Pagi di Zürich menjanjikan kehangatan dari langit kelabu yang menggantung rendah, meski suhu masih bersahabat untuk musim dingin. Salju belum turun lagi sejak semalam, tapi dingin masih merayap di setiap hembusan angin.
Thea menarik koper berwarna putih-nya menyusuri lobi hotel, mengenakan coat hitam dan syal putih yang dililit rapi. Di belakangnya, Aleron berjalan dengan langkah tenang, dengan menarik koper hitam-nya dan kali ini ia nampak berbeda dari biasanya karena hari ini ia tidak mengenakan jas formal yang membuatnya terlihat tegas. Ia mengenakan setelan santai berwarna full black yang masih mempertahankan kewibawaannya. Mereka tampak seperti dua profesional biasa yang akan melakukan perjalanan kerja—dan memang begitulah yang mereka tekankan pada diri masing-masing.
Mobil antar jemput hotel mengantar mereka menuju Stasiun Hauptbahnhof Zürich. Tidak banyak percakapan dalam mobil—hanya saling bertukar kalimat singkat seputar rute, cuaca, dan estimasi perjalanan.
Kereta menuju Zermatt berangkat tepat waktu. Mereka duduk berdampingan di gerbong kelas satu, dengan jendela besar memperlihatkan lanskap Swiss yang perlahan berubah dari kota ke pedesaan. Hamparan salju putih seperti selimut lembut, menutupi atap rumah-rumah kayu dan pepohonan cemara yang berdiri bisu.
Deru lembut rel kereta mengiringi perjalanan mereka meninggalkan Zürich menuju Zermatt. Gerbong kelas satu relatif sepi, hanya beberapa penumpang yang terlihat larut dalam kesibukan masing-masing. Salju turun perlahan, menempel di jendela, menjadi latar sempurna bagi suasana yang membeku dalam diam.
Althea duduk di sisi jendela, matanya tak lepas dari lanskap pegunungan bersalju yang seolah berbisik dalam diam. Tangannya meremas ringan buku sketsanya, namun ia tak mengguratkan apa-apa. Di sebelahnya, Aleron membuka iPad dan sesekali menatap Thea dari sudut mata.
Aleron memulai lebih dulu, dengan suara datar namun cukup tenang, “Kita akan bertemu dengan Mr dan Mrs. Legard. Mereka ingin melihat konsep utuh desain cincin vintage-village kita. Termasuk latar emosionalnya.”
Thea menoleh sedikit, tanpa menatap langsung. “Latar emosional?” gumamnya.
“Ya,” jawab Al, tetap menatap layar.
“Keduanya sangat menghargai makna di balik desain. Untuk mereka, estetika itu nomor dua. Apa yang terkandung di dalamnya—memori, cerita, nilai kehidupan—itu yang mereka cari.”
“Jadi kita sedang merancang lebih dari sekadar cincin,” ujar Thea pelan.
Al mengangguk. “Kita sedang merancang kenangan.”
Hening sejenak. Thea akhirnya memalingkan wajahnya, menatap lurus ke depan. “Lucu, ya. Dua orang yang sudah bersama lima puluh tahun, masih mencari cara baru untuk mengabadikan cinta mereka. Sementara sebagian orang bahkan gagal untuk bertahan lima bulan.”
Al menoleh, mencoba menangkap makna dari kata-kata itu. Tapi Thea tidak memberinya kesempatan. Ia segera melanjutkan. “Gue cuma pengen mastiin proyek ini berhasil. Untuk tim, untuk perusahaan… dan untuk mereka,” ucapnya, menegaskan fokusnya.
“Dan buat lo sendiri?” Al bertanya, suaranya lembut tapi langsung menghujam.
Thea menoleh padanya, menatap dengan mata yang tenang. “Kalau Saya ingin membuktikan sesuatu, itu bukan pada siapa pun. Termasuk pada anda.”
"Hei Thea, apa gue perlu terus ngingetin Lo cara ngobrol sama gue kalau kita lagi berdua?" Kata Al sambil tersenyum tipis, namun Thea tidak menyahut dan hanya memutar bola matanya malas.
Beberapa menit berlalu. Suasana di gerbong kembali tenang. Thea akhirnya membuka sketsanya, menggurat pola renda dan siluet desa tua dengan pena arsir. Thea menyandarkan tubuhnya sedikit, menatap ke luar. Al membuka iPad untuk memeriksa ulang draft presentasi visual.
“Kenapa kita memilih mengunjungi Zermatt?” tanya Thea, suaranya kembali stabil.
"Mereka bertemu disana, di desa kecil dekat Zermatt. Itu sebabnya mereka memilih tema vintage village. Desain vintage-village untuk pasangan Legard." Jawab Al sambil menoleh ke arah Thea.
Thea menoleh sedikit. “Mereka pasangan yang cukup… hangat untuk ukuran investor. Tidak biasa.”
Al mengangguk pelan. “Mr dan Mrs. Legard lebih dari sekadar kolektor berlian atau penanam dana. Mereka… semacam penjaga filosofi klasik tentang cinta dan warisan keluarga.”
Thea mengernyit sedikit. “Maksud lo?”
"Bagi mereka, Phoenix bukan sekadar koleksi. Tapi perwujudan dari perjalanan cinta mereka selama lima puluh tahun. Ada bagian dari kisah mereka yang ingin mereka simpan dalam bentuk desain.” ujar Al sambil membalikkan layar iPad menghadap Thea.
Thea menatap blueprint cincin yang muncul di layar. “Ada unsur rustic, tapi elegan. Tradisional tapi juga berkelas.”
“Persis seperti mereka,” sahut Al singkat, lalu menatap jendela sesaat.
“Mr. Legard itu tipe pria yang selalu memanggil istrinya ‘sunshine’. Bukan karena dia hangat, tapi karena dia pusat semestanya. Romantis level yang bikin orang berpikir cinta tak pernah pudar.”
Thea tersenyum kecil, agak getir. “Cinta seperti itu langka.”
“Masih ada, kalau lo tahu ke mana mencarinya,” jawab Al pelan, namun matanya mengarah ke luar jendela, menyembunyikan tatapan yang terlalu jujur.
Thea memilih diam. Ia merogoh buku sketsanya, mulai menggurat sesuatu—entah motif bunga Edelweiss atau pola renda klasik dari gaun vintage.
Al melirik. “Itu... inspirasi dari Mrs. Legard?”
Thea mengangguk tanpa menoleh. “Gue pengen desain cincin mereka terasa seperti rumah. Nyaman, hangat, dan tidak lekang oleh waktu."
Mereka diam beberapa menit, tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Di luar, pegunungan mulai terlihat—gagah dan sunyi, berdiri seolah menjaga rahasia ribuan tahun.
“Tradisional dan kuat. Dua kata yang menurut mereka... seharusnya ada di dalam setiap perhiasan pernikahan,” ujar Al, menatap ke luar jendela, lalu beralih menatap sketsa Thea.
“Lo selalu bisa menggambarkan perasaan dalam bentuk visual. Bahkan ketika kau sendiri menyembunyikannya.”
“Dua minggu ini penting, Thea.” Suara Al terdengar lebih lembut, tapi tetap serius.
“Phoenix bisa jadi karya besar untukmu. Atau... Boomerang.”
“Gue tahu,” jawab Thea cepat. “Gue yakin, gue nggak akan gagal. Bukan hanya untuk mereka dan perusahaan, tapi juga buat gue sendiri.”
Al mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya sejak Swiss, ia merasa bangga, bukan sebagai CEO, tapi sebagai seseorang yang pernah—dan masih—menyayangi perempuan itu.
Kereta akhirnya berhenti di stasiun utama Zermatt. Angin pegunungan menyambut begitu mereka keluar dari gerbong, membawa aroma khas salju, kayu pinus, dan udara dingin yang menggigit. Meski matahari mulai tenggelam di balik Alpen, langit masih menyisakan semburat jingga yang menyorot gugusan atap rumah khas Swiss yang berbaris rapi di kejauhan.
Mereka disambut suhu yang lebih dingin dan salju yang jatuh perlahan seperti kapas. Kota kecil itu seolah tak berubah sejak dulu, tenang, klasik, dan tertutup mobil bermesin. Mereka naik shuttle hotel elektrik menuju penginapan klasik bergaya chalet dengan kayu tua dan aroma cokelat panas dari lobi.
Malam ini, mungkin mereka akan beristirahat. Esok, mereka akan menyusuri jalan desa tua, tempat kisah pasangan Legard dimulai—dan tempat desain Phoenix akan menemukan jiwanya.
Zermatt, kota kecil tanpa kendaraan bermotor, membuat mereka berjalan kaki menyusuri jalur berbatu menuju penginapan. Tas mereka sudah lebih dulu dibawa oleh layanan hotel. Jalanan sunyi dan bersih, hanya suara langkah sepatu di atas salju dan gemerincing lonceng dari kereta kuda kecil yang lewat sesekali.
Al berjalan di samping Thea, mengenakan mantel panjang berwarna hitam dan syal dengan warna senada. Ia tidak banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah wanita di sebelahnya yang tampak larut dalam diam. Thea sendiri sibuk menyesuaikan langkah, menyimpan tiap nuansa visual yang tersaji di hadapannya dalam benaknya—fasad kayu hangat penginapan-penginapan tua, lentera gantung yang redup namun hangat, hingga aroma kakao dari kafe kecil di sudut gang.
“Ini akan bagus untuk tekstur permukaan cincin nanti,” gumam Thea nyaris tak terdengar sambil melihat ukiran di jendela sebuah bangunan tua.
Al hanya mengangguk, mencatat dalam ingatannya bahwa Thea tetap peka, tetap mencintai apa yang ia lakukan—dan masih sepenuhnya profesional, meskipun suasana di antara mereka tidak sepenuhnya netral.
♾️
Malam harinya di penginapan mereka yang berada di atas bukit kecil, menghadap ke pemandangan pegunungan yang sunyi dan indah. Begitu tiba, resepsionis menyambut dengan ramah dan langsung mengantarkan mereka ke kamar yang letaknya bersebelahan.
Kamar Thea terletak di lantai dua, didekorasi dengan gaya alpine klasik, balok kayu di langit-langit, selimut tebal bermotif bunga edelweiss, dan balkon kecil yang menghadap ke arah gunung Matterhorn yang megah.
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian dengan sesuatu yang lebih hangat, Thea berdiri di balkon sebentar, mengamati lampu-lampu kecil di kejauhan. Salju masih turun, meski tipis, dan suasana malam itu begitu sunyi, seolah waktu ikut membeku.
Tiba-tiba suara ketukan pelan di pintu membuat Thea menoleh. Saat ia membuka, Aleron berdiri di depan pintu dengan mengenakan mantel hangat yang berbeda. Lebih santai. Wajahnya diterangi oleh lampu lorong yang lembut.
“Thea, Lo lagi ngapain?” tanyanya.
Thea mengangkat alis, ragu. “Baru selesai bersih-bersih. Kenapa?”
Al tersenyum tipis. “Gue pengen ngajak lo jalan sebentar.”
“Malam-malam begini?” Thea bersandar di kusen pintu, melipat tangan. Pasalnya sekarang sudah menunjukan pukul 22.06.
“Zermatt malam hari sangat tenang. Gue pikir... bisa jadi inspirasi tambahan untuk desain Phoenix. Kita lihat desa ini dari sisi paling sepi dan paling jujur—saat orang-orang sedang diam, saat semuanya sunyi. Seperti jiwa yang membuka diri.”
Thea mendesah kecil, tapi akhirnya mengangguk. “Baik. Tapi hanya sebentar.”
♾️
Mereka menyusuri gang sempit berbatu, melewati rumah-rumah tua dengan jendela yang menyala temaram. Salju lembut menutupi jalan, menyerap suara langkah mereka. Hanya suara salju yang berderak di bawah sepatu, dan sesekali desir angin yang melewati lorong.
“Apa menurut lo... Phoenix bisa jadi simbol kebangkitan?” tanya Al setelah beberapa menit berjalan dalam diam.
“Bisa,” jawab Thea pelan. “Tapi hanya jika desainnya mampu menyentuh, bukan sekadar memikat mata. Ia harus bisa berbicara.”
Al menatap Thea di sampingnya.
“Dan apa menurut lo kita bisa mencapainya?”
“Kita,” ulang Thea.
“Jika tetap saling menjaga jarak pribadi dan tidak mengaburkan batas profesional, kita bisa.”
Lalu Al berkata, “Phoenix... juga bisa berarti pengampunan.
Pemurnian dari api masa lalu. Pernahkah lo berpikir... seseorang bisa jadi Phoenix bagi orang lain?”
Thea berhenti, menatap lampu gantung yang menggantung di atas persimpangan kecil. “Gue nggak lagi percaya siapa pun bisa jadi penyelamat bagi orang lain,” katanya tenang.
“Setiap orang harus menyelamatkan dirinya sendiri.” Lanjutnya.
Al tersenyum kecil. “Lo berubah.”
Thea menoleh, tatapannya tenang namun dalam. “Orang-orang berubah, Al. Terutama setelah terbakar.”
Mereka melanjutkan langkah tanpa bicara lagi. Hanya suara salju, pegunungan, dan bayangan masa lalu yang tertinggal dalam jejak langkah mereka.
♾️
Langit Zermatt malam itu begitu senyap. Salju turun perlahan, seperti serpihan kapas yang menari pelan di udara. Langkah Al dan Thea menyusuri jalan sempit desa tua diiringi diam yang tak canggung, hanya tenang... damai. Udara dingin mulai meresap ke dalam lapisan mantel mereka, tapi keduanya tampak tak peduli.
Tiba-tiba, samar-samar terdengar suara...suara tangis.
Thea menghentikan langkahnya. “Lo dengar itu?”
Al mengerutkan kening, menoleh. “Suara tangisan?”
Keduanya saling berpandangan sejenak, memastikan bahwa mereka memang mendengar hal yang sama. Dan benar—tangisan itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas.
Tangisan bayi.
Tanpa perlu bicara lagi, mereka segera mempercepat langkah, menyusuri suara yang mengarah ke ujung jalanan kecil yang sepi. Di sanalah mereka melihatnya, sebuah bangunan tua, tampaknya tak lagi dihuni. Di depan pintu kayu retak yang sudah lapuk, tergeletak keranjang putih kecil. Di dalamnya, suara tangisan itu menggema lembut dalam dingin malam.
Thea mendekat lebih dulu. Matanya membesar saat melihat bayi mungil yang tampak baru lahir—kulitnya masih merah muda, dibalut baju tebal dan selimut rajutan tangan yang sudah sedikit lembap oleh salju. Wajahnya keriput, mungil, dengan tangis pelan yang membuat dada sesak.
“Ya Tuhan…” bisik Thea pelan, menunduk dan tanpa ragu mengangkat bayi itu ke pelukannya. Bayi itu perlahan berhenti menangis saat bersentuhan dengan hangat tubuh Thea, seolah tahu bahwa ia telah diselamatkan.
Al mengecek isi keranjang, botol bayi, sekotak kecil susu bubuk bayi, dua pakaian cadangan, popok kain, dan secarik kertas yang nyaris basah. Ia membuka kertas itu, namun tulisan tangan yang tertera hampir tak bisa dibaca.
“Tak ada nama. Tak ada penjelasan... hanya angka ‘18’,” gumam Al, keningnya berkerut dalam.
Thea menatap bayi itu sambil menutupinya dengan mantel yang ia pakai. “Dia pasti baru lahir dua atau tiga hari. Masih sangat kecil.”
Al mengangguk cepat.
“Kita harus membawanya ke penginapan. Udara makin dingin, dia bisa hipotermia.”
Tanpa banyak kata, mereka berjalan cepat menuruni jalanan bersalju. Al membawa keranjang berisi perlengkapan bayi, sementara Thea memeluk bayi mungil itu erat di pelukannya. Ia berusaha menyamarkan rasa panik dan emosinya, tapi pandangannya terus tertuju pada wajah mungil yang kini tertidur dengan damai di dadanya.
♾️
Sesampainya di hotel, mereka langsung menuju kamar Al yang lebih luas. Thea duduk di sofa, masih memeluk bayi itu dengan hati-hati. Al menyalakan pemanas ruangan, lalu mengeluarkan perlengkapan dari dalam keranjang.
“Lo yakin tak ingin membawanya ke rumah sakit dan melaporkan kepada pihak berwajib malam ini?” tanya Al pelan.
Thea menggeleng. “Terlambat. Cuaca turun drastis. Jika kita keluar sekarang, risikonya terlalu tinggi. Kita tunggu pagi.”
Al mengangguk, lalu menatap bayi itu. “Dia tenang sekali sekarang.”
Thea mengelus kepala bayi mungil itu dengan lembut. “Dia cuma butuh rasa aman.”
Ada keheningan sejenak. Sesuatu di dalam ruangan itu berubah. Thea menatap bayi itu seperti melihat sesuatu yang jauh lebih dalam—seperti melihat sesuatu yang selama ini kosong dalam dirinya.
Ruangan itu hangat, namun udara diam-diam terasa berat. Di luar, salju masih turun perlahan. Bayi kecil yang ditemukan malam itu telah terlelap di atas tempat tidur milik Al dalam balutan selimut tebal. Nafas mungilnya terdengar lembut, nyaris seperti hembusan harapan yang menggantung di udara.
Al duduk di kursi yang menghadap ke Thea, tangan kirinya menggenggam cangkir teh yang kini sudah mulai mendingin. Thea, duduk bersandar di sisi tempat tidur, hanya menatap bayi itu. Matanya tak sepenuhnya menatap fokus. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergulat, tapi tak bisa dijelaskan Lalu, Al membuka suara, pelan.
“Lo pernah berpikir ingin punya anak, Thea?” Pertanyaan itu jatuh seperti salju—diam-diam tapi menyisakan beban.
Thea tak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada bayi yang terlelap itu, namun ada getar di ujung jemarinya yang menyentuh kain selimut bayi itu.
Dia diam. Dan diam itu terlalu panjang.
Al tahu, Thea sedang memilih, menjawab atau menghindar. Alih-alih menunggu, Al justru tersenyum tipis dan membiarkan suaranya melayang bebas di udara.
“Enam tahun lalu... Gue masih dua puluh tiga waktu itu. Masih brengsek dan sok idealis.”
Thea melirik sekilas, namun tak menanggapi. “Gue ingat saat itu aku bilang... Gue pengen punya anak. Tapi bukan menikah. Maksud gue, belum siap untuk menikah—tapi siap jadi ayah.”
“Gue lihat Bang Zayn waktu itu, dia punya anak laki-laki... lucu banget. Dan entah kenapa, rasanya gue juga pengen punya anak. Tapi tanpa ribetnya rumah tangga.”
“Gue bilang ke lo, gue mau adopsi anak.” Thea tersenyum kecil, samar, masih belum menoleh.
“Dan lo bilang, siapa yang bakal jaga anak lo kalau lo kerja. Gue langsung jawab—ya lo, Thea.”
Akhirnya Thea terkekeh pelan. “Dan gue bilang, lo harus gaji gue mahal.”
Al tersenyum, matanya menghangat. “Dan gue jawab... Gue nggak cuma gaji lo, tapi gue bakal tanggung jawab atas hidup lo seumur hidup.”
Thea akhirnya menoleh. Senyumnya pudar perlahan, digantikan oleh ekspresi datar yang menyimpan terlalu banyak rasa. “Lucu ya, dulu... semuanya terasa ringan.”
Al memandangi wajahnya. “Mungkin karena kita nggak tahu bahwa suatu hari, yang ringan itu akan jadi yang paling berat.”
Keheningan menyergap kembali. Bayi itu bergerak sedikit dalam tidurnya, membuat keduanya secara reflek menatapnya bersamaan. Lalu... Al berkata lirih, suaranya nyaris seperti doa.
“Apa menurut lo... ini salah satu potongan puzzle yang selama ini kita cari, Thea?”
“Atau... mungkin bayi ini simbol dari Red thread kita. Yang selama ini... terus narik kita untuk kembali walaupun sudah sejauh apapun kita.”
Thea menatap bayi itu lama. Napasnya perlahan. Matanya... mulai berembun. Tapi saat ia menoleh ke arah Al, senyumnya sudah kembali tenang.
“Gue nggak percaya simbol, Al. Gue percaya pilihan.”
Al terdiam. Thea melanjutkan, lembut namun tegas.
“Dan malam ini, pilihan gue cuma satu, memastikan bayi ini tetap aman sampai dia kembali pada hidup yang pantas.”
Dan Al, dengan segala kerumitan perasaan di dalam dadanya, hanya bisa mengangguk. Ia ingin mengatakan banyak. Tapi ia tahu... malam ini, Thea bukan miliknya. Bukan siapa-siapa—kecuali seseorang yang sedang berjuang menemukan jalannya kembali.
Namun di sudut ruang itu, di antara kehangatan dan tangisan kecil yang sesekali muncul dari bayi mungil itu—ada sesuatu yang tumbuh.
Bukan harapan.
Bukan cinta.
Tapi sebuah pengakuan diam-diam, bahwa masa lalu belum benar-benar usai.
Thea tak menjawab. Ia hanya menatap bayi itu lebih dalam lagi.
Bayi itu menangis sebentar, dan Thea dengan cekatan mengayunnya perlahan. Tangisnya mereda. Ia membisikkan, “Tenang, kamu aman di sini…”
Al diam. Tatapannya tak lepas dari Thea. Dalam remang cahaya lampu kuning kamar, ia melihat sisi lain dari wanita yang kini duduk di depannya: hangat, penuh kasih, dan—entah kenapa—tampak rapuh sekaligus kuat.
“Malam ini... segalanya berubah,” gumam Al.
Thea menoleh. “Mungkin. Tapi untuk malam ini, kita hanya harus menjaga dia tetap hangat dan hidup.”
♾️
Jam menunjukkan pukul 01.20 dini hari saat Aleron Rafael Moonstone terbangun oleh suara tangisan lirih. Suara itu nyaring, namun tidak menyayat, seperti panggilan rindu dari makhluk mungil yang baru saja hadir ke dunia. Ia membuka mata, sejenak bingung dengan kenyataan, sebelum kesadarannya utuh dan ia segera bangkit.
Di sisi kanan tempat tidur, bayi kecil itu menangis dengan mata tertutup rapat, tangan mungilnya mengepal. Tanpa banyak bicara, Al segera bangkit dari kasurnya dan duduk di sisi bayi itu. Ia mengangkat tubuh mungil sang bayi dengan pelan, berusaha tidak membuatnya makin terkejut atau kesakitan. Ia menggendong bayi itu ke dadanya, dan dengan tangan satunya lagi mengambil botol susu hangat yang tadi sudah disiapkan Thea.
“Hei, boy… sudah ya? Kau aman di sini, tidak ada yang menyakitimu,” gumam Al dengan suara serak khas orang yang baru terbangun.
Tatapan matanya lembut, jauh dari Figur CEO tegas yang biasa mengisi ruang meeting dengan aura menakutkan.
“Apa kau lihat Mommy-mu yang sedang terlelap itu?” katanya sambil melirik ke arah Thea, yang tertidur di sofa.
“Dia pasti bakal khawatir kalau tahu kamu menangis begini.” lanjutnya dengan terkekeh kecil. Dia masi tidak menyangka bahwa takdir membawanya menuju titik dan kondisi seperti ini apalagi bersama Althea
Bayi itu tiba-tiba berhenti menangis, matanya terbuka perlahan, menatap wajah Al yang masih diselimuti bayang-bayang gelap kamar. Al terdiam. Sejenak, ia merasa seolah bayi itu benar-benar memahami ucapannya.
Hening.
Hanya terdengar suara napas bayi yang mulai tenang dan hembusan angin dari celah jendela yang membiarkan dingin masuk sedikit demi sedikit. Al tersenyum. Senyum yang tidak dibuat-buat. Senyum penuh kehangatan dan keterikatan emosional yang bahkan tidak ia pahami sendiri.
“Lucu ya... aku bisa tenangin kamu. Padahal aku pikir aku payah dalam hal begini,” bisiknya lagi sambil mengusap lembut punggung mungil itu.
Saat bayi itu mulai tertidur kembali, Al meletakkannya pelan di tengah kasur, membenarkan posisi selimut dan memastikan suhu tubuhnya tetap hangat.Ia menatap ke arah Thea yang masih tertidur di sofa. Ada kerutan lelah di antara alisnya, seolah bahkan dalam tidur pun pikirannya masih bekerja. Dengan gerakan pelan, ia berjalan menghampirinya.
“Kamu akan sakit kalau tidur seperti itu terus,” ucapnya lirih.
Tanpa pikir panjang, Al membungkuk dan mengangkat tubuh Thea ke dalam pelukannya. Ia membawanya mengitari tempat tidur menuju sisi kanan dan meletakkan Thea dengan hati-hati di sisi kasur, memastikan Thea tidak terbangun.
Lalu Al melangkah memutari sisi lain kasur dan merebahkan dirinya di sisi kiri. Di antara mereka, bayi itu tertidur damai—menjadi penghubung diam-diam antara dua orang dewasa yang sedang berusaha tidak saling bicara tentang perasaan. Al menatap langit-langit sebentar, lalu menoleh ke sisi bayi.
“Entah kamu siapa, boy... tapi kamu membuat malam ini terasa seperti... rumah.” Dan sebelum ia sadar, senyum lembut masih mengembang di wajahnya yang sudah setengah terpejam.
Tiga jiwa. Satu kasur. Satu malam. Tanpa status, tanpa rencana—hanya ketulusan yang merayap diam-diam. Dan malam itu, semuanya tertidur dengan damai, seolah alam ingin memberi mereka mimpi tentang sesuatu yang seharusnya bisa terjadi... atau mungkin masih bisa terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
2025-06-16
1