Kota Zürich

Hari keberangkatan Althea dan Aleron ke Swiss pun tiba. Langit Jakarta masih gelap saat Althea tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Mengenakan long coat hitam dan syal abu-abu, ia terlihat tenang namun waspada. Di belakangnya, seorang staf dari PT MS Corporation mendorong koper peralatan desain dan presentasi.

Tak lama kemudian, Aleron Rafael Moonstone muncul—tinggi, rapi dalam coat hitam yang dipadukan dengan turtle neck senada dengan syal wol tipis di leher. Seolah melindunginya dari udara dini hari.

Tak banyak kata. Mereka hanya saling mengangguk sebelum masuk ke jalur First Class menuju penerbangan mereka ke Zürich.

Suara mesin pesawat terdengar lembut, menyatu dengan alunan klasik yang mengalir pelan di kabin First Class. Penerbangan menuju Zürich akan memakan waktu lebih dari tiga belas jam—dan bagi Althea, itu terasa seperti sebuah ujian kesabaran.

Kursi mereka bersebelahan namun terpisah sekat kecil. Althea duduk di dekat jendela, menyandarkan kepala, menatap awan yang lambat-lambat menyambut fajar. Rambutnya disanggul rendah, lehernya dibalut syal berwarna abu-abu. Di pangkuannya, terdapat iPad dan buku sketsa kulit hitam. Aleron di sebelahnya hanya diam, sesekali menoleh. Pandangannya tak bisa berpaling dari sisi wajah Althea. Entah tatapannya memiliki makna rindu akan Althea atau karena rasa bersalah yang tak selesai.

“Lo masih sering menggambar pakai tangan?” Aleron akhirnya membuka suara.

Thea menoleh sekilas, lalu kembali menatap sketsanya. “Kadang. Ada perasaan yang nggak bisa ditransfer lewat digital.”

Aleron tersenyum kecil. “Gaya lo banget.”

Thea tak menanggapi. Ia tahu nada itu—dan ia tahu arahnya ke mana. Beberapa saat mereka hanya diam. Hingga akhirnya Al membuka topik pembicaraan terlebih dahulu karena melihat Althea tampak enggan membuka pembicaraan.

"Lo masih suka teh melati kan?" suaranya lembut, nyaris ragu.

Thea menoleh sekilas, lalu kembali pada layar iPad-nya.

"Masih." Jawab Thea singkat.

"Tadi gue pesankan teh melati buat lo. Kru kabin akan mengantar sebentar lagi."

Ia mengangguk pelan, dingin namun sopan. "Terima kasih."

Diam lagi. Hening yang menggantung di antara mereka seakan lebih berat dari kabin pesawat itu sendiri.

"Thea, gue tahu ini canggung... Tapi—" Al baru bicara, tapi Thea memotongnya.

"Mr. Moonstone bersikaplah profesional," katanya tegas namun tak meninggikan suara.

"Kita sedang dalam perjalanan bisnis. Kalau tidak keberatan, kita bicara yang penting saja." Lanjutnya.

Al menahan napas, kemudian mengangguk perlahan. “Baik. Jadi tentang Phoenix saja,” katanya kemudian.

“Gue mau lo yang presentasi utama ke Mr dan Mrs. Legard. Mereka menghargai sentuhan personal dari desainer, bukan hanya CEO.”

Al menatap tablet digitalnya sejenak, sebelum kembali membuka percakapan. Kali ini, nada suaranya lebih fokus, kembali ke urusan pekerjaan.

"Ini mock-up final versi 3D dari empat lini desain Phoenix, Ignite, Ember, Ashes, dan Rebirth. Dua hari setelah pameran, kita akan presentasikan ini ke Mr dan Mrs. Legard."

Thea menerima tablet itu, memindai dengan cepat, lalu berkata,

"Untuk Ashes, saya butuh tambahan waktu render ulang. Proporsi bentuk cincin terlalu bold untuk desain vintage Swiss."

"Noted. Besok pagi, kita akan berangkat ke Zermatt. Gue sudah atur kereta dari Zürich HB jam 08:00. Kita akan naik Glacier Express ke sana."

Althea menoleh, sedikit terkejut. "Zermatt?"

"Ya. Gue tahu lo butuh visual dan atmosfer untuk referensi desain cincin vintage. Tidak ada tempat yang lebih baik dari desa itu.

Arsitektur kayunya, lanskap Alpen, dan suasana rustic-nya cocok untuk lini ‘Ashes’ dan sebagian ‘Rebirth’."

Thea mengangguk, mencatat hal itu dalam ponselnya. "Baik. Saya akan siapkan kamera, buku sketsa, dan sample bahan."

"Tim vendor Swiss juga akan mengirimkan beberapa potongan batu permata lokal untuk kamu review. Mereka akan antar langsung ke hotel."

"Berapa lama kita di sana?"

"Tiga hari. Kita punya waktu saat balik ke Zürich untuk berdiskusi dengan tim vendor Swiss sebelum menghadiri golden anniversary Mr dan Mrs. Legard. Gue pikir waktu itu cukup kalau lo bisa menyerap esensi visual dan memperkirakan bahan."

Thea kembali diam, pandangannya kembali ke jendela. Namun kali ini, tidak sepenuhnya untuk menghindar. Ia sedang menyusun kerangka desain di kepalanya.

"Saya butuh suasana pedesaan yang tidak terlalu modern. Sentuhan klasik yang bersih tapi tetap emosional."

"Zermatt punya itu. Bahkan terlalu banyak. Nanti jangan salah fokus, Thea. Kita kerja, bukan liburan."

Perempuan itu menoleh, menatap Al sesaat, lalu membalas dengan senyum tipis. "Tenang saja. Saya tidak tertarik mengulangi masa lalu, apalagi dengan orang yang sama."

Aleron tertawa kecil, nada suaranya datar. "Lo masih tajam."

"Dan anda masih terlalu percaya diri."

"Gue mau lo enggak ngomong formal ketika kita hanya berdua, ini perintah bukan permintaan" ucap Al tegas dan Althea hanya mampu menghela nafas dan mengalah mendengar pernyataan Al.

Keduanya terdiam lagi, tapi kini bukan karena canggung—melainkan karena tahu batas yang harus dijaga.

Tak lama kemudian, pramugari datang membawa teh melati pesanan Al untuk Thea. "For Mrs. Rosewood," katanya sopan.

Thea menerima dengan anggukan kecil. Ia menggenggam cangkir keramik itu dengan kedua tangan, menghirup aromanya dalam-dalam. Kehangatan yang mengalir tidak hanya dari teh... tetapi juga dari kenangan yang pelan-pelan ia coba jinakkan.

♾️

Putihnya Zürich dan Jamuan Malam yang Tak Direncanakan. Pesawat mereka mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Zürich saat waktu menunjukkan pukul 15.40 waktu setempat. Cuaca di luar tampak pucat. Awan menggantung rendah dan serpihan salju perlahan jatuh, menari ringan di balik kaca bandara.

Begitu keluar dari terminal, angin dingin menyambut tajam, menusuk jaket panjang Thea. Ia menegakkan kerahnya dan merapatkan scarf wol di lehernya. Al berjalan di sampingnya, tampak santai dengan mantel hitam panjang dan koper hitam mengilap yang digenggam ringan.

“Mobil jemputan sudah di luar,” ujar Al datar, mengarahkan pandangan ke sedan hitam elegan dengan lambang perusahaan yang tertera halus di pintu.

Sopir membukakan pintu, dan mereka segera masuk, menghangatkan diri dari udara Zürich yang menggigit. Di dalam mobil, aroma kulit asli dari jok bercampur dengan keharuman peppermint dari diffuser kecil di dasbor.

Perjalanan ke hotel hanya sekitar 30 menit, melewati jalan-jalan yang mulai ditutupi salju tipis. Gedung-gedung batu khas Eropa berdiri kokoh, atap-atapnya memutih. Beberapa toko kecil tampak masih buka, lampu kuning hangat di balik jendela kaca menciptakan kontras yang menenangkan dari dunia luar yang membeku.

Mereka tiba di The Dolder Grand, hotel bergaya kastil modern yang menjulang megah di lereng bukit Zürich, menghadap kota dan danau. Bellboy segera menjemput koper mereka. Di lobi, kristal gantung memantulkan cahaya hangat dan klasik, membawa nuansa elegan yang tak mencolok.

Kamar Thea berada di lantai enam, sebuah suite modern dengan sentuhan Swiss klasik—warna putih lembut, lantai kayu, jendela besar dengan tirai renda halus, dan balkon yang langsung menghadap lanskap pegunungan yang tertutup salju.

Begitu masuk kamar, Thea melepas jaket dan menggantungnya. Ia membuka koper, mengambil handuk dan perlengkapan mandi, lalu masuk ke kamar mandi berlapis marmer.

Air hangat segera menyentuh kulitnya, mencairkan dingin yang sempat menggigit. Uap mulai memenuhi ruang, dan untuk pertama kalinya sejak penerbangan panjang, tubuhnya mulai benar-benar rileks.

Setelah bersih, ia mengenakan sweter hangat dan celana panjang rajut. Ia hendak merebahkan diri ketika suara telepon kamar berdering.

“Ya, hallo?”

“Ini gue. Kita makan malam di restoran hotel jam tujuh. Gue udah reservasi,” suara Al terdengar ringan namun tegas di seberang.

“Tidak usah, saya lebih suka makan di kamar,” jawab Thea cepat.

“Thea,” ucap Al dengan nada datar, “Kita perlu diskusi final terkait presentasi. Ini bagian dari pekerjaan.”

Seketika, Thea mendengus pelan, matanya mengarah ke langit-langit. Ia tahu Al tidak akan menerima penolakan. “Baiklah.”

“Oke gue tunggu.”

Tepat pukul 19.00, Thea turun ke restoran hotel. Interior restoran bergaya rustic luxury, batu alami, kayu tua, dan lampu-lampu gantung dari logam hitam. Aroma rempah dan daging panggang menguar hangat.

Al sudah duduk, masih mengenakan turtleneck hitam dan jas kasual. Ia bangkit berdiri saat melihat Thea datang, lalu menarikkan kursi untuknya.

“Saya bukan tamu kehormatan,” gumam Thea sambil duduk.

“Lo tamu proyek Phoenix. Sama pentingnya dan gue udah ingetin tentang cara bicara,” jawab Al ringan, membuka menu dan Althea hanya bisa menghela nafasnya.

Mereka mulai memesan—Thea memilih salmon panggang dengan kentang herbal, sementara Al memilih daging sapi wagyu lokal dengan saus jamur truffle. Pembicaraan awal mereka singkat, tentang jadwal esok hari, tim vendor yang akan ditemui di Zermatt, dan waktu presentasi yang harus disesuaikan ulang.

“Setelah Zermatt, kita langsung susun revisi desain. Kita harus pastikan ‘cincin Ashes’ punya dua versi, klasik dan kontemporer,” ucap Al.

“Saya tahu. Saya juga akan tambahkan sentuhan Alpine stone jika memungkinkan. Untuk tekstur natural,” jawab Thea.

Makanan datang, dan mereka makan dalam keheningan profesional. Namun diam itu bukan karena canggung, melainkan karena keduanya terbiasa dengan kerja intens. Setelah piring mereka hampir kosong, Al bersandar ringan.

“Besok, Zermatt akan menguji insting desain lo. Tapi gue tahu lo bisa,” katanya, bukan dalam nada menggoda—melainkan percaya.

Thea hanya mengangguk pelan.

“Kita lihat saja nanti.”

♾️

Usai makan malam, Althea kembali ke kamarnya. Lorong hotel terasa hening, hanya suara lembut sepatu boots-nya yang memantul pelan di atas karpet. Ia memutar gagang pintu dan melangkah masuk ke suite dengan cahaya lampu kuning temaram yang ia biarkan menyala sejak tadi.

Begitu pintu tertutup, tubuhnya bersandar lelah di balik daun pintu kayu. Matanya memejam. Satu tarikan napas panjang ia hembuskan perlahan, seolah ingin melepaskan semuanya sekaligus.

Ponsel di tasnya berbunyi—sebuah notifikasi pesan. Ia meliriknya.

Dari Azalea. Isinya ringkasan agenda pertemuan besok di Zermatt, dengan catatan kecil, “Good luck, Thea. We all trust your vision.”

Ia meletakkan ponsel di meja kecil dekat tempat tidur, lalu melepas sweter-nya dan mengenakan pakaian tidur lembut berbahan katun hangat. Rambutnya ia keringkan sekenanya, lalu menuang secangkir teh chamomile dari kettle listrik yang tersedia.

Thea duduk di sofa dekat jendela besar. Tirainya ia tarik setengah, membiarkan salju di luar sana terlihat jatuh perlahan. Zürich malam ini bersinar redup, dingin, dan sunyi. Pikirannya tak tenang. Ia membuka laptop dan menatap layar kosong desain, tapi jari-jarinya tak bergerak. Ada rasa jengah yang membeku di dadanya.

Bukan karena pekerjaannya. Tapi karena Aleron.

Tadi, saat makan malam, Al terlihat terlalu tenang. Terlalu profesional. Terlalu...berjarak dalam cara yang aneh. Bukan seperti seorang CEO, tapi seperti seseorang yang tengah memelihara luka yang tak bisa dia sentuh

Thea tahu—dan ia membenci kenyataan bahwa ia bisa membacanya.

“Gue datang jauh-jauh ke sini bukan hanya untuk mengenang luka lama,” gumamnya lirih.

Ia bangkit, membuka sketchbook dan mulai mencorat-coret. Desain cincin vintage village untuk proyek Phoenix itu harus selesai sebelum mereka sampai di Zermatt. Ia mulai mengarsir lekukan, memberi bayangan lembut pada ukiran kecil seperti cabang pohon cemara yang mengelilingi batu permata utama. Namun konsentrasinya buyar lagi. Mata Thea melirik jam dinding—00.18. Ia menarik selimut di sofa dan memeluk bantal kecil.

Tiba-tiba, ada ketukan pelan di pintu. Satu kali. Dua kali. Ia menoleh cepat.

“Yes?” suaranya terdengar waspada.

“Ini gue Al. Hanya sebentar.” Thea tidak langsung membuka. Tapi setelah beberapa detik, ia akhirnya berdiri, merapikan rambutnya dan membuka pintu sedikit, menyisakan celah.

“Ada apa?” tanyanya singkat. Al berdiri di luar dengan hoodie dan celana lounge hitam. Wajahnya tampak lebih lelah dibanding saat makan malam tadi.

“Gue cuma ingin memastikan lo nggak kesulitan dengan dokumen desain revisi.”

Thea mengangkat alis. “Anda bisa mengirimkan pesan atau email.”

“Gue tahu.” Al menatapnya sebentar. “Tapi kadang, hal-hal penting lebih baik dibicarakan langsung. Face to face.” Ia menghela napas.

“Saya sudah selesai mengerjakan dan setelah ini akan saya kirimkan. Silakan kembali ke kamar anda, Mr. Moonstone. Ini bukan waktu kerja.” Al tak berkata apa-apa selama beberapa detik, lalu mengangguk perlahan.

“Baiklah. Selamat malam, Althea.”

“Selamat malam." Thea menutup pintu dengan pelan. Ia bersandar lagi ke daun pintu, tapi kali ini... ada sesuatu yang menyesak. Ia tak menangis. Ia hanya mengeraskan hatinya.

“Gue sudah memutuskan. Gue nggak akan membiarkan perasaan mengacaukan segalanya.”

♾️

Setelah pintu tertutup kembali dan langkah kaki Al meredup menjauh, Thea masih berdiri diam. Bayangan tubuhnya memantul samar di jendela besar, bercampur dengan pantulan salju yang jatuh perlahan. Wajahnya tampak tenang, nyaris tanpa ekspresi. Tapi matanya... tak bisa membohongi. Ada riak di sana—antara getir, kehampaan, dan luka yang terlalu rapi disimpan.

Ia melangkah kembali ke sofa, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan pelan. Selimut masih setengah terlipat. Sketchbook terbuka, pensil terguling, dan cangkir teh sudah dingin.

“Dia... masih sama. Tapi gue, bukan gue yang dulu,” gumamnya lirih, seperti memastikan dirinya sendiri.

Ia bukan gadis remaja yang dulu mempercayai cinta sepenuh hati, yang membiarkan dirinya tenggelam dalam mimpi tanpa jaring pengaman. Ia sudah berubah. Kini ia perempuan yang berdiri dengan pijakan logika, dengan batasan profesional, dengan luka yang telah dijahit—meski bekasnya masih terasa jika disentuh.

Namun malam itu, di balik keheningan kamar hotel mewah, semua pertahanannya runtuh sedikit demi sedikit. Bukan karena Al berkata sesuatu. Justru karena ia terlalu diam. Dan dalam diam itu, Thea bisa mendengar apa yang tidak diucapkan.

Kenangan menyusup. Bukan dalam bentuk potongan peristiwa yang jelas, tapi dalam rasa—seperti aroma musim gugur di pagi buta, atau gesekan jari di punggung tangan. Hal-hal kecil yang mestinya sudah mati, tapi ternyata masih hidup di sudut gelap ingatan.

“Kenapa harus dia?” bisik Thea. Tangannya mengepal tanpa sadar.

Ia benci bahwa hatinya masih bergetar. Ia marah karena dirinya masih bisa terpengaruh. Tapi ia juga lelah menolak semua itu. Karena menjadi kuat bukan berarti tidak pernah merasa apa-apa.

Ia mengusap wajahnya, menahan napas sejenak, lalu berbaring di sofa. Tidak ke tempat tidur. Tempat tidur terasa terlalu luas malam ini—terlalu sunyi untuk pikiran yang bising.

Matanya menatap langit-langit. Satu kalimat muncul dalam benaknya, begitu jujur hingga terasa seperti tamparan. “Mungkin gue nggak benar-benar melupakannya. Gue cuma pinter berpura-pura.”

Air matanya tak jatuh malam itu. Tidak ada tangis. Hanya dada yang terasa lebih berat daripada biasanya. Tapi saat ia memejamkan mata, ia berbisik dalam hati—dengan nada getir, bukan sebagai harapan, tapi sebagai tekad. "Gue di sini untuk karierku. Untuk masa depan gue. Bukan untuk masa lalu yang seharusnya sudah mati."

Dan dalam diamnya malam Zürich yang dingin, Althea Reycecilia Rosewood kembali menarik napas panjang... dan mencoba tidur.

♾️

Pintu lift tertutup perlahan. Al berdiri diam, satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana, satu lagi memegang ponselnya yang sejak tadi tidak berbunyi. Sorot matanya tajam seperti biasa—dingin dan penuh kalkulasi—namun ada sesuatu yang berbeda malam ini. Matanya tampak lelah, bukan secara fisik... tapi secara batin.

Ia tidak langsung menuju kamarnya. Malam itu, ia memilih berjalan menuju balkon terbuka hotel yang menghadap ke kota tua Zürich yang berselimut salju. Angin musim dingin menggigit kulit, tapi Al tak bergerak. Ia berdiri di sana, menatap lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip dari kejauhan.

“Masih sama…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Althea Reycecilia Rosewood. Ia pikir ia sudah siap. Sudah cukup waktu berlalu. Sudah cukup jarak dan logika dan kehidupan baru yang ia bangun. Tapi malam ini, saat menatap mata Thea, ia tahu satu hal dengan pasti, Ia belum selesai dengan gadis itu. Bahkan mungkin tidak akan pernah.

Thea terlalu sunyi, terlalu tenang. Dan itulah yang paling menyakitkan bagi Al. Karena diamnya bukan karena masih marah—melainkan karena sudah berjarak. Ia tidak bisa membaca Thea lagi seperti dulu. Tidak bisa menebak pikirannya, tidak bisa mengundang senyumnya.

“Dia benar-benar berubah… atau hanya sedang menghukum gue?” pikir Al, bibirnya mengulas senyum getir.

Ia mengingat momen-momen di pesawat tadi, bagaimana Thea menjaga jarak tanpa harus bersikap kasar. Ia tetap profesional, tetap santun, tapi semua itu dingin. Terlalu dingin bagi seseorang yang dulu mencintainya seperti dunia akan runtuh tanpa kehadirannya.

“Gue pantas diperlakukan seperti ini…” bisiknya dalam hati.

Tapi bagian lain dari dirinya—bagian yang tidak pernah tunduk pada rasa bersalah—masih ingin bertarung. Bukan untuk membela masa lalu, tapi untuk menjelaskan. Untuk menjembatani sesuatu yang sudah hancur menjadi abu. Bukan untuk kembali, tapi setidaknya untuk bisa dimaafkan.

Namun Al tahu satu hal, Thea bukan gadis yang bisa didesak, dipaksa, atau dikelabui. Jika ia ingin bicara, ia akan bicara. Jika tidak—maka yang bisa Al lakukan hanyalah menunggu... dan menjaga jarak yang tak terlihat itu tetap layak dihormati.

Ia merogoh saku, mengambil kotak kecil berbalut beludru hitam. Benda itu belum pernah ia buka sejak bertahun-tahun lalu. Tapi ia selalu membawanya.

“Lo tahu, Thea...” gumamnya lirih ke langit berbintang. “Wangi Lo masih sama dan tatapan lo selalu ingin membuatku melindungimu. Aku saat ini Masi mencari potongan puzzle kehidupan itu…dan red thread sepertinya masih mengikat kita.”

Al terduduk diam menerawang kilasan kisahnya dulu sampai pada akhirnya, Al memilih... meninggalkan. Bukan dengan ucapan, tapi dengan sikap. Dengan abai. Dengan menghilang di antara prioritas dan ambisi.

Ia tidak pernah menjelaskan. Tidak pernah menjawab. Tidak pernah membiarkan Thea bertanya. Ia hanya menghilang, dengan harapan waktu akan menyembuhkan, atau membuat Thea membencinya agar ia bisa menjadi masa lalu yang terlupakan.

Tapi malam itu, di Zürich, setelah bertahun-tahun… ia tahu satu hal 'Thea memang tidak membencinya. Ia hanya tidak membutuhkannya lagi.'

Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada dibenci. Waktu tidak membawanya ke babak baru. Waktu hanya membuat jurang mereka semakin dalam. Al melihat Thea sekarang sebagai sosok yang berdiri tegak tanpa dirinya. Dan itu adalah ironi terbesarnya—ia meninggalkannya agar Thea bisa bersinar… tapi kini, sinar itu tak lagi bersedia menyinari dirinya.

'Mungkin Al masih mencintai Thea. Masih' Bukan dengan cinta muda yang egois, tapi dengan cinta yang penuh penyesalan, yang tidak lagi berharap, tapi juga tidak bisa melupakan.

“Andai aku bisa memutar ulang waktu, gue akan menepikan semua alasan itu—dan mengejarnya lebih keras dari semua yang pernah gue kejar.”

Tapi waktu tak bisa dikembalikan. Dan malam itu, dengan kepala menyentuh dinding dingin balkon hotel, Al menyadari sesuatu yang bahkan lebih pedih daripada kehilangan.

Dia tidak pernah kehilangan Thea... karena Thea tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.

Dan malam itu, Aleron Rafael Moonstone—lelaki yang selama ini dikenal tak punya sisi rapuh—diam-diam menundukkan kepala. Bukan karena kalah. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya... ia benar-benar takut kehilangan sesuatu yang sudah tak bisa ia genggam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!