mengetik cepat di laptopnya, membuat sketsa kasar berdasarkan gagasan Althea.

Marco menepuk meja. “Oke, kepala desainer kita... not bad at all.”

Beberapa hari berjalan, Althea mulai dihormati bukan karena nama belakangnya, tapi karena ketajaman desain dan ketegasannya mengambil keputusan. Ia tidak banyak bicara, tapi saat bicara, semua mendengar.

Satu hal yang tetap tidak bisa dihindari adalah, Aleron.

Setiap minggu, Al akan mengadakan review presentasi untuk melihat progres desain. Mereka tidak pernah berbicara di luar pekerjaan. Aleron bersikap profesional, tapi semua tahu — tatapan matanya pada Althea berbeda.

Di setiap meeting, Aleron lebih fokus pada desain Althea daripada presentasi tim lainnya. Tapi ia tidak memuji. Tidak juga memotong.

Ia hanya memperhatikan — terlalu dalam.

Dan Althea? Tak sekalipun ia menatap Aleron lebih dari dua detik. Tidak ada senyum basa-basi. Tidak ada gugup. Tidak ada getaran. Seolah... pria itu tak punya tempat lagi dalam memorinya.

Velda sempat berbisik pada Yuna, “Bos kita naksir Althea ya?”

Yuna hanya menjawab kalem, “Terlalu rumit untuk disebut naksir.”

Di penghujung minggu pertama, tim Phoenix mendapatkan pengumuman penting: mereka akan mempresentasikan mock-up desain awal pada pameran tertutup investor asing minggu depan.

Itu berarti lembur. Ketegangan. Tekanan. Namun Althea sudah terbakar pada tempatnya. Seperti burung Phoenix. Dalam senyap, dia menari di tengah api.

♾️

Ruang kerja lantai delapan terasa lebih hiruk hari itu. Suara langkah kaki, derit kursi, denting alat desain, dan suara lembut printer 3D yang terus bekerja memenuhi udara. Semua anggota tim Phoenix berkutat dengan mock-up desain — wajah mereka serius, ekspresi penuh tekanan tapi fokus. Althea sedang menyempurnakan detail ornamen mikro pada prototipe cincin ketika intercom di meja Velda berbunyi.

"Seluruh tim Phoenix ke ruang rapat utama. Segera." – Aleron Rafael Moonstone.

Seketika semua terdiam. Velda menatap Althea, Clive meraih tablet dan berkasnya, Yuna langsung mematikan simulasi desain, dan Marco menghela napas panjang.

“Kalau sampai dia ngamuk, gue resign,” gumamnya bercanda tapi dengan wajah tegang.

“Bawa semua file desain,” kata Clive cepat.

Beberapa menit kemudian, kelima orang itu sudah duduk di ruang rapat. Aleron berdiri di depan mereka, jasnya rapi, ekspresinya... kosong.

Tanpa pembukaan basa-basi, Al membuka suara. “Pameran investor Minggu depan... dicancel.”

Ruangan mendadak sunyi. Detik berikutnya — “Apa?” “Serius?”

“Kenapa, Pak?” “Jadi mock-up ini... sia-sia?”

Aleron menatap mereka. “Salah satu investor utama mendadak harus menghadiri acara penting di Swiss. Mereka tidak bisa hadir ke Jakarta minggu depan.”

Velda memukul pelan meja. “Kita butuh feedback dari mereka sebelum presentasi publik. Kalau tidak, proses revisi bisa kacau.”

Marco berseru, “Ini acara pertama yang bisa membuka jalan kita ke pasar global, dan kita kehilangan momen itu?”

Clive mendengus. “Typical korporat. Nunda seenaknya. Kita bukan dewa yang bisa ngubah desain dalam semalam.”

Semua suara bercampur. Perdebatan meningkat. Althea hanya diam, menyimak.

Lalu, nada dering ponsel Aleron memotong semuanya. Di layar: "Mr. Legard – Private Investor"

Dia mengangkat. “Legard.” Para anggota tim langsung menunduk, diam, memasang telinga. Percakapan berlangsung dalam bahasa Inggris, suara Al tenang tapi tajam.

"Yes, sir. We've informed the team about the cancellation..."

"...Understandable. Family always comes first..."

"...Wait—present Phoenix in Switzerland? You want it to be the centerpiece?"

"...For your golden anniversary? Next month?"

"...Yes, I’ll make the arrangement. Two delegates. Myself and our head designer."

"...No, sir. It’s an honor."

Saat Aleron menutup panggilan, suasana ruangan berubah total.

“Dia... ingin Phoenix dipresentasikan di Swiss?” bisik Arga. Aleron mengangguk.

“Phoenix akan dipamerkan pada perayaan ulang tahun pernikahan ke-50 pasangan Legrand. Salah satu pemilik jaringan butik perhiasan di Eropa.”

Yuna tercengang. “Itu... bukan sekadar pameran. Itu bisa jadi launch internasional.”

Velda menggigit bibirnya. “Kalau desainnya diterima di sana... kita bisa masuk katalog mereka.”

Clive mengangguk pelan. “Awal yang menentukan akhirnya.”

Lalu, Aleron menatap Althea. “Yang akan berangkat hanya dua orang, Aku... dan kamu, Mrs. Rosewood.”

Seketika jantung Althea seperti berhenti berdetak.

“Saya... tidak akan pergi,” katanya pelan tapi tegas. “Cari orang lain.”

Aleron membalas tenang, tapi nadanya mengeras. “Kamu head designer. Phoenix lahir dari tanganmu. Kamu tahu setiap detailnya.”

“Saya bisa buat dokumentasi. Bisa kirimkan... siapa saja.”

“Kita tidak bisa presentasi lewat render 3D, Thea. Mereka ingin presentasi hidup. Langsung. Personal.” Tatapan mereka terkunci. Atmosfer memanas.

“Aku harus profesional di sini, demi masa depan tim Phoenix” Batin Althea akhirnya, mencoba menjaga nadanya tetap datar.

Al kembali bersuara, dingin. “Kamu punya pikiran mundur bukan? Ingat kontrak kita. Pinalti sepuluh miliar. Dan kamu tahu sanksi lainnya, banned secara industri. Semua akses ditutup. Impianmu sebagai perancang perhiasan... selesai.” Tubuh Althea menegang ia tersentak dari lamunannya. Tapi wajahnya tetap tenang.

“Jadi sekarang, Althea... kamu pilih.”

“Kehormatan. Atau pelarian.” Tak ada yang bicara. Hanya suara napas. Althea menunduk pelan, mengepal tangan di bawah meja.

“Saya ikut.”

Setelah pertemuan mendadak itu, seluruh tim Phoenix seolah beralih mode — dari bekerja keras menjadi bekerja tanpa henti. Tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak ada waktu untuk santai. Mereka tahu, apapun yang akan dipresentasikan di Swiss, akan menjadi tolak ukur apakah Phoenix layak disebut mahakarya... atau hanya mimpi.

Di Studio Desain Phoenix

Althea duduk di depan layar hologram, membandingkan hasil desain dengan render asli, lalu mengatur ulang proporsi permata utama. Di belakangnya, Clive dan Yuna tengah menyiapkan palet warna dan susunan material perhiasan yang akan dipresentasikan. Velda sibuk di workstation 3D printer, mengecek hasil mock-up yang baru selesai dicetak.

“Thea, presentasi visualnya akan lo pegang sendiri?” tanya Velda, mendekat dengan tablet di tangan.

Althea mengangguk. “gue mau pastikan semua detail bercerita. Kita nggak bisa bergantung hanya pada keindahan desain.”

“Presentasi tim sudah gue siapkan,” tambah Yuna. “Kalau ada waktu kita bisa sesi latihan sebelum kalian berangkat.”

Marco menoleh sambil membuka sketsa digital. “Jujur, gue masih nggak percaya lo bakal ke Swiss... bareng dia.” Althea hanya tersenyum tipis, tak menjawab.

Velda ikut menimpali, setengah khawatir. “lo yakin, Thea?

Maksudku... bisa pisahkan masa lalu dari pekerjaan?”

Thea menatap hasil desain di depannya, suaranya pelan namun tegas.

“Gue harus. Ini tentang karir. Tentang gue. Bukan dia.”

Dan mereka semua paham — ini bukan tentang cinta lama, tapi tentang bertahan hidup di dunia yang keras.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!